Rusia memiliki kebudayaan yang erat melekat pada kehidupan yang bersifat komunal dan berbasis pada nilai-nilai dan norma Kristen Orthodox. Akar kebudayaan yang seperti ini menjadi semakin kental ketika Rusia selama sekitar 75 tahun tergabung ke dalam Uni Soviet karena Soviet menerapkan politik menutup diri dari dunia luar dengan pola chauvinisme yang kental. Kondisi seperti ini menyebabkan Rusia memiliki kebudayaan yang sangat tertutup dari dunia luar dan berhasil mempertahankan “kebudayaan aslinya” tanpa benturan dari budaya-budaya asing yang berasal dari dunia luar. Namun kondisi ini mulai menuju kepada perubahan pada akhir tahun 80-an.
Keruntuhan paham komunis yang ditandai dengan pembubaran Uni Soviet pada masa kekuasaan Michael Gorbachev pada awal tahun 90-an merupakan batu loncatan pertama dan utama yang membawa Rusia menuju Rusia yang kita kenal saat ini dengan istilah the New Russia (Rusia Baru). Masa pasca keruntuhan Uni Soviet memaksa negara pewaris utama Soviet ini untuk lebih “membuka diri” kepada dunia luar demi kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Kondisi baru Rusia ini tentunya dipandang oleh beberapa negara besar dunia sebagai suatu peluang emas untuk melakukan macam-macam bentuk ekspansi dalam segala aspek kehidupan, terutama di dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang bermuara kepada potensi sebagai pasar dalam sistem market economy perekonomian dunia. Namun demikian, kondisi baru ini tidak hanya dipandang positif oleh dunia luar, tetapi Rusia juga bisa memandang dunia luar dengan persepsi yang sama seperti pandangan dunia luar terhadap Rusia Baru.
Lokasi geografis Rusia yang berbatasan langsung dengan komunitas besar dunia Uni Eropa menjadi hal yang sangat menarik dalam mengamati tarik menarik hegemoni pendidikan dan kebudayaan yang terjadi. Apakah Rusia yang akan melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa atau beberapa negara anggotanya, atau justru sebaliknya, Rusia lah yang akan terhegemoni oleh Uni Eropa atau oleh beberapa negara anggotanya? Pertanyaan ini tentu saja bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, fakta bahwa Rusia memiliki sumber energi utama yang memberikan suplai energi kepada sebagian besar negara-negara anggota Uni Eropa menambah serunya tarik menarik hegemoni ini.
Dalam usaha untuk memetakan hasil dari tarik menarik hegemoni budaya antara Rusia dan Uni Eropa ini, maka saya akan mencoba untuk memberikan beberapa skenario beserta implikasinya yang bisa digunakan oleh kedua belah pihak dalam usaha mencapai tujuan hegemoninya.
Skenario I: Program Beasiswa oleh Uni Eropa
Sebagai sebuah komunitas besar, Uni Eropa telah mulai memberikan banyak beasiswa kepada seluruh pelajar di dunia pada awal tahun 2000-an untuk mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan formal ke universitas-universitas terbaik yang terdapat pada masing-masing negara anggotanya. Kesempatan ini tentu saja merupakan peluang emas bagi mereka yang memang memiliki antusias besar dalam bidang pendidikan, terutama dengan alasan untuk memajukan bangsa, maka negara-negara di luar keanggotaan Uni Eropa tentunya berlomba-lomba untuk mengirimkan orang-orang terpelajarnya untuk dapat menimba ilmu di negara-negara anggota Uni Eropa.
Rusia yang berbatasan langsung dengan Uni Eropa tentunya juga dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk investasi jangka panjangnya dalam hal peningkatan mutu sumber daya manusia. Apabila Rusia memandang hal ini 100% merupakan peluang investasi jangka panjang di bidang sumber daya manusia tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruknya, maka alih-alih mendapatkan sumber daya manusia berkualitas dalam membangun negreinya, tetapi malah Rusia berkemungkinan besar kehilangan pemuda-pemuda terpelajarnya.
Saya berani berspekulasi seperti pada paragraf di atas karena saat ini hampir di setiap negara anggota Uni Eropa terdapat kebijakan untuk lulus ujian negara tempat calon pelajar melanjutkan studinya yang terdiri dari ujian bahasa negara setempat dan ujian tentang pengetahuan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat negara setempat. Apabila calon pelajar yang akan menerima beasiswa pendidikan tidak lulus dalam ujian tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan izin tinggal. Apabila calon pelajar penerima beasiswa tidak mendapatkan izin tinggal di negara tujuan, maka mereka tidak akan bisa melanjutkan studi ke negara tersebut, dengan kata lain, mereka gagal mendapatkan beasiswa tersebut.
Kenyataan seperti ini tentunya boomerang yang siap menghantam balik Rusia. Kaum terpelajar yang merupakan pemuda harapan bangsa pastinya dengan sukarela mati-matian mempelajari bahasa dan kebudayaan, serta kebiasaan masyarakat negara tujuan tempat mereka akan melanjutkan studi formalnya. Dengan kata lain, mereka (pelajar) dengan sadar “membuka diri” untuk sesuatu yang baru yang nantinya tanpa sadar akan mereka aplikasikan dan menjadi “pedoman dan pandangan hidup” mereka yang baru kelak ketika mereka mendapatkan beasiswa itu. Alih-alih Rusia dapat melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa, tetapi malah kaum terpelajarnya sangat berisiko dalam “tercemar” kebudayaan dan pandangan hidup Uni Eropa.
