Review buku: “Modern Turkey: People, State and Foreign Policy in a Globalized World”

Judul buku          : Modern Turkey: People, State and Foreign Policy in a Globalized World

Penulis                    : Bill Park

Penerbit/tahun : Routledge/2012

Bagian                      : 4. Turkey’s Europeanization: A journey without an arrival?

 

Turki yang perlahan namun pasti bergerak ke arah kehidupan yang bersifat modern setelah periode Perang Dunia II ternyata tidak diimbangi dengan perkembangan demokratisasi politik. Perkembangan pesat di bidang ekonomi dan teknologi membuat Turki telah memiliki identitas Eropa yang sesungguhnya.

Tidak hanya kealpaan perkembangan demokratisasi politik di dalam negeri, tetapi Turki juga dianggap masih kurang dalam memaknai dan menerapkan pelaksanaan Hak Azasi Manusia yang merupakan salah satu syarat mendasar untuk dapat diterima sebagai negara anggota Uni Eropa. Oleh sebab itulah Turki yang menganggap dirinya sebagai negara yang telah berangsur-angsur ke arah demokrasi yang sesungguhnya ternyata “dikalahkan” oleh negara-negara Eropa lainnya yang bisa dengan cepat menjadi negara anggota Uni Eropa walaupun negara-negara tersebut  telah lebih dari tiga dasawarsa dikungkung oleh ideologi komunis.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Turki membutuhkan waktu dan usaha yang lebih banyak untuk dapat menjadi bagian negara anggota Uni Eropa. Hal ini didasari oleh pendapat bahwa secara historis dan religiusitas Turki memiliki akar yang sangat berbeda dengan negara-negara di daratan Eropa secara keseluruhan. Negara-negara Eropa lainnya memiliki sejarah kebudayaan yang sama-sama berakar dari kekaisaran Romawi, dan setelah itu diikuti oleh campur tangan Gereja yang memilik peran sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial dan masyarakat di negara-negara Eropa. Sementara itu, negara Turki yang berada berdampingan dengan negara-negara di daratan Eropa dengan histori Romawi dan Gereja tidak cukup banyak memiliki pengalaman historis dan religiusitas yang sama.

Tidak hanya di bidang latar belakang historis dan religiusitas, di bidang budaya lainnya – bahasa – Turki juga memiliki perbedaan cukup besar dengan negara-negara lainnya di daratan Eropa. Bahasa yang menjadi bahasa nasional dan bahasa-bahasa yang dijadikan bahasa resmi di dalam Uni Eropa adalah bahasa-bahasa yang berasal dari tiga rumpun bahasa, yaitu rumpun bahasa Germania, rumpun bahasa Romans, dan rumpun bahasa Slavia. Sementara itu Turki memiliki bahasa yang tidak bersumber dari salah satu dari tiga rumpun bahasa di atas.

Jika kita berbicara tentang identitas suatu negara, maka faktor historis, religiusitas, dan bahasa yang merupakan bagian inti dati sebuah kebudayaan, maka secara kasat mata kita bisa meraba bahwa sebenarnya Turki memang tidak memiliki “identitas” Eropa yang sesungguhnya.

Namun demikian, ada hal yang membuat Turki merasa telah memiliki identitas Eropa dan dengan yakin merasa bahwa Turki bisa dengan mudah menjadi negara anggota Uni Eropa adalah ketika pada tahun 1995 Turki menandatangani kesepakatan pelaksanaan Custom Union dengan Uni Eropa. Namun kemudian, kekecewaan muncul dan pertanyaan besar bagi Turki telah menjadi isu dunia ketika negara-negara seperti: Polandia, Republik Ceko, Hungaria, Estonia, Slovenia, dan Cyprus yang sebagian besar merupakan negara-negara dengan akar komunis dengan mudah telah mendahului Turki menjadi negara anggota Uni Eropa. Dari kacamata Turki hal ini menjadi semakin buruk ketika Turki dihadapkan pada fakta bahwa negara-negara yang telah disebutkan di atas tidak satupun yang pernah menjadi bagian dari Custom Union Uni Eropa, sedangkan Turki telah menjadi bagian dari Uni Eropa melalui kesepakatan pada ranah ekonomi itu, tetapi tetap sampai sekarang Turki belum menjadi negara anggota Uni Eropa.

Turki dan Rezim Norma-Norma Internasional

Perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas merupakan nilai yang dijunjung Eropa. Walaupun sudah mengalami perkembangan yang besar dalam penandatanganan dan peratifikasian perjanjian hak azasi manusia internasional sejak pertama kali dicalonkan menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 1999 di Helsinki, Turki dianggap masih belum sepenuhnya menerapkan norma-norma hak azasi manusia dan hak-hak kaum minoritas.

Pada tahun 1995, Dewan Eropa membuka penandatanganan Framework Convention for the Protection of National Minorities, yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas adalah elemen yang tidak terpisahkan dalam perlindungan hak azasi manusia. Pada tahun 1998, konvensi ini mulai berlaku. Konvensi ini mendukung kehidupan kaum minoritas dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya, seperti agama, bahasa, tradisi, dan peninggalan budaya. Turki adalah salah satu dari empat negara anggota Dewan Eropa yang tidak menandatangani maupun meratifikasi konvensi ini.

Selain itu, Turki masih harus meratifikasi semua protokol Mahkamah Eropa untuk Hak Azasi Manusia. Turki juga merupakan satu-satunya anggota Dewan Eropa yang tidak menandatangani Statuta Roma Mahkamah Kriminal Internasional.

Walaupun Turki telah meratifikasi Pakta PBB mengenai Perjanjian Internasional dalam Hak Sipil dan Politik pada tahun 2006, Turki perlu memenuhi syarat dan kualifikasi peserta pakta tersebut. Salah satunya adalah dengan menyelaraskan pakta tersebut dengan Konstitusi Republik Turki dan Pakta Lausanne.

Berdasarkan Pakta Lausanne, hak kaum minoritas non Muslim (Yahudi, Yunani, dan Armenia) dalam hal bahasa, agama, dan hak budaya dilindungi. Namun, pada kenyataannya Turki dianggap belum sepenuhnya melindungi hak mereka. Hak kaum minoritas non Muslim, seperti komunitas Ortodoks Syria tidak termasuk yang dilindungi Pakta Lausanne. Selain itu, hak kaum minoritas Muslim, seperti Orang Kurdi, juga belum dilindungi, baik oleh Konstitusi Republik Turki, maupun Pakta Lausanne.

Laporan Perkembangan Turki Tahun 2009

Laporan Perkembangan Tahunan Turki yang dibuat oleh Komisi Eropa selalu menyatakan bahwa demokrasi di Turki perlu diperbaiki. Setelah sepuluh tahun sejak kuputusan di Helsinki tahun 1999, Laporan Perkembangan Turki secara garis besar menyatakan ada sedikit perkembangan pada pelaksanaan reformasi politik dan konstitusi di Turki. Namun demikian, penerapan demokrasi di Turki masih dianggap perlu diperbaiki.

Beberapa hal yang disorot:

–      Partai Sosial Demokratis pro Kurdi dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Turki.

–      Dewan Pemilihan Tertinggi Turki mengambil keputusan yang krusial pada menit-menit terakhir mengenai persyaratan dokumentasi untuk memilih dan pelarangan penggunaan jilbab bagi pengawas kotak pemilihan suara.

–      Pengadilan militer di Turki juga dianggap perlu dibenahi agar selaras dengan praktek yang berlaku di Uni Eropa.

Pada tahun 2009, Turki hendak menerapkan pengadilan sipil bagi anggota militer pada masa damai. Selanjutnya, kekuasaan pengadilan militer untuk mengadili warga sipil akan dihapuskan. Namun, pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi menolak hak

pengadilan sipil untuk mengadili anggota militer.

–      Pengawasan legislatif terhadap anggaran dan pengeluaran militer perlu diperketat.

–      Turki masih harus meratifikasi semua protokol Mahkamah Eropa untuk Hak Azasi Manusia.

–      Aturan hukum dianggap masih memberatkan wartawan, penulis, penerbit, politikus, dan akademisi.

–      Perlindungan terhadap hak kaum minoritas, seperti kaum non-Muslim, kelompok Alevi, perempuan, dan kaum minoritas lain perlu dsesuaikan dengan standar Uni Eropa.

–      Perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum Kurdi masih perlu ditegakkan.

Apakah Turki sedang Mengalami Eropanisasi?

Sejak awal berdiri, Turki telah mengarahkan dirinya ke Eropa. Seiring waktu, hubungan Turki dan Uni Eropa semakin dekat dan Turki semakin terintegrasi dengan Uni Eropa. Namun demikian, penerapan liberalisme, aturan hukum, toleransi, dan otonomi institusional di Turki masih dianggap belum stabil dan belum konsisten. Proses aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa hingga saat ini belum berhasil mengubah nilai-nilai elit politik di Turki yang masih penuh dengan nuansa otoritarianisme dan nepotisme.

Uni Eropa menjadi pusat yang mendasari reformasi di Turki. Namun, reformasi itu lebih karena adanya dorongan dari pihak eksternal, terutama dari Brussel. Dorongan ‘Eropanisasi’ dari internal Turki sendiri terlihat lemah. Pembuat kebijakan di Turki telah dengan cermat dan teliti memenuhi persyaratan Uni Eropa, namun mereka tetap terkesan tidak sungguh-sungguh dalam  melakukan tindakan dalam memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan oleh Uni Eropa.

Apa Akar Permasalahannya?

Penerapan demokrasi dan adaptasi norma-norma Eropa yang dilakukan Turki selalu mengalami kesulitan karena pihak yang berkuasa mempertahankan sistem pemerintahan yang birokratis, nasionalis, dan cenderung mendukung otoritarianisme. Hal ini berlawanan dengan internasionalisme liberal Eropa.

Demokrasi multi partai yang diterapkan Turki memberikan tempat kepada kelompok religius, provinsi, Kaum Kurdi, dan kelompok-kelompok lain di dunia politik, sosial, dan ekonomi. Evolusi politik Turki perlahan membuat kelompok politik Kemalis menjadi lemah, walaupun partai-partai Islam dan Kaum Kurdi masih mendapatkan kekangan. Melemahnya kelompok politik Kemalis menyebabkan militer turun tangan mempertahankan warisan Kemal. Hal ini justru menggangu perkembangan demokrasi di Turki.

