Kesan Ciri Aliran Ekspresionisme di dalam Novel The Methamorphosis Karya: Franz Kafka

Secara umum, ekspresionisme dapat dikenal sebagai suatu aliran di dalam bidang seni yang mengumbar emosi yang mendalam. Hal ini bisa bermakna bahwa setiap karya dalam aliran ekspresionisme merupakan wujud pemberontakan yang bergejolak di dalam bathin si seniman yang dalam kehidupan nyata dia tidak bisa melakukannya. Jadi, satu-satu nya cara dan media yang bisa menjadi wadah penyalur keinginan yang terpendam dan hampir tidak bisa terwujud itu adalah di dalam karya yang diciptakan oleh seniman itu.

Franz Kafka, seorang penulis ekspresionis Jerman, dalam karyanya yang berjudul The Metamorphosis menunjukkan dengan jelas bagaimana karya tulis (dalam hal ini berupa novel) di dalam aliran ekspresionisme.

Dalam novel The Metamorphosis terdapat empat tokoh utama: 1. Gregor Samsa, seorang pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga yang secara misterius berubah menjadi kecoa pada suatu hari, 2. Grete Samsa, adik perempuan Gregor Samsa yang merawat dan memberi makan Gregor Samsa ketika dia sudah berubah menjadi kecoa, 3. Herr Samsa, Ayah Gregor Samsa yang kembali bekerja ketika Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa, 4. Frau Samsa, Ibu Gregor Samsa yang juga kembali bekerja ketika Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa.

Tokoh Gregor Samsa di dalam novel ini memberikan kesan kepada saya bahwa dia adalah orang yang sangat banyak terbebani. Dia adalah orang yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga walaupun tidak sepenuhnya dia menginginkan pekerjaan yang banyak menyita waktunya ini. Namun demikian, dia tidak bisa lari dari kenyataan untuk tidak bekerja karena tanggung jawab kesejahteraan keluarganya bergantung di pundaknya seorang. Sampai pada suatu hari dia mengalami dirinya berubah menjadi seekor kecoa saat dia terbangun dari tidur dan mimpi buruknya, tetapi pemikiran, perasaan, dan jiwanya tetap seperti manusia. Dia tetap terganggu dengan pikiran kewajiban kerja, kemungkinan atasan akan memarahinya jika dia terlambat bekerja, kemungkinan dia akan menjadi sangat salah jika dia tidak serius di dalam bekerja sehingga tidak menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga, dan sebagainya.

Kejadian dari dia terbangun tidurnya dan mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa dengan segala macam perasaan dan pikiran-pikiran manusia diceritakan oleh Kafka di dalam novel ini lebih dari delapan halaman. Cerita-cerita pada halaman pertama ini dipenuhi dengan detil kegelisahan Gregor Samsa yang mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa, dan gelisah karena khawatir tidak bisa melakukan pekerjaannya sebagai seorang travelling salesman. Di samping itu, dia juga gelisah seandainya hari di saat dia bangun dan telah berubah menjadi kecoa itu dia terlambat sampai di tempat kerja, karena hal ini bisa meninggalkan preseden buruk di mata atasannya.

Kenyataan bahwa Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa menjadikan banyak perubahan di dalam kehidupan keluarga Samsa. Sebelum tubuh Gregor Samsa berubah menjadi seekor kecoa, dia adalah satu-satunya orang di dalam keluarga Samsa yang bekerja dan menghidupi keluarga Samsa. Namun setelah kematiannya karena telah dianggap oleh keluarga dan orang-orang sebagai makhluk jahat yang telah membunuh Gregor Samsa keadaan menjadi berubah “membaik” di dalam keluarga Samsa. Hal ini disebabkan karena Ayah dan Ibu Gregor Samsa kembali bekerja dan menghasilkan uang.

Dari sedikit ringkasan yang sangat singkat dari cerita dalam novel ini sangat jelas terlihat ciri aliran ekspresionisme di dalamnya. Ungkapan emosi mendalam dari Gregor Samsa sebagai tokoh utama di dalam novel ini sangat terlihat.

  1. Gregor Samsa berubah menjadi serangga buruk, menjijikkan, menakutkan, dan tidak diinginkan kehadirannya di rumah keluarga Samsa, padahal sebelumnya dia adalah orang yang memegang peranan sangat penting di dalam keluarga karena dia adalah tulang punggung keluarga. Hal ini saya dapat pahami sebagai pemberontakan dari diri tokoh Gregor Samsa terhadap kemuakannya terhadap rutinitas bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi banyak orang dan terpaksa mengabaikan perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan pribadinya sebagai seorang manusia.
  2. Pemilihan sosok binatang serangga pada metamorfosis tokoh Gregor Samsa adalah suatu simbol kerinduan terhadap kebebasan yang mutlak dan terbebas dari segala macam keharusan di dalam kehidupan sosial. Binatang adalah makhluk bebas yang hanya berjuang mencari makan dan kesenangan untuk dirinya sendiri ketika binatang tersebut telah mencapai usia dewasa, sedangkan Gregor Samsa adalah seorang lelaki dewasa yang direnggut kebebasannya karena tanggung jawab terhadap keluarga yang mengharuskannya bekerja keras, mengabaikan segala keinginan dan kesenangan pribadinya.
  3. Pemilihan profesi tokoh Gregor Samsa sebagai seorang travelling salesman yang mengharuskannya setiap saat bepergian dan bertemu dengan banyak orang dengan tetap memberikan ekspresi muka yang ceria dan ramah juga merupakan simbol yang diberikan oleh Kafka dalam novel ini untuk menunjukkan bagian emosi dan keinginan dari tokoh Gregor Samsa yang terpendam di dalam novel ini.
  4. Terdapat kontradiksi antara perubahan bentuk tubuh dengan emosi dan pikiran-pikiran pada tokoh Gregor Samsa. Walaupun tubuhnya telah berubah menjadi tubuh seekor serangga, namun emosi dan pikiran-pikirannya tetap merupakan emosi dan pikiran-pikiran seorang manusia. Dia tetap memikirkan pekerjaannya, tetap memiliki keengganan jika ayahnya harus menegurnya karena ayahnya telah merasa terintimidasi oleh atasannya karena dia terlambat atau mungkin tidak bisa laig bekerja.
  5. Tidak terasa kesa melankolis pada tokoh Gregor Samsa saat mengetahui bahwa tubuhnya telah berubah menjadi tubuh seekor serangga. Hal ini sangat menunjukkan bahwa sebenarnya bisa saja fakta bahwa perubahan tubuh Gregor Samsa menjadi tubuh seekor kecoa merupakan keinginan terdalam dari dirinya untuk mendapatkan kebebasan mutlak di dalam hidupnya sebagai seorang lelaki dewasa, dan dengan demikian dia terbebas dari keharusan untuk bekerja keras setiap hari dan mengabaikan segala keinginan dan kesenangan pribadinya. Hahhh

Dari lima poin di atas saya mendapatkan kesan bahwa novel The Metamorphosis karya Franz Kafka ini adalah sebuah karya tulis yang mengusung aliran ekspresionisme. Terdapat kontradiktif di dalam semua poin yang saya jadikan sebagai kesan ekspresionis di dalam novel ini, dan menurut saya hal-hal yang kontradiktif itu merupakan cara Kafka untuk menunjukkan perbedaan antara hal-hal yang terpaksa dilakukan oleh Gregor Samsa di dalam kehidupan nyata dengan hal-hal yang sangat diinginkan Gregor Samsa jauh di dalam lubuk hatinya.

