Sistem Pendidikan di Belanda

Di Belanda ada 2 macam institusi pendidikan tinggi. Yang pertama adalah HBO atau hoger beroepsonderwijs, yang terjemahan  bebasnya dalam bahasa Indonesia “pendidikan kejuruan tinggi”, dan WO atau wetenschappelijk onderwijs yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia “pendidikan sains”.

Institusi yang berjenis HBO biasanya disebut Hogeschool (sekolah tinggi) atau kadang-kadang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi University of Applied Science. Di Indonesia HBO ini dapat disetarakan dengan politeknik, dan lulusannya diharapkan dapat langsung bekerja, tapi biasanya tidak terlalu banyak dibekali pengetahuan teoritis, lebih banyak praktis. Contoh Hogeschool ini misalnya Haagse Hogeschool di Den Haag dan INHolland yang mempunyai kampus di Amsterdam, Alkmaar, Haarlem, Den Haag, Delft, dan Rotterdam. Contoh jurusan yang ditawarkan di Hogeschool ini misalnya keperawatan, staf untuk pendidikan dan pendidikan khusus, turisme, teknik elektro, teknik informatika, marketing, manajemen, dll. Pendidikan HBO lamanya 4 tahun, dan lulusannya mendapat gelar Bachelor. Sekarang banyak juga Hogeschool yang menyediakan program master, yang lamanya 1-2 tahun setelah Bachelor.

Di lain pihak institusi berjenis WO biasanya disebut Universiteit (universitas) atau Technische Universiteit (universitas teknik). Dalam bahasa Inggris institusi seperti ini biasanya disebut University dan University of Technology. Universiteit biasanya mempunyai ruang lingkup yang luas,  dan jurusan yang ditawarkan bisa meliputi bahasa, seni, pendidikan, teknik, sains, dll. Contoh Universiteit misalnya Universiteit Leiden, Universiteit van Amsterdam, Vrije Universiteit (VU, Universitas Bebas) Amsterdam, Universiteit Utrecht, Rijksuniversiteit (universitas kerajaan) Groningen, dll. Ada juga universitas yang terspesialisasi ke arah pertanian, kehutanan, dan bioteknologi, misalnya Universiteit Wageningen.   Technische Universiteit atau sering disingkat TU biasanya hanya menawarkan jurusan-jurusan yang berbau sains dan teknik, kadang-kadang ditambah dengan desain. Hanya ada 3 buah TU di Belanda, yaitu TU Delft, TU Eindhoven, dan TU Twente. Perbedaan antara universitas biasa dan TU sekarang ini sering kali kabur, dan teman-teman lebih baik memfokuskan diri pada jurusan yang ditawarkan, ketimbang memilih jenis universitasnya. Universitas dan TU juga memberikan gelar Bachelor dan Master, tapi lama pendidikannya berbeda dengan Hogeschool. Di Universitas dan TU Bachelor bisa diraih setelah 1-2 tahun studi, dan Master 2-3 tahun setelah Bachelor (total lama studi untuk master 3-4 tahun). Tapi ini adalah teorinya, pada kenyataannya banyak mahasiswa yang molor waktu studinya. Hanya Universitas/TU yang dapat memberikan gelar doktor, yang biasanya diraih setelah melakukan riset sekitar 4 tahun setelah master.

Penyebab perbedaan lama pendidikan untuk gelar yang sama di Hogeschool dan Universiteit/TU  adalah perbedaan jenis sekolah menengah yang lulusannya dapat masuk ke institusi jenis HBO dan WO. Untuk bisa masuk ke HBO, seorang murid Belanda harus menyelesaikan 5 tahun pendidikan setelah sekolah dasar (8 tahun) di sekolah menengah berjenis HAVO (hoger algemeen voortgezet onderwijs) atau “sekolah lanjutan atas umum”, sedangkan untuk masuk WO pendidikan menengah yang harus ditempuh lamanya 6 tahun setelah sekolah dasar di sekolah menengah berjenis VWO (voorbereidend wetenschappelijk onderwijs) atau “sekolah persiapan sains”. Lulusan HAVO tidak dapat langsung melanjutkan ke WO, tapi bisa masuk dengan cara mengulang setahun di VWO, atau masuk dulu ke HBO, dan setelah setahun pindah ke WO. Sebenarnya masih ada satu lagi jenis sekolah menengah di Belanda, yaitu yang disebut VMBO (voorbereidend middelbaar beroepsonderwijs) atau “sekolah persiapan untuk pendidikan kejuruan menengah” yang ditempuh dalam waktu 4 tahun setelah sekolah dasar. Lulusan VMBO bisa langsung meneruskan ke MBO (middelbaar beroepsonderwijs) atau “sekolah kejuruan menengah” yang lamanya 4 tahun, dan setelah itu bisa langsung bekerja. Lulusan VMBO tidak bisa langsung meneruskan ke HBO, apalagi ke WO. Untuk masuk ke HBO, lulusan VMBO dapat mengulang setahun di HAVO, atau setelah lulus dari MBO dapat masuk ke HBO. Pemilihan jenis sekolah menengah yang akan diikuti, apakah VMBO, HAVO, atau VWO, secara prinsip ditentukan oleh peserta didik sendiri, tapi biasanya didasarkan pada hasil tes yang dilakukan pada akhir sekolah dasar. Sebagai catatan sekolah dasar di Belanda dimulai pada umur 4 tahun (kelas 1 dari 8). Walaupun tampaknya ada diskriminasi, lulusan VMBO, HAVO, dan VWO secara umum semuanya bisa hidup dengan layak di Belanda. Salah satu faktor penting adalah usia mulai bekerja, misalnya VMBO-MBO sekitar 19 tahun, sedangkan HAVO-HBO (bachelor) 21 tahun, dan VWO-WO (master) 22-23 tahun. Juga tiap jenis pendidikan mempunyai lingkup pekerjaan tersendiri, yang tidak bisa dimasuki oleh lulusan pendidikan lain. Misalnya untuk menjadi tukang instalasi listrik di rumah, perusahaan tidak boleh menerima lulusan universitas. Untuk lulusan sekolah menengah di Indonesia, biasanya bisa langsung masuk ke HBO atau WO.

Sistem Pendidikan Tinggi di Belanda

Ada dua tipe pendidikan tinggi di Belanda: universiteit dan hogeschool. Universiteit (WO) memfokuskan pendidikan dalam teori dan riset, sedangkan hogeschool (HBO) berfokus kepada praktikal, mempersiapkan pelajar siap untuk terjun ke dunia kerja.

Universiteit dan hogeschool menyediakan program bachelor dan master. Hingga saat ini, program doktoral hanya dapat diikuti di universiteit.

schema-onderwijs

schema-onderwijs

Gelar /diploma

Di universiteit, program reguler berlangsung selama lima tahun, apabila lulus, kita berhak atas title Doktorandus (Drs) ataupun Ingeneur (Ir). Titel ini setingkat dengan program master di Indonesia. Dengan sistem yang baru, gelar tradisional Belanda tetap ada, tetapi ada tambahan gelar bachelor of science atau master of science.

Di hogeschool, program reguler berlangsung selama empat tahun dan apabila lulus, kita mendapat gelar bachelor of applied science, bachelor of applied arts, master of applied science, atau master of applied arts.

Sumber:

– http://educatie-en-school.infonu.nl/diversen/35968-nederlands-schoolsysteem.html

– http://eduinfo4u.wordpress.com

Sejarah Belanda Selayang Pandang

Belanda yang kita kenal saat ini sebagian besar merupakan hasil karya manusia. Proses “penciptaan” negara Belanda dilakukan melalui:

–      pembangunan bendungan air

–      pengeringan lahan

–      pembangunan tanggul-tanggul.

Kata-kata kunci dalam sejarah modern negara Belanda: “penyesuaian diri dengan air dan perjuangan melawan banjir”

Kawasan yang sekarang disebut Belanda adalah delta sungai di benua Eropa. Posisi geografi tersebut menentukan sejarah Belanda selama berabad-abad. Pada periode 4500 SM, masyarakat agraris mulai berkembang di sini.

Pada masa awal era Kristen, daerah Belanda menjadi salah satu wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Pada abad-abad berikutnya, daerah yang sekarang kita kenal sebagai negara Belanda menjadi bagian dari kekaisaran lain yang lebih besar. Pada 1590 bentuk geografis Belanda yang ada sekarang mulai terpetakan. Namun, wilayah perbatasan berubah-ubah secara dramatis.

Kehidupan beragama:

Kehidupan beragama dan konsep ketuhanan dalam sejarah negara Belanda tidak banyak diketahui. Berkat Tacitus (salah satunya), diperoleh informasi tentang bentuk-bentuk Tuhan yang disembah pada saat itu:

± 600-700 M: Masyarakat di negara-negara dataran rendah mulai memeluk agama Kristen. Pada masa itu, rumah-rumah ibadah pusat-pusat kebudayaan.

Abad ke-16 dan ke-17: perang membela doktrin kebenaran.  Pada masa ini, Kristen masih menjadi bagian penting dalam budaya Belanda.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Perbatasan Romawi; Willibrord; Desiderius Erasmus; Beeldenstorm;  Statenbijbel

Bahasa Belanda:

Bahasa tulis tertua tercatat tercatat sejak tahun 1100 dan ditulis oleh seorang pendeta Flandria. Tulisan dalam “bahasa ibu” baru dikenal pada Abad ke-16. Pada masa ini, kemahiran dan penggunaan bahasa merupakan simbol penting dalam justifikasi status sosial dalam kehidupan bermasyarakat:

Latin: kaum terpelajar

Prancis: kaum elit

Setiap daerah memiliki punya dialek sendiri.  Belanda punya sejarah kesusastraan yang panjang dalam bahasanya sendiri, dan batas-batas bahasa tidak sejajar dengan batas-batas politis.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Hebban olla vogala; Statenbijbel; Max Havelaar; Annie M.G. Schmidt

Negara urban dan jalur perdagangan di mulut sungai Rhine, Schelde dan Maas

± 1100: urbanisasi mulai terjadi di Belanda dan pusat-pusat perdagangan tumbuh

Pusat kegiatan: di selatan (Flandria dan Brabant) -à sekitar tahun 1500 bagian utara (propinsi Holland) menjadi pusat perdagangan yang kuat.