Peran Militer

Dunia politik di Turki telah diwarnai dengan kudeta militer pada tahun 1960, 1971, dan 1980. Militer juga melakukan intervensi secara lebih halus pada tahun 1997. Keterlibatan militer pada ranah politik di Turki tidak memiliki pola yang konsisten, namun selalu didasari untuk mengembalikan Turki ke arah politik Kemal.

Militer Turki menganggap institusi mereka sebagai penjaga negara kesatuan Turki yang sekuler dan penjaga ideologi Kemalis. Namun, secara bersamaan, kelompok militer Turki sendiri menjaga institusinya independen dari gangguan pihak sipil.

Keterlibatan militer pada ranah politik di Turki yang seperti ini dan kondisi politik Turki yang tidak stabil menghambat upaya Eropanisasi Turki.

Budaya Politik

Terlepas dari intervensi militer di dalam ranah politik di Turki, penerapan demokrasi di Turki belum berjalan secara mulus. Baik politikus maupun rakyat memiliki andil dalam kegagalan demokrasi di Turki.

Politikus sering diasosiasikan dengan korupsi dan nepotisme. Pemerintahan yang berkuasa terdiri dari koalisi yang lemah dan masyarakat Turki telah mengalami berbagai kekacauan sejak demokrasi multi partai diterapkan.

Walaupun kaum terpelajar garis kiri semakin mempertanyakan peran militer di Turki sejak kudeta tahun 1971, masyarakat umumnya menganggap militer Turki lebih dapat dipercaya dan lebih bertanggung jawab dibandingkan politikus sipil. Mungkin hanya masyarakat yang beraliran politik sangat kiri, pro Kurdi, dan kelompok Islam yang tidak suka dengan peran militer di dunia politik Turki. Supremasi sipil terhadap militer dalam konsep demokrasi Turki belum dilihat penting oleh kelompok sipil.

Keraguan Eropa

Kapasitas dan keinginan Turki untuk mengadaptasi acquis Uni Eropa bukan satu-satunya syarat aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa. Turki masih harus menyelesaikan masalah yang terkait dengan Republik Turki Siprus Utara. Karakter Islam Turki juga mendapatkan tentangan dari berbagai oposisi Turki di Eropa, terutama oleh kelompok Demokrat Kristen Eropa.

Walaupun keberatan yang dikatakan sebagai penghambat aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa adalah demokrasi yang buruk, catatan pelanggaran hak azasi manusia, dan kondisi ekonomi yang lebih terbelakang. Eropa juga memiliki ketakutan tersendiri terhadap Turki, seperti mengenai imigrasi atau terorisme Islam. Pada dasarnya, negara dan masyarakat Turki tidak dilihat sebagai bagian Eropa.

Kesimpulan dan Opini

Uni Eropa secara resmi menyatakan bahwa demokrasi yang belum stabil, penegakan HAM yang masih setengah-setengah dan penanganan kasus-kasus yang terkait dengan HAM belum tuntas, serta perlindungan dan pengakuan terhadap kaum minoritas yang belum seutuhnya ditegakkan di Turki merupakan hal-hal yang menjadi penghalang bagi Turki untuk dapat bergabung sebagai anggota Uni Eropa. Anehnya, hal-hal yang disebutkan tadi tidak menjadi halangan bagi Turki untuk menjadi bagian dari negara-negara yang tergabung ke dalam Custom Union pada tahun 1995. Kejanggalan semakin terasa ketika negara-negara yang dulunya menganut ideologi komunis – yang sangat bertolak belakang dengan ideologi demokrasi – telah dengan mudah menjadi anggota Uni Eropa walaupun tidak satupun dari negara-negara tersebut yang pernah ikut berpartisipasi di dalam Custom Union sebelumnya.

Menurut saya, hal-hal yang diungkapkan pada paragraf di atas hanyalah basa-basi Uni Eropa untuk menunda status keanggotaan Turki menjadi anggota Uni Eropa, karena isu identitas dan pengalaman historis lah yang menurut saya menjadi sorotan utama Uni Eropa dalam menimbang-nimbang pemberian status keanggotaan kepada Turki.

Seperti yang telah saya jabarkan pada paragraf-paragraf awal dalam tulisan ini, perbedaan historis Turki dengan Eropa menjadikan Turki sebagai kelompok yang tidak mengantongi identitas dan ciri Eropa di mata Uni Eropa. Hal ini menjadi semakin buruk ketika pada masa-masa sekarang ini Islamophobia mulai menjadi momok terbesar di dalam kehidupan masyarakat di Eropa. Terkait dengan isu Islamophobia di Eropa, Turki bukanlah negara yang tidak dirugikan atas fakta ini, karena di mata Eropa pada umumnya Turki sangat identik dengan Islam. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah imigran asal Turki beragama Islam yang telah berketurunan di negara-negara Eropa lainnya dan sebagian dari mereka tercatat sebagai Muslim yang memiliki andil di dalam kekacauan dan kekerasan di dalam kehidupan sosial di Eropa.

Daftar Pustaka

Cini, Michele. (2010). European Union Politics. New York: Oxford University.

Karp, J.A., & Bowler, S. (2006). Broadening and deepening or broadening versus deepening: The question of enlargement and Europe’s “hesitant Europeans”. European Journal of Political Research, 45,

369-390.

Koenig, T., Mihelj, S., Downey, J., & Bek, M. G. (2006). Media framing of the issue of Turkish accession to the EU. A European or national process? Innovation: The European Journal of Social Science Research, 19, 149-169.

Lelieveldt, Herman & Princen, Sebastian. (2011). The Politics of The European Union, 2nd ed. New York: Cambridge University Press.

McLaren, L. (2007). Explaining opposition to Turkish membership of the EU. European Union Politics, 8, 251-278.

Jejak-jejak Pengaruh Gilde di Benelux dalam Bidang Sosial Budaya pada Awal Abad 21

Gilde adalah bentuk kerja sama para tukang/pengrajin dengan jenis produk yang bersifat homogen. Gilde dikembangkan oleh kelompok pedagang di Eropa Barat yang mulai muncul di masa awal abad pertengahan. Mereka mendiami sebuah pemukiman di dekat benteng kota, namun keberadaan mereka tidak termasuk ke dalam sistem feodal yang sudah ada waktu itu di kota tempat gilde berada. Namun demikian, keberadaan gilde ini memegang peranan penting di dalam sistem feodal yang ada terkait dengan hubungan antar kelas sosial masyarakat.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota dan kehidupan sosial pada masyarakat di Eropa Barat, maka peran gilde menjadi semakin penting demi terjaganya suplai barang-barang hasil produksi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat kelas menengah atas dan pertumbuhan infra-struktur pertumbuhan kota itu sendiri. Dengan demikian gilde termasuk ke dalam salah satu bagian kelompok masyarakat yang memegang peranan kunci dalam perkembangan kota pada paruh akhir abad pertengahan.

Dalam menyikapi situasi seperti ini, maka akhirnya kota-kota di Eropa waktu itu membentuk pemerintahan kota sebagai pemegang kekuasaan politik. Hal ini nantinya membedakan antara warga sebagai bagian dari suatu kota yang dipimpin oleh pemerintahan masing-masing dengan warga yang tergabung ke dalam suatu gilde, karena gilde juga memiliki hirarki kekuasaan tersendiri. Sementara itu, gilde menguasai sektor perdagangan dan ekonomi. Jadi, relasi antara pemerintah di setiap kota dengan gilde-gilde yang ada di masing-masing kota nantinya akan menentukan progres pertumbuhan kota dan peningkatan kesejahteraan kehidupan sosial masyarakat suatu kota.

Perkembangan Gilde

Pada sekitar abad ke-12, biasanya satu gilde terdiri merupakan sebuah cabang lengkap industri, misalnya pembuatan alas kaki. Namun di akhir abad ke- 12 dan selama abad ke-13 terjadi pembagian lebih spesifik dari aktifitas produk yang dihasilkan oleh suatu gilde. Oleh karena itu, dimulai dari abad ini semakin banyak bermunculan gilde yang lebih spesifik. Misalnya gilde yang khusus mengolah kulit hewan untuk dijadikan sepatu, gilde yang khusus memproduksi sol sepatu, gilde yang khusus memproduksi tali sepatu, dan sebagainya.

Pertumbuhan gilde yang semakin spesifik jenis produksinya disebabkan karena dua hal:

  1. Pertumbuhan kota yang cepat dan pertumbuhan jumlah masyarakat kota yang ikut meningkat menyebabkan gilde dengan pola lama (gilde yang merupakan cabang lengkap industri) dirasa tidak lagi efektif dalam memenuhi kebutuhan pesanan.
  2. Di dalam gilde pola lama mulai bermunculan orang-orang yang bekerja terpisah dalam mengerjakan bagian-bagian tertentu produk yang akan. Hal ini menyebabkan keberadaan alat produksi terpisah-pisah. Maka kemudian situasi ini akan lebih efektif apabila masing-masing gilde melakukan produksi bagian-bagian tertentu dari suatu produk utuh yang dipesan, misalnya gilde yang hanya mengolah kulit untuk dijadikan sepatu, gilde yang hanya memproduksi sol sepatu, dan lain sebagainya.

Fungsi Sosial Gilde

Pertumbuhan gilde yang cukup pesat dan langsung bersentuhan dengan masyarakat kota dari semua kelas sosial menyebabkan gilde perlahan tapi pasti memiliki peranan penting di dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat di kota-kota Benelux pada waktu itu.

Gilde-gilde yang ada pada saat itu bisa menjelma menjadi jaring pengaman sosial (social security system) bagi para anggotanya, dan kadang-kadang bagi masyarakat umum.

Aksi-aksi yang dilakukan oleh gilde yang berguna bagi kehidupan sosial masyarakat di Belanda:

  1. Penyelenggaraan upacara-upacara perayaan penobatan meester (tingkat paling tinggi di dalam struktur gilde) yang baru. Kegiatan ini merupakan kegiatan internal gilde yang efeknya memberikan fungsi sosial kepada masyarakat umum, karena pada kegiatan ini gilde menyediakan makanan dan minuman gratis bagi masyarakat sekitar.
  2. Donasi uang kepada gereja yang berada di sekitar gilde.
  3. Pembayaran biaya pemakaman anggota gilde yang meinggal dan nantinya diikuti dengan pembiayaan kehidupan janda-janda dan anak-anak yatim yang ditinggalkan.