Novel ini dengan detil menggambarkan setiap pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan terdalam dari tokoh Gregor Samsa, dan dengan detil juga memberikan kontradiksi antara hal-hal yang diinginkan dengan hal-hal yang terpaksa dilakukan dengan mengorbankan kebutuhan dan keinginan pribadi dari tokoh Gregor Samsa. Maka dari itu, semua penjelasan yang telah saya uraikan di atas merupakan kesan ciri ekspresionis di dalam karya tulis yang ditulis oleh Ranz Kafka.

Das Eigentum von Volker Braun (1990)

Das Eigentum yang ditulis pada tahun 1990 ini sangat erat kaitannya dengan reunifikasi Jerman, atau boleh dikatakan memang ditulis oleh Volker Braun sebagai bentuk kritik pada masa itu terhadap pemerintah DDR, BRD, maupun masyarakat Jerman Barat itu sendiri. Mengapa saya katakan demikian? Dalam majalah der Spiegel[1], 31.03.2000, dikatakan bahwa karya-karya Braun pada masa pemerintahan DDR berisi tentang keluhan-keluhan masyarakat terhadap pemerintahan DDR, namun tanpa meragukan dasar ideologi sosialis mereka. Braun sendiri memang besar di Jerman Timur, dan oleh karena itu ideologi sosialis adalah “makanan sehari-hari” yang ia dapatkan dari mulai sekolah, di tempat kerja, dan selama ia hidup dalam pemerintahan DDR itu. Atas dasar ini, yang Braun kritik dari pemerintahan DDR adalah bukan kekuatan perlawanannya terhadap paham demokrasi dan kebebasan di Barat, melainkan ketidakberhasilannya dalam melaksanakan dan mempertahankan nilai yang dijunjung tinggi, yakni persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakatnya[2].

Baris pertama mengisahkan tentang perpindahan mein Land ke negeri Barat yang dapat kita lihat sebagai simbol reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Namun, ada hal mencolok dan menarik dalam kalimat ini, yaitu bahwa reunifikasi yang terjadi nampak tidak seperti dua negara yang bersatu atau melebur menjadi satu, melainkan lebih terlihat bahwa Jerman Timur “harus menyesuaikan dirinya” dengan Jerman Barat. [“Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen”][3]. Hal ini kemudian dikuatkan lagi oleh baris kedua yang bahkan terlihat lebih kuat dan ditekankan karena seluruh kata-katanya ditulis dengan huruf kapital. [“KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN”][4]. Hal ini terdengar sangat ironi dan tentunya bertentangan dengan apa yang telah ditulis oleh Georg Büchner lebih dulu dalam Hessischer Landbote. Namun Braun ingin menggambarkan bagaimana pemerintah dan masyarakat Jerman Barat pada masa itu melihat dan memperlakukan masyarakat Jerman Timur. Jerman Barat merupakan masyarakat yang secara sosial dan budaya didominasi oleh kelas menengah, sementara Jerman Timur merupakan masyarakat yang telah dibentuk menjadi kaum proletar (verproletarisierte Gesellschaft)[5]. Oleh karena itu, dapat kita lihat bagaimana dua kelompok masyarakat yang sangat berbeda dan telah terpisah selama 45 tahun tiba-tiba dipersatukan. Hal ini ditinjau lebih lanjut oleh baris keempat [“Es wirft sich weg und seine magre Zierde”][6]. Es yang melambangkan mein Land dikisahkan telah membuang dirinya dan perhiasan-perhiasan sederhananya. Sebuah contoh dapat kita ambil untuk melambangkan “perhiasan sederhana” yang dimiliki oleh Jerman Timur, yakni trabant. Jika kita sandingkan trabant dengan mobil-mobil mewah yang dihasilkan Jerman Barat, tentunya ia nampak terlampau sederhana. Hal ini kembali mendukung baris kedua tadi, yaitu bahwa masyarakat Jerman Timur (den Hütten) terlihat menjadi bahan olok-olokan pihak yang lebih berkuasa (den Palästen atau Jerman Barat).

Pada baris kelima dikisahkan bagaimana musim dingin diikuti oleh musim panas yang penuh hasrat. Hal ini sangat cocok dengan keadaan masyarakat Jerman Timur yang hasratnya telah dibekukan selama masa pemerintahan DDR dengan terbatasnya barang konsumsi dan penerapan hidup sederhana. Mereka kemudian bisa memuaskan hasratnya lagi ketika telah bersatu dengan Jerman Barat, di mana tersedia semua jenis pemuas hasrat itu.

Kemudian baris 8 dan 9 mengisahkan tentang harapan Ich yang belum sempat tercapai, namun telah direnggut. [“Was ich niemals besaß wird mir entrissen.” , “Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.”][7]. Hal ini dapat saya kaitkan dengan hal yang telah saya tulis pada paragraf pertama, yaitu bahwa Braun mengkritik pemerintah DDR dalam hal ketidakberhasilannya menerapkan nilai yang mereka junjung tinggi, yaitu persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakat. Kenyataan bahwa Braun juga sebenarnya tidak meragukan paham sosialisme itu sendiri mengisyaratkan bahwa Braun tidak hendak menilai paham mana yang benar atau salah, namun yang ia harapkan adalah adanya penerapan sebuah ideologi sesuai dengan nilai-nilai yang memang dijunjung tinggi. Ketika penerapan itu tidak sesuai dengan nilai yang dipercaya oleh sebuah ideologi, maka hal itu patut disalahkan. Ini mungkin yang merupakan harapan Ich yang belum tercapai, namun telah direnggut, karena Ich tidak mungkin bisa mewujudkan harapannya itu sementara negerinya sendiri telah “runtuh”.

Kemudian baris 10 mengisyaratkan harapan masyarakat Jerman, khususnya Jerman Timur, yang dijadikan sebagai “umpan” ?dalam hal ini menurut saya oleh Amerika Serikat? dengan adanya penyatuan Jerman [“Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle”][8]. Amerika Serikat dengan ideologi Baratnya menjanjikan sebuah kebebasan dan pemerintahan yang demokratis. Di saat masyarakat Jerman Timur yang pada pemerintahan DDR dikukung dan dibatasi kebebasannya, tentunya mereka menjadi haus akan kebebasan dan ingin “lari” ke Barat. Hal ini jika dilihat dari sisi Jerman Timur merupakan sebuah harapan, sementara di sisi Jerman Barat menjadi layaknya sebuah umpan.

Baris penutup, yakni baris 11 dan 12, merupakan sindiran terhadap Jerman Barat. [“Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.” , “Wann sag ich wieder mein und meine alle.”][9]. Pada baris ke-11, Braun mengatakan bahwa sekarang kepunyaanku telah kalian genggam di cakar kalian. Kata “cakar” yang dipilih oleh Braun memiliki kekuatan makna tersendiri yang dapat diartikan dengan kekuasaan atau genggaman yang kuat dan seakan-akan “memenjarai”. Hal ini dapat dihubungkan dengan pemerintah Jerman Barat yang lebih berkuasa atas masyarakat Jerman Timur dan ingin membuat mereka menjadi “ke-barat-an”. Kemudian pada baris ke-12, Braun ingin memberikan umpan dengan mempertanyakan konsep kepemilikan itu sendiri, yaitu kapankah ia bisa mengatakan milikku dan milik kita bersama.

