Model Historiografi Lama dan Kritiknya

Penulisan sejarah sejak zaman Herodotus (490 S.M. – 430 S.M.) dan Thucydides (456 S.M. – 404 S.M.) bersifat naratif yang hanya menerangkan tentang kronologis terjadinya suatu peristiwa. Beberapa gaya penulisan pada zaman itu: kronik biara, memori politik, risalah kuno, dan sebagainya. Penulisan sejarah seperti ini kurang mendapat tempat di dalam ranah ilmiah karena data yang digunakan untuk penulisan kurang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu penulisan sejarah pada masa ini pada masa selanjutnya hanya dianggap sebagai cerita mitos dan laporan kejadian saja.

Pada masa dua pertiga bagian pertama abad ke-19 penulisan sejarah mulai memasuki bentuk modern. Tokoh sejarah yang menjadi pionir pada masa ini adalah Leopold von Ranke. Ranke mulai mencoba “mengilmiahkan” penulisan sejarah dengan bertitik tolak dari perolehan data yang sangat mengutamakan penggunaan data arsip konvensional. Model penulisan sejarah seperti inilah yang disebut dengan model penulisan sejarah methodique. Penulisan sejarah dengan model penulisan methodique hanya fokus kepada kejadian politik (perang) dan orang-orang terkenal dan bersifat kronologgis yang mengakibatkan sejarah sosial, ekonomi, dan budaya (sejarah non-politik) seperti tidak mendapat tempat/tersisih dari  disiplin ilmiah baru dan perlahan-lahan mulai tersingkirkan. Aliran methodique mengatakan bahwa sejarah hanya menyangkut orang ternama dan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi karena perbuatan mereka.

Pada tahun 1900-an penulisan sejarah politik dan orang-orang terkenal model methodique ini mulai menuai kritik yang tajam dari para penggiat sejarah dan diusulkan untuk mengganti model penulisan sejarah model methodique ini. Pengikut Durkheim, seorang ekonom yang bernama François Simiand mengkritik aliran methodique ini dengan menyatakan bahwa ada tiga “berhala” di dalam suku sejarawan yang harus ditumbangkan. Tiga “berhala” yang dimaksud oleh Simiand adalah: 1. Berhala politik (sejarah yang hanya berkecimpung di dalam ranah politik, termasuk perang), 2. Berhala individu (sejarah yang hanya berkecimpung membahas orang-orang terkenal pada masanya), 3. Berhala kronologis (kebiasaan melibatkan diri dalam kajian asal-usul).

Pada masa ini juga (tahun 1900-an) sifat sejarah menjadi subjek yang sangat sering diperdebatkan. Kritik dari Ernest Lavisse[1] mengatakan bahwa tidaklah tepat bila berpikiran tentang sejarawan profesional yang mapan dari suatu peridode yang terfokus dengan naratif peristiwa politik.

Ciri khas dari sejarawan abad ke-20 adalah orientasi mereka kepada ilmu sosial lain dalam melakukan pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap sejarah dengan tidak mengabaikan batasan-batasan dari pendekatan tersebut. Hal ini merupakan hantaman keras terhadap sejarawan dengan model penulisan methodique yang hanya berkecimpung di dalam sejarah politik kronologis dan orang-orang terkenal di dalamnya.

Di Prancis, aliran yang mengkritik aliran methodique dan cukup mendapat tempat adalah aliran Les Annales[2]. Aliran Les Annales menggunakan metodologi struktural dalam dasar setiap penelitiannya, dan menurut aliran Les Annales sejarah tidak hanya menyoroti tokoh-tokoh ternama, tetapi juga mencakup seluruh lapisan masyarakat yang tergabung ke dalam struktur tertentu.  Aliran Les Annales terdiri atas tiga kelompok, yaitu:

  1. Mereka yang benar-benar menjalankan prinsip Les Annales. Tokohnya: Lucien Febvre, March Bloch, Fernand Braudel, Georges Duby, Jacques Legoff, dan Emmanuel Le Roy Ladourie.
  2. Mereka yang berada di pinggiran dan tetap setia pada analisis sejarah menggunakan pendekatan Mrxis, khususnya dalam bidang ekonomi. Tokohnya: Ernest Labrousse, Pierre Villar, Maurice Agulhon, dan Michel Vovelle.
  3. Mereka yang bergabung sebentar dengan aliran Les Annales, dan kemudian bergeser dari aliran ini karena tidak setuju dengan perkembangan Les Annales berikutnya. Tokohnya: Ronald Mousnier dan Michel Foucault. Kelompok ini dijuluki kelompok semi Annales.