Sementara itu, keuntungan-keuntungan khusus yang didapatkan sebagai anggota gilde adalah sebagai berikut:

  1. Pendidikan gratis untuk para putra meester yang mulai menurun kemampuan ekonominya.
  2. Jaminan kesehatan untuk anggota gilde yang sakit atau mengalami kecelakaan dalam pelaksanaan tugasnya.
  3. Apabila ada anggota yang kehilangan kekuatan ekonominya secara mendadak, misalnya setelah dirampok, maka gilde memberikan modal kepada orang itu untuk kembali membangun usahanya.
  4. Apabila ada orang asing yang menolak membayar sesuai dengan harga yang telah disepakati, maka gilde akan menagih utang orang tersebut kepada pemuka masyarakat kota tempat orang itu berasal.

Gilde-gilde yang ada pada masa ini memiliki pengaruh yang besar di dalam sistem pemerintahan kota-kota di Benelux. Sementara para anggota pemerintahan sibuk dengan usaha pertumbuhan kota melalui ekonomi dan perdagangan, maka gilde-gilde yang ada semakin memiliki kuasa untuk “mengatur” pola perkembangan yang ada di dalam pertumbuhan kota dan masyarakat pada waktu itu. Atas dasar inilah, maka banyak masyarakat Benelux pada waktu itu berlomba-lomba untuk masuk ke sekolah-sekolah[1] yang didirikan oleh gilde. Maka dari itu, sekolah-sekolah ini nantinya akan menjadi cikal bakal kemunculan sekolah-sekolah kejuruan yang ada di Benelux sebelum kemunculan universtias-universitas.

Jejak-jejak Pengaruh Gilde di Benelux pada Abad 21

I.                   Sistem Pendidikan di Belanda

Gambar 1

Nederlands_Onderwijs-schema
sumber: http://beroepskeuzeonline.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=59

Keterangan:

1. Warna ungu                            : pendidikan dasar

2. Warna hijau muda               : pendidikan lanjutan pertama

3. Warna biru muda                : pendidikan lanjutan atas

4. Warna kuning                       : pendidikan bidang keterampilan/kejuruan  lanjutan atas

5. Warna merah                        : pendidikan tinggi/universitas

Dari gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa Negara Belanda memiliki sistem pendidikan yang sangat tertata. Setelah lulus dari pendidikan dasar para siswa sudah bisa memilih kompetensi apa yang nantinya ingin diraih setelah lulus sekolah, dan hal ini sangat menentukan apakah siswa akan melanjutkan pendidikannya ke universitas atau ke sekolah tinggi kejuruan.

Menurut saya, sistem pendidikan di bidang keterampilan/kejuruan merupakan warisan dari sistem sekolah-sekolah yang didirikan oleh gilde di abad pertengahan. Jadi, generasi muda di Belanda tidak semuanya memiliki orientasi untuk melanjutkan pendidikan ke universitas, tetapi dari tingkat lanjutan pertama para siswa sudah diberikan kebebasan untuk memilih bidang mana nantinya yang ingin dikuasai apabila yang bersangkutan berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat yang paling tinggi. Dengan demikian, masyarakat Belanda memiliki fungsi yang jelas di dalam masyarakat dan di dalam dunia kerja ketika mereka telah menyelesaikan pendidikannya.

Maka dari itu, bukan hal yang aneh apabila di Belanda kita menemukan tukang cukur yang memiliki sertifikat kelulusan pendidikan sebagai tukang cukur dan piñata rambut, pedagang roti yang memiliki sertifikat kelulusan pendidikan tata boga dengan spesialisasi roti, makelar yang memiliki brevet dan sertifikat ahli di bidang makelar, tukang kebun yang memiliki sertifikat di bidang pengelolaan kebun, pengusaha restoran yang memiliki sertifikat keahlian dalam pengelolaan restoran, dan profesi lainnya.

II.                Sistem Perbankan di Benelux

Pertumbuhan dan perkembangan gilde di Benelux memberikan dampak yang cukup besar secara langsung terhadap perkembangan ekonomi pada saat itu. Hal ini menjadi alasan utam munculnya institusi ekonomi dan keuangan yang saat ini kita kenal dengan nama “bank”. Kegiatan transaksi yang tidak lagi menggunakan sistem barter, tetapi sudah mengenal sistem alat tukar (uang) memaksa kemunculan bank di Benelux.

Kegiatan transaksi tidak hanya di dalam kota, namun transaksi juga terjadi antar kota dan antar pulau. Seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa gilde-gilde yang ada dan semakin banyak jumlahnya mulai spesifik mengelola/memproduksi bagian-bagian tertentu dari suatu produk. Hal ini menyebabkan interaksi antar kota dan antar pulau semakin sering dalam upaya penyelesaian produksi suatu barang.

Kegiatan transaksi dalam jumlah besar dan dengan jumlah uang yang cukup banyak sangat rentan dengan perampokan yang biasanya terjadi di luar benteng (di luar kota, dalam perjalanan menuju kota atau pulau berikutnya untuk kepentingan transaksi). Maka dari itu, pada Abad ke-13 berdirilah sebuah bank di kota Gent (Belgia), London, Paris, dan Florence.

III.              Sistem Jaminan Sosial

Fungsi sosial gilde yang telah saya jelaskan pada halaman dua menjadi tiang berdirinya sistem jaminan sosial masyarakat di Benelux. Sistem asuransi warga negara di Belanda, Belgia, dan Luxemburg merupakan perkembangan dari fungsi sosial gilde di abad pertengahan.

Tidak hanya warga negara yang mendapatkan jaminan sosial, tetapi setiap warga asing yang ingin masuk ke negara di Benelux harus memenuhi banyak persyaratan dan salah satu persyaratan itu adalah memiliki asuransi jiwa dan kesehatan. Hal ini jelas merupakan pengaruh yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat di manapun di dunia, karena kesehatan adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya.

Jaminan kesejahteraan hidup warga negara di Benelux yang terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan pendidikan yang layak, jaminan kecelakaan kerja, tunjangan untuk pengangguran, tunjangan untuk warga miskin yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya, dan tunjangan hari tua (pension) yang ada pada saat ini merupakan bentuk penyempurnaan dari fungsi sosial gilde yang telah saya jelaskan pada halaman dua makalah ini.

IV.              Bangunan dan Seni Arsitektur

Banyak kota-kota di Eropa yang memiliki banyak bangunan-bangunan bersejarah memiliki seni arsitektur dengan nilai estetika yang sangat tinggi. Keberadaan bangunan-bangunan ini tidak lepas dari keberadaan gilde di masa lalu karena gilde tidak hanya melakukan aktifitas memproduksi suatu barang, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, gilde-gilde pada abad pertengahan juga berkembang pada sektor jasa, misalnya: ahli bangunan, tukang batu, tukang kayu (untuk dekorasi bangunan dan jendela), tukang kaca, dan sebagainya. Perkembangan keahlian gilde seperti ini sangat memegang peranan yang penting di dalam keberadaan bangunan-bangunan dan seni arsitektur yang melekat pada bangunan-bangunan tersebut yang berdiri megah pada saat ini di kota-kota di Benelux.

Bangunan-bangunan ini merupakan peninggalan budaya yang sangat penting karena berkaitan dengan sejarah dan identitas masyarakat suatu kota di Benelux, dan di benua Eropa pada umumnya.

Kesimpulan

Gilde yang mulai tumbuh di Benelux pada awal abad pertengahan dan semakin berkembang pada abad-abad berikutnya merupakan salah satu aspek terpenting dalam eksistensi dan identitas sosial dan budaya kota-kota dan masyarakat di Benelux.

Begitu banyak pengaruh jejak-jejak keberadaan gilde di Benelux yang memiliki nilai manfaat tinggi pada masa sekarang ini (abad ke-21). Keberadaan dan sistem sekolah yang ada di Belanda, Bank pertama yang ada di Gent, sistem jaminan sosial masyarakat, dan seni arsitektur bangunan di Benelux yang masih berdiri megah sampai saat ini merupakan beberapa warisan dari keberadaan gilde yang muncul di awal abad pertengahan di Benelux.

Melebihi dari apa yang telah saya sampaikan pada paragraf di atas, sejarah keberadaan gilde itu sendiri merupakan aspek budaya yang sangat penting bagi Eropa Barat, khususnya Benelux. Keberadaan gilde tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan budaya negara dan masyarakat Benelux, karena pertumbuhan kota yang diikuti dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan sistem sosial yang berlaku di dalam kota tersebut merupakan produk dari interaksi gilde yang mendiami suatu kota pada abad pertengahan.

Bibliografi

B. Tierney, S. Painter, (1983). Western Europe in the Middle Ages. New York: —

R. van Uyten, (1982). Stadsgeschiedenis in het Noorden en Zuiden. Haarlem: —

http://beroepskeuzeonline.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=59, diunduh pada tanggal 26 Oktober 2012, pukul 23.44 WIB.

http://kunst-en-kultuur.infonu.nl/geschiedenis/9099-de-gilde-een-vereniging-van-ambacht-en-werklieden.html, diunduh pada tanggal 27 oktober 2012, pukul 08.39 WIB.



[1] Demi menjaga kualitas barang hasil produksi, maka gilde mendirikan sekolah-sekolah untuk pendidikan bagi anggota baru yang nantinya akan mendapat pengakuan dari gilde untuk menguasai satu bidang usaha produksi produk tertentu atau kemahiran tertentu.

Latar Belakang Munculnya Islamophobia di Kalangan Masyarakat Eropa

Islamophobia adalah ketakutan terhadap segala sesuatu tentang Islam. Islamophobia saat ini sangat “mewabah” di negara-negara Barat (Amerika dan Eropa). Pada kesempatan ini fokus akan dikerucutkan pada Islamophobia di Eropa. Pasca Perang Dunia II yang telah meluluh lantakkan sebagian besar negara-negara di Eropa memaksa bangsa-bangsa di Eropa “mengimpor” para pekerja dari luar untuk membangun kembali negara mereka yang telah hancur setelah Perang Dunia II. Sebagian besar negara-negara di Eropa (khususnya negara Eropa Barat) “mengimpor” para pekerja dari negara-negara yang mayoritas penduduk dan budayanya berdasarkan ajaran Islam, seperti: Aljazair, Marokko, India, dan Turki. Para pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan banyak di antara mereka yang berkeluarga dan berketurunan di negara-negara Eropa dan beragama Islam. Keberadaan para pekerja asing ini yang akhirnya berkeluarga dan mempunyai keturunan di Eropa lama-kelamaan mengalami beberapa kendala terkait dengan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat asli di negara Eropa tempat mereka bekerja. Sebagian besar pekerja asing beserta keluarga dirasa kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat mereka bekerja (mereka hidup berkelompok di wilayah-wilayah tertentu yang di lingkungan itu hanya orang-orang dari asal negara yang sama yang bermukim). Tidak sedikit di antara mereka (antar pekerja pendatang yang berbeda asal negaranya) juga berselisih dalam kehidupan bermasyarakat di negara tempat mereka bekerja, hal ini tidak jarang menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan. Kejadian-kejadian seperti ini memupuk stigma negatif terhadap Islam yang lambat laun berkembang menjadi ketakutan terhadap Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Islamophobia.