Berdasarkan pemaparan di atas, Braun memang berhak dan pantas mendapatkan Büchnerpreis (tahun 2000) karena selain karya-karyanya yang mengandung kritik dan cenderung berpihak ke pihak yang “dijajah” atau “menderita”, ia tetap mampu melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Selain itu, ia juga mempunyai kekuatan dalam menulis karya-karyanya, yaitu dengan menggunakan pilihan kata (diksi) yang tepat, yakni yang secara estetika puisi dapat terdengar indah (misalnya dengan penyesuaian bunyi rima), namun makna kata tersebut mampu “menusuk” atau “menampar” pembacanya.

Lampiran: Teks Das Eigentum

Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen.

KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN.

Ich selber habe ihm den Tritt versetzt.

Es wirft sich weg und seine magre Zierde.

Dem Winter folgt der Sommer der Begierde.

Und ich kann bleiben wo der Pfeffer wächst.

Und unverständlich wird mein ganzer Text.

Was ich niemals besaß wird mir entrissen.

Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.

Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle.

Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.

Wann sag ich wieder mein und meine alle.

In: Die Zickzackbrücke. Ein Abrißkalender, Halle 1992, S. 84.



[1] http://www.spiegel.de/kultur/literatur/0,1518,71199,00.html, diunduh tanggal 2 Juni 2011 pukul 18:35)

[3] Terjemahan: Here I am still: my land goes to the west

[4] Terjemahan: Fight against the folks (hut), free the government (palace)

[6] Terjemahan: It tosses itself and its meager adornments

[7] Terjemahan: What I never had will be wrested away from me ; What I didn’t experience, I will eternally miss

[8] Terjemahan: The hope lies on the road just like a decoy

[9] Terjemahan: My belongings, now you have them in your claw ; When will I ever say “my” and “my all” again

Ditulis oleh: Nathania Valentine

GRIPS Theater

GRIPS Theater diprakarsai oleh gerakan pelajar di tahun 60-an yang ingin membawa pembaharuan di Jerman, yakni menciptakan teater yang realistis dan mudah dimengerti oleh anak-anak. Kata “GRIPS” sendiri berasal dari bahasa slang di Jerman Utara yang berarti “daya tangkap yang cepat”. GRIPS juga dapat berarti “berpikir dengan cara yang menyenangkan”.

Ciri khas GRIPS Theater adalah bahwa setiap dramanya memiliki sebuah amanat/pesan untuk penontonnya tanpa bermaksud untuk “menggurui”. Amanat/pesannya tidak bersifat pedagogi dan tidak juga propaganda. Tidak seperti teater-teater pada umumnya, dalam menonton GRIPS Theater, penonton tidak bertepuk tangan, melainkan bersorak-sorai, menangis, tertawa, berteriak, bersiul, dan ikut bernyanyi bersama.

GRIPS Theater berusaha untuk mengenali masalah, kebutuhan, dan kerinduan rakyatnya. Hal ini diwujudkan melalui dramanya yang bermaksud untuk membantu penonton mengembangkan fantasi sosial mereka, terutama dalam mengenali konflik-konflik yang terjadi sehari-hari, agar mereka mampu mengubah lingkungannya menjadi lebih baik. Di samping itu, tak dapat dilupakan bahwa tujuan utama GRIPS Theater adalah untuk memfasilitasi anak-anak dan pemuda dalam mengembangkan kreativitasnya, khususnya di bidang teater, dan tentunya memberikan pengalaman kepada mereka di bidang teater.

Saat ini, GRIPS Theater tersebar luas di dunia dan disebut sebagai teater anak dan pemuda. Namun pertunjukkan-pertunjukkan GRIPS Theater tidak hanya disajikan untuk anak-anak dan remaja, melainkan juga untuk kaum dewasa. GRIPS Theater berhasil berkat teater anaknya (Kinderstücken) seperti “Ein Fest bei Papadakis” dan “Max und Milli”, serta teater untuk kaum dewasa seperti “Linie 1” dan “Ab heute heißt du Sara”.

Sumber:

– http://www.grips-theater.de/
– http://www.atlantic-times.com/archive_detail.php?recordID=2021
– http://www.gymnasium-selm.de/schulleben/kultur/musical/linie-1/

Resensi Filem: “Persembahan Forshufvud untuk Napoleon”

Film : The Napoleon Murder Mistery

Sutradara : Noah Morowitz

Napoleon Bonaparte, seorang penakluk Eropa yang nama besarnya terus hidup ratusan tahun lamanya bahkan jauh melebihi usia hidupnya di dunia. Goethe bahkan mengatakan bahwa hidup Napoleon dipenuhi kecemerlangan yang tak pernah disaksikan sebelumnya dan tanpa ragu tak akan pernah terlihat kembali (kecemerlangan yang demikian). Tak heran, kisah-kisah kejayaan serta kematiannya yang tragis tidak hanya menjadi perhatian para akademisi namun juga para pencinta sosok Napoleon di seluruh dunia.

Dalam film The Napoleon Murder Mystery yang disutradarai oleh Noah Morowitz dengan dukungan dari Discovery Channel,misteri kematian tragis Napoleon diungkapkan dalam kisah dramatis yang bermain di antara kesetiaan dan penghianatan pelayan setia Napoleon selama di St Helena, tempat ia diasingkan pada bulan Oktober 1815. J.David Markham dari Napoleonic  Society, menjelaskan bahwa sebelum kematiaannya Napoleon sadar bahwa keadaannya sedang sekarat . Napoleon sempat menulis surat pada dokternya di St.Helena yang bernama Dr. Antommarchi enam jam sebelum kematiannya. Surat itu berisi perintah agar Dr. Antommarchi melakukan otopsi jasad Napoleon jika ia telah wafat guna memperlihatkan rasa malu dan horor bagi para penguasa atas kematiannya.

Napoleon akhirnya wafat pada 5 Mei 1821. Seluruh pengikutnya yang turut bersama Napoleon ke pulau pengasingan,St. Helena, hadir di kamarnya untuk mencium tangan Napoleon yang telah tak bernyawa. Louis Marchand,pelayan setia yang mengabdi pada Napoleon sejak masih remaja mengurus jenasahnya dan menggunting rambut Napoleon untuk nantinya dibagikan kepada keluarga dan kerabat.  Sehari kemudian sesuai dengan perintah Napoleon, enam dokter salah satunya Dr. Antommarchi ditugaskan melakukan otopsi jasad Napoleon. Dr. Antommarchi terkesan asal-asalan dalam menganalisa penyebab kematian Napoleon. Napoleon kemudian dinyatakan mati karena kanker perut.

Sepeninggal Napoleon, Louis Marchand meninggalkan St. Helena dan kembali ke Prancis. Ia menjalankan wasiat Napoleon yang memintanya untuk menikah dan memiliki anak agar kelak Marchand dapat menceritakan kisah kejayaan maupun kisah tragis hidup Napoleon. Louis Marchand menikah dan memiliki seorang putri bernama Malvina. Kepada Malvina, Marchand menuliskan catatan yang berisi kesaksian mengenai hari-hari terakhir Napoleon di St.Helena. Berbeda dengan orang lainnya yang menulis kesaksian untuk diterbitkan dan mendapatkan uang, Marchand menulis catatannya hanya untuk dibaca oleh Malvina. Hingga pada tahun 1952, Komandan Henry Lachouque membeli properti Marchand termasuk kumpulan catatan Marchand yang kemudian diterbitkan.