Sejak sekitar tahun 1600, propinsi Holland dan Zeeland menjadi pusat perdagangan yang penting di Eropa à era modern meneruskan fungsi ini.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Liga Hanseatik; Lingkaran Kanal; Pelabuhan Rotterdam

Republik Tujuh Serikat Belanda : dibentuk melalui pemberontakan

Penduduk di kota-kota kecil mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan kaum bangsawan. Pertanda adanya perseteruan kepentingan itu sudah ada sejak awal. Pada akhir Abad Pertengahan, para penguasa Burgundi mencoba memerintah negara-negara di bawah laut di bawah satu administrasi, tetapi kebijakan ini ditentang oleh penduduk maupun kaum bangsawan. Pada Abad ke-16, perlawanan ini bercampur aduk dengan seruan Reformasi. Perang pun pecahlah dan kaum bangsawan menjadi “gueux’ (pengemis). William van Oranje tampil menjadi pemimpin kaum Pemberontak dan karenanya dikenal sebagai “Bapak Bangsa”. Struktur politik yang unik dan dikenal sebagai “Republik” berkembang setelah kematiannya yang tragis tahun 1584. Ciri khas dari Republik adalah  kekuasaan administratif para pemimpin daerah; otoritas pusat yang lemah dan toleransi beragama.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Floris V; Charles V; Beeldenstorm; Willem Oranje; Republik; Hugo Grotius; Spinoza; Lingkaran Kanal

Masa Keemasan

Republik Tujuh Serikat Belanda à superpower (ekonomis,politis dan budaya) di Eropa Abad ke-17. Kaum imigran (Yahudi, Flemings, Huguenots) berperan penting mewujudkan Masa Keemasan tersebut.

Kebudayaan: lukisan Abad ke-17 sangat mengagumkan. Perkapalan, pasar bahan baku, pengelolaan lahan,industri sangat maju.

Secara politis: Republik merupakan bentuk pemerintahan yang unik di benua yang dikuasai oleh monarki.

Tahun 1672 merupakan tahun yang penuh bencana, pertanda meredupnya Masa Keemasan. Setelah itu, Republik tidak menonjol lagi di panggung Eropa. Secara ekonomi dan budaya, Republik juga tidak berperan penting lagi sejak akhir Abad ke-17.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Hugo Grotius; Rembrandt; Michiel de Ruyter; Atlas Major Blaeu; Christiaan Huygens; Spinoza; Villa-villa Mewah

Kewirausahaan dan Kekuasaan Kolonial

Kapal-kapal Belanda mulai berlayar sejak ± tahun 1600. Pada saat itu, Eropa merupakan pusat perdagangan dunia. Kegiatan perdagangan juga dilakukan di Asia, Afrika dan Amerika à  Daerah-daerah koloni tumbuh di Asia dan Amerika.

Abad ke-19, sentralisasi pemerintahan Belanda di daerah koloni telah mengakibatkan perang yang panjang (termasuk peperangan di Indonesia, Suriname, dan Antilian), dan sampai saat ini, Belanda masih menjalin hubungan yang erat dengan Indonesia, Suriname dan Antilian.

Telusuri lebih lanjut mengenai: VOC; Atlas Major Blaeu; Perbudakan; Max Havelaar; Indonesia; Suriname dan Antilian; Keberagaman di Belanda

Negara-bangsa, monarki konstitusional

Paruh kedua Abad 18: pengaruh aliran Pencerahan:

  • tumbuh kebutuhan untuk menambah dan menyebarkan ilmu pengetahuan.
  • gagasan baru tentang penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat banyak didiskusikan.
  • gerakan Patriot yang mencoba membatasi kekuasaan Stadholders (para gubernur)
  • kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk berpendapat (pada awalnya menemukan jalan buntu).

Bangsa Belanda pada era modern dibentuk antara 1795 dan 1848, dan fondasinya telah dibangun pada periode Prancis (1795-1813). Setelah kekalahan Napoleon: Willem I, putra dari Stadholder (gubernur) terakhir menjadi raja dari serikat kerajaan. “Restorasi” Belanda ini tidak berlangsung lama karena Brussels bergabung dengan kaum pemberontak pada tahun 1830.

Pada tahun 1848, fondasi bagi terbentuknya sebuah monarki konstitusional (sebagaimana Belanda saat ini) dikukuhkan dengan dirancangnya Konstitusi oleh Thorbecke. Kerajaan ini kemudian menjadi kekuasaan kecil yang teguh pada sikap netralnya.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Villa-villa mewah; Eise Eisinga; Patriot; Napoleon Bonaparte; Raja William I; Konstitusi

Bangkitnya Masyarakat Modern

Sejak ± tahun 1870: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag dan Utrecht tumbuh menjadi perkotaan. Industrialisasi di kawasan itu terjadi relatif terlambat, padahal pembangunan jalur kereta api sudah dimulai tidak lama sebelumnya. Pembangunan rel kereta api memberikan keuntungan bagi mobilitas warga, salah satu contohnya adalah jarak menjadi semakin kecil: integrasi Belanda dimulai.

Pemerataan (diatur oleh undang-undang) à semakin kuat.

Orang-orang “biasa”: – menuntut diperhitungkan oleh masyarakat dan politik.

– hak pilih pada pria (1917) dan wanita (1919).

 

Para seniman “modern”: – tidak lagi sebagai penopang tradisi artistik yang mapan

– memberikan kesempatan untuk menjadi artistik yg inovator.

Dalam kesusastraan:  tercermin dalam “Gerakan Delapan Puluh”

Dalam seni lukis: aliran Impresionis dan Pasca-Impresionis

Dalam seni terapan: gerakan Art Nouveau dan Modernisme.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Jalur kereta api pertama; Perlawanan terhadap tenaga kerja anak-anak; Vincent van Gogh; Aletta Jacobs; Perang Dunia Pertama; De Stijl

Belanda pada Perang Dunia (PD)

Belanda mencoba menghindari keterlibatan dalam konflik-konflik besar di Eropa. Sikap netral ini berhasil pada PDI, tetapi setelah PDI Belanda ditarik masuk dalam krisis global sehingga mau tidak mau Belanda ikut terseret dalam kolonisasi Nazi Jerman.

Periode paling buruk pada saat pendudukan Jerman adalah pemboman Rotterdam, deportasi dan pembunuhan kaum Yahudi serta kelaparan pada musim dingin.

Di Asia, perang dimulai tahun 1942, tetapi setelah kemerdekaan tahun 1945 sebuah perang baru berkobar dan tidak berakhir hingga tahun 1949. Perang Dunia Kedua dirujuk sebagai “masa lalu yang menolak menjadi sejarah”.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Perang Dunia Pertama; De Stijl; Tahun-tahun Krisis; Perang Dunia Kedua; Anne Frank; Indonesia

Negara Kesejahteraan, demokratisasi dan sekularisasi

Rekonstruksi dimulai segera setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Setelah tahun-tahun yang penuh kerja keras dan kemiskinan berlalu, pada tahun 1950-an merupakan periode saat terjadinya perubahan besar dalam gaya hidup masyarakat Belanda. Negara kesejahteraan dan masyarakat yang makmur melahirkan peningkatan standar kehidupan secara drastis. Selain itu, orang-orang memutuskan hubungan mereka dengan gereja, kelompok sosial politik dan keluarga. Perubahan ini ditandai dengan hubungan yang tidak begitu hirarkis lagi antara orangtua dan anak, perubahan peran pria dan wanita dan semakin terbukanya pandangan tentang seksualitas. Dalam kaitannya dengan politik, hal ini sangat erat berhubungan dengan gerakan yang kuat menuju demokratisasi : otoritas kelompok elit yang mapan mulai dipermasalahkan.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Willem Drees; Banjir Besar; Televisi; Pelabuhan Rotterdam; Annie M.G. Schmidt; Sumber gas alam

Diversifikasi Belanda

Setelah Perang Dunia Kedua, Belanda terlibat dalam perang kolonial melawan gerakan kemerdekaan Indonesia. Selama dan setelah perang itu, banyak orang Belanda, Indo-Eropa dan Maluku pindah ke Belanda.

Gelombang imigran lainnya menyusul : pada tahun 1960-an, para pekerja dari negara-negara Mediterania tiba, pada saat dekolonisasi Suriname (1975) orang-orang juga datang dari bekas negara jajahan tersebut dan kemudian dari Belanda-Antilian, disusul  dari berbagai negara lainnya. Masyarakat Belanda berubah dengan meningkatnya imigrasi. Tak terelakkan lagi muncullah ketegangan antara penduduk yang sudah mapan dan penduduk yang baru.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Indonesia; Suriname dan Antilian; Keberagaman di Belanda

Belanda di Eropa

Setelah Perang Dunia Kedua diikuti oleh Perang Dingin, Belanda menjadi semacam penengah dalam kerjasama Atlantik dan Eropa. Begitu Perang Dingin berakhir, kerjasama Eropa dengan cepat berkembang. Pada tahap ini, Belanda juga aktif dalam berbagai misi perdamaian PBB.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Srebrenica; Eropa

Sumber: beragam baik online maupun offline

Pembagian Wilayah Negara Belgia (bagian 1)

Belgia adalah sebuah negara federal di bagian Barat daratan Eropa yang memiliki keunikan tersendiri dari perspektif situasi kebahasaannya. Pembagian wilayah politik (dalam konteks federalisme bisa disebut sebagai “negara bagian”) di Belgia sangat terkait dengan akar budaya dan bahasa yang digunakan sebagai bahasa utama dan menjadi bahasa resmi pada kawasan tersebut.