Islamophobia diperkuat dengan kejadian-kejadian teror yang menyita perhatian dunia yang sebagian besar ditengarai dilakukan oleh-oleh kelompok Islam radikal dari negara-negara yang memiki basis penganut Islam cukup besar di dunia, Misal: tragedi WTC di Amerika, Bom bunuh diri di Inggris, Bom Bunuh diri di Spanyol, Pembunuhan terhadap sutradara Theo Van Gogh di Belanda oleh seorang Muslim, Pembunuhan Politikus Belanda, Pim Fortuyn oleh seorang Belanda keturunan Marokko, dsb.

Bentuk-bentuk Islamophobia yang terjadi di Eropa akhir-akhir ini sebagai berikut:

  1. Pelarangan pemakaian burka (cadar penutup muka) bagi Muslimah di Prancis
  2. Diskriminasi terhadap pelaksaan ibadah umat Muslim (termasuk pendirian tempat ibadah umat Muslim, dsb.)
  3. Pemeriksaan extra ketat di setiap imigrasi transportasi darat, laut, dan udara terhadap mereka yang beragama Islam atau mereka yang berasal dari negara yang mayoritas penduduknya Muslim.

Model Historiografi Lama dan Kritiknya

Penulisan sejarah sejak zaman Herodotus (490 S.M. – 430 S.M.) dan Thucydides (456 S.M. – 404 S.M.) bersifat naratif yang hanya menerangkan tentang kronologis terjadinya suatu peristiwa. Beberapa gaya penulisan pada zaman itu: kronik biara, memori politik, risalah kuno, dan sebagainya. Penulisan sejarah seperti ini kurang mendapat tempat di dalam ranah ilmiah karena data yang digunakan untuk penulisan kurang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu penulisan sejarah pada masa ini pada masa selanjutnya hanya dianggap sebagai cerita mitos dan laporan kejadian saja.

Pada masa dua pertiga bagian pertama abad ke-19 penulisan sejarah mulai memasuki bentuk modern. Tokoh sejarah yang menjadi pionir pada masa ini adalah Leopold von Ranke. Ranke mulai mencoba “mengilmiahkan” penulisan sejarah dengan bertitik tolak dari perolehan data yang sangat mengutamakan penggunaan data arsip konvensional. Model penulisan sejarah seperti inilah yang disebut dengan model penulisan sejarah methodique. Penulisan sejarah dengan model penulisan methodique hanya fokus kepada kejadian politik (perang) dan orang-orang terkenal dan bersifat kronologgis yang mengakibatkan sejarah sosial, ekonomi, dan budaya (sejarah non-politik) seperti tidak mendapat tempat/tersisih dari  disiplin ilmiah baru dan perlahan-lahan mulai tersingkirkan. Aliran methodique mengatakan bahwa sejarah hanya menyangkut orang ternama dan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi karena perbuatan mereka.

Pada tahun 1900-an penulisan sejarah politik dan orang-orang terkenal model methodique ini mulai menuai kritik yang tajam dari para penggiat sejarah dan diusulkan untuk mengganti model penulisan sejarah model methodique ini. Pengikut Durkheim, seorang ekonom yang bernama François Simiand mengkritik aliran methodique ini dengan menyatakan bahwa ada tiga “berhala” di dalam suku sejarawan yang harus ditumbangkan. Tiga “berhala” yang dimaksud oleh Simiand adalah: 1. Berhala politik (sejarah yang hanya berkecimpung di dalam ranah politik, termasuk perang), 2. Berhala individu (sejarah yang hanya berkecimpung membahas orang-orang terkenal pada masanya), 3. Berhala kronologis (kebiasaan melibatkan diri dalam kajian asal-usul).

Pada masa ini juga (tahun 1900-an) sifat sejarah menjadi subjek yang sangat sering diperdebatkan. Kritik dari Ernest Lavisse[1] mengatakan bahwa tidaklah tepat bila berpikiran tentang sejarawan profesional yang mapan dari suatu peridode yang terfokus dengan naratif peristiwa politik.

Ciri khas dari sejarawan abad ke-20 adalah orientasi mereka kepada ilmu sosial lain dalam melakukan pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap sejarah dengan tidak mengabaikan batasan-batasan dari pendekatan tersebut. Hal ini merupakan hantaman keras terhadap sejarawan dengan model penulisan methodique yang hanya berkecimpung di dalam sejarah politik kronologis dan orang-orang terkenal di dalamnya.

Di Prancis, aliran yang mengkritik aliran methodique dan cukup mendapat tempat adalah aliran Les Annales[2]. Aliran Les Annales menggunakan metodologi struktural dalam dasar setiap penelitiannya, dan menurut aliran Les Annales sejarah tidak hanya menyoroti tokoh-tokoh ternama, tetapi juga mencakup seluruh lapisan masyarakat yang tergabung ke dalam struktur tertentu.  Aliran Les Annales terdiri atas tiga kelompok, yaitu:

  1. Mereka yang benar-benar menjalankan prinsip Les Annales. Tokohnya: Lucien Febvre, March Bloch, Fernand Braudel, Georges Duby, Jacques Legoff, dan Emmanuel Le Roy Ladourie.
  2. Mereka yang berada di pinggiran dan tetap setia pada analisis sejarah menggunakan pendekatan Mrxis, khususnya dalam bidang ekonomi. Tokohnya: Ernest Labrousse, Pierre Villar, Maurice Agulhon, dan Michel Vovelle.
  3. Mereka yang bergabung sebentar dengan aliran Les Annales, dan kemudian bergeser dari aliran ini karena tidak setuju dengan perkembangan Les Annales berikutnya. Tokohnya: Ronald Mousnier dan Michel Foucault. Kelompok ini dijuluki kelompok semi Annales.

Menurut Lucien Febvre, seorang sejarawan bisa menjadi ahli Geografi, Hakim, Sosiologi, dan seorang sejarawan bisa menjadi ahli Psikologi, karena seorang sejarawan mampu menguraikan hal secara rinci dan mendalaminya secara sempit namun tajam.

Opini Penulis

Munculnya aliran Les Annales yang mengkritik aliran methodique membawa angin segar untuk banyak sejarawan dunia, khususnya di Prancis karena cakupan penelitian sejarah akan semakin luas bahasannya, tidak hanya berkecimpung di seputar politik, orang penting, dan cerita yang bersifat naratif kronologis.

Namun, sebenarnya dua aliran ini ada kekurangan dan kelebihannya. Kekurangan pada aliran methodique adalah mengabaikan disiplin ilmu lain di luar politik, dan hanya fokus terhadap orang-orang penting yang menyebabkan terjadinya suatu kejadian. Padahal sebenarnya suatu kejadian bisa terjadi tidak hanya disebabkan oleh perbuatan dari satu orang saja. Misalnya, reformasi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 sebenarnya tidak disebabkan hanya oleh seorang tokoh, yaitu Soeharto, tetapi banyak hal lain yang menyebabkan terjadinya reformasi di Indonesia pada tahun 1998, di antaranya: krisis ekonomi, kesejahteraan rakyat Indonesia yang merosot akibat dari krisis ekonomi, rasa muak masyarakat dengan gaya diktator pemerintahan Orde Baru, dan banyak faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang berperan sangat besar dalam terjadinya reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Dengan pemikiran ala aliran methodique, maka kejadian reformasi 1998 hanya akan menceritakan kronologis cerita dengan tokoh utama Soeharto, dan ini akan mengabaikan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang sebenarnya berperan cukup besar dalam terjadinya reformasi 1998.

Kelebihan aliran methodique: membongkar peran aktor-aktor penting suatu kejadian dan menceritakannya secara runut (kronologis).

Kekurangan pada aliran Les Annales adalah berkurangnya peran aktor dalam suatu kejadian, karena aliran ini lebih fokus terhadap hal-hal sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang berperan terhadap terjadinya suatu kejadian. Misalnya, kejadian kudeta oleh PKI pada tahun 1965 yang berujung pada pindahnya tampuk kepemimpinan Republik Indonesia ke tangan Soeharto. Dengan kerangka berfikir aliran Les Annales, maka ambisi pribadi Soeharto sebagai salah satu aktor dalam kejadian ini tidak akan komprehensif terekspos, karena aliran Les Annales lebih fokus terhadap faktor-faktor sosial lain yang berpotensi menyebabkan terjadinya kejadian ini, walaupun sebenarnya di balik faktor-faktor sosial yang menyebabkan terjadinya kudeta 1965 juga terdapat ambisi tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai tujuan tertentu dan melakukan hal-hal tertentu yang juga punya peranan besar dalam terjadinya kudeta 1965.

Kelebihan aliran Les Annales: mampu mengungkap faktor-faktor lain (khususnya di bidang sosial) yang berperan besar dalam terjadinya suatu kejadian.

Maka menurut saya, aliran methodique dan aliran Les Annales punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang sebenarnya jika kerangka berfikir dari dua aliran ini dikolaborasikan maka akan menghasilkan penulisan sejarah yang cukup komprehensif, karena kolaborasi antara dua aliran ini akan memperhitungkan aktor-aktor penting di dalam suatu kejadian, tanpa melupakan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang juga berperan terhadap terjadinya suatu kejadian, dan kronologis suatu peristiwa tetap terjaga.

Bibliografi

Burke, Peter. (2009). Seri Kajian Sejarah Dunia Revolusi Sejarah Prancis Mahzab Les Annales 1929 – 1989. Bogor: Akademia.

Lubis, Nina H. (2003). Historiografi Barat. Bandung: CV. Satya Historika.