Segala kontraversi perihal penyebab kematian Napoleon berawal dari penelitian Sten Forshufvud ,berasal dari Gotenberg, Swedia. Forshufvud adalah seorang dokter gigi sekaligus pemuja sosok Napoleon. Ia membaca lima jilid buku tentang Napoleon dari malam ke malam untuk memenuhi obsesinya akan Kaisar penakluk Eropa itu. Pada tahun 1955, setelah membaca Memoires de Marchand, Forshufvud berani menyatakan bahwa Napoleon tidak mati karena kanker melainkan karena pembunuhan berencana dengan racun arsenik. Ia mematahkan fakta kematian Napoleon yang disebabkan oleh kanker. Menurut Forshufvud, Napoleon tidak mungkin mati karena kanker karena tubuhnya gemuk dan tidak ada bekas tumor di tubuhnya. Ia lalu menuliskan pendapatnya itu dalam sebuah artikel. Artikel yang ia tulis memicu sikap dingin para sejarawan konvensional Prancis. Tak ada satupun yang berkenan membantu penelitian Sten ketika ia datang ke Prancis guna mencari sumber. Namun di sisi lain, artikelnya itu telah menarik simpati para pembaca, sehingga ada di antara mereka( baik yang berasal dari New York, Paris, dan Moscow) yang menyimpan rambut Napoleon kemudian mengirimkan rambut-rambut tersebut kepada Forshufvud. Ia juga berhasil mendapatkan rambut Napoleon milik Betsy Balcombe, gadis kecil berkebangsaan Inggris yang bersahabat dengan Napoleon selama di St.Helena.

Pada tahun 1959 ia membuktikan teorinya itu dengan bantuan Hamilton Smith,ilmuwan dari Universitas Glasgow untuk menguji rambut Napoleon yang ia dapatkan dari banyak pihak. Teknologi saat itu mampu mengungkapkan riwayat racun yang berada di tubuh Napoleon menjelang kematiannya. Penelitian itu mengungkapkan bahwa Napoleon diracun sebanyak 40 kali dan memastikan bahwa rambut-rambut yang datang dari berbagai tempat itu berasal dari pemilik rambut yang sama.

Setelah berhasil mengungkap penyebab kematian Napoleon, Forshufvud mengalihkan penelitiannya untuk mencari pelaku pembunuhan. Beberapa nama masuk dalam daftar tersangka yaitu Hudson Lowe , Louis Marchand, Count Charles Tristan de Montholon, dan Dr.Antommarchi. Pembunuh Napoleon tentunya harus memiliki kriteria sebagai orang yang sangat dipercaya oleh Napoleon, orang yang memiliki akses untuk memberikan 40 dosis racun secara terpisah,orang yang mengawasi rumah tangga istana dan memiliki kunci, serta orang yang memiliki akses ke persediaan anggur yang diminum oleh Napoleon. Berdasarkan kriteria tersebut, Forshufvud menyebut Count de Montholon sebagai pelakunya.

Count de Montholon diriwayatkan sebagai seorang bangsawan yang gemar hura-hura. Ia dan istrinya Albine de Montholon turut bersama Napoleon ke St.Helena. Ia berhasil mengambil hati Napoleon sehingga Napoleon memberinya julukan “yang paling setia di antara yang setia”. Albine de Montholon pernah menjalin hubungan percintaan dengan Napoleon. Hal ini dicurigai menimbulkan dendam atau rasa cemburu yang tersembunyi dalam diri Count de Montholon terhadap Napoleon. Napoleon juga pernah memergoki Albine de Montholon sedang membaca buku The History of Madame Brinvillers yang menceritakan kisah Madame Brinviller membunuh keluarganya dengan menggunakan racun. Napoleon mengetahui isi buku tersebut dan kemudian berkata pada Albine bahwa racun adalah senjata pengecut. Setelah kematian Napoleon, Count de Montholon menghambur-hamburkan uang pemberian Sang Kaisar. Ia mendukung siapa pun yang sedang berkuasa demi kenyamanan hidupnya. Atas dasar itu, tuduhan Forshufvud terhadap Count de Montholon memiliki dasar yang kuat.

Hasil penelitian Forshuvud menuai kontroversi dan tidak diakui oleh Pemerintah Prancis karena dianggap dapat mengganggu nasionalisme Prancis yang diwakili semboyan “Liberté,Egalité,Fraternité”. Namun, kerja keras Forshufvud yang semula dipandang sebelah mata pada akhirnya tetap diakui sebagai hasil penelitian yang valid dalam menganalisis penyebab kematian Napoleon. Profesinya sebagai dokter gigi, membuktikan bahwa dalam menulis sejarah keterlibatan ilmu-ilmu lainnya akan sangat membantu memberikan penjelasan yang rinci mengenai suatu peristiwa.

Ditulis oleh: Fitri Ratna Irmalasari

Tubuh Perempuan dan Ketidaksetaraan Gender Menurut Simone de Beauvoir

Ketika seseorang mempertanyakan definisi perempuan barangkali umumnya kita akan mengartikannya sebagai makhluk betina, memiliki indung telur, mampu melahirkan, dan merupakan pendamping laki-laki. Tanpa disadari definisi yang diajukan untuk menggambarkan perempuan tidak pernah mengacu pada diri perempuan sendiri melainkan selalu bertolak pada hubungannya dengan laki-laki. Selama ini, perempuan bukanlah makhluk otonom, bahkan untuk mendefinisikan dirinya sendiri saja harus dilihat dari sudut pandang laki-laki. Hanya ada satu diri yang mutlak diterima dan yang keberadaannya absolut yaitu laki-laki sementara perempuan menjadi “yang lain”  yang merupakan subordinat dari laki-laki. Beauvoir kemudian menyebutnya sebagai Le deuxieme sexe.

Di dalam karyanya yang berjudul Le deuxime sexe, Beauvoir mengutarakan pandangannya mengenai tubuh perempuan. Hal ini penting karena segala bentuk ketidakadilan gender berawal dari persepsi masyarakat tentang tubuh perempuan. Menurut situasi konkretnya, tubuh perempuan berbeda dengan tubuh laki-laki. Perbedaan paling jelas diperlihatkan melalui perbedaan organ seks mereka. Perempuan memiliki rahim dan selaput dara, sedangkan laki-laki memiliki phallus dan sperma. Perbedaan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa situasi konkret kebertubuhan laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini penting karena secara biologis, sperma dan sel telur adalah dua aspek yang dibutuhkan spesies manusia untuk menciptakan generasi baru dan menjaga kelangsungan eksistensinya. Hanya saja yang menjadi masalah, perempuan selalu dianggap sebagai simbol proses regenerasi seperti melahirkan, merawat serta membesarkan anak. Padahal secara biologis, laki-laki pun mengambil peran dalam proses tersebut.

Selain ditentukan oleh seksualitasnya, pada dasarnya manusia dengan kesadarannya juga menyadari bahwa dirinya tidak hanya ditentukan oleh seksualitasnya. Dengan kata lain, laki-laki tidak bisa diidentikkan dengan phallus dan perempuan dengan rahim. Kenyataannya dalam budaya patriarki, laki-laki memang bukan phallus namun perempuan adalah rahim. Laki-laki dalam budaya patriarki adalah individu yang netral yang mewakili manusia secara umum. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata “homme” yang bermakna laki-laki dan manusia.