Pembagian wilayah dalam negara Belgia dibagi menjadi:

1. Gewest (wilayah ekonomi),

2. Gemeenschap (masyarakat kebudayaan),

3. Pemerintah Federal.

Gewest dan Gemeenschap dapat dibagi lagi menjadi:

1. Gewest:

Vlaams Gewest (wilayah ekonomi Flandria),

– Waals Gewest (wilayah ekonomi Walonia),

–  Brussels Hoofdstedelijk Gewest (wilayah ekonomi kawasan ibu kota Brussel).

 2. Gemeenschap:

Vlaamse Gemeenschap (masyarakat kebudayaan Flandria),

Waalse Gemeenschap (masyarakat kebudayaan Walonia),

Duitstalige Gemeenschap (masyarakat kebudayaan berbahasa jerman).

Masing-masing pembagian wilayah memiliki wewenang tertentu dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah Federal bertanggung jawab terhadap urusan pertahanan dan keamanan nasional, pertahanan dan keamanan internasional (kesatuan Uni Eropa), serta politik luar negeri dan diplomasi. Sementara itu, urusan perekonomian, kesejahteraan, dan peluang kerja merupakan wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh Gewest. Untuk hal-hal yang terkait dengan kebudayaan dan pendidikan – yang di dalamnya termasuk bahasa – merupakan wewenang dan tanggung jawab dari Gemeenschap. Vlaamse Gemeenschap berbahasa Belanda, Waalse Gemeenschap berbahasa Prancis, dan Duitstalige Gemeenschap berbahasa Jerman.

Review buku: “Modern Turkey: People, State and Foreign Policy in a Globalized World”

Judul buku          : Modern Turkey: People, State and Foreign Policy in a Globalized World

Penulis                    : Bill Park

Penerbit/tahun : Routledge/2012

Bagian                      : 4. Turkey’s Europeanization: A journey without an arrival?

 

Turki yang perlahan namun pasti bergerak ke arah kehidupan yang bersifat modern setelah periode Perang Dunia II ternyata tidak diimbangi dengan perkembangan demokratisasi politik. Perkembangan pesat di bidang ekonomi dan teknologi membuat Turki telah memiliki identitas Eropa yang sesungguhnya.

Tidak hanya kealpaan perkembangan demokratisasi politik di dalam negeri, tetapi Turki juga dianggap masih kurang dalam memaknai dan menerapkan pelaksanaan Hak Azasi Manusia yang merupakan salah satu syarat mendasar untuk dapat diterima sebagai negara anggota Uni Eropa. Oleh sebab itulah Turki yang menganggap dirinya sebagai negara yang telah berangsur-angsur ke arah demokrasi yang sesungguhnya ternyata “dikalahkan” oleh negara-negara Eropa lainnya yang bisa dengan cepat menjadi negara anggota Uni Eropa walaupun negara-negara tersebut  telah lebih dari tiga dasawarsa dikungkung oleh ideologi komunis.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Turki membutuhkan waktu dan usaha yang lebih banyak untuk dapat menjadi bagian negara anggota Uni Eropa. Hal ini didasari oleh pendapat bahwa secara historis dan religiusitas Turki memiliki akar yang sangat berbeda dengan negara-negara di daratan Eropa secara keseluruhan. Negara-negara Eropa lainnya memiliki sejarah kebudayaan yang sama-sama berakar dari kekaisaran Romawi, dan setelah itu diikuti oleh campur tangan Gereja yang memilik peran sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial dan masyarakat di negara-negara Eropa. Sementara itu, negara Turki yang berada berdampingan dengan negara-negara di daratan Eropa dengan histori Romawi dan Gereja tidak cukup banyak memiliki pengalaman historis dan religiusitas yang sama.

Tidak hanya di bidang latar belakang historis dan religiusitas, di bidang budaya lainnya – bahasa – Turki juga memiliki perbedaan cukup besar dengan negara-negara lainnya di daratan Eropa. Bahasa yang menjadi bahasa nasional dan bahasa-bahasa yang dijadikan bahasa resmi di dalam Uni Eropa adalah bahasa-bahasa yang berasal dari tiga rumpun bahasa, yaitu rumpun bahasa Germania, rumpun bahasa Romans, dan rumpun bahasa Slavia. Sementara itu Turki memiliki bahasa yang tidak bersumber dari salah satu dari tiga rumpun bahasa di atas.

Jika kita berbicara tentang identitas suatu negara, maka faktor historis, religiusitas, dan bahasa yang merupakan bagian inti dati sebuah kebudayaan, maka secara kasat mata kita bisa meraba bahwa sebenarnya Turki memang tidak memiliki “identitas” Eropa yang sesungguhnya.

Namun demikian, ada hal yang membuat Turki merasa telah memiliki identitas Eropa dan dengan yakin merasa bahwa Turki bisa dengan mudah menjadi negara anggota Uni Eropa adalah ketika pada tahun 1995 Turki menandatangani kesepakatan pelaksanaan Custom Union dengan Uni Eropa. Namun kemudian, kekecewaan muncul dan pertanyaan besar bagi Turki telah menjadi isu dunia ketika negara-negara seperti: Polandia, Republik Ceko, Hungaria, Estonia, Slovenia, dan Cyprus yang sebagian besar merupakan negara-negara dengan akar komunis dengan mudah telah mendahului Turki menjadi negara anggota Uni Eropa. Dari kacamata Turki hal ini menjadi semakin buruk ketika Turki dihadapkan pada fakta bahwa negara-negara yang telah disebutkan di atas tidak satupun yang pernah menjadi bagian dari Custom Union Uni Eropa, sedangkan Turki telah menjadi bagian dari Uni Eropa melalui kesepakatan pada ranah ekonomi itu, tetapi tetap sampai sekarang Turki belum menjadi negara anggota Uni Eropa.

Turki dan Rezim Norma-Norma Internasional

Perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas merupakan nilai yang dijunjung Eropa. Walaupun sudah mengalami perkembangan yang besar dalam penandatanganan dan peratifikasian perjanjian hak azasi manusia internasional sejak pertama kali dicalonkan menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 1999 di Helsinki, Turki dianggap masih belum sepenuhnya menerapkan norma-norma hak azasi manusia dan hak-hak kaum minoritas.

Pada tahun 1995, Dewan Eropa membuka penandatanganan Framework Convention for the Protection of National Minorities, yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas adalah elemen yang tidak terpisahkan dalam perlindungan hak azasi manusia. Pada tahun 1998, konvensi ini mulai berlaku. Konvensi ini mendukung kehidupan kaum minoritas dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya, seperti agama, bahasa, tradisi, dan peninggalan budaya. Turki adalah salah satu dari empat negara anggota Dewan Eropa yang tidak menandatangani maupun meratifikasi konvensi ini.

Selain itu, Turki masih harus meratifikasi semua protokol Mahkamah Eropa untuk Hak Azasi Manusia. Turki juga merupakan satu-satunya anggota Dewan Eropa yang tidak menandatangani Statuta Roma Mahkamah Kriminal Internasional.

Walaupun Turki telah meratifikasi Pakta PBB mengenai Perjanjian Internasional dalam Hak Sipil dan Politik pada tahun 2006, Turki perlu memenuhi syarat dan kualifikasi peserta pakta tersebut. Salah satunya adalah dengan menyelaraskan pakta tersebut dengan Konstitusi Republik Turki dan Pakta Lausanne.

Berdasarkan Pakta Lausanne, hak kaum minoritas non Muslim (Yahudi, Yunani, dan Armenia) dalam hal bahasa, agama, dan hak budaya dilindungi. Namun, pada kenyataannya Turki dianggap belum sepenuhnya melindungi hak mereka. Hak kaum minoritas non Muslim, seperti komunitas Ortodoks Syria tidak termasuk yang dilindungi Pakta Lausanne. Selain itu, hak kaum minoritas Muslim, seperti Orang Kurdi, juga belum dilindungi, baik oleh Konstitusi Republik Turki, maupun Pakta Lausanne.

Laporan Perkembangan Turki Tahun 2009

Laporan Perkembangan Tahunan Turki yang dibuat oleh Komisi Eropa selalu menyatakan bahwa demokrasi di Turki perlu diperbaiki. Setelah sepuluh tahun sejak kuputusan di Helsinki tahun 1999, Laporan Perkembangan Turki secara garis besar menyatakan ada sedikit perkembangan pada pelaksanaan reformasi politik dan konstitusi di Turki. Namun demikian, penerapan demokrasi di Turki masih dianggap perlu diperbaiki.

Beberapa hal yang disorot:

–      Partai Sosial Demokratis pro Kurdi dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Turki.

–      Dewan Pemilihan Tertinggi Turki mengambil keputusan yang krusial pada menit-menit terakhir mengenai persyaratan dokumentasi untuk memilih dan pelarangan penggunaan jilbab bagi pengawas kotak pemilihan suara.

–      Pengadilan militer di Turki juga dianggap perlu dibenahi agar selaras dengan praktek yang berlaku di Uni Eropa.

Pada tahun 2009, Turki hendak menerapkan pengadilan sipil bagi anggota militer pada masa damai. Selanjutnya, kekuasaan pengadilan militer untuk mengadili warga sipil akan dihapuskan. Namun, pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi menolak hak

pengadilan sipil untuk mengadili anggota militer.

–      Pengawasan legislatif terhadap anggaran dan pengeluaran militer perlu diperketat.

–      Turki masih harus meratifikasi semua protokol Mahkamah Eropa untuk Hak Azasi Manusia.

–      Aturan hukum dianggap masih memberatkan wartawan, penulis, penerbit, politikus, dan akademisi.

–      Perlindungan terhadap hak kaum minoritas, seperti kaum non-Muslim, kelompok Alevi, perempuan, dan kaum minoritas lain perlu dsesuaikan dengan standar Uni Eropa.

–      Perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum Kurdi masih perlu ditegakkan.

Apakah Turki sedang Mengalami Eropanisasi?