[1] Salah satu sejarawan penting pada masa ini, ia juga merupakan editor umum sejarah Prancis yang terbist dalam sepuluh volume antara tahun 1900 dan 1912.

[2] Les Annales adalah sebuah jurnal yang peneliti-penelitinya mengintegrasikan sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

Kesan Ciri Aliran Ekspresionisme di dalam Novel The Methamorphosis Karya: Franz Kafka

Secara umum, ekspresionisme dapat dikenal sebagai suatu aliran di dalam bidang seni yang mengumbar emosi yang mendalam. Hal ini bisa bermakna bahwa setiap karya dalam aliran ekspresionisme merupakan wujud pemberontakan yang bergejolak di dalam bathin si seniman yang dalam kehidupan nyata dia tidak bisa melakukannya. Jadi, satu-satu nya cara dan media yang bisa menjadi wadah penyalur keinginan yang terpendam dan hampir tidak bisa terwujud itu adalah di dalam karya yang diciptakan oleh seniman itu.

Franz Kafka, seorang penulis ekspresionis Jerman, dalam karyanya yang berjudul The Metamorphosis menunjukkan dengan jelas bagaimana karya tulis (dalam hal ini berupa novel) di dalam aliran ekspresionisme.

Dalam novel The Metamorphosis terdapat empat tokoh utama: 1. Gregor Samsa, seorang pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga yang secara misterius berubah menjadi kecoa pada suatu hari, 2. Grete Samsa, adik perempuan Gregor Samsa yang merawat dan memberi makan Gregor Samsa ketika dia sudah berubah menjadi kecoa, 3. Herr Samsa, Ayah Gregor Samsa yang kembali bekerja ketika Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa, 4. Frau Samsa, Ibu Gregor Samsa yang juga kembali bekerja ketika Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa.

Tokoh Gregor Samsa di dalam novel ini memberikan kesan kepada saya bahwa dia adalah orang yang sangat banyak terbebani. Dia adalah orang yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga walaupun tidak sepenuhnya dia menginginkan pekerjaan yang banyak menyita waktunya ini. Namun demikian, dia tidak bisa lari dari kenyataan untuk tidak bekerja karena tanggung jawab kesejahteraan keluarganya bergantung di pundaknya seorang. Sampai pada suatu hari dia mengalami dirinya berubah menjadi seekor kecoa saat dia terbangun dari tidur dan mimpi buruknya, tetapi pemikiran, perasaan, dan jiwanya tetap seperti manusia. Dia tetap terganggu dengan pikiran kewajiban kerja, kemungkinan atasan akan memarahinya jika dia terlambat bekerja, kemungkinan dia akan menjadi sangat salah jika dia tidak serius di dalam bekerja sehingga tidak menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga, dan sebagainya.

Kejadian dari dia terbangun tidurnya dan mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa dengan segala macam perasaan dan pikiran-pikiran manusia diceritakan oleh Kafka di dalam novel ini lebih dari delapan halaman. Cerita-cerita pada halaman pertama ini dipenuhi dengan detil kegelisahan Gregor Samsa yang mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa, dan gelisah karena khawatir tidak bisa melakukan pekerjaannya sebagai seorang travelling salesman. Di samping itu, dia juga gelisah seandainya hari di saat dia bangun dan telah berubah menjadi kecoa itu dia terlambat sampai di tempat kerja, karena hal ini bisa meninggalkan preseden buruk di mata atasannya.

Kenyataan bahwa Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa menjadikan banyak perubahan di dalam kehidupan keluarga Samsa. Sebelum tubuh Gregor Samsa berubah menjadi seekor kecoa, dia adalah satu-satunya orang di dalam keluarga Samsa yang bekerja dan menghidupi keluarga Samsa. Namun setelah kematiannya karena telah dianggap oleh keluarga dan orang-orang sebagai makhluk jahat yang telah membunuh Gregor Samsa keadaan menjadi berubah “membaik” di dalam keluarga Samsa. Hal ini disebabkan karena Ayah dan Ibu Gregor Samsa kembali bekerja dan menghasilkan uang.

Dari sedikit ringkasan yang sangat singkat dari cerita dalam novel ini sangat jelas terlihat ciri aliran ekspresionisme di dalamnya. Ungkapan emosi mendalam dari Gregor Samsa sebagai tokoh utama di dalam novel ini sangat terlihat.

  1. Gregor Samsa berubah menjadi serangga buruk, menjijikkan, menakutkan, dan tidak diinginkan kehadirannya di rumah keluarga Samsa, padahal sebelumnya dia adalah orang yang memegang peranan sangat penting di dalam keluarga karena dia adalah tulang punggung keluarga. Hal ini saya dapat pahami sebagai pemberontakan dari diri tokoh Gregor Samsa terhadap kemuakannya terhadap rutinitas bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi banyak orang dan terpaksa mengabaikan perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan pribadinya sebagai seorang manusia.
  2. Pemilihan sosok binatang serangga pada metamorfosis tokoh Gregor Samsa adalah suatu simbol kerinduan terhadap kebebasan yang mutlak dan terbebas dari segala macam keharusan di dalam kehidupan sosial. Binatang adalah makhluk bebas yang hanya berjuang mencari makan dan kesenangan untuk dirinya sendiri ketika binatang tersebut telah mencapai usia dewasa, sedangkan Gregor Samsa adalah seorang lelaki dewasa yang direnggut kebebasannya karena tanggung jawab terhadap keluarga yang mengharuskannya bekerja keras, mengabaikan segala keinginan dan kesenangan pribadinya.
  3. Pemilihan profesi tokoh Gregor Samsa sebagai seorang travelling salesman yang mengharuskannya setiap saat bepergian dan bertemu dengan banyak orang dengan tetap memberikan ekspresi muka yang ceria dan ramah juga merupakan simbol yang diberikan oleh Kafka dalam novel ini untuk menunjukkan bagian emosi dan keinginan dari tokoh Gregor Samsa yang terpendam di dalam novel ini.
  4. Terdapat kontradiksi antara perubahan bentuk tubuh dengan emosi dan pikiran-pikiran pada tokoh Gregor Samsa. Walaupun tubuhnya telah berubah menjadi tubuh seekor serangga, namun emosi dan pikiran-pikirannya tetap merupakan emosi dan pikiran-pikiran seorang manusia. Dia tetap memikirkan pekerjaannya, tetap memiliki keengganan jika ayahnya harus menegurnya karena ayahnya telah merasa terintimidasi oleh atasannya karena dia terlambat atau mungkin tidak bisa laig bekerja.
  5. Tidak terasa kesa melankolis pada tokoh Gregor Samsa saat mengetahui bahwa tubuhnya telah berubah menjadi tubuh seekor serangga. Hal ini sangat menunjukkan bahwa sebenarnya bisa saja fakta bahwa perubahan tubuh Gregor Samsa menjadi tubuh seekor kecoa merupakan keinginan terdalam dari dirinya untuk mendapatkan kebebasan mutlak di dalam hidupnya sebagai seorang lelaki dewasa, dan dengan demikian dia terbebas dari keharusan untuk bekerja keras setiap hari dan mengabaikan segala keinginan dan kesenangan pribadinya. Hahhh

Dari lima poin di atas saya mendapatkan kesan bahwa novel The Metamorphosis karya Franz Kafka ini adalah sebuah karya tulis yang mengusung aliran ekspresionisme. Terdapat kontradiktif di dalam semua poin yang saya jadikan sebagai kesan ekspresionis di dalam novel ini, dan menurut saya hal-hal yang kontradiktif itu merupakan cara Kafka untuk menunjukkan perbedaan antara hal-hal yang terpaksa dilakukan oleh Gregor Samsa di dalam kehidupan nyata dengan hal-hal yang sangat diinginkan Gregor Samsa jauh di dalam lubuk hatinya.

Novel ini dengan detil menggambarkan setiap pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan terdalam dari tokoh Gregor Samsa, dan dengan detil juga memberikan kontradiksi antara hal-hal yang diinginkan dengan hal-hal yang terpaksa dilakukan dengan mengorbankan kebutuhan dan keinginan pribadi dari tokoh Gregor Samsa. Maka dari itu, semua penjelasan yang telah saya uraikan di atas merupakan kesan ciri ekspresionis di dalam karya tulis yang ditulis oleh Ranz Kafka.

Islam dan Masyarakat Belanda pada Abad-21

Posisi Islam yang tumbuh subur dan mendapat tempat di Belanda pada abad ke-20, sampai akhirnya memiliki siaran radio sendiri di masa verzuiling menjadikan Islam sebagai salah satu elemen yang memiliki peran cukup penting di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda.

Kesuksesan pertumbuhan Islam di Belanda yang dibawa oleh para pekerja impor (imigran) dari Turki dan Marokko ikut memiliki andil dalam membentuk negara Belanda sebagai salah satu negara di dunia Barat, khususnya di benua Eropa yang sukses dalam penerapan multikulturalisme di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi, Islam memiliki peran cukup besar dalam menambah keberagaman budaya di negara Belanda.

Di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 jumlah pemeluk agama Islam di Belanda relatif meningkat. Di beberapa periode terjadi penurunan jumlah, tetapi tidak begitu signifikan. Data yang dikeluarkan oleh CBS (Centraal Buerau voor de Statistiek)[1] menunjukkan fluktuasi pergerakan peningkatan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda.

Tabel 1.1 pertumbuhan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda 1971-2009 dan prediksi sampai tahun 2050

Sumber: Centraal Bureau voor de Statistiek

Pertumbuhan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda juga diiringi dengan pertumbuhan fasilitas lainnya, seperti: sekolah-sekolah dasar dengan basis Islam, Mesjid-mesjid, dan lain sebagainya. Data dari CBS memperlihatkan di tahun 2006 telah terdapat 47 sekolah dasar berbasis Islam, di tahun 2001 telah terdapat dua sekolah lanjutan menengah, yaitu: Islamitisch College Amsterdam dan  Islamitische Scholengemeenschap Ibn Ghaldoun di Rotterdam.

Kegiatan-kegiatan keagamaan Islam yang identik dengan sesuatu yang bersifat komunal juga difasilitasi dan dijamin hak nya oleh Pemerintah Belanda. Tidak hanya itu, kebudayaan Islam yang menuntut kaum perempuan mengenakan pakaian yang hampir seperti jubah dengan menggunakan jilbab di bagian kepala juga tidak menjadi masalah dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda.