Menurut Lucien Febvre, seorang sejarawan bisa menjadi ahli Geografi, Hakim, Sosiologi, dan seorang sejarawan bisa menjadi ahli Psikologi, karena seorang sejarawan mampu menguraikan hal secara rinci dan mendalaminya secara sempit namun tajam.

Opini Penulis

Munculnya aliran Les Annales yang mengkritik aliran methodique membawa angin segar untuk banyak sejarawan dunia, khususnya di Prancis karena cakupan penelitian sejarah akan semakin luas bahasannya, tidak hanya berkecimpung di seputar politik, orang penting, dan cerita yang bersifat naratif kronologis.

Namun, sebenarnya dua aliran ini ada kekurangan dan kelebihannya. Kekurangan pada aliran methodique adalah mengabaikan disiplin ilmu lain di luar politik, dan hanya fokus terhadap orang-orang penting yang menyebabkan terjadinya suatu kejadian. Padahal sebenarnya suatu kejadian bisa terjadi tidak hanya disebabkan oleh perbuatan dari satu orang saja. Misalnya, reformasi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 sebenarnya tidak disebabkan hanya oleh seorang tokoh, yaitu Soeharto, tetapi banyak hal lain yang menyebabkan terjadinya reformasi di Indonesia pada tahun 1998, di antaranya: krisis ekonomi, kesejahteraan rakyat Indonesia yang merosot akibat dari krisis ekonomi, rasa muak masyarakat dengan gaya diktator pemerintahan Orde Baru, dan banyak faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang berperan sangat besar dalam terjadinya reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Dengan pemikiran ala aliran methodique, maka kejadian reformasi 1998 hanya akan menceritakan kronologis cerita dengan tokoh utama Soeharto, dan ini akan mengabaikan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang sebenarnya berperan cukup besar dalam terjadinya reformasi 1998.

Kelebihan aliran methodique: membongkar peran aktor-aktor penting suatu kejadian dan menceritakannya secara runut (kronologis).

Kekurangan pada aliran Les Annales adalah berkurangnya peran aktor dalam suatu kejadian, karena aliran ini lebih fokus terhadap hal-hal sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang berperan terhadap terjadinya suatu kejadian. Misalnya, kejadian kudeta oleh PKI pada tahun 1965 yang berujung pada pindahnya tampuk kepemimpinan Republik Indonesia ke tangan Soeharto. Dengan kerangka berfikir aliran Les Annales, maka ambisi pribadi Soeharto sebagai salah satu aktor dalam kejadian ini tidak akan komprehensif terekspos, karena aliran Les Annales lebih fokus terhadap faktor-faktor sosial lain yang berpotensi menyebabkan terjadinya kejadian ini, walaupun sebenarnya di balik faktor-faktor sosial yang menyebabkan terjadinya kudeta 1965 juga terdapat ambisi tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai tujuan tertentu dan melakukan hal-hal tertentu yang juga punya peranan besar dalam terjadinya kudeta 1965.

Kelebihan aliran Les Annales: mampu mengungkap faktor-faktor lain (khususnya di bidang sosial) yang berperan besar dalam terjadinya suatu kejadian.

Maka menurut saya, aliran methodique dan aliran Les Annales punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang sebenarnya jika kerangka berfikir dari dua aliran ini dikolaborasikan maka akan menghasilkan penulisan sejarah yang cukup komprehensif, karena kolaborasi antara dua aliran ini akan memperhitungkan aktor-aktor penting di dalam suatu kejadian, tanpa melupakan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang juga berperan terhadap terjadinya suatu kejadian, dan kronologis suatu peristiwa tetap terjaga.