Sejak awal berdiri, Turki telah mengarahkan dirinya ke Eropa. Seiring waktu, hubungan Turki dan Uni Eropa semakin dekat dan Turki semakin terintegrasi dengan Uni Eropa. Namun demikian, penerapan liberalisme, aturan hukum, toleransi, dan otonomi institusional di Turki masih dianggap belum stabil dan belum konsisten. Proses aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa hingga saat ini belum berhasil mengubah nilai-nilai elit politik di Turki yang masih penuh dengan nuansa otoritarianisme dan nepotisme.

Uni Eropa menjadi pusat yang mendasari reformasi di Turki. Namun, reformasi itu lebih karena adanya dorongan dari pihak eksternal, terutama dari Brussel. Dorongan ‘Eropanisasi’ dari internal Turki sendiri terlihat lemah. Pembuat kebijakan di Turki telah dengan cermat dan teliti memenuhi persyaratan Uni Eropa, namun mereka tetap terkesan tidak sungguh-sungguh dalam  melakukan tindakan dalam memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan oleh Uni Eropa.

Apa Akar Permasalahannya?

Penerapan demokrasi dan adaptasi norma-norma Eropa yang dilakukan Turki selalu mengalami kesulitan karena pihak yang berkuasa mempertahankan sistem pemerintahan yang birokratis, nasionalis, dan cenderung mendukung otoritarianisme. Hal ini berlawanan dengan internasionalisme liberal Eropa.

Demokrasi multi partai yang diterapkan Turki memberikan tempat kepada kelompok religius, provinsi, Kaum Kurdi, dan kelompok-kelompok lain di dunia politik, sosial, dan ekonomi. Evolusi politik Turki perlahan membuat kelompok politik Kemalis menjadi lemah, walaupun partai-partai Islam dan Kaum Kurdi masih mendapatkan kekangan. Melemahnya kelompok politik Kemalis menyebabkan militer turun tangan mempertahankan warisan Kemal. Hal ini justru menggangu perkembangan demokrasi di Turki.

Peran Militer

Dunia politik di Turki telah diwarnai dengan kudeta militer pada tahun 1960, 1971, dan 1980. Militer juga melakukan intervensi secara lebih halus pada tahun 1997. Keterlibatan militer pada ranah politik di Turki tidak memiliki pola yang konsisten, namun selalu didasari untuk mengembalikan Turki ke arah politik Kemal.

Militer Turki menganggap institusi mereka sebagai penjaga negara kesatuan Turki yang sekuler dan penjaga ideologi Kemalis. Namun, secara bersamaan, kelompok militer Turki sendiri menjaga institusinya independen dari gangguan pihak sipil.

Keterlibatan militer pada ranah politik di Turki yang seperti ini dan kondisi politik Turki yang tidak stabil menghambat upaya Eropanisasi Turki.

Budaya Politik

Terlepas dari intervensi militer di dalam ranah politik di Turki, penerapan demokrasi di Turki belum berjalan secara mulus. Baik politikus maupun rakyat memiliki andil dalam kegagalan demokrasi di Turki.

Politikus sering diasosiasikan dengan korupsi dan nepotisme. Pemerintahan yang berkuasa terdiri dari koalisi yang lemah dan masyarakat Turki telah mengalami berbagai kekacauan sejak demokrasi multi partai diterapkan.

Walaupun kaum terpelajar garis kiri semakin mempertanyakan peran militer di Turki sejak kudeta tahun 1971, masyarakat umumnya menganggap militer Turki lebih dapat dipercaya dan lebih bertanggung jawab dibandingkan politikus sipil. Mungkin hanya masyarakat yang beraliran politik sangat kiri, pro Kurdi, dan kelompok Islam yang tidak suka dengan peran militer di dunia politik Turki. Supremasi sipil terhadap militer dalam konsep demokrasi Turki belum dilihat penting oleh kelompok sipil.

Keraguan Eropa

Kapasitas dan keinginan Turki untuk mengadaptasi acquis Uni Eropa bukan satu-satunya syarat aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa. Turki masih harus menyelesaikan masalah yang terkait dengan Republik Turki Siprus Utara. Karakter Islam Turki juga mendapatkan tentangan dari berbagai oposisi Turki di Eropa, terutama oleh kelompok Demokrat Kristen Eropa.

Walaupun keberatan yang dikatakan sebagai penghambat aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa adalah demokrasi yang buruk, catatan pelanggaran hak azasi manusia, dan kondisi ekonomi yang lebih terbelakang. Eropa juga memiliki ketakutan tersendiri terhadap Turki, seperti mengenai imigrasi atau terorisme Islam. Pada dasarnya, negara dan masyarakat Turki tidak dilihat sebagai bagian Eropa.

Kesimpulan dan Opini

Uni Eropa secara resmi menyatakan bahwa demokrasi yang belum stabil, penegakan HAM yang masih setengah-setengah dan penanganan kasus-kasus yang terkait dengan HAM belum tuntas, serta perlindungan dan pengakuan terhadap kaum minoritas yang belum seutuhnya ditegakkan di Turki merupakan hal-hal yang menjadi penghalang bagi Turki untuk dapat bergabung sebagai anggota Uni Eropa. Anehnya, hal-hal yang disebutkan tadi tidak menjadi halangan bagi Turki untuk menjadi bagian dari negara-negara yang tergabung ke dalam Custom Union pada tahun 1995. Kejanggalan semakin terasa ketika negara-negara yang dulunya menganut ideologi komunis – yang sangat bertolak belakang dengan ideologi demokrasi – telah dengan mudah menjadi anggota Uni Eropa walaupun tidak satupun dari negara-negara tersebut yang pernah ikut berpartisipasi di dalam Custom Union sebelumnya.

Menurut saya, hal-hal yang diungkapkan pada paragraf di atas hanyalah basa-basi Uni Eropa untuk menunda status keanggotaan Turki menjadi anggota Uni Eropa, karena isu identitas dan pengalaman historis lah yang menurut saya menjadi sorotan utama Uni Eropa dalam menimbang-nimbang pemberian status keanggotaan kepada Turki.

Seperti yang telah saya jabarkan pada paragraf-paragraf awal dalam tulisan ini, perbedaan historis Turki dengan Eropa menjadikan Turki sebagai kelompok yang tidak mengantongi identitas dan ciri Eropa di mata Uni Eropa. Hal ini menjadi semakin buruk ketika pada masa-masa sekarang ini Islamophobia mulai menjadi momok terbesar di dalam kehidupan masyarakat di Eropa. Terkait dengan isu Islamophobia di Eropa, Turki bukanlah negara yang tidak dirugikan atas fakta ini, karena di mata Eropa pada umumnya Turki sangat identik dengan Islam. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah imigran asal Turki beragama Islam yang telah berketurunan di negara-negara Eropa lainnya dan sebagian dari mereka tercatat sebagai Muslim yang memiliki andil di dalam kekacauan dan kekerasan di dalam kehidupan sosial di Eropa.

Daftar Pustaka

Cini, Michele. (2010). European Union Politics. New York: Oxford University.

Karp, J.A., & Bowler, S. (2006). Broadening and deepening or broadening versus deepening: The question of enlargement and Europe’s “hesitant Europeans”. European Journal of Political Research, 45,

369-390.

Koenig, T., Mihelj, S., Downey, J., & Bek, M. G. (2006). Media framing of the issue of Turkish accession to the EU. A European or national process? Innovation: The European Journal of Social Science Research, 19, 149-169.

Lelieveldt, Herman & Princen, Sebastian. (2011). The Politics of The European Union, 2nd ed. New York: Cambridge University Press.

McLaren, L. (2007). Explaining opposition to Turkish membership of the EU. European Union Politics, 8, 251-278.

Reunifikasi Jerman dan Perluasan Uni Eropa

Jerman menjadi tokoh yang cukup sentral dalam sejarah terbentuknya komunitas yang saat ini dikenal dengan nama Uni Eropa. Kebesaran Jerman secara geografis dan demografis, dan ditambah dengan sejarah masa lalu nya yang menjadikan benua Eropa porak poranda pada masa pasca Perang Dunia II telah menjadi pemicu utama bagi negara-negara pelopor (The Inner Six) dalam membentuk suatu organisasi di bidang ekonomi dan pertambangan yang dimulai pada tahun 1951.

Keruntuhan rezim Komunis yang menyebabkan terjadinya reunifikasi Jerman pada awal tahun 1990-an kembali memberikan ketakutan yang luar biasa bagi setiap negara anggota yang telah tergabung ke dalam Komunitas Eropa, sehingga Komunitas Eropa harus mengadakan I.G.C. yang nantinya menelurkan T.E.U. dan menjadi dasar terbentuknya komunitas besar di benua Eropa yang saat ini dikenal dengan nama Uni Eropa.

Jerman yang semakin kuat secara ekonomi setelah reunifikasi ternyata secara perlahan tapi pasti juga menjadi dominator di dalam Uni Eropa. Hal ini membuat negara-negara anggota harus duduk bersama kembali untuk membicarakan tentang jati diri, masa depan Uni Eropa, dan rencana perluasan wilayahnya. Terkait hal ini, maka pada tahun 2000 Uni Eropa kembali mengadakan I.G.C yang khusus membahas tentang masa depan dan perluasan keanggotaan Uni Eropa. Selain itu, kejelasan mekanisme pengambilan keputusan di dalam Uni Eropa dan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan di dalam Uni Eropa juga menjadi isu yang tidak kalah seru diperdebatkan pada I.G.C. tahun 2000. Pada kesempatan yang sama, Uni Eropa juga membahas tentang upaya pendekatan kepada masyarakat di dalam setiap negara anggota melalui usaha penyederhanaan di dalam traktat-traktat yang sudah disepakati sehingga mudah dipahami tidak hanya oleh para elit politik Uni Eropa, tetapi juga oleh masyarakat di dalam setiap negara anggota.

 

Daftar istilah penting:

T.E.U : Treaty on European Union (ditandatangani pada tahun 1992 di Maastricht)

ð  Traktat ini merupakan hasil kompromi negara-negara anggota EC (European Community) yang menghasilkan keputusan sehingga terbentuklah European Union (EU).