Beauvoir juga mengutip pernyataan beberapa filsuf yang berbicara mengenai perempuan. Sebagai contoh ia mengutip pernyataan St.Thomas bahwa perempuan adalah “manusia/laki-laki yang tidak sempurna”. Demikian juga dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa kita harus menganggap kodrat perempuan sebagai kodrat yang secara alami memang sudah cacat. Maka eksistensi perempuan kemudian dimaknai berdasarkan fungsi biologisnya yaitu sebagai penerima benih laki-laki sejauh rahimnya masih berfungsi.

Dalam budaya patriarki, inferioritas perempuan dipertahankan melalui penciptaan mitos-mitos. Misalnya mitos kesucian/kemuliaan perempuan. Sebagai istri, perempuan harus perawan. Keperawanan dianggap sebagai tolak ukur moralitas perempuan. Perempuan yang tidak perawan sebelum menikah dianggap hina, tercela, berdosa, dan memalukan keluarga. Sementara laki-laki tidak harus menjaga keperjakaannya, bahkan semakin banyak pengalaman laki-laki dalam aktivitas seksualnya, maka ia semakin dianggap hebat.

Ketika telah menikah, perempuan harus memiliki anak yang keluar dari rahimnya sendiri. Perempuan yang tidak memiliki anak dianggap sebagai perempuan yang tidak sempurna atau cacat. Peran ibu juga menunjukkan tempat perempuan di dalam tatanan masyarakat, yaitu di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan membesarkan anak, tidak terlibat dalam masalah di luar rumah, seperti masalah sosial, budaya, ataupun politik. Pembagian kerja dilakukan bukan karena alasan efektivitas dan efisiensi demi tercapainya tujuan bersama laki-laki dan perempuan, melainkan karena perempuan dianggap tidak mampu, bodoh, dan tidak cakap untuk memikirkan hal lain di luar pekerjaan rumah tangga.

Perempuan dalam budaya patriarki terkondisikan sedemikian rupa sebagai makhluk lemah dan tidak bisa melihat tempatnya di dunia tanpa kehadiran laki-laki, penolongnya, yang dinyatakan dalam budaya patriarki sebagai sosok kuat dan perkasa. Perempuan tidak memaknai tubuhnya sendiri melainkan kekuasaan lain di luar dirinyalah (laki-laki)yang memberi makna pada tubuhnya.

Beauvoir mengemukakan harapannya akan suatu relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam Le deuxieme sexe. Ia menyatakan bahwa meskipun manusia dibedakan berdasarkan fungsi biologisnya, kelebihan dan kekhasan manusia justru terletak pada kemampuannya untuk hidup tidak berdasarkan dorongan biologis atau insting semata. Manusia seharusnya memandang manusia lain sebagai individu bebas yang berhak mewujudkan eksistensinya terlepas dari perbedaan fungsi biologisnya.

Menyadari bahwa laki-laki dan perempuan adalah subjek yang berbeda, persahabatan adalah bentuk hubungan yang dapat menjembatani dua subjek yang berbeda tersebut. Hubungan persahabatan memungkinkan keduanya dapat saling mengerti, saling memberi dan menerima, dan terbuka satu sama lain sehingga ada hubungan yang timbal balik tidak seperti dalam hubungan patriarkis yang hanya mengenal relasi satu arah.

 

Sumber :

Lie, Shirley. 2005. Pembebasan Tubuh Perempuan, Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Watkins, Susan Alice, Marisa Rueda, dan Marta Rodriguez. 2007. Feminisme untuk Pemula-Susan Alice Watkins, Marisa Rueda, dan Marta Rodriguez. Yogyakarta : Resist Book.

Ditulis oleh: Fitri Ratna Irmalasari

Gagasan Filosofis Jean-Paul Sartre dalam “LES MOUCHES”


1.1.1    Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre adalah seorang filsuf dan penulis Prancis yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis dan merupakan anak tunggal dari keluarga bourgeois yang taat beraga Katolik. Ayahnya, Jean Baptiste Sartre dikenal sebagai prajurit militer dan ibunya Anne Schweitzer berasal dari keluarga intelektual keturunan Jerman-Alsatian. Sartre memiliki kakek bernama Charles Schweitzer yang  dikenal sebagai seorang guru bahasa Jerman di sekolah menengah atas dan paman bernama Albert Schweitzer yang dikenal luas sebagai penulis terkenal peraih penghargaan nobel.

Sejak kecil Sartre dibesarkan oleh ibunya dan Ia tidak pernah mengenal ayahnya sebab beliau telah meninggal pada tahun 1906 akibat demam tinggi. Sosok ayah kemudian digantikan oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Charles menjadi figur yang sangat penting dan berpengaruh bagi hidup Sartre. Melalui kakeknya, Sartre telah mengenal karya-karya sastra klasik di usia masih sangat muda bahkan sebelum memasuki usia sekolah. Antara tahun 1907 hingga 1917, Poulou (nama panggilan kecil Sartre) tinggal di rumah kakeknya dan melewati masa kanak-kanak yang membahagiakan serta tumbuh sebagai anak yang cemerlang dan percaya diri . Melalui perpustakaan pribadi keluarga Schwitzer, Sartre mengenal berbagai karya sastra terkenal lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

Namun masa kecil Sartre yang membahagiakan itu harus berakhir ketika di tahun 1917, ibunya menikah lagi dengan seorang polytechnicien. Sartre tidak pernah menyukai ayah tirinya itu. Sejak pernikahan kedua ibunya, Sartre pindah ke La Rochelle dan tinggal di kota itu selama tiga tahun. Baginya waktu tiga tahun tersebut menjadi masa-masa yang paling menyedihkan dalam hidupnya karena menganggap ayah tirinya telah mengambil perhatian ibunya yang sebelumnya hanya tertuju pada Sartre.

Pada usia 16 tahun, Sartre masuk lycée Henri IV dan kemudian bertemu dengan Paul Nizan yang bersama-sama dengannya mempersiapkan untuk masuk ke l’école Normale Supérieure. Nizan telah mengenalkan kepadanya karir kepenulisan dan menjadi sahabat karib Sartre hingga kematiannya di tahun 1940. Persahabatan yang terjalin di antara keduanya memberikan pengaruh pada perkembangan kepribadian dan pemikiran Sartre. Dalam lycée Henri IV keduanya dikenal sebagai siswa cerdas dan kritis sehingga dengan mudah lulus dari sekolah yang elit dan bergengsi itu. Kekompakan keduanya kemudian dituangkan dalam karya sastra mereka yang pertama, berupa dua petit conte yang berisi sindiran-sindiran terhadap para professeur.

Pada tahun 1924 Sartre pun melanjutkan pendidikannya di école Normale Superieur dan bertemu dengan Simone de Beauvoir. Ia pun tertarik pada aspek-aspek filsafat barat yang menyerap gagasan-gagasan Immanuel Kant dan Martin Heidegger. Sartre telah menejemahkan la Psycopathologie karya Jaspers bersama Nizan pada tahun 1927. Kemudian berkat kecerdasannya, pada tahun 1929 Sartre berhasil lulus ujian agrégation filsafat. Ujian tersebut memberikan Sartre kesempatan untuk berkarir sebagai guru filsafat di Le Havre, Lyon, dan Paris.

Sejak muda, Sartre tidak menyukai lingkungan borjuis dan segala kebiasaannya. Perasaan tidak suka itu perlahan-lahan berubah menjadi perasaan muak dan keinginan untuk memberontak. Perasaaan dan keinginannya itulah yang mendasari roman-romannya. Pada tahun 1938, saat sedang menjadi dosen muda di Lycée du Havre, Sartre menulis novel berjudul La Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karya Sartre yang terkenal. Nausée bercerita tentang seorang peneliti yang patah semangat, Roquentin, di sebuah kota yang jika diamati memiliki kemiripan dengan Le Havre. Roquentin menyadari seutuhnya akan fakta bahwa benda-benda mati serta situasi khayalan merupakan dua hal yang sangat berbeda dengan eksistensi dirinya.