Bibliografi

Burke, Peter. (2009). Seri Kajian Sejarah Dunia Revolusi Sejarah Prancis Mahzab Les Annales 1929 – 1989. Bogor: Akademia.

Lubis, Nina H. (2003). Historiografi Barat. Bandung: CV. Satya Historika.



[1] Salah satu sejarawan penting pada masa ini, ia juga merupakan editor umum sejarah Prancis yang terbist dalam sepuluh volume antara tahun 1900 dan 1912.

[2] Les Annales adalah sebuah jurnal yang peneliti-penelitinya mengintegrasikan sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

Kesan Ciri Aliran Ekspresionisme di dalam Novel The Methamorphosis Karya: Franz Kafka

Secara umum, ekspresionisme dapat dikenal sebagai suatu aliran di dalam bidang seni yang mengumbar emosi yang mendalam. Hal ini bisa bermakna bahwa setiap karya dalam aliran ekspresionisme merupakan wujud pemberontakan yang bergejolak di dalam bathin si seniman yang dalam kehidupan nyata dia tidak bisa melakukannya. Jadi, satu-satu nya cara dan media yang bisa menjadi wadah penyalur keinginan yang terpendam dan hampir tidak bisa terwujud itu adalah di dalam karya yang diciptakan oleh seniman itu.

Franz Kafka, seorang penulis ekspresionis Jerman, dalam karyanya yang berjudul The Metamorphosis menunjukkan dengan jelas bagaimana karya tulis (dalam hal ini berupa novel) di dalam aliran ekspresionisme.

Dalam novel The Metamorphosis terdapat empat tokoh utama: 1. Gregor Samsa, seorang pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga yang secara misterius berubah menjadi kecoa pada suatu hari, 2. Grete Samsa, adik perempuan Gregor Samsa yang merawat dan memberi makan Gregor Samsa ketika dia sudah berubah menjadi kecoa, 3. Herr Samsa, Ayah Gregor Samsa yang kembali bekerja ketika Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa, 4. Frau Samsa, Ibu Gregor Samsa yang juga kembali bekerja ketika Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa.

Tokoh Gregor Samsa di dalam novel ini memberikan kesan kepada saya bahwa dia adalah orang yang sangat banyak terbebani. Dia adalah orang yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga walaupun tidak sepenuhnya dia menginginkan pekerjaan yang banyak menyita waktunya ini. Namun demikian, dia tidak bisa lari dari kenyataan untuk tidak bekerja karena tanggung jawab kesejahteraan keluarganya bergantung di pundaknya seorang. Sampai pada suatu hari dia mengalami dirinya berubah menjadi seekor kecoa saat dia terbangun dari tidur dan mimpi buruknya, tetapi pemikiran, perasaan, dan jiwanya tetap seperti manusia. Dia tetap terganggu dengan pikiran kewajiban kerja, kemungkinan atasan akan memarahinya jika dia terlambat bekerja, kemungkinan dia akan menjadi sangat salah jika dia tidak serius di dalam bekerja sehingga tidak menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga, dan sebagainya.

Kejadian dari dia terbangun tidurnya dan mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa dengan segala macam perasaan dan pikiran-pikiran manusia diceritakan oleh Kafka di dalam novel ini lebih dari delapan halaman. Cerita-cerita pada halaman pertama ini dipenuhi dengan detil kegelisahan Gregor Samsa yang mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa, dan gelisah karena khawatir tidak bisa melakukan pekerjaannya sebagai seorang travelling salesman. Di samping itu, dia juga gelisah seandainya hari di saat dia bangun dan telah berubah menjadi kecoa itu dia terlambat sampai di tempat kerja, karena hal ini bisa meninggalkan preseden buruk di mata atasannya.

Kenyataan bahwa Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa menjadikan banyak perubahan di dalam kehidupan keluarga Samsa. Sebelum tubuh Gregor Samsa berubah menjadi seekor kecoa, dia adalah satu-satunya orang di dalam keluarga Samsa yang bekerja dan menghidupi keluarga Samsa. Namun setelah kematiannya karena telah dianggap oleh keluarga dan orang-orang sebagai makhluk jahat yang telah membunuh Gregor Samsa keadaan menjadi berubah “membaik” di dalam keluarga Samsa. Hal ini disebabkan karena Ayah dan Ibu Gregor Samsa kembali bekerja dan menghasilkan uang.