Namun demikian, kehidupan masyarakat Islam di Belanda tidak luput dari masalah-masalah yang memiliki potensi besar sebagai pemicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda. Pemeluk agama Islam di Belanda tidak hidup sebagai satu kesatuan umat Islam, mereka lebih terikat dengan budaya negara asal mereka. Dalam hal ini kelompok Islam dari Turki sering terlibat konflik dengan kelompok Islam yang berasal dari Marokko. Rumah-rumah ibadah (Mesjid) di Belanda pun terkesan lebih dibuat untuk menampung golongan-golongan Islam dari asal negara tertentu, misalnya kelompok Muslim Turki memiliki Mesjid yang khusus didatangi oleh warga negara keturunan Turki, begitu juga dengan kelompok Muslim asal Marokko.

Stigma negatif masyarakat Belanda terhadap warga negara keturunan Turki dan Marokko yang sempat bermasalah pada masa-masa paruh kedua abad ke-20 menambah pemicu yang mengakibatkan terjadinya konflik-konflik antar negara asal. Mereka (warga keturunan Turki dan Marokko) sering mendapat cap kriminal di Belanda, dan hal ini menimbulkan efek saling tuduh antara warga keturunan Turki dengan warga keturunan Marokko. Pertikaian-pertikaian seperti ini nantinya mulai menjadi pemicu ketidaknyamanan kehidupan bermasyarakat di Belanda.

Penerimaan masyarakat Belanda terhadap Islam dan imigran lainnya memberikan peluang bagi pemeluk agama Islam dan imigran di Belanda untuk aktif berkegiatan di segala aspek kehidupan. Tidak sedikit dari para imigran dan pemeluk agama Islam yang aktif dalam percaturan politik dan urusan kenegaraan di Belanda. Bukti konkritnya adalah Duta Besar Belanda untuk Indonesia saat ini adalah Tjeerd de Zwaan, seorang Muslim keturunan Marokko. De NMP (de Nederlandse Moslim Partij), merupakan partai politik yang masih aktif dan masih akan ikut dalam pemilu pada tanggal 13 Mei 2015. De NMP mengusung ideologi Islam dan aktif dalam upaya mengurangi jurang pemisah antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di Belanda.

Tidak hanya di bidang politik, bidang ekonomi juga digeluti oleh para imigran dan pemeluk Islam di Belanda. Tidak terdapat deskriminasi agama dalam segala aspek kehidupan di Belanda, hal ini menjadikan Belanda sebagai salah satu negara barat, khususnya di Eropa yang berhasil menerapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kesamarataan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda menjadikan Belanda sebagai salah satu negara favorit yang dijadikan tujuan oleh mereka yang ingin bermigrasi dalam rangka mewujudkan mimpi dan cita-cita. Hal ini dipermudah dengan keberadaan Uni Eropa dengan kesepakatan Schengen-nya. Keberadaan Schengen menjadikan arus imigrasi semakin besar jumlahnya, dan tanpa disadari, ternyata hal ini nantinya akan menjadi pemicu baru terkait isu-isu negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda.



[1] Centraal Bureau voor de Statistiek adalah sebuah institusi negara di Belanda yang fungsinya dapat dipadankan dengan Badan Pusat Statistik di Republik Indonesia.

Reunifikasi Jerman dan Perluasan Uni Eropa

Jerman menjadi tokoh yang cukup sentral dalam sejarah terbentuknya komunitas yang saat ini dikenal dengan nama Uni Eropa. Kebesaran Jerman secara geografis dan demografis, dan ditambah dengan sejarah masa lalu nya yang menjadikan benua Eropa porak poranda pada masa pasca Perang Dunia II telah menjadi pemicu utama bagi negara-negara pelopor (The Inner Six) dalam membentuk suatu organisasi di bidang ekonomi dan pertambangan yang dimulai pada tahun 1951.

Keruntuhan rezim Komunis yang menyebabkan terjadinya reunifikasi Jerman pada awal tahun 1990-an kembali memberikan ketakutan yang luar biasa bagi setiap negara anggota yang telah tergabung ke dalam Komunitas Eropa, sehingga Komunitas Eropa harus mengadakan I.G.C. yang nantinya menelurkan T.E.U. dan menjadi dasar terbentuknya komunitas besar di benua Eropa yang saat ini dikenal dengan nama Uni Eropa.

Jerman yang semakin kuat secara ekonomi setelah reunifikasi ternyata secara perlahan tapi pasti juga menjadi dominator di dalam Uni Eropa. Hal ini membuat negara-negara anggota harus duduk bersama kembali untuk membicarakan tentang jati diri, masa depan Uni Eropa, dan rencana perluasan wilayahnya. Terkait hal ini, maka pada tahun 2000 Uni Eropa kembali mengadakan I.G.C yang khusus membahas tentang masa depan dan perluasan keanggotaan Uni Eropa. Selain itu, kejelasan mekanisme pengambilan keputusan di dalam Uni Eropa dan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan di dalam Uni Eropa juga menjadi isu yang tidak kalah seru diperdebatkan pada I.G.C. tahun 2000. Pada kesempatan yang sama, Uni Eropa juga membahas tentang upaya pendekatan kepada masyarakat di dalam setiap negara anggota melalui usaha penyederhanaan di dalam traktat-traktat yang sudah disepakati sehingga mudah dipahami tidak hanya oleh para elit politik Uni Eropa, tetapi juga oleh masyarakat di dalam setiap negara anggota.

 

Daftar istilah penting:

T.E.U : Treaty on European Union (ditandatangani pada tahun 1992 di Maastricht)

ð  Traktat ini merupakan hasil kompromi negara-negara anggota EC (European Community) yang menghasilkan keputusan sehingga terbentuklah European Union (EU).

I.G.C : Intergovernmental  Conference

ð  Prosedur formal untuk negosiasi amandemen perjanjian-perjajian yang telah ada di dalam komunitas Uni Eropa.

Das Eigentum von Volker Braun (1990)

Das Eigentum yang ditulis pada tahun 1990 ini sangat erat kaitannya dengan reunifikasi Jerman, atau boleh dikatakan memang ditulis oleh Volker Braun sebagai bentuk kritik pada masa itu terhadap pemerintah DDR, BRD, maupun masyarakat Jerman Barat itu sendiri. Mengapa saya katakan demikian? Dalam majalah der Spiegel[1], 31.03.2000, dikatakan bahwa karya-karya Braun pada masa pemerintahan DDR berisi tentang keluhan-keluhan masyarakat terhadap pemerintahan DDR, namun tanpa meragukan dasar ideologi sosialis mereka. Braun sendiri memang besar di Jerman Timur, dan oleh karena itu ideologi sosialis adalah “makanan sehari-hari” yang ia dapatkan dari mulai sekolah, di tempat kerja, dan selama ia hidup dalam pemerintahan DDR itu. Atas dasar ini, yang Braun kritik dari pemerintahan DDR adalah bukan kekuatan perlawanannya terhadap paham demokrasi dan kebebasan di Barat, melainkan ketidakberhasilannya dalam melaksanakan dan mempertahankan nilai yang dijunjung tinggi, yakni persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakatnya[2].

Baris pertama mengisahkan tentang perpindahan mein Land ke negeri Barat yang dapat kita lihat sebagai simbol reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Namun, ada hal mencolok dan menarik dalam kalimat ini, yaitu bahwa reunifikasi yang terjadi nampak tidak seperti dua negara yang bersatu atau melebur menjadi satu, melainkan lebih terlihat bahwa Jerman Timur “harus menyesuaikan dirinya” dengan Jerman Barat. [“Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen”][3]. Hal ini kemudian dikuatkan lagi oleh baris kedua yang bahkan terlihat lebih kuat dan ditekankan karena seluruh kata-katanya ditulis dengan huruf kapital. [“KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN”][4]. Hal ini terdengar sangat ironi dan tentunya bertentangan dengan apa yang telah ditulis oleh Georg Büchner lebih dulu dalam Hessischer Landbote. Namun Braun ingin menggambarkan bagaimana pemerintah dan masyarakat Jerman Barat pada masa itu melihat dan memperlakukan masyarakat Jerman Timur. Jerman Barat merupakan masyarakat yang secara sosial dan budaya didominasi oleh kelas menengah, sementara Jerman Timur merupakan masyarakat yang telah dibentuk menjadi kaum proletar (verproletarisierte Gesellschaft)[5]. Oleh karena itu, dapat kita lihat bagaimana dua kelompok masyarakat yang sangat berbeda dan telah terpisah selama 45 tahun tiba-tiba dipersatukan. Hal ini ditinjau lebih lanjut oleh baris keempat [“Es wirft sich weg und seine magre Zierde”][6]. Es yang melambangkan mein Land dikisahkan telah membuang dirinya dan perhiasan-perhiasan sederhananya. Sebuah contoh dapat kita ambil untuk melambangkan “perhiasan sederhana” yang dimiliki oleh Jerman Timur, yakni trabant. Jika kita sandingkan trabant dengan mobil-mobil mewah yang dihasilkan Jerman Barat, tentunya ia nampak terlampau sederhana. Hal ini kembali mendukung baris kedua tadi, yaitu bahwa masyarakat Jerman Timur (den Hütten) terlihat menjadi bahan olok-olokan pihak yang lebih berkuasa (den Palästen atau Jerman Barat).

Pada baris kelima dikisahkan bagaimana musim dingin diikuti oleh musim panas yang penuh hasrat. Hal ini sangat cocok dengan keadaan masyarakat Jerman Timur yang hasratnya telah dibekukan selama masa pemerintahan DDR dengan terbatasnya barang konsumsi dan penerapan hidup sederhana. Mereka kemudian bisa memuaskan hasratnya lagi ketika telah bersatu dengan Jerman Barat, di mana tersedia semua jenis pemuas hasrat itu.

Kemudian baris 8 dan 9 mengisahkan tentang harapan Ich yang belum sempat tercapai, namun telah direnggut. [“Was ich niemals besaß wird mir entrissen.” , “Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.”][7]. Hal ini dapat saya kaitkan dengan hal yang telah saya tulis pada paragraf pertama, yaitu bahwa Braun mengkritik pemerintah DDR dalam hal ketidakberhasilannya menerapkan nilai yang mereka junjung tinggi, yaitu persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakat. Kenyataan bahwa Braun juga sebenarnya tidak meragukan paham sosialisme itu sendiri mengisyaratkan bahwa Braun tidak hendak menilai paham mana yang benar atau salah, namun yang ia harapkan adalah adanya penerapan sebuah ideologi sesuai dengan nilai-nilai yang memang dijunjung tinggi. Ketika penerapan itu tidak sesuai dengan nilai yang dipercaya oleh sebuah ideologi, maka hal itu patut disalahkan. Ini mungkin yang merupakan harapan Ich yang belum tercapai, namun telah direnggut, karena Ich tidak mungkin bisa mewujudkan harapannya itu sementara negerinya sendiri telah “runtuh”.