I.G.C : Intergovernmental  Conference

ð  Prosedur formal untuk negosiasi amandemen perjanjian-perjajian yang telah ada di dalam komunitas Uni Eropa.

Berkenalan dengan Uni Eropa/European Union (EU)

Sejarah Awal Terbentuknya Uni Eropa

Hubungan-hubungan masa lalu yang tercipta sebagai hasil dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui perdagangan, perluasan wilayah, dan pengakuan kedaulatan dari wilayah-wilayah di Eropa telah menimbulkan banyak kejadian penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban kehidupan manusia sampai detik ini. Salah satu kejadian penting itu adalah perang.

Kesadaran terhadap dampak negatif dari peperangan di masa lalu –puncaknya pada pasca Perang Dunia II– menyebabkan negara-negara Eropa yang termasuk ke dalam blok Eropa Barat mendirikan Council of Euopre pada tahun 1949. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama masa perang memicu negara-negara Eropa Barat untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan Eropa dari kemungkinan-kemungkinan peperangan di masa yang akan datang.

Apa yang ingin dicapai dari pembentukan komunitas Eropa yang sekarang ini dikenal dengan nama Uni Eropa ini? Pascal Fontaine[1] dalam tulisannya memaparkan beberapa tujuan dari Uni Eropa, yaitu:1. Perdamaian dan stabilitas: trauma pasca Perang Dunia II mendorong negara-negara di Eropa untuk menciptakan perdamaian dan menjaga stabilitas keamanan di kawasan Eropa. 2. Penyatuan Eropa: setelah runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989 diikuti dengan keruntuhan kekaisaran Soviet pada tahun 1991 keinginan negara-negara di Eropa untuk bersatu semakin kuat. 3. Keselamatan dan keamanan: Keamanan internal dan keamanan eksternal merupakan hal yang sangat penting. Perang melawan terorisme dan kejahatan terorganisir menuntut Uni Eropa untuk membangun suatu kerja sama yang kuat. 4. Solidaritas sosial dan ekonomi: Pasar tunggal Eropa menyediakan perusahaan dengan platform penting untuk bersaing secara efektif di pasar dunia. 5. Identitas dan keberagaman: urusan ekonomi, sosial, teknologi, dan politik di dalam Uni Eropa akan lebih mudah dijalankan dibandingkan jika setiap negara harus bertindak secara individual. Ada nilai tambah dalam bertindak bersama-sama dan berbicara dengan suara tunggal sebagai Uni Eropa. 6. Nilai-nilai (Values): Uni Eropa ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam keberadaan Uni Eropa akan berdampak positif terhadap kemanusiaan, karena kebutuhan masyarakat tidak akan dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan kekuatan pasar atau tindakan-tindakan yang sifatnya sepihak. Pada bulan Desember 2000 diproklamirkan The Charter of Fundamental Rights of the European Union di Nice, yang isinya menetapkan semua hak yang diakui oleh negara-negara anggota Uni Eropa dan warganya. Nilai-nilai ini dapat menciptakan perasaan kekerabatan antara orang Eropa. Salah satu contohnya adalah semua negara Uni Eropa telah menghapuskan hukuman mati.

Kejadian-kejadian Penting

Pada tanggal 9 Mei 1950 (Europe Day), Robert Schuman (Menlu Prancis)  mempresentasikan ide-idenya dalam misi penyelamatan Eropa sehingga terbentuk European Coal and Steel Community (ECSC). ECSC akhirnya ditandatangani pada tanggal 18 April 1951 oleh 6 negara pinoir (the Inner Six) yang juga merupakan anggota Council of Europe, yaitu: Prancis, Jerman, Belgia, Belanda, Luxemburg, dan Italia. ECSC resmi dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 1952 s/d tahun 2002.

Tujuan utama pelaksanaan ECSC adalah untuk menghapuskan berbagai macam hambatan dalam proses produksi dan perdagangan pada sektor batu bara dan besi baja[2] , serta menciptakan pasar bersama tempat produk, pekerja, dan modal dari sektor batu bara dan besi baja dari negara-negara anggota bisa bergerak dengan bebas[3].

Pada tanggal 25 Maret 1957, di dalam Traktat Roma, negara-negara yang tergabung ke dalam the Inner Six memutuskan untuk membangun European Economic Community (EEC) dan European Atomic Energy Community (EAEC), lebih dikenal dengan nama Euratom. EEC/Masyarakat Uni Eropa ini bertujuan untuk memperluas kegiatan Common Market. Tujuan dari pelaksanaan Common Market adalah untuk membebaskan secara bertahap proses pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antarnegara anggota sampai tidak ada lagi hambatan sama sekali.

Bergabungnya Inggris, Irlandia, dan Denmark (1973). Sukses besar yang diperoleh oleh EEC dan EAEC (Euratom) menggerakkan Inggris, Denmark, dan Irlandia untuk mencalonkan diri menjadi anggota.

Pembentukan Common Agriculture Policy (CAP) pada 30 Juli 1962. Kebijakan bersama di dalam bidang agrikultur ini dibuat untuk melakukan kontrol terhadap produksi pangan dengan memberikan harga yang sama kepada setiap petani di setiap negara anggota.

Traktat Maastricht (1991). Puncak dari negosisasi ini menelurkan Treaty on European Union (TEU) yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari 1992 di Maastricht. Traktat Maastricht mengubah European Community (EC) menjadi European Union (EU). Traktat ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 1993.

Traktat Maastricht mencakup, memasukkan, dan memodifikasi traktat-traktat yang sudah ada sebelumnya (ECSC, Euratom, dan EEC). Traktat-traktat terdahulu (TEC=Treaties establishing European Community) memiliki ciri integrasi dan kerjasama yang kuat di bidang ekonomi, sedangkan Traktat Maastricht (TEU) menambahkan ciri yang lain, yaitu kerjasama di bidang Kebijakan Politik Internasional dan Keamanan Bersama (CFSP=Common Foreign dan Security Policy) dan Peradilan dan Dalam Negeri (JHA=Justice and Home Affairs).

Bagian terpenting dari isi Traktat Maastricht adalah Tiga Pilar Kerjasama Uni Eropa:

  1. a.      Pilar 1: European Community (Masyarakat Eropa)
    1. Pengaturan pasar internal (termasuk persaingan dan perdagangan luar negeri).
    2. Pengaturan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan, kohesi sosial, dan pertanian.
    3. Pengaturan ekonomi dan moneter .
    4. Pengaturan imigrasi, suaka, dan visa (schengen[4]).
  2. b.      Pilar 2: Common Foreign and Security Policy (CFSP)
    1. Pengaturan tindakan bersama untuk memperkuat keamanan Uni Eropa.
    2. Menjamin perdamaian Internasional.
    3. Mendorong kerja sama internasional.
  3. c.       Pilar 3: Justice and Home Affairs (JHA)
    1. Pengaturan kejahatan lintas batas/negara.
    2. Pengaturan hukum kriminal.
    3. Pengaturan kerjasama antar Kepolisian.

Dalam perkembangan Uni Eropa, Traktat Maastricht inilah yang menjadi dasar utama pedoman hidup negara-negara anggota Uni Eropa, karena dasar hukum dan peraturan-peraturan lainnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat terdapat di dalam 3 pilar ini.

Tahapan Integrasi Ekonomi Uni Eropa

Tidak berbeda dengan negara di belahan dunia lainnya, negara-negara di benua Eropa juga memulai kerjasama ekonomi dengan kerjasama bilateral (Preferential Trade Agreement). Selanjutnya untuk memperluas pasar, maka the Six Inner menyepakati Free Trade Area (FTA). Karena kebutuhan yang semakin besar akhirnya lahirlah Custom Union (CU). CU merupakan usaha untuk penghapusan customs duties, import quotas, dan berbagai hambatan perdagangan lainnya antar sesama negara anggota. Setelah memperoleh penghapusan customs duties, import quotas masih terdapat beberapa hambatan, di antaranya pergerakan manusia dan modal, oleh sebab itu dibuat lagi kesepakatan yang menghasilkan Common Market (CM).CM dibuat untuk membebaskan proses pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antar negara anggota (potensi pekerja) sampai tidak ada lagi hambatan sama sekali.

Keberadaan pasar bersama (CM) berjalan sangat bagus, oleh karena itu negara-negara anggota yang tergabung ke dalam pelaksanaannya merasa perlu untuk membuat pasar tunggal/Single Market (SM). Tujuan dari dibentuknya SM adalah untuk menciptakan suatu standardisasi setiap elemen ekonomi yang terlibat (modal, barang, jasa, dan manusia).

Walaupun modal, barang, jasa, dan manusia sudah bisa terhubung tanpa hambatan di dalam komunitas, tetapi masih ada sedikit kendala di dalam sistem ekonomi negara-negara anggota, yaitu perbedaan nilai mata uang. Oleh sebab itu diciptakanlah suatu rancangan moneter baru untuk negara-negara yang tergabung ke dalam komunitas berupa Monetary Union (MU). Salah satu produk dari MU adalah penyeragaman mata uang ke dalam currency Euro. Jadi bisa disimpulkan bahwa perkembangan kerjasama negara-negara anggota di bidang ekonomi telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan sangat berperan besar dalam proses terbentukan komunitas Uni Eropa.