Dari sedikit ringkasan yang sangat singkat dari cerita dalam novel ini sangat jelas terlihat ciri aliran ekspresionisme di dalamnya. Ungkapan emosi mendalam dari Gregor Samsa sebagai tokoh utama di dalam novel ini sangat terlihat.

  1. Gregor Samsa berubah menjadi serangga buruk, menjijikkan, menakutkan, dan tidak diinginkan kehadirannya di rumah keluarga Samsa, padahal sebelumnya dia adalah orang yang memegang peranan sangat penting di dalam keluarga karena dia adalah tulang punggung keluarga. Hal ini saya dapat pahami sebagai pemberontakan dari diri tokoh Gregor Samsa terhadap kemuakannya terhadap rutinitas bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi banyak orang dan terpaksa mengabaikan perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan pribadinya sebagai seorang manusia.
  2. Pemilihan sosok binatang serangga pada metamorfosis tokoh Gregor Samsa adalah suatu simbol kerinduan terhadap kebebasan yang mutlak dan terbebas dari segala macam keharusan di dalam kehidupan sosial. Binatang adalah makhluk bebas yang hanya berjuang mencari makan dan kesenangan untuk dirinya sendiri ketika binatang tersebut telah mencapai usia dewasa, sedangkan Gregor Samsa adalah seorang lelaki dewasa yang direnggut kebebasannya karena tanggung jawab terhadap keluarga yang mengharuskannya bekerja keras, mengabaikan segala keinginan dan kesenangan pribadinya.
  3. Pemilihan profesi tokoh Gregor Samsa sebagai seorang travelling salesman yang mengharuskannya setiap saat bepergian dan bertemu dengan banyak orang dengan tetap memberikan ekspresi muka yang ceria dan ramah juga merupakan simbol yang diberikan oleh Kafka dalam novel ini untuk menunjukkan bagian emosi dan keinginan dari tokoh Gregor Samsa yang terpendam di dalam novel ini.
  4. Terdapat kontradiksi antara perubahan bentuk tubuh dengan emosi dan pikiran-pikiran pada tokoh Gregor Samsa. Walaupun tubuhnya telah berubah menjadi tubuh seekor serangga, namun emosi dan pikiran-pikirannya tetap merupakan emosi dan pikiran-pikiran seorang manusia. Dia tetap memikirkan pekerjaannya, tetap memiliki keengganan jika ayahnya harus menegurnya karena ayahnya telah merasa terintimidasi oleh atasannya karena dia terlambat atau mungkin tidak bisa laig bekerja.
  5. Tidak terasa kesa melankolis pada tokoh Gregor Samsa saat mengetahui bahwa tubuhnya telah berubah menjadi tubuh seekor serangga. Hal ini sangat menunjukkan bahwa sebenarnya bisa saja fakta bahwa perubahan tubuh Gregor Samsa menjadi tubuh seekor kecoa merupakan keinginan terdalam dari dirinya untuk mendapatkan kebebasan mutlak di dalam hidupnya sebagai seorang lelaki dewasa, dan dengan demikian dia terbebas dari keharusan untuk bekerja keras setiap hari dan mengabaikan segala keinginan dan kesenangan pribadinya. Hahhh

Dari lima poin di atas saya mendapatkan kesan bahwa novel The Metamorphosis karya Franz Kafka ini adalah sebuah karya tulis yang mengusung aliran ekspresionisme. Terdapat kontradiktif di dalam semua poin yang saya jadikan sebagai kesan ekspresionis di dalam novel ini, dan menurut saya hal-hal yang kontradiktif itu merupakan cara Kafka untuk menunjukkan perbedaan antara hal-hal yang terpaksa dilakukan oleh Gregor Samsa di dalam kehidupan nyata dengan hal-hal yang sangat diinginkan Gregor Samsa jauh di dalam lubuk hatinya.