Sartre juga menulis novel Le Mur. Le Mur menekankan pada aspek kesadaran di mana manusia mengenali dirinya sendiri dan absurditas dari usaha-usaha mereka untuk menghadapi diri mereka sendiri secara rasional.

Pada tahun 1929, Sartre bergabung dalam Angkatan Bersenjata Nasional Perancis sebagai seorang meteorologist. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjarakan selama 9 bulan sebagai seorang tahanan perang pada tahun 1940. Selama menjadi tahanan perang Sartre ia harus berpindah-pindah dari Padoux, kemudian ke Nancy, dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah ia sempat menulis skenario teater pertamanya Bariona, fills du tonnerre.

Sartre dibebaskan pada bulan April 1941 dengan alasan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Ia kemudian kembali mengajar di Lycée Pasteur di dekat Paris. Sebulan kemudian di kota Paris, Sartre dan teman-temannya : Simone de Beauvoir, Marleau-Ponty, Jean-Toussaint, Dominique Desanti, Jean Kanapa, dan siswa-siswi Ecole Normale, mendirikan kelompok pemberontak Socialisme et Liberte. Pada bulan Agustus 1941, Sartre mencoba meminta dukungan Andre Malraux dan Andre Gide terhadap gerakan pemberontakan yang didirikan Sartre dkk namun baik Gide maupun Malraux tidak memberikan kepastian untuk mendukung gerakan tersebut.

Sartre memimpin majalah Les Temps Modernes antara tahun 1945 dan 1955. Ia dipandang sebagai penseur engagé karena ia menerbitkan karya-karya teater yang bertemakan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Ia memanfaatkan teater untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tentang hidup yang disebut eksistensialisme. Pemikiran Sartre itu bertplak dari pendapat: L’Existence de l’homme exclut l’existence de Dieu ‘Eksistensi manusia meniadakan eksistensi Tuhan.’ Melalui karya-karyanyalah Sartre mengungkapkan bahwa hidup tidak untuk dibuktikan atau dicarikan pembenarannya, iamuncul dan tidak dapat ditolak. Untuk meberi makna hidup, manusia hanya dapat mengandalkan diri sendiri, tanggung jawab sendiri, dan dengan kebebasan dalam keterlibatannya. Ia tidak dapat meminta atau mengharapkan bantuan dari siapapun: L’homme n’est rien d’autre que ce qu’il se fait ‘Manusia tidak lain adalah apa yang dibuatnya sendiri.’

Ketika Sartre mengerjakan Critique dan sebuah biografi analisis dari Gustave Flaubert, L’Idiot de la famille yang merupakan karya terakhir selama hidupnya, kondisi fisiknya. Hal ini dikarenakan terlalu banyak bekerja dan mengkonsumsi narkoba, amfetamin untuk merampungkan karya-karyanya tersebut. Namun kedua karyanya tersebut tidak berhasil diselesaikan, Sartre pun kemudian meninggal pada 15 April 1980 karena mengidap Oedema paru-paru.

1.1.2    Karya-karya Jean-Paul Sartre

  • La Trencendance de l’Égo (1936)
  • L’Imagination (1936)
  • Esquisse d’une théorie des émotions (1939)
  • Le Mur (1939)
  • La Nausée (1938)
  • Les Mouches (1943)
  • L’Etre en le Néant (1943)
  • Huis Clos (1944)
  • Chemins de la Liberté
  • L’Âge de Raison
  • Le Sursis
  • L’Existentialisme est un humanisme (pidato) (1946)
  • La Putain Respectueuse
  • Réflexions sur loa question juive
  • Essai sur Beaudelaire (1947)
  • Les Mains sales (1948)
  • La Mort dans l’âme (1949)
  • Le Diable et le Bon Dieu (1951)
  • Saint Genet, comédien et martyr
  • Nekrassov (1955)
  • Les Séquestrés d’Altona
  • L’Être et le Néant: Critique de la raison dialectique (1960)
  •  Les Mots (1964)
  • L’Idiot de la Famille (1971)

 1.1.3    Jean Paul Sartre dan Pemikirannya

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.

Donny Gahral Ardian di dalam bukunya yang berjudul Percik Pemikiran Kontemporer menjelaskan pemikiran Sartre terhadap masalah eksistensi yang membedakannya dengan filsuf-filsuf sebelumnya. Dijelaskan bahwa Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur). Contohnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.

Filsuf-filsuf sebelum Sartre cenderung memandang manusia seperti pisau tadi. Mereka menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Konsep pemikiran inilah yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.

  • Kesadaran

Konsepsi mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.

Sartre mengemukakan adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya, maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan modus eksistensi benda-benda.

Kesadaran membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu être en soi (ada pada dirinya) dan être pour soi (ada bagi dirinya). Être en soi merupakan tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang. Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.

  • Waktu

Sartre menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala kemungkinan.

  • Kebebasan

“Manusia terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.

Kebebasan itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan tanggung jawab.

 1.2       Selayang Pandang Mengenai ‘Les Mouches’

Les Mouches merupakan karya drama Sartre yang ditulis pada tahun 1943 dan diadaptasi dari cerita mitologi Yunani.

Dilatarbelakangi oleh Agamemnon, Raja dari Argos yang terletak di timur laut dari Péloponoèse yang memiliki seorang istri bernama Clytemnestra dan tiga orang anak yaitu Oreste, Electre dan Ephygénie (telah meninggal), yang sedang mengarungi laut untuk menaklukan Troie. Kemudian angin pun tiba-tiba berhembus dengan kencang dan ahli nujum kerajaan mengatakan bahwa hal itu merupakan kutukan dari para dewa akibat Agamemnon telah membunuh seekor kijang betina. Agamemnon, raja yang haus akan kekuasaan rela untuk mengorbankan anaknya, Ephygénie agar perjalanannya menuju Troie berjalan mulus kembali. Clytemnestra sangat terpukul dan sedih mendengar kabar tersebut dan ia pun menjadi sangat membenci suaminya. Selama Agamemnon berada di Troie, Clytemnestra jatuh cinta kepada Aegistheus yang nantinya akan membunuh Agamemnon sekembalinya dari Troie. Pada nantinya Orestelah yang akan membalaskan dendam ayahnya dengan membunuh ibunya Clytemnestra dan kekasih ibunya Aegistheus.

1.2.1    Tokoh-tokoh dalam ‘Les Mouches

  • Jupiter
  • Oreste
  • Aegistheus/ Egisthe
  • Le Pedagogue
  • Electre
  • Clytemnestre
  • Les Erinyes: les mouches

1.2.2    Sinopsis ‘Les Mouches

Babak I

Oreste, seorang pengembara, datang ke kota bersama guru pribadinya (la pedagogue) setelah melakukan perjalanan sebagai usaha untuk menemukan jati dirinya. Oreste digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tampak dewasa meskipun wajahnya masih seperti anak kecil, polos, dan seolah-olah belum tahu akan tanggung jawabnya. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Philébus ketika memasuki kota dengan tujuan menyembunyikan idenditas dirinya. Jupiter juga melakukan hal yang sama yaitu menyamar sebagai orang lain untuk mengikuti petualangan Oreste.