Dinamika Prancis, Jerman, dan Inggris

Sejak awal pembentukan Komunitas Eropa, Prancis dan Jerman adalah dua negara besar yang mendominasi komunitas, hal ini sudah terlihat di tahun-tahun awal  terbentuknya EEC pada tahun 1950-an. Tidak hanya itu, dua negara tersebut terkesan berlomba-lomba menjadi “dominator” di dalam komunitas. Salah satu hasil dari “perlombaan” di antara dua negara itu adalah lahirnya mata uang tunggal Uni Eropa yang bernama Euro (€). Dua negara ini juga dikenal sebagai “traditional EU leadership couple”.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada bulan Oktober 2001(setelah peristiwa penyerangan WTC pada 11 September) Inggris semakin memperlihatkan dirinya sebagai salah satu negara besar yang juga bisa punya perananan besar di dalam Uni Eropa. Inggris, Prancis, dan Jerman mengadakan pertemuan di Downing Street pada bulan November 2001. Tonny Blair cenderung untuk bekerja sama dalam urusan keamanan dengan dua negara besar tersebut (Prancis dan Jerman). Hal ini juga jauh sebelumnya sudah terlihat dari keengganan Inggris untuk mengaplikasikan kebijakan visa schengen dan menggunakan mata uang Euro.

Menurut saya ini merupakan hal yang kurang menuntungkan untuk negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Kepentingan-kepentingan tiga negara besar ini secara implisit telah “mengkhianati” kerelaan rakyat negara-negara anggota lainnya yang telah merelakan sebagian kedaulatan negaranya untuk berpayung di bawah tatanan hukum dan peraturan Uni Eropa. Tidak menutup kemungkinan, kearoganan dan keegoisan tiga negara besar inilah yang pada waktu ke depan bisa menjadi salah satu pemicu hal-hal yang bisa memecah integrasi dan kekuatan Uni Eropa, dan ini bisa berdampak lebih luas ke dalam kegagalan Uni Eropa menjadi salah satu dominasi besar di kancah dunia secara global.

Eropanisasi dan Identitas Uni Eropa

Uni Eropa bercita-cita menjadi salah satu kekuatan besar di dunia yang dapat menahan laju dominasi Amerika dalam berbagai kancah kehidupan di dunia. Untuk mencapai tujuan itu maka Uni Eropa dituntut untuk melakukan manuver-manuver yang berdampak signifikan di kancah dunia, dengan kata lain Uni Eropa dituntut untuk melakukan eropanisasi untuk menanamkan nilai-nilai dan memasukkan ide-ide pemikiran Uni Eropa ke negara-negara dunia. Maka, Uni Eropa membutuhkan suatu Identitas Uni Eropa untuk melancarkan tujuan itu.

Apa yang menjadi identitas Uni Eropa? Identitas adalah sesuatu yang diraih dari usaha-usaha yang telah dilakukan, bukan suatu hal yang sudah ada dari zaman dahulu yang ingin digali kembali. Sejauh ini, keberhasilan Uni Eropa dalam melakukan eropanisasi ke negara-negara di dunia terdapat di dalam penegakan Hak Azasi Manusia, penegakan demokrasi, dan pelestarian lingkungan. Segala macam aturan hukum yang dirancang di dalam tubuh Uni Eropa sebagian besar mengerucut pada hal penegakan Hak Azasi Manusia dan pelestarian lingkungan, contoh: penghilangan vonis hukuman mati dalam pengadilan dan penerapan aturan tentang ambang batas produksi gas buang karbon dari maskapai penerbangan yang melintasi kawasan Uni Eropa.

“From 1 January 2005 onwards the European Union has launched the first large-scale international emissions trading program. The EU Emissions Trading Scheme (EU-ETS) inprinciple has the opportunity to advance the role of market-based policies in environmental regulation and to form the basis for future European and international climate policies.” (Böhringer, dkk.: ii)

Contoh lain untuk membuktikan pendapat ini adalah tiga syarat utama bagi negara-negara di benua Eropa yang ingin menjadi anggota Uni Eropa, yaitu: 1. Menjunjung tinggi dan menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM), 2. Menjalankan demokrasi dengan benar, dan 3. Tunduk terhadap aturan-aturan yang ada di dalam Uni Eropa.

NB: Sumber referensi tulisan ini sama dengan sumber referensi yang terdapat dalam tulisan Sejarah Terbentuknya Uni Eropa.


[1] Mantan asisten Jean Monnet dan Professor pada Institut d’Études Politiques, Paris.

[2] Batu bara dan besi baja merupakan bahan baku utama pada sektor teknologi dan industri pada saat itu, dan penciptaan mesin-mesin perang (senjata dan segala macam alat pendukung perang) merupakan salah satu kegiatan besar di dalam sektor industri negara-negara besar di Eropa saat itu.

[3] Common Market di bidang batu bara dan besi baja

[4] The Schengen Visa has made traveling between its 25 member countries (22 European Union states and 3 non-EU members) much easier and less bureaucratic. Traveling on a Schengen Visa means that the visa holder can travel to any (or all) member countries using one single visa, thus avoiding the hassle and expense of obtaining individual visas for each country. This is particularly beneficial for persons who wish to visit several European countries on the same trip. The Schengen visa is a “visitor visa”. It is issued to citizens of countries who are required to obtain a visa before entering Europe. (http://www.schengenvisa.cc/)

 

UPDATE:  There is now 26 countries in the Schengen Zone. Visit http://www.schengenvisas.org .

Sejarah Terbentuknya Uni Eropa

I. Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwa negara-negara Barat (Regional Eropa) merupakan wilayah-wilayah tempat munculnya peradaban manusia yang cukup maju. Mulai dari pesisir pantai sampai dengan wilayah daratan Eropa tidak luput dari keterlibatannya dalam perkembangan peradaban kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang.

Hubungan-hubungan masa lalu yang tercipta sebagai hasil dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui perdagangan, perluasan wilayah, dan pengakuan kedaulatan dari wilayah-wilayah sekitar telah menimbulkan banyak kejadian penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban kehidupan manusia sampai detik ini.

Salah satu kejadian penting itu adalah perang. Perang besar yang terjadi di muka bumi ini di saat peradaban kehidupan manusia sudah bisa dibilang maju dan modern telah melibatkan beberapa negara di benua Eropa. Ada beberapa negara yang mencoba untuk menguasai regional Eropa dan ada beberapa negara Eropa yang menjalin koalisi perang dengan negara-negara dari benua lain untuk kepentingan dan keperluan masing-masing.

Kesadaran terhadap dampak negatif dari peperangan di masa lalu –puncaknya pada pasca Perang Dunia II– menyebabkan negara-negara Eropa yang termasuk ke dalam blok Eropa Barat mendirikan Council of Europe  pada tahun 1949. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama masa perang memicu negara-negara Eropa Barat untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan Eropa dari kemungkinan-kemungkinan peperangan di masa yang akan datang.

Dalam perkembangan Uni Eropa, negara-negara pionir –yang juga dikenal dengan sebutan The Inner Six– sering melakukan pertemuan-pertemuan dan menghasilkan banyak traktat-traktat yang menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baru. Perjalanan terbentuknya Uni Eropa dari masa awal mengalami perkembangan yang cukup bagus dan signifikan. Hal yang paling mencolok adalah semakin banyaknya negara-negara Eropa yang bergabung dengan The Inner Six sehingga terbentuklah persatuan yang saat ini dikenal dengan sebutan European Union. Saat ini tercatat ada 27 negara anggota UE dengan 23 bahasa resmi.

II. Permasalahan

Di dalam buku European Union Politics (Cini, 2003) pembahasan tentang sejarah awal terbentuknya Uni Eropa dimulai dan dititikberatkan dari terbentuknya European Community (EC), lalu apa yang menyebabkan begitu pentingnya keberadaan EC dalam terwujudnya suatu komunitas regional besar yang saat ini dikenal dengan nama European Union (EU)? Issue lain yang juga akan dicoba dijawab pada makalah ini adalah tujuan utama pembentukan EU dan apakah tujuan tersebut tercapai mengingat bahwa pembentukan EU diawali dengan pembentukan EC?

III. Latar Belakang Masalah

Relasi antara dibentuknya European Community (EC) dengan tujuan dibentuknya European Union (EU) menjadi sangat penting untuk dicermati, karena mustahil sesuatu yang besar diciptakan tanpa tujuan tertentu yang sangat besar pula. Di sinilah nantinya akan terlihat titik temu alasan utama pentingnya keberadaan EC sebagai titik tolak dasar pembentukan komunitas besar yang saat ini kita kenal dengan nama European Union.

IV. ISI

A.  Apa itu European Community (EC)?

European Community (EC) merupakan institusi internasional negara-negara Eropa yang terdiri dari European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic Community (EEC), dan European Atomic Energy Community (EAEC/Euratom). Negara-negara pionir yang tergabung ke dalam komunitas ini dikenal dengan sebutan The Inner Six (Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Luxemburg, dan Italia).

Tujuan utama dibentuknya Masyarakat Eropa (EC) adalah terciptanya pasar bebas. Ketentuan-ketentuan khusus yang mengaturnya adalah Pasal 3 (a) yang melarang adanya cukai; Pasal 3 (b) mengatur Community’s common commercial policy seperti dalam bidang pertanian, perikanan dan transportasi; pasal 3 (g) secara khusus mewajibkan Community memasyarakatkan bahwa ‘persaingan dijamin dalam internal market tidak terganggu, dan Pasal 3 (h) mengatur tentang perkiraan tingkat kebutuhan hukum dalam pasar bebas.

ECSC adalah komunitas negara-negara The Inner Six yang bertujuan menghapus berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan pasar bersama tempat produk, pekerja, dan modal dari sektor batubara dan baja dari negara-negara anggota bisa bergerak dengan bebas. Pada tanggal 9 Mei 1950 (Europe Day), Robert Schuman (Menlu Prancis)  mempresentasikan ide-idenya dalam misi penyelamatan Eropa sehingga terbentuk European Coal and Steel Community (ECSC). ECSC akhirnya ditandatangani pada Traktat Paris (18 April 1951) oleh 6 negara pinoir yang juga merupakan anggota Council of Europe. ECSC resmi dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 1952 s/d tahun 2002. Dalam pelaksanaannya ECSC terbukti ampuh menjaga “keharmonisan” Eropa selama hampir setengah abad.