Novel ini dengan detil menggambarkan setiap pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan terdalam dari tokoh Gregor Samsa, dan dengan detil juga memberikan kontradiksi antara hal-hal yang diinginkan dengan hal-hal yang terpaksa dilakukan dengan mengorbankan kebutuhan dan keinginan pribadi dari tokoh Gregor Samsa. Maka dari itu, semua penjelasan yang telah saya uraikan di atas merupakan kesan ciri ekspresionis di dalam karya tulis yang ditulis oleh Ranz Kafka.

Islam dan Masyarakat Belanda pada Abad-21

Posisi Islam yang tumbuh subur dan mendapat tempat di Belanda pada abad ke-20, sampai akhirnya memiliki siaran radio sendiri di masa verzuiling menjadikan Islam sebagai salah satu elemen yang memiliki peran cukup penting di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda.

Kesuksesan pertumbuhan Islam di Belanda yang dibawa oleh para pekerja impor (imigran) dari Turki dan Marokko ikut memiliki andil dalam membentuk negara Belanda sebagai salah satu negara di dunia Barat, khususnya di benua Eropa yang sukses dalam penerapan multikulturalisme di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi, Islam memiliki peran cukup besar dalam menambah keberagaman budaya di negara Belanda.

Di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 jumlah pemeluk agama Islam di Belanda relatif meningkat. Di beberapa periode terjadi penurunan jumlah, tetapi tidak begitu signifikan. Data yang dikeluarkan oleh CBS (Centraal Buerau voor de Statistiek)[1] menunjukkan fluktuasi pergerakan peningkatan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda.

Tabel 1.1 pertumbuhan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda 1971-2009 dan prediksi sampai tahun 2050

Sumber: Centraal Bureau voor de Statistiek

Pertumbuhan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda juga diiringi dengan pertumbuhan fasilitas lainnya, seperti: sekolah-sekolah dasar dengan basis Islam, Mesjid-mesjid, dan lain sebagainya. Data dari CBS memperlihatkan di tahun 2006 telah terdapat 47 sekolah dasar berbasis Islam, di tahun 2001 telah terdapat dua sekolah lanjutan menengah, yaitu: Islamitisch College Amsterdam dan  Islamitische Scholengemeenschap Ibn Ghaldoun di Rotterdam.

Kegiatan-kegiatan keagamaan Islam yang identik dengan sesuatu yang bersifat komunal juga difasilitasi dan dijamin hak nya oleh Pemerintah Belanda. Tidak hanya itu, kebudayaan Islam yang menuntut kaum perempuan mengenakan pakaian yang hampir seperti jubah dengan menggunakan jilbab di bagian kepala juga tidak menjadi masalah dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda.

Namun demikian, kehidupan masyarakat Islam di Belanda tidak luput dari masalah-masalah yang memiliki potensi besar sebagai pemicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda. Pemeluk agama Islam di Belanda tidak hidup sebagai satu kesatuan umat Islam, mereka lebih terikat dengan budaya negara asal mereka. Dalam hal ini kelompok Islam dari Turki sering terlibat konflik dengan kelompok Islam yang berasal dari Marokko. Rumah-rumah ibadah (Mesjid) di Belanda pun terkesan lebih dibuat untuk menampung golongan-golongan Islam dari asal negara tertentu, misalnya kelompok Muslim Turki memiliki Mesjid yang khusus didatangi oleh warga negara keturunan Turki, begitu juga dengan kelompok Muslim asal Marokko.

Stigma negatif masyarakat Belanda terhadap warga negara keturunan Turki dan Marokko yang sempat bermasalah pada masa-masa paruh kedua abad ke-20 menambah pemicu yang mengakibatkan terjadinya konflik-konflik antar negara asal. Mereka (warga keturunan Turki dan Marokko) sering mendapat cap kriminal di Belanda, dan hal ini menimbulkan efek saling tuduh antara warga keturunan Turki dengan warga keturunan Marokko. Pertikaian-pertikaian seperti ini nantinya mulai menjadi pemicu ketidaknyamanan kehidupan bermasyarakat di Belanda.