Kemungkinan ini menjadi lebih berisiko ketika kita dihadapkan pada fakta model pemerintahan Putin yang masih mewarisi pola-pola tangan besi ala Soviet. Kaum terpelajar yang lebih netral dan kritis dalam berfikir dan bertindak tentunya akan mendapatkan angin segar ketika masuk, menjalani kehidupan, dan menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa. Mimpi-mimpi utopis demokrasi Uni Eropa akan menjadi senjata utama yang nantinya bisa melunturkan sisi nasionalisme para pelajar Rusia yang mendapatkan beasiswa ke Uni Eropa.
Skenario II: Beasiswa untuk Scholar “Pilihan”
Skenario kedua ini merupakan langkah yang dapat diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi dampak negatif dari strategi Uni Eropa yang melancarkan ekspansi budaya melalui program beasiswa yang diberikannya. Risiko pelunturan rasa nasionalisme yang dapat terjadi sebagai implikasi skenario relasi kerjasama pendidikan dan kebudayaan antara Rusia dengan Uni Eropa sangat berdampak negatif bagi perkembangan Rusia Baru di masa depan. Hal ini diperburuk dengan fakta penurunan pertumbuhan populasi Rusia.
Rusia bisa mendapatkan pemutakhiran ilmu pengetahuan dalam segala bidang dengan bekerja sama dengan dunia luar, khususnya Uni Eropa yang juga memiliki kepentingan dalam pengembangan teritorial tanpa harus mempertaruhkan pemuda-pemuda harapan bangsanya. Jika Rusia memiliki kecurigaan yang sama dengan pandangan saya ini, maka tentunya Rusia akan melakukan langkah-langkah antisipasi dalam menyikapi kemungkinan tersebut. Salah satu langkah yang kira-kira akan diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi kemungkinan buruk dari kerja sama bidang pendidikan dan kebudayaan ini adalah dengan merekrut tenaga-tenaga muda untuk menjadi “orang dalam” pada pemerintahan yang sedang berkuasa dan kemudian memfasilitasi kerja sama dengan Uni Eropa untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan formal pada negara-negara anggota Uni Eropa.
Jadi, tanpa harus memberikan kesempatan kepada setiap scholar Rusia untuk menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa, Rusia masih akan bisa mendapatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dengan cara lain, yaitu dengan memilih orang-orang tertentu yang sudah teruji kematangan rasa nasionalismenya dan mengirimkannya ke negara-negara Uni Eropa untuk kemudian dengan penuh semangat kembali pulang ke Rusia untuk berbagi perkembangan ilmu dan pemikiran yang dapat digunakan untuk kemajuan dan perkembangan Rusia di masa depan. Sebagai tambahan, transfer ilmu dan pemikiran yang didapat dari Uni Eropa tidak begitu saja disebarkan di Rusia nantinya, tetapi pihak penguasa akan melakukan sensor terlebih dahulu dan memodifikasi setiap ilmu pengetahuan dan pemikiran yang didapat sesuai dengan kepentingan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan strategi kebudayaan Rusia nantinya.
Skenario III: Impor Guru/Dosen Tamu
Jika dua skenario pendidikan dan kebudayaan sebelumnya mengharuskan Rusia mengirimkan scholar terbaiknya ke negara-negara Uni Eropa, maka skenario ketiga ini justru merupakan sebuah kontradiksi dari dua skenario sebelumnya, yaitu dengan mendatangkan para ahli yang ahli di bidangnya ke Rusia untuk melakukan transfer ilmu dan pemikiran di Rusia.
Skenario ketiga ini adalah skenario yang paling rendah risikonya dalam hal kemungkinan pelunturan rasa nasionalisme yang membahayakan kebudayaan nasional Rusia. Saya berani berpendapat seperti ini karena pada skenario ketiga ini warga Rusia tidak perlu meninggalkan negara, tetapi justru sebaliknya, Rusia mendatangkan tenaga asing yang dirasa perlu demi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dari Uni Eropa. Skenario ini menjadi semakin mini risiko karena dengan situasi seperti ini, pemerintah Rusia dapat secara langsung melakukan kontrol terhadap konten dan proses transfer pengetahuan dan pemikiran yang nantinya terjadi di Rusia.
Selain minim risiko, skenario ketiga ini juga bisa menjadi cara bagi Rusia untuk melakukan hegemoni budayanya terhadap Uni Eropa. Jika pemerintah Rusia dapat mengambil hati setiap guru/dosen tamu yang datang ke Rusia dengan tujuan transfer ilmu, maka dengan sendirinya mereka akan kembali ke Uni Eropa nantinya dengan bias-bias kebudayaan dan kebiasaan Rusia yang mereka dapat selama mereka bertugas di Rusia dalam misi kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Kesimpulan
Fakta bahwa Rusia menjadi pemasok energi yang cukup berpengaruh di benua Eropa menjadikannya semakin menyadari isu-isu hegemoni kebudayaan yang siap menghantam setiap sendi kehidupan di Rusia. Maka dari itu, apapun tawaran yang diberikan kepada Rusia oleh Uni Eropa tentunya akan disikapi dengan sebijak mungkin. Selanjutnya, sebagai negara yang memiliki kebudayaan cukup tua , mengakar, dan sangat berbeda dengan tetangga Uni Eropa nya menambah kadar sensitifitas isu hegemoni budaya di Rusia.
Bibliografi
Boilard, Steve D. (1998). Russia at the Twenty First Century. Orlando: Harcourt Brace & Company.
Sakwa, Richard. (2008). Russian Politics and Society 4th ed. New York: Routledge.
White, Stephen. (2011). Understanding Russian Politics. New York: Cambridge University Press.
Yale, Richmond. (2009). From Nyet to Da: Understanding the New Russia, 4th ed. London: Intercultural Press.
————. (2005). Russian Prospects – Political and Economic Scenarios. Copenhagen Institute for Future Studies.