Traktat Roma (25 Maret 1957) menghasilkan Euratom dan European Economic Community (EEC). Tujuan dari pembentukan EEC adalah terciptanya Pencapaian Custom Unions, yang merupakan usaha untuk penghapusan customs duties, import quotas, dan berbagai hambatan perdagangan lainnya antar sesama negara anggota. Di sisi lain diberlakukan Common Customs Tarrif (CCT) negara ketiga (negara-negara non-anggota).

Dalam pasar bebas semua sumber ekonomi harus bergerak secara bebas, tidak ada hambatan oleh batasan negara. Oleh karena itu Traktat Roma menetapkan empat kebebasan (four freedoms) yang mengikat yaitu kebebasan perpindahan barang, kebebasan berpindah tempat kerja, kebebasan memilih tempat tinggal dan lalu lintas jasa yang bebas, lalu lintas modal yang bebas[1].

Pasar bebas mempunyai kebijakan yang komersial umum, relasi komersial dengan negara-negara ketiga dan kebijakan persaingan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur pasar bebas yang mempunyai peranan sangat penting bagi Masyarakat Eropa adalah Hukum Persaingan Usaha[2].

Namun demikian, saat ini pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antarnegara anggota masih belum sepenuhnya bebas, artinya pelaksanaan tujuan dari pembentukan EEC masih dalam proses penyempurnaan.

Terkait dengan kebijakan pasar bebas yang diwujudkan dalam EEC, maka tujuan dibentuknya EAEC/Euratom juga terkait dengan pergerakan bebas sumber produksi, distribusi, dan riset yang diperlukan untuk pengembangan sumber energi yang berbasis kepada penguunaan nuklir antar sesama negara anggota. EEC dan EAEC (Euratom) resmi diberlakukan pada tahun 1958.

ESCS, EEC dan Euratom resmi disatukan (merger) menjadi European Community (EC) atau Masyarakat Eropa pada bulan Juli 1967. Kerjasama ekonomi yang disepakati pada EEC segera diterapkan, sehingga pada tahun 1968 semua tarif yang ada antar negara-negara anggota dihilangkan sepenuhnya.

Setelah ketiga organisasi itu disatukan ke dalam EC tidak terlihat adanya progress yang cukup besar, sampai pada saat Georges Pompidou menggantikan posisi De Gaulle sebagai Presiden Perancis. Georges Pompidou melakukan tindakan-tindakan yang lebih terbuka untuk memicu perkembangan EC. Atas saran Pompidou, sebuah pertemuan digelar di Den Haag, Belanda pada tahun 1969. Dalam pertemuan ini dicapai beberapa poin penting, seperti pembentukan sistem financial untuk EC yang didasarkan pada kontribusi tiap negara anggota, pembentukan kebijakan luar negeri, dan negosiasi dengan Inggris, Denmark, Irlandia dan Norwegia untuk bisa bergabung dengan EC.

Sukses besar EC berlanjut sampai pada terbentuknya komunitas regional yang saat ini dikenal dengan nama European Union. Dalam perkembangannya banyak terjadi pertemuan-pertemuan lainnya yang menghasilkan banyak kebijakan-kebijakan baru dan jumlah keanggotaan yang semakin besar jumlahnya.

B. Tujuan Utama Pembentukan Uni Eropa

Pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh The Inner Six menelurkan kebijakan-kebijakan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan dan pengembangan sektor produksi dan distribusi antar sesama negara anggota. Dimulai dari kerja sama antar sesama negara-negara anggota di dalam kerangka pengolahan, sumber perolehan bahan baku produksi, dan distribusi batu bara dan besi baja (ECSC), sampai dengan terbentuknya suatu komunitas yang lebih luas yang disebut European Community (EC) yang merupakan gabungan antara ECSC, EEC, dan Euratom.

Jika diperhatikan dengan sangat teliti, maka terlihat jelas bahwa cikal bakal pondasi utama pembentukan European Union adalah komunitas-komunitas yang mengutamakan urusan-urusan ekonomi. Mulai dari pengaturan perolehan sumber bahan baku produksi, sampai dengan pengaturan di bidang distribusi hasil produksi antar sesama negara-negara anggota, semuanya tercermin di dalam merger ECSC, EEC, dan Euratom menjadi satu komunitas yang disebut Masyarakat Eropa/European Community (EC).

Dalam pelaksanaannya, keberadaan EC mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini menyebabkan munculnya minat dari negara-negara lain di luar negara-negara anggota untuk bergabung dengan komunitas ini. Kesuksesan inilah yang mendorong Inggris, Denmark, Irlandia dan Norwegia untuk mengajukan diri bergabung dengan EC.

Pengajuan diri Inggris untuk menjadi bagian dari EC tidak berjalan mulus. Kejadian-kejadian di masa lalu membuat De Gaulle (Presiden Perancis) tidak meloloskan niat Inggris untuk bergabung dengan EC. Seiring berjalannya waktu, penggantian tampuk kepemimpinan di Perancis akhirnya memberikan angin segar kepada Inggris untuk meloloskan niatnya bergabung dengan EC. Georges Pompidou, di masa kepemimpinan dialah Inggris beserta tiga negara lainnya resmi bergabung dengan EC.

Fakta penolakan De Gaulle terhadap keinginan Inggris untuk bergabung dengan EC yang didasari oleh kejadian-kejadian di masa lalu menimbulkan retorika apakah keberadaan ECSC, EEC, dan Euratom yang akhirnya terintegrasi ke dalam European Community murni berdasarkan kepentingan dan tujuan bersama dalam bidang ekonomi saja? Metamorfosa EC menjadi European Union (EU) terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang, dan di dalamnya terdapat banyak perkembangan kebijakan-kebijakan baru melalui pertemuan-pertemuan antar negara anggota yang jumlahnya senantiasa bertambah.

Penolakan De Gaulle terhadap keinginan Inggris untuk bergabung dengan EC bukan satu-satunya hal yang menimbulkan retorika keberadaan EU – yang diawali oleh EC – didasari atas kepentingan dan tujuan ekonomi saja. Kenyataan lainnya yang cukup mencolok adalah adanya beberapa negara anggota yang menolak menggunakan mata uang Euro dan menolak untuk termasuk ke dalam kebijakan Schengen[3].

 V. Kesimpulan

Di bagian pendahuluan makalah ini telah dijelaskan sedikit tentang sejarah awal terbentuknya EU, yaitu berdasarkan trauma pasca perang antar negara-negara di kawasan Eropa yang puncaknya sangat dirasakan pada pasca Perang Dunia II. Keruntuhan perekonomian negara-negara Eropa pasca Perang Dunia II memang menjadi alasan utama untuk membangun kerja sama antar negara-negara di kawasan Eropa sehingga perekonomian bisa kembali normal.

Namun demikian, mustahil perekonomian akan kembali stabil dan berjalan dengan normal jika penyebab utama malapetaka (perang) tidak diantisipasi. Berbicara soal perang erat kaitannya dengan banyak kepentingan, dan apabila kita membahas tentang kepentingan, maka akan sangat erat kaitannya dengan politik. Jadi tujuan utama pendirian EC yang perlahan tapi pasti bermetamorfosa menjadi apa yang sekarang dikenal dengan nama European Union adalah kepentingan untuk membangun kembali perekonomian negara-negara anggota EC pasca Perang Dunia II dan sekaligus sebagai salah satu upaya untuk meredam rivalitas antar negara-negara di kawasan Eropa sehingga bisa dicegah terjadinya perang yang berdampak sangat buruk terhadap kehidupan, terutama di dalam bidang perekonomian, karena perang menguras banyak biaya dan menghancurkan sumber-sumber produksi basis-basis perekonomian negara-negara yang terkena imbas perang.

Fakta bahwa negara-negara anggota UE saat ini merupakan bagian dari negara-negara maju seantero dunia menunjukkan bahwa apa yang dicita-citakan sejak awal tentang misi “penyelamatan” Eropa cukup berhasil. Namun demikian, latar belakang historis hubungan antar negara-negara besar di benua Eropa juga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan Uni Eropa sejak awal pembentukannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan pada setiap pertemuan yang diadakan juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi dari beberapa negara besar.

Misi utama penyelamatan Eropa melalui sektor kerjasama di bidang ekonomi menuai sukses besar dalam perjalanannya sampai saat ini. Dimulai dari pembentukan ECSC (Traktat Paris, 18 April 1951), dan kemudian diikuti oleh traktat Roma pada tanggal 25 Maret 1957 yang menghasilkan keputusan pembentukan EEC dan Euratom yang kemudian diintegrasikan dengan ECSC dalam suatu wadah yang disebut European Community (EC) adalah cikal bakal kesuksekan negara-negara anggota dalam pencapaian misi “penyelamatan” Eropa.

Seiring perkembangannya, kerjasama-kerjasama di bidang ekonomi juga mendorong lahirnya kerjasama-kerjasama lain yang merupakan usaha pemenuhan kepentingan politik negara-negara anggota (terutama kepentingan politik negara-negara besar seperti Perancis, Jerman, dan Inggirs).

Jadi, secara garis besar bisa ditarik dua tujuan utama pembentukan Uni Eropa, yaitu:

  1. Terjalinnya kerjasama antar negara anggota di bidang ekonomi yang fokus terhadap keleluasaan gerak sumber produksi, manusia (sumber tenaga kerja), hasil produksi, dan jasa tanpa tarif atau minimal dengan kesegaraman tarif yang rendah.
  2. Terjalinnya kerjasama antar negara anggota di bidang politik sehingga dapat mengurangi dampak negatif rivalitas antar negara-negara besar di Eropa yang telah ada sejak dahulu kala sehingga bisa menghindari terjadinya perang kembali di Eropa, serta menjadi salah satu kekuatan di dunia dalam regulasi internasional.

Dari kesimpulan ini dapat dilihat alasan pentingnya keberadan EC dalam sejarah terbentuknya Uni Eropa. Dengan demikian terjawab pula pertanyaan ketiga dari makalah ini, yaitu pembentukan Uni Eropa yang diawali dengan pembentukan EC (kerjasama dalam bidang ekonomi) telah mencapai tujuan utamanya, yaitu kerjasama dalam bidang ekonomi, dan berkembang ke dalam kerjasama politik yang dapat “mengontrol” rivalitas antar negara-negara besar di Eropa sehingga perang bisa dihindari, serta perlahan tapi pasti menjadi salah satu bagian utama dalam percaturan politik dunia internasional.