Penerimaan masyarakat Belanda terhadap Islam dan imigran lainnya memberikan peluang bagi pemeluk agama Islam dan imigran di Belanda untuk aktif berkegiatan di segala aspek kehidupan. Tidak sedikit dari para imigran dan pemeluk agama Islam yang aktif dalam percaturan politik dan urusan kenegaraan di Belanda. Bukti konkritnya adalah Duta Besar Belanda untuk Indonesia saat ini adalah Tjeerd de Zwaan, seorang Muslim keturunan Marokko. De NMP (de Nederlandse Moslim Partij), merupakan partai politik yang masih aktif dan masih akan ikut dalam pemilu pada tanggal 13 Mei 2015. De NMP mengusung ideologi Islam dan aktif dalam upaya mengurangi jurang pemisah antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di Belanda.

Tidak hanya di bidang politik, bidang ekonomi juga digeluti oleh para imigran dan pemeluk Islam di Belanda. Tidak terdapat deskriminasi agama dalam segala aspek kehidupan di Belanda, hal ini menjadikan Belanda sebagai salah satu negara barat, khususnya di Eropa yang berhasil menerapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kesamarataan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda menjadikan Belanda sebagai salah satu negara favorit yang dijadikan tujuan oleh mereka yang ingin bermigrasi dalam rangka mewujudkan mimpi dan cita-cita. Hal ini dipermudah dengan keberadaan Uni Eropa dengan kesepakatan Schengen-nya. Keberadaan Schengen menjadikan arus imigrasi semakin besar jumlahnya, dan tanpa disadari, ternyata hal ini nantinya akan menjadi pemicu baru terkait isu-isu negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda.



[1] Centraal Bureau voor de Statistiek adalah sebuah institusi negara di Belanda yang fungsinya dapat dipadankan dengan Badan Pusat Statistik di Republik Indonesia.

Reunifikasi Jerman dan Perluasan Uni Eropa

Jerman menjadi tokoh yang cukup sentral dalam sejarah terbentuknya komunitas yang saat ini dikenal dengan nama Uni Eropa. Kebesaran Jerman secara geografis dan demografis, dan ditambah dengan sejarah masa lalu nya yang menjadikan benua Eropa porak poranda pada masa pasca Perang Dunia II telah menjadi pemicu utama bagi negara-negara pelopor (The Inner Six) dalam membentuk suatu organisasi di bidang ekonomi dan pertambangan yang dimulai pada tahun 1951.

Keruntuhan rezim Komunis yang menyebabkan terjadinya reunifikasi Jerman pada awal tahun 1990-an kembali memberikan ketakutan yang luar biasa bagi setiap negara anggota yang telah tergabung ke dalam Komunitas Eropa, sehingga Komunitas Eropa harus mengadakan I.G.C. yang nantinya menelurkan T.E.U. dan menjadi dasar terbentuknya komunitas besar di benua Eropa yang saat ini dikenal dengan nama Uni Eropa.

Jerman yang semakin kuat secara ekonomi setelah reunifikasi ternyata secara perlahan tapi pasti juga menjadi dominator di dalam Uni Eropa. Hal ini membuat negara-negara anggota harus duduk bersama kembali untuk membicarakan tentang jati diri, masa depan Uni Eropa, dan rencana perluasan wilayahnya. Terkait hal ini, maka pada tahun 2000 Uni Eropa kembali mengadakan I.G.C yang khusus membahas tentang masa depan dan perluasan keanggotaan Uni Eropa. Selain itu, kejelasan mekanisme pengambilan keputusan di dalam Uni Eropa dan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan di dalam Uni Eropa juga menjadi isu yang tidak kalah seru diperdebatkan pada I.G.C. tahun 2000. Pada kesempatan yang sama, Uni Eropa juga membahas tentang upaya pendekatan kepada masyarakat di dalam setiap negara anggota melalui usaha penyederhanaan di dalam traktat-traktat yang sudah disepakati sehingga mudah dipahami tidak hanya oleh para elit politik Uni Eropa, tetapi juga oleh masyarakat di dalam setiap negara anggota.

 

Daftar istilah penting:

T.E.U : Treaty on European Union (ditandatangani pada tahun 1992 di Maastricht)

ð  Traktat ini merupakan hasil kompromi negara-negara anggota EC (European Community) yang menghasilkan keputusan sehingga terbentuklah European Union (EU).