Di kota, Oreste dan gurunya menghadiri acara peringatan kematian Agamemnon (ayah Oreste) lima belas tahun yang lalu. Tidak seorang pun yang berbicara dan menyapa Oreste serta guru pribadinya, orang-orang dalam peringatan tersebut benar-benar tidak mengenali Oreste. Oreste lalu bertemu dengan kakak perempuannya yang bernama Electre yang sepeninggal ayahnya tumbuh menjadi gadis yang penuh kebencian terhadap ibu dan Aegistheus, ayah tirinya sekaligus pembunuh ayah kandungnya.

Babak II

Oreste memutuskan datang ke upacara kematian ayahnya dan menunjukkan kemarahannya pada Aegistheus. Dalam rangkaian peringatan kematian Agamemnon, terdapat satu hari di mana para pasukan kerajaan diizinkan keluar untuk mengelilingi kota dan menyiksa orang-orang yang dianggap bersalah. Penduduk kota tidak dapat melarikan diri dan hanya mampu pasrah.

Electre hadir paling telat dalam upacara dansa. Ia datang dengan gaun berwarna putih sebagai simbol masa muda dan tidak berdosa. Ia berdansa dan bersorak-sorak serta mengolok-olok orang yang datang berkabung sebagai simbol kebebasannya. Penduduk kota mulai percaya dan berpikir tentang kebebasan sampai Jupiter melarang mereka melakukannya. Jupiter juga mengahalangi niat Oreste bertarung dengan raja Aegistheus saat itu.

Oreste dan Electre kemudian sepakat untuk menyusun rencana pembunuhan terhadap raja dan ibu mereka sendiri. Mengetahu niat tersebut, Jupiter mendatangi Aegistheus dan membocorkan rencana pembunuhan yang telah disusun oleh dua bersaudara Oreste dan Electre. Jupiter pun meminta Aegistheus untuk segera mengambil tindakan.

Ketika Oreste menyerang Aegistheus, Aegistheus menolak melawan balik serangan lawannya, maka Aegistheus akhirnya mati dan kemudian disusul oleh kematian Clytemnestra yang dibunuh seketika setelah Oreste menghabisi nyawa Aegistheus.

Babak III

Setelah melakukan pembunuhan, Oreste dan Electra melarikan diri ke kuil Apollo dengan tujuan melarikan diri dari manusia dan les mouches (yang berarti dosa yang sesungguhnya). Sementara Oreste dan Electra bersembunyi dalam kuil, para petugas pemberi hukuman telah berjaga-jaga menunggu mereka keluar dari kuil Apollo untuk kemudian menyerbu dan menyiksa keduanya.

Electre mulai merasa takut dan mencoba untuk menakut-nakuti saudara laki-lakinya. Kemudian ia pun menyatakan penyesalannya atas pembunuhan yang telah mereka lakukan dan mengakui bahwa pembunuhan itu adalah suatu kesalahan/dosa. Electre mengatakan bahwa ia sebenarnya hanya bermimpi tentang pembunuhan itu sejak 15 tahun yang lalu sebagai bentuk pelarian. Ia juga menegaskan bahwa Orestelah pembunuh sebenarnya.

Jupiter datang dan meyakinkan Oreste agar segera menebus kejahatannya, namun tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Oreste. Oreste merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa sehingga tidak ada yang perlu ditebusnya. Jupiter lalu menjanjikan tahta bagi Oreste serta akan memberikan perlindungan bagi dua bersaudara itu jika mereka bersedia bertobat. Namun Oreste menolak tawaran Jupiter yang akan memberikan tahta dan harta  milik Aegistheus kepadanya.

2.1 Hubungan Les Mouches dengan Pemikiran Jean-Paul Sartre

Les Mouches merupakan gambaran dari penyesalan (le remords) yang menghantui manusia setelah ia melakukan sebuah perbuatan yang dinilai buruk berdasarkan norma moralitas yang sudah terbentuk dalam suatu masyarakat. Dalam karya Sartre ini, penduduk kota Argos adalah penduduk yang hidupnya tidak tenang akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh Aegistheus bahwa terdapat satu hari khusus dalam perayaan kematian Agamemnon yang memperbolehkan pihak kerajaan untuk menghukum  siapapun di luar kalangan istana yang dianggap bersalah dan penduduk kota hanya bisa pasrah menghadapi hal tersebut.

Oreste, putra Agamemnon ingin terlepas dari ketakutan yang berasal dari luar dirinya. Perbuatan yang telah ia lakukan yaitu membunuh ibu kandungnya Clytemnestra dan Aegistheus merupakan wujud kebebasan dirinya dari les mouches (le remords). Dengan perbuatannya, Oreste ingin agar penduduk kota sadar bahwa manusia ditakdirkan bebas.

Sekalipun manusia bebas, ia tetap dituntut untuk senantiasa mempertimbangkan pilihannya. Sekali pilihan itu diaktualisasikan dalam tindakan, tidak ada lagi jalan mundur bagi manusia. Persoalannya, manusia tidak memiliki kriteria benar-salah, sehingga pilihan tindakannya selalu mengandung kemungkinan salah. Hal itu membuat manusia senantiasa cemas dan seringkali tergoda untuk menggantungkan diri pada norma kebenaran dari luar dirinya. Padahal, kesahihan norma hanya dapat diperoleh dari tindakan subjektif yang dialami. Perlu diketahui pula bahwa subjektivitas sifatnya tidak tertutup, karena tindakan individual akan melibatkan manusia secara umum.

Serba ketidakpastian itu merupakan sumber kecemasan. Hal itulah yang sering menjerumuskan diri manusia dalam suatu kemunafikan atau mauvaise foi. Penyesalan merupakan bentuk kemunafikan itu. Ungkapan “Maaf, saya tidak sadar melakukannya”, atau “ Itu bukan kesalahan saya”, merupakan ungkapan kemunafikan, karena hal itu mengandaikan adanya hakikat manusia a priori di luar diri manusia, menggantungkan kesadaran pada sesuatu yang abstrak di luar dirinya, sekaligus melemparkan tanggung jawab tindakannya dengan mengingkari dirinya.

ELECTRE: Par notre père, Oreste, je t’en conjure, ne joins pas le blasphème au crime.

Tokoh Electre merupakan gambaran dari sikap kemunafikan itu. Electre yang telah bertahun-tahun mendambakan kematian ibunya, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya telah terbunuh oleh Oreste, berkat bantuannya. Ia sangat khawatir dan kemudian takut pada dirinya sendiri. Hal itu membuatnya mulai menyalahkan diri dan akhirnya menyerah pada Jupiter untuk memohon bantuannya.Oreste juga merasakan kecemasan yang sama. Namun ia sadar akan kebebasannya dan bertekad untuk tidak pernah menyesalinya perbuatannya.

2.1.1 Ateisme dan KeTuhanan menurut Jean-Paul Sartre dalam Les Mouches

Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, Sartre mengambil posisi ateis untuk menjelaskan gagasan eksistensinya. Posisi ateistik menempatkan manusia sebagai satu-satunya penentu bagi kemanusiaan. Artinya, manusia tidak memiliki acuan bagi hakikatnya sebagai manusia, bagi Baik dan Buruk, bagi nilai-nilai moralnya. Hal ini sungguh menyulitkan, karena dengan demikian manusia tidak memiliki ‘kompas’ dan kerangka-kerangka acuan bagi tindakannya. Andaikata manusia menerima Tuhan sebagai penciptanya itu berarti ia menerima bahwa hakikat kemanusiaan berada di luar dunia, dan ia diciptakan dengan kepenuhan finalitas tertentu dan jelas. Dengan menolak Tuhan, manusia ditempatkan sebagai satu-satunya penentu bagi kehidupannya, dan sebagai satu-satunya hakim bagi tindakannya.