Daftar Pustaka

Andi Fahmi Lubis, dkk. (2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Jakarta: GTZ

Cini, Michele. (2003). European Union Politics. New York: Oxford University

Craig, P., & de Burca, G. (2003). EU Law, Text, Cases and Material . New York: Oxford University Press.

Foster, Nigel. (2010). EU Law Directions, 2nd ed. New York: Oxford University Press.

Korah, V. (2000). An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice . Portland Oregon: Oxford.

http://www.schengenvisa.cc/



[1] Valentine Korah, An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice, 7th ed. (Portland, Oregon: Oxford, 2000)

[2] Paul Craig and Grainne de Burca, EU Law, Text, Cases and Material, 3rd ed. (New York: Oxford University

Press, 2003) p.936.

[3] The Schengen Visa has made traveling between its 25 member countries (22 European Union states and 3 non-EU members) much easier and less bureaucratic. Traveling on a Schengen Visa means that the visa holder can travel to any (or all) member countries using one single visa, thus avoiding the hassle and expense of obtaining individual visas for each country. This is particularly beneficial for persons who wish to visit several European countries on the same trip. The Schengen visa is a “visitor visa”. It is issued to citizens of countries who are required to obtain a visa before entering Europe. (http://www.schengenvisa.cc/)

Lembaga-lembaga di Tubuh Uni Eropa

Keberadaaan Institusi-institusi di dalam Uni Eropa diatur dalam pasal 13 Traktat EU (sebelumnya berada di dalam pasal 7 EC). Di dalam pasal 13 disebutkan bahwa institusi-institusi Uni Eropa terdiri dari: the European Parliament, the European Council, the Council (of Ministers), the Comission, the Court of Justice, the European Central Bank, dan the Court of Auditors[1].

Dalam pelaksanaan prosedur legislatif Uni Eropa terdapat tiga institusi yang mempunyai peran sangat besar, yaitu: the Comission, the Council of Ministers, dan the European Parliament. The Comission memenuhi fungsi sebagai executive administration Uni Eropa dan memiliki hak untuk mengajukan draft perundang-undangan. The Comission memiliki limited powers of decision untuk menetapkan perundang-undangan di bawah wewenang yang diberikan oleh the Council of Ministers. The Comission juga disebut sebagai “the guardian or watchdog of the Community”, karena the Comission juga bertugas untuk memonitor pelaksanaan perundang-undangan yang telah ada dan bisa melaporkan negara anggota (Pasal 258 TFEU), institusi yang lain (Pasal 263 TFEU), dan perorangan apabila terindikasi tidak menaati perundang-undangan yang telah ada. Selanjutnya, the Comission juga bertanggung jawab dalam representasi external dan negosiasi international agreements (Pasal 207 dan 218 TFEU). Oleh sebab itu the Comission juga dianggap sebagai institusi di dalam Uni Eropa yang paling federal.

The Council of Ministers diketuai oleh seorang Presidensi dari setiap negara anggota yang berganti-ganti setiap enam bulan sekali[2] dan anggotanya terdiri dari perwakilan menteri-menteri dari setiap negara anggota tergantung pada subjek yang sedang didiskusikan. The Council of Ministers memiliki prosedur voting di dalam prosedur-prosedur legislatif, dan yang paling penting adalah fakta bahwa the Council of Ministers memiliki general law-making powers. Setelah banyak perubahan, terutama setelah Traktat Lisbon the Council of Ministers tetap menjadi organ legislatif yang utama di dalam Uni Eropa. Tugas-tugas dan fungsi-fungsinya tertuang di dalam Pasal 16 TEU dan Pasal 237-243 TFEU. Di dalam Pasal 16(1) TEU dijelaskan bahwa the Council memiliki persyaratan umum untuk mengemban tugas policy-making and coordinating functions bersama-sama dengan the European Parliament. Dalam Traktat Lisbon juga dijelaskan bahwa the Council mempunyai hak dalam memberikan keputusan terhadap pelaksanaan sebagian besar prosedur legislatif. The Council bersama-sama dengan the European Parliament bertanggung jawab terhadap pelaksanaan budget tahunan.

Setara dengan the Council of Ministers, the Parliament adalah cabang legislatif dari institusi yang ada di dalam Uni Eropa. Yang membedakannya dengan the Councils adalah bahwa the Parliament tidak memiliki general law-making powers, tetapi the Parliament bisa melakukan amandemen dan memveto macam-macam kebijakan. The Parliament juga diberikan hak untuk melakukan kontrol terhadap anggaran Uni Eropa (Budgetary powers)[3]. Anggota the Parliament dipilih secara langsung oleh warga negara Uni Eropa setiap lima tahun berdasarkan perwakilan proporsional suara yang dikumpulkan oleh masing-masing partai politik.

Dari uraian singkat di atas didapatkan fakta bahwa secara hierarki the Council of Ministers dan the Parliament menempati posisi sejajar. The Comission mengajukan draft perundang-undangan, yang nantinya akan dibahas oleh the Council of Ministers dan the Parliament. The Council of Ministers akan “mengetuk palu” apa perundang-undangan itu telah disepakati secara bersama. Namun the Parliament bisa memveto kebijakan tersebut. Dalam pelaksanaannya, the Comission melakukan pengawasan dan apabila terjadi penyelewengan dalam penerapan undang-undang yang telah ada, maka the Comission bisa melaporkan negara, institusi, dan perorangan ke , the Court of Justice.

Namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka institusi yang paling “berkuasa” sebenarnya adalah the Council of Ministers, karena institusi ini memiliki general law-making powers. Namun, dalam pelaksanaannya nanti akan diawasi bersama-sama oleh the Parliament dan the Comission. The Parliament  bisa melakukan amandemen terhadap undang-undang yang telah disahkan, dan the Comission bisa melaporkan pihak-pihak yang melanggar ke the Court of Justice.

Nigel Foster dalam bukunya mengatakan “the institutional framework of the EU, like the EU itself is not a static entity but a changing one” (Foster: EU Law Directions, 67). Hal ini disebabkan karena setiap isu yang muncul akan dibicarakan di dalam institusi, apabila terjadi benturan atau jalan buntu dalam pembahasannya, maka nantinya akan ada lagi Traktat-traktat baru yang mengatur tentang perubahan, penambahan, atau mungkin pengurangan di dalam setiap tugas dan fungsi dari masing-masing institusi, tidak menutup kemungkinan perubahan, penambahan, atau mungkin pengurangan juga diberikan terhadap institusi itu sendiri.

Institusi yang bisa dianggap sebagai motor utama dari integrasi dalam EU adalah the Comission. Fungsi dan tugas the Comission yang bisa mengajukan draft perundang-undangan, mempunyai kekuatan untuk melaporkan pihak-pihak yang “melenceng” ke the Court of Justice, tanggung jawab dalam representasi external dan negosiasi international agreements menjadikannya sebuah institusi tempat menampung semua aspirasi dari setiap negara anggota dan institusi lainnya. Dari sisi ini bisa dilihat peran the Comission dalam proses integrasi baik dalam hubungan antar institusi, maupun hubungan antar negara anggota di dalam Uni Eropa.

Keberadaan institusi-institusi di dalam tubuh Uni Eropa yang merupakan payung dari 27 negara anggota memerlukan satu atau mungkin beberapa faktor yang mendorong dan mengharuskan terjalinnya kerja sama yang baik antar institusi dan antar setiap negara anggota. Namun demikian, muncul pertanyaan apakah relasi antar institusi-institusi di dalam tubuh Uni Eropa terjalin berdasarkan kerja sama atau berdasarkan konflik?

Menurut saya kedua faktor tersebut mempunyai peran yang besar dalam proses integrasi di dalam tubuh Uni Eropa, terutama dalam hubungan antar institusi-institusinya. Atas dasar konflik, setiap institusi dituntut untuk memiliki hubungan yang “harmonis” dengan institusi-institusi lain yang berada di dalam Uni Eropa, karena konflik-konflik yang ada merupakan motivasi utama bagi Uni Eropa untuk menjalin hubungan yang “harmonis” sehingga tujuan utama yang berupa pencapaian perdamaian di Eropa dapat terwujud.

Jadi, dari konflik yang ada Uni Eropa melalui institusi-institusinya tertantang untuk menjalin kerja sama yang lebih “harmonis” sehingga tujuan-tujuan utama dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud. Maka keberadaan konflik sejalan dengan tuntutan kerja sama yang baik supaya apa yang menjadi cita-cita dasar dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud.

Jika dilihat dari sejarah awal pembentukan Uni Eropa, maka musuh utama Uni Eropa adalah perang dan kemelaratan ekonomi yang merupakan salah satu dampak dari peperangan, dan perang hanya akan terjadi jika ada konflik antar lebih dari satu pihak yang berkepentingan. Maka, bisa disimpulkan keberadaan konflik baik antar negara anggota maupun antar institusi di dalam tubuh Uni Eropa merupakan motivasi utama dari pencapaian kerja sama yang baik sehingga tujuan utama dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud.

Daftar Pustaka

Cini, Michele. (2003). European Union Politics. New York: Oxford University

Foster, Nigel. (2010). EU Law Directions, 2nd ed. New York: Oxford University Press.

Pinder, John & Usherwood, Simon. (2007). The European Union A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.



[1] Nigel Foster, EU Law Directions, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 2010) p. 41

[2] Terdapat dalam Pasal 16(9) TEU dan 236 TFEU

[3] Terdapat dalam Pasal 314 TFEU

 

Tulisan ini merupakan tugas pada Mata Kuliah Uni Eropa Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan ke dosen terkait pada tanggal 17 Maret 2012. Dosen: Made Nadera, M.Si.