I.G.C : Intergovernmental  Conference

ð  Prosedur formal untuk negosiasi amandemen perjanjian-perjajian yang telah ada di dalam komunitas Uni Eropa.

Das Eigentum von Volker Braun (1990)

Das Eigentum yang ditulis pada tahun 1990 ini sangat erat kaitannya dengan reunifikasi Jerman, atau boleh dikatakan memang ditulis oleh Volker Braun sebagai bentuk kritik pada masa itu terhadap pemerintah DDR, BRD, maupun masyarakat Jerman Barat itu sendiri. Mengapa saya katakan demikian? Dalam majalah der Spiegel[1], 31.03.2000, dikatakan bahwa karya-karya Braun pada masa pemerintahan DDR berisi tentang keluhan-keluhan masyarakat terhadap pemerintahan DDR, namun tanpa meragukan dasar ideologi sosialis mereka. Braun sendiri memang besar di Jerman Timur, dan oleh karena itu ideologi sosialis adalah “makanan sehari-hari” yang ia dapatkan dari mulai sekolah, di tempat kerja, dan selama ia hidup dalam pemerintahan DDR itu. Atas dasar ini, yang Braun kritik dari pemerintahan DDR adalah bukan kekuatan perlawanannya terhadap paham demokrasi dan kebebasan di Barat, melainkan ketidakberhasilannya dalam melaksanakan dan mempertahankan nilai yang dijunjung tinggi, yakni persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakatnya[2].

Baris pertama mengisahkan tentang perpindahan mein Land ke negeri Barat yang dapat kita lihat sebagai simbol reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Namun, ada hal mencolok dan menarik dalam kalimat ini, yaitu bahwa reunifikasi yang terjadi nampak tidak seperti dua negara yang bersatu atau melebur menjadi satu, melainkan lebih terlihat bahwa Jerman Timur “harus menyesuaikan dirinya” dengan Jerman Barat. [“Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen”][3]. Hal ini kemudian dikuatkan lagi oleh baris kedua yang bahkan terlihat lebih kuat dan ditekankan karena seluruh kata-katanya ditulis dengan huruf kapital. [“KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN”][4]. Hal ini terdengar sangat ironi dan tentunya bertentangan dengan apa yang telah ditulis oleh Georg Büchner lebih dulu dalam Hessischer Landbote. Namun Braun ingin menggambarkan bagaimana pemerintah dan masyarakat Jerman Barat pada masa itu melihat dan memperlakukan masyarakat Jerman Timur. Jerman Barat merupakan masyarakat yang secara sosial dan budaya didominasi oleh kelas menengah, sementara Jerman Timur merupakan masyarakat yang telah dibentuk menjadi kaum proletar (verproletarisierte Gesellschaft)[5]. Oleh karena itu, dapat kita lihat bagaimana dua kelompok masyarakat yang sangat berbeda dan telah terpisah selama 45 tahun tiba-tiba dipersatukan. Hal ini ditinjau lebih lanjut oleh baris keempat [“Es wirft sich weg und seine magre Zierde”][6]. Es yang melambangkan mein Land dikisahkan telah membuang dirinya dan perhiasan-perhiasan sederhananya. Sebuah contoh dapat kita ambil untuk melambangkan “perhiasan sederhana” yang dimiliki oleh Jerman Timur, yakni trabant. Jika kita sandingkan trabant dengan mobil-mobil mewah yang dihasilkan Jerman Barat, tentunya ia nampak terlampau sederhana. Hal ini kembali mendukung baris kedua tadi, yaitu bahwa masyarakat Jerman Timur (den Hütten) terlihat menjadi bahan olok-olokan pihak yang lebih berkuasa (den Palästen atau Jerman Barat).

Pada baris kelima dikisahkan bagaimana musim dingin diikuti oleh musim panas yang penuh hasrat. Hal ini sangat cocok dengan keadaan masyarakat Jerman Timur yang hasratnya telah dibekukan selama masa pemerintahan DDR dengan terbatasnya barang konsumsi dan penerapan hidup sederhana. Mereka kemudian bisa memuaskan hasratnya lagi ketika telah bersatu dengan Jerman Barat, di mana tersedia semua jenis pemuas hasrat itu.