Kemudian baris 10 mengisyaratkan harapan masyarakat Jerman, khususnya Jerman Timur, yang dijadikan sebagai “umpan” ?dalam hal ini menurut saya oleh Amerika Serikat? dengan adanya penyatuan Jerman [“Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle”][8]. Amerika Serikat dengan ideologi Baratnya menjanjikan sebuah kebebasan dan pemerintahan yang demokratis. Di saat masyarakat Jerman Timur yang pada pemerintahan DDR dikukung dan dibatasi kebebasannya, tentunya mereka menjadi haus akan kebebasan dan ingin “lari” ke Barat. Hal ini jika dilihat dari sisi Jerman Timur merupakan sebuah harapan, sementara di sisi Jerman Barat menjadi layaknya sebuah umpan.

Baris penutup, yakni baris 11 dan 12, merupakan sindiran terhadap Jerman Barat. [“Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.” , “Wann sag ich wieder mein und meine alle.”][9]. Pada baris ke-11, Braun mengatakan bahwa sekarang kepunyaanku telah kalian genggam di cakar kalian. Kata “cakar” yang dipilih oleh Braun memiliki kekuatan makna tersendiri yang dapat diartikan dengan kekuasaan atau genggaman yang kuat dan seakan-akan “memenjarai”. Hal ini dapat dihubungkan dengan pemerintah Jerman Barat yang lebih berkuasa atas masyarakat Jerman Timur dan ingin membuat mereka menjadi “ke-barat-an”. Kemudian pada baris ke-12, Braun ingin memberikan umpan dengan mempertanyakan konsep kepemilikan itu sendiri, yaitu kapankah ia bisa mengatakan milikku dan milik kita bersama.

Berdasarkan pemaparan di atas, Braun memang berhak dan pantas mendapatkan Büchnerpreis (tahun 2000) karena selain karya-karyanya yang mengandung kritik dan cenderung berpihak ke pihak yang “dijajah” atau “menderita”, ia tetap mampu melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Selain itu, ia juga mempunyai kekuatan dalam menulis karya-karyanya, yaitu dengan menggunakan pilihan kata (diksi) yang tepat, yakni yang secara estetika puisi dapat terdengar indah (misalnya dengan penyesuaian bunyi rima), namun makna kata tersebut mampu “menusuk” atau “menampar” pembacanya.

Lampiran: Teks Das Eigentum

Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen.

KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN.

Ich selber habe ihm den Tritt versetzt.

Es wirft sich weg und seine magre Zierde.

Dem Winter folgt der Sommer der Begierde.

Und ich kann bleiben wo der Pfeffer wächst.

Und unverständlich wird mein ganzer Text.

Was ich niemals besaß wird mir entrissen.

Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.

Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle.

Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.

Wann sag ich wieder mein und meine alle.

In: Die Zickzackbrücke. Ein Abrißkalender, Halle 1992, S. 84.



[1] http://www.spiegel.de/kultur/literatur/0,1518,71199,00.html, diunduh tanggal 2 Juni 2011 pukul 18:35)

[3] Terjemahan: Here I am still: my land goes to the west

[4] Terjemahan: Fight against the folks (hut), free the government (palace)

[6] Terjemahan: It tosses itself and its meager adornments

[7] Terjemahan: What I never had will be wrested away from me ; What I didn’t experience, I will eternally miss

[8] Terjemahan: The hope lies on the road just like a decoy

[9] Terjemahan: My belongings, now you have them in your claw ; When will I ever say “my” and “my all” again

Ditulis oleh: Nathania Valentine

GRIPS Theater

GRIPS Theater diprakarsai oleh gerakan pelajar di tahun 60-an yang ingin membawa pembaharuan di Jerman, yakni menciptakan teater yang realistis dan mudah dimengerti oleh anak-anak. Kata “GRIPS” sendiri berasal dari bahasa slang di Jerman Utara yang berarti “daya tangkap yang cepat”. GRIPS juga dapat berarti “berpikir dengan cara yang menyenangkan”.

Ciri khas GRIPS Theater adalah bahwa setiap dramanya memiliki sebuah amanat/pesan untuk penontonnya tanpa bermaksud untuk “menggurui”. Amanat/pesannya tidak bersifat pedagogi dan tidak juga propaganda. Tidak seperti teater-teater pada umumnya, dalam menonton GRIPS Theater, penonton tidak bertepuk tangan, melainkan bersorak-sorai, menangis, tertawa, berteriak, bersiul, dan ikut bernyanyi bersama.

GRIPS Theater berusaha untuk mengenali masalah, kebutuhan, dan kerinduan rakyatnya. Hal ini diwujudkan melalui dramanya yang bermaksud untuk membantu penonton mengembangkan fantasi sosial mereka, terutama dalam mengenali konflik-konflik yang terjadi sehari-hari, agar mereka mampu mengubah lingkungannya menjadi lebih baik. Di samping itu, tak dapat dilupakan bahwa tujuan utama GRIPS Theater adalah untuk memfasilitasi anak-anak dan pemuda dalam mengembangkan kreativitasnya, khususnya di bidang teater, dan tentunya memberikan pengalaman kepada mereka di bidang teater.

Saat ini, GRIPS Theater tersebar luas di dunia dan disebut sebagai teater anak dan pemuda. Namun pertunjukkan-pertunjukkan GRIPS Theater tidak hanya disajikan untuk anak-anak dan remaja, melainkan juga untuk kaum dewasa. GRIPS Theater berhasil berkat teater anaknya (Kinderstücken) seperti “Ein Fest bei Papadakis” dan “Max und Milli”, serta teater untuk kaum dewasa seperti “Linie 1” dan “Ab heute heißt du Sara”.

Sumber:

– http://www.grips-theater.de/
– http://www.atlantic-times.com/archive_detail.php?recordID=2021
– http://www.gymnasium-selm.de/schulleben/kultur/musical/linie-1/

Berkenalan dengan Uni Eropa/European Union (EU)

Sejarah Awal Terbentuknya Uni Eropa

Hubungan-hubungan masa lalu yang tercipta sebagai hasil dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui perdagangan, perluasan wilayah, dan pengakuan kedaulatan dari wilayah-wilayah di Eropa telah menimbulkan banyak kejadian penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban kehidupan manusia sampai detik ini. Salah satu kejadian penting itu adalah perang.

Kesadaran terhadap dampak negatif dari peperangan di masa lalu –puncaknya pada pasca Perang Dunia II– menyebabkan negara-negara Eropa yang termasuk ke dalam blok Eropa Barat mendirikan Council of Euopre pada tahun 1949. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama masa perang memicu negara-negara Eropa Barat untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan Eropa dari kemungkinan-kemungkinan peperangan di masa yang akan datang.

Apa yang ingin dicapai dari pembentukan komunitas Eropa yang sekarang ini dikenal dengan nama Uni Eropa ini? Pascal Fontaine[1] dalam tulisannya memaparkan beberapa tujuan dari Uni Eropa, yaitu:1. Perdamaian dan stabilitas: trauma pasca Perang Dunia II mendorong negara-negara di Eropa untuk menciptakan perdamaian dan menjaga stabilitas keamanan di kawasan Eropa. 2. Penyatuan Eropa: setelah runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989 diikuti dengan keruntuhan kekaisaran Soviet pada tahun 1991 keinginan negara-negara di Eropa untuk bersatu semakin kuat. 3. Keselamatan dan keamanan: Keamanan internal dan keamanan eksternal merupakan hal yang sangat penting. Perang melawan terorisme dan kejahatan terorganisir menuntut Uni Eropa untuk membangun suatu kerja sama yang kuat. 4. Solidaritas sosial dan ekonomi: Pasar tunggal Eropa menyediakan perusahaan dengan platform penting untuk bersaing secara efektif di pasar dunia. 5. Identitas dan keberagaman: urusan ekonomi, sosial, teknologi, dan politik di dalam Uni Eropa akan lebih mudah dijalankan dibandingkan jika setiap negara harus bertindak secara individual. Ada nilai tambah dalam bertindak bersama-sama dan berbicara dengan suara tunggal sebagai Uni Eropa. 6. Nilai-nilai (Values): Uni Eropa ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam keberadaan Uni Eropa akan berdampak positif terhadap kemanusiaan, karena kebutuhan masyarakat tidak akan dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan kekuatan pasar atau tindakan-tindakan yang sifatnya sepihak. Pada bulan Desember 2000 diproklamirkan The Charter of Fundamental Rights of the European Union di Nice, yang isinya menetapkan semua hak yang diakui oleh negara-negara anggota Uni Eropa dan warganya. Nilai-nilai ini dapat menciptakan perasaan kekerabatan antara orang Eropa. Salah satu contohnya adalah semua negara Uni Eropa telah menghapuskan hukuman mati.

Kejadian-kejadian Penting

Pada tanggal 9 Mei 1950 (Europe Day), Robert Schuman (Menlu Prancis)  mempresentasikan ide-idenya dalam misi penyelamatan Eropa sehingga terbentuk European Coal and Steel Community (ECSC). ECSC akhirnya ditandatangani pada tanggal 18 April 1951 oleh 6 negara pinoir (the Inner Six) yang juga merupakan anggota Council of Europe, yaitu: Prancis, Jerman, Belgia, Belanda, Luxemburg, dan Italia. ECSC resmi dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 1952 s/d tahun 2002.

Tujuan utama pelaksanaan ECSC adalah untuk menghapuskan berbagai macam hambatan dalam proses produksi dan perdagangan pada sektor batu bara dan besi baja[2] , serta menciptakan pasar bersama tempat produk, pekerja, dan modal dari sektor batu bara dan besi baja dari negara-negara anggota bisa bergerak dengan bebas[3].