Pemikiran Sartre ini tercermin dalam jawaban Oreste kepada Jupiter berikut ini,

ORESTEQu’elle s’effrite! Que les rochers me condamnent et que les palntes se fanent sur mon passage: tout ton univers ne suffira pas à me dinner tort. Tu es le roi des Dieux, Jupiter, le roi des pierres et des étoiles, le roi des vagues de la mer. Mais tu n’es pas le roi des hommes.

Jawaban Oreste tersebut memperlihatkan bahwa ia menolak penentuan kebenaran Tuhan. Ia sendirilah yang berhak menentukan dan memberikan kriteria benar salah bagi tindakannya. Oreste tidak menunjukan sikap menolak secara sistematis kehadiran Tuhan. Namun yang penting, meskipun Tuhan itu ada, hal tersebut tidak berati apa-apa bagi manusia, karena tetap manusialah yang menentukan dirinya sendiri. Sikap Oreste memperlihatkan suatu penolakan radikal terhadap penghakiman dirinya. Dalam keberadaannya, hanya manusia yang berhak menghakimi dirinya sendiri. Dalam hal ini, keberadaan manusia mengandaikan suatu subjektivitas dan kebebasan yang inheren dengan keberadaannya dan tidak terhindarkan.

Posisi Tuhan dalam karya Les Mouches diwakilkan oleh Jupiter yang dimunculkan untuk menonjolkan pemikiran Sartre pada tokoh Oreste.

JUPITER: (…) je suis le Bien. Mais toi, tu as fait le mal, et les choses t’accusent de leurs voix pétrifiées: le Bien est partout, c’est la moelle du sureau, la fraîcheur de la source, le grain du silex, la pesanteur de la pierre; tu le retrouveras jusque dans la nature du feu et de la lumière, ton corps même te trahit, car il se conforme à mes prscriptions. Le Bien est en toi, hors de toi: (…)

Berdasarkan kutipan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa Jupiter merupakan tokoh representatif keilahian yang dimiliki Tuhan. Jupiter memiliki otoritas yang absolut terhadap seluruh makhluk ciptaannya dan norma-norma moralitas pun ditentukan olehnya. Nilai Baik tidak berasal dari diri manusia tetapi merupakan Tuhan itu sendiri. Tuhan memiliki ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal yang dianggap baik atau buruk. Contohnya ketika manusia melakukan tindakan kebajikan, ia tidak melakukan perbuatan tersebut berdasarkan kesadaran dirinya sendiri melainkan lebih kepada rasa takut terhadap hukuman dari Tuhan jika ia tidak melakukan kebajikan.

Hubungan antara Jupiter dan Aegistheus merupakan representasi Tuhan dan agama. Aegistheus mencerminkan agama yang merupakan alat Tuhan di dunia untuk menciptakan sistem tata nilai baik dan buruk bagi manusia. Dalam karya Les Mouches, Aegistheus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membuat para penduduk kota tunduk kepada perintahnya. Sama halnya dengan agama, Aegistheus mengeluarkan tata nilai mengenai baik dan buruk

2.1.2 Pemikiran Jean-Paul Sartre mengenai Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam Les Mouches

Konsep kebebasan dan tanggung jawab menurut Sartre terdapat pada ucapan Oreste berikut ini,

ORESTE: Je ne suis ni le maître ni l’esclave, Jupiter. Je suis ma liberté! A peine m’as-tu as créé que j’ai cessé de t’appartenir.

Jawaban Oreste di atas memberikan kita gambaran mengenai kesadaran Oreste terhadap konsekwensi yang harus diterima olehnya atas apa yang telah ia perbuat. Manusia ditakdirkan untuk bebas. Namun kebebasan itu menjadi problematik, karena manusia harus memilih dan pilihannya itu selalu berarti keterlibatan terhadap manusia. Kebebasan tidak bermakna tanpa keterlibatan, dan keterlibatan itu ditentukan oleh pilihan-pilihan untuk bertindak karena manusia tidak lain dari tindakannya.

Perkataan Oreste di atas pun menyanggah pernyataan Jupiter sebelumnya bahwa dia lah yang memberi kebebasan kepada manusia untuk melayaninya (Je t’ai donné ta liberté pour me servir). Sedangkan menurut Oreste, kebebasan itu bukan sebuah pemberian, bukan pula sesuatu yang berusaha dicapai, tetapi kebebasan adalah manusia.

Pada dialog yang lain Oreste menunjukkan kesadaran akan kebebasan yang merupakan dirinya

ORESTE: Hier, j’etais près d’Electre; toute ta nature se pressait autour de moi; elle chantait ton Bien, la sirène, et me prodiguait les conseils. (…) Mais tout à coup  la liberté a fondu sur moi et m’a transi, la nature a sauté en arrière, et je n’ai plus eu d’âge, et je me suis senti tout seul, au milieu de ton petit monde bénin, comme quelqu’un qui a perdu son ombre; et il n’ya plus rien eu au ciel, ni Bien ni Mal, ni personne pour me dinner des ordres.

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Oreste sadar akan konsepsi kebebasan yang kemudian mengantarkannya kepada kebebasan itu sendiri. Kata ‘hier’ menunjukkan bahwa dulu Oreste membutuhkan Tuhan, tetapi kemudian ia sadar bahwa untuk mencapai kebebasan ia harus menghapus keberadaan Tuhan dari hidupnya. Pilihannya untuk menghapus keberadaan Tuhan membawa kebebasannya menemukan makna riil, karena dengan keputusan itu ia seta merta memutuskan ikatan dengan segala kepastian hipotetis, hakikat manusia, dan hakikat kebenaran hipotetis di luar dirinya.

3. Penutup

Jean-Paul Sartre merupakan salah satu filsuf Perancis abad ke-20 yang produktif. Les Mouches merupakan salah satu dari karya-karya besarnya yang mencerminkan pemikirannya. Karya tersebut menonjolkan pemikiran Sartre yaitu eksistensialisme yang meliputi kebebasan, subjektifitas, dan ateisme. Menurut Sartre eksistensi mendahului esensi, maksudnya adalah manusia ‘ada’ lalu menemukan hakikatnya. Hakikat itu tidak mendahului keberadaan manusia dan Sartre menolak segala pemikiran tentang konsep normatif yang menjadi acuan bagi manusia mendahului keberadaannya. Eksistensialisme menyinggung subjektifitas, oleh karena itu eksistensi seseorang akan selalu bersinggungan eksistensi orang lain.

 DAFTAR PUSTAKA

Ahdian, Donny Gahral. 2000. Percik Pemikiran Kontemporer. Jogjakarta

Husen, Ida Sundari. 2001. Mengenal Pengarang-Pengarang Prancis dari Abad ke Abad. Grasindo: Jakarta.

Pasuhuk, Tonny. 2000. Gagasan Filosofis dalam Drama Telaah Bandingan Dua Lakon Electre Karya Jean Giraudoux dan Les Mouches Karya Jean-Paul Sartre. Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

http://mael.monnier.free.fr/bac_francais/mythe/6.htm

 

Ditulis oleh: Fitri Ratna Irmalasari