Pada tanggal 25 Maret 1957, di dalam Traktat Roma, negara-negara yang tergabung ke dalam the Inner Six memutuskan untuk membangun European Economic Community (EEC) dan European Atomic Energy Community (EAEC), lebih dikenal dengan nama Euratom. EEC/Masyarakat Uni Eropa ini bertujuan untuk memperluas kegiatan Common Market. Tujuan dari pelaksanaan Common Market adalah untuk membebaskan secara bertahap proses pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antarnegara anggota sampai tidak ada lagi hambatan sama sekali.

Bergabungnya Inggris, Irlandia, dan Denmark (1973). Sukses besar yang diperoleh oleh EEC dan EAEC (Euratom) menggerakkan Inggris, Denmark, dan Irlandia untuk mencalonkan diri menjadi anggota.

Pembentukan Common Agriculture Policy (CAP) pada 30 Juli 1962. Kebijakan bersama di dalam bidang agrikultur ini dibuat untuk melakukan kontrol terhadap produksi pangan dengan memberikan harga yang sama kepada setiap petani di setiap negara anggota.

Traktat Maastricht (1991). Puncak dari negosisasi ini menelurkan Treaty on European Union (TEU) yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari 1992 di Maastricht. Traktat Maastricht mengubah European Community (EC) menjadi European Union (EU). Traktat ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 1993.

Traktat Maastricht mencakup, memasukkan, dan memodifikasi traktat-traktat yang sudah ada sebelumnya (ECSC, Euratom, dan EEC). Traktat-traktat terdahulu (TEC=Treaties establishing European Community) memiliki ciri integrasi dan kerjasama yang kuat di bidang ekonomi, sedangkan Traktat Maastricht (TEU) menambahkan ciri yang lain, yaitu kerjasama di bidang Kebijakan Politik Internasional dan Keamanan Bersama (CFSP=Common Foreign dan Security Policy) dan Peradilan dan Dalam Negeri (JHA=Justice and Home Affairs).

Bagian terpenting dari isi Traktat Maastricht adalah Tiga Pilar Kerjasama Uni Eropa:

  1. a.      Pilar 1: European Community (Masyarakat Eropa)
    1. Pengaturan pasar internal (termasuk persaingan dan perdagangan luar negeri).
    2. Pengaturan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan, kohesi sosial, dan pertanian.
    3. Pengaturan ekonomi dan moneter .
    4. Pengaturan imigrasi, suaka, dan visa (schengen[4]).
  2. b.      Pilar 2: Common Foreign and Security Policy (CFSP)
    1. Pengaturan tindakan bersama untuk memperkuat keamanan Uni Eropa.
    2. Menjamin perdamaian Internasional.
    3. Mendorong kerja sama internasional.
  3. c.       Pilar 3: Justice and Home Affairs (JHA)
    1. Pengaturan kejahatan lintas batas/negara.
    2. Pengaturan hukum kriminal.
    3. Pengaturan kerjasama antar Kepolisian.

Dalam perkembangan Uni Eropa, Traktat Maastricht inilah yang menjadi dasar utama pedoman hidup negara-negara anggota Uni Eropa, karena dasar hukum dan peraturan-peraturan lainnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat terdapat di dalam 3 pilar ini.

Tahapan Integrasi Ekonomi Uni Eropa

Tidak berbeda dengan negara di belahan dunia lainnya, negara-negara di benua Eropa juga memulai kerjasama ekonomi dengan kerjasama bilateral (Preferential Trade Agreement). Selanjutnya untuk memperluas pasar, maka the Six Inner menyepakati Free Trade Area (FTA). Karena kebutuhan yang semakin besar akhirnya lahirlah Custom Union (CU). CU merupakan usaha untuk penghapusan customs duties, import quotas, dan berbagai hambatan perdagangan lainnya antar sesama negara anggota. Setelah memperoleh penghapusan customs duties, import quotas masih terdapat beberapa hambatan, di antaranya pergerakan manusia dan modal, oleh sebab itu dibuat lagi kesepakatan yang menghasilkan Common Market (CM).CM dibuat untuk membebaskan proses pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antar negara anggota (potensi pekerja) sampai tidak ada lagi hambatan sama sekali.

Keberadaan pasar bersama (CM) berjalan sangat bagus, oleh karena itu negara-negara anggota yang tergabung ke dalam pelaksanaannya merasa perlu untuk membuat pasar tunggal/Single Market (SM). Tujuan dari dibentuknya SM adalah untuk menciptakan suatu standardisasi setiap elemen ekonomi yang terlibat (modal, barang, jasa, dan manusia).

Walaupun modal, barang, jasa, dan manusia sudah bisa terhubung tanpa hambatan di dalam komunitas, tetapi masih ada sedikit kendala di dalam sistem ekonomi negara-negara anggota, yaitu perbedaan nilai mata uang. Oleh sebab itu diciptakanlah suatu rancangan moneter baru untuk negara-negara yang tergabung ke dalam komunitas berupa Monetary Union (MU). Salah satu produk dari MU adalah penyeragaman mata uang ke dalam currency Euro. Jadi bisa disimpulkan bahwa perkembangan kerjasama negara-negara anggota di bidang ekonomi telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan sangat berperan besar dalam proses terbentukan komunitas Uni Eropa.

Dinamika Prancis, Jerman, dan Inggris

Sejak awal pembentukan Komunitas Eropa, Prancis dan Jerman adalah dua negara besar yang mendominasi komunitas, hal ini sudah terlihat di tahun-tahun awal  terbentuknya EEC pada tahun 1950-an. Tidak hanya itu, dua negara tersebut terkesan berlomba-lomba menjadi “dominator” di dalam komunitas. Salah satu hasil dari “perlombaan” di antara dua negara itu adalah lahirnya mata uang tunggal Uni Eropa yang bernama Euro (€). Dua negara ini juga dikenal sebagai “traditional EU leadership couple”.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada bulan Oktober 2001(setelah peristiwa penyerangan WTC pada 11 September) Inggris semakin memperlihatkan dirinya sebagai salah satu negara besar yang juga bisa punya perananan besar di dalam Uni Eropa. Inggris, Prancis, dan Jerman mengadakan pertemuan di Downing Street pada bulan November 2001. Tonny Blair cenderung untuk bekerja sama dalam urusan keamanan dengan dua negara besar tersebut (Prancis dan Jerman). Hal ini juga jauh sebelumnya sudah terlihat dari keengganan Inggris untuk mengaplikasikan kebijakan visa schengen dan menggunakan mata uang Euro.

Menurut saya ini merupakan hal yang kurang menuntungkan untuk negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Kepentingan-kepentingan tiga negara besar ini secara implisit telah “mengkhianati” kerelaan rakyat negara-negara anggota lainnya yang telah merelakan sebagian kedaulatan negaranya untuk berpayung di bawah tatanan hukum dan peraturan Uni Eropa. Tidak menutup kemungkinan, kearoganan dan keegoisan tiga negara besar inilah yang pada waktu ke depan bisa menjadi salah satu pemicu hal-hal yang bisa memecah integrasi dan kekuatan Uni Eropa, dan ini bisa berdampak lebih luas ke dalam kegagalan Uni Eropa menjadi salah satu dominasi besar di kancah dunia secara global.

Eropanisasi dan Identitas Uni Eropa

Uni Eropa bercita-cita menjadi salah satu kekuatan besar di dunia yang dapat menahan laju dominasi Amerika dalam berbagai kancah kehidupan di dunia. Untuk mencapai tujuan itu maka Uni Eropa dituntut untuk melakukan manuver-manuver yang berdampak signifikan di kancah dunia, dengan kata lain Uni Eropa dituntut untuk melakukan eropanisasi untuk menanamkan nilai-nilai dan memasukkan ide-ide pemikiran Uni Eropa ke negara-negara dunia. Maka, Uni Eropa membutuhkan suatu Identitas Uni Eropa untuk melancarkan tujuan itu.

Apa yang menjadi identitas Uni Eropa? Identitas adalah sesuatu yang diraih dari usaha-usaha yang telah dilakukan, bukan suatu hal yang sudah ada dari zaman dahulu yang ingin digali kembali. Sejauh ini, keberhasilan Uni Eropa dalam melakukan eropanisasi ke negara-negara di dunia terdapat di dalam penegakan Hak Azasi Manusia, penegakan demokrasi, dan pelestarian lingkungan. Segala macam aturan hukum yang dirancang di dalam tubuh Uni Eropa sebagian besar mengerucut pada hal penegakan Hak Azasi Manusia dan pelestarian lingkungan, contoh: penghilangan vonis hukuman mati dalam pengadilan dan penerapan aturan tentang ambang batas produksi gas buang karbon dari maskapai penerbangan yang melintasi kawasan Uni Eropa.

“From 1 January 2005 onwards the European Union has launched the first large-scale international emissions trading program. The EU Emissions Trading Scheme (EU-ETS) inprinciple has the opportunity to advance the role of market-based policies in environmental regulation and to form the basis for future European and international climate policies.” (Böhringer, dkk.: ii)

Contoh lain untuk membuktikan pendapat ini adalah tiga syarat utama bagi negara-negara di benua Eropa yang ingin menjadi anggota Uni Eropa, yaitu: 1. Menjunjung tinggi dan menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM), 2. Menjalankan demokrasi dengan benar, dan 3. Tunduk terhadap aturan-aturan yang ada di dalam Uni Eropa.

NB: Sumber referensi tulisan ini sama dengan sumber referensi yang terdapat dalam tulisan Sejarah Terbentuknya Uni Eropa.


[1] Mantan asisten Jean Monnet dan Professor pada Institut d’Études Politiques, Paris.

[2] Batu bara dan besi baja merupakan bahan baku utama pada sektor teknologi dan industri pada saat itu, dan penciptaan mesin-mesin perang (senjata dan segala macam alat pendukung perang) merupakan salah satu kegiatan besar di dalam sektor industri negara-negara besar di Eropa saat itu.

[3] Common Market di bidang batu bara dan besi baja

[4] The Schengen Visa has made traveling between its 25 member countries (22 European Union states and 3 non-EU members) much easier and less bureaucratic. Traveling on a Schengen Visa means that the visa holder can travel to any (or all) member countries using one single visa, thus avoiding the hassle and expense of obtaining individual visas for each country. This is particularly beneficial for persons who wish to visit several European countries on the same trip. The Schengen visa is a “visitor visa”. It is issued to citizens of countries who are required to obtain a visa before entering Europe. (http://www.schengenvisa.cc/)

 

UPDATE:  There is now 26 countries in the Schengen Zone. Visit http://www.schengenvisas.org .