Kemudian baris 8 dan 9 mengisahkan tentang harapan Ich yang belum sempat tercapai, namun telah direnggut. [“Was ich niemals besaß wird mir entrissen.” , “Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.”][7]. Hal ini dapat saya kaitkan dengan hal yang telah saya tulis pada paragraf pertama, yaitu bahwa Braun mengkritik pemerintah DDR dalam hal ketidakberhasilannya menerapkan nilai yang mereka junjung tinggi, yaitu persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakat. Kenyataan bahwa Braun juga sebenarnya tidak meragukan paham sosialisme itu sendiri mengisyaratkan bahwa Braun tidak hendak menilai paham mana yang benar atau salah, namun yang ia harapkan adalah adanya penerapan sebuah ideologi sesuai dengan nilai-nilai yang memang dijunjung tinggi. Ketika penerapan itu tidak sesuai dengan nilai yang dipercaya oleh sebuah ideologi, maka hal itu patut disalahkan. Ini mungkin yang merupakan harapan Ich yang belum tercapai, namun telah direnggut, karena Ich tidak mungkin bisa mewujudkan harapannya itu sementara negerinya sendiri telah “runtuh”.

Kemudian baris 10 mengisyaratkan harapan masyarakat Jerman, khususnya Jerman Timur, yang dijadikan sebagai “umpan” ?dalam hal ini menurut saya oleh Amerika Serikat? dengan adanya penyatuan Jerman [“Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle”][8]. Amerika Serikat dengan ideologi Baratnya menjanjikan sebuah kebebasan dan pemerintahan yang demokratis. Di saat masyarakat Jerman Timur yang pada pemerintahan DDR dikukung dan dibatasi kebebasannya, tentunya mereka menjadi haus akan kebebasan dan ingin “lari” ke Barat. Hal ini jika dilihat dari sisi Jerman Timur merupakan sebuah harapan, sementara di sisi Jerman Barat menjadi layaknya sebuah umpan.

Baris penutup, yakni baris 11 dan 12, merupakan sindiran terhadap Jerman Barat. [“Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.” , “Wann sag ich wieder mein und meine alle.”][9]. Pada baris ke-11, Braun mengatakan bahwa sekarang kepunyaanku telah kalian genggam di cakar kalian. Kata “cakar” yang dipilih oleh Braun memiliki kekuatan makna tersendiri yang dapat diartikan dengan kekuasaan atau genggaman yang kuat dan seakan-akan “memenjarai”. Hal ini dapat dihubungkan dengan pemerintah Jerman Barat yang lebih berkuasa atas masyarakat Jerman Timur dan ingin membuat mereka menjadi “ke-barat-an”. Kemudian pada baris ke-12, Braun ingin memberikan umpan dengan mempertanyakan konsep kepemilikan itu sendiri, yaitu kapankah ia bisa mengatakan milikku dan milik kita bersama.

Berdasarkan pemaparan di atas, Braun memang berhak dan pantas mendapatkan Büchnerpreis (tahun 2000) karena selain karya-karyanya yang mengandung kritik dan cenderung berpihak ke pihak yang “dijajah” atau “menderita”, ia tetap mampu melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Selain itu, ia juga mempunyai kekuatan dalam menulis karya-karyanya, yaitu dengan menggunakan pilihan kata (diksi) yang tepat, yakni yang secara estetika puisi dapat terdengar indah (misalnya dengan penyesuaian bunyi rima), namun makna kata tersebut mampu “menusuk” atau “menampar” pembacanya.

Lampiran: Teks Das Eigentum

Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen.

KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN.

Ich selber habe ihm den Tritt versetzt.

Es wirft sich weg und seine magre Zierde.

Dem Winter folgt der Sommer der Begierde.

Und ich kann bleiben wo der Pfeffer wächst.

Und unverständlich wird mein ganzer Text.

Was ich niemals besaß wird mir entrissen.

Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.

Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle.

Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.

Wann sag ich wieder mein und meine alle.

In: Die Zickzackbrücke. Ein Abrißkalender, Halle 1992, S. 84.



[1] http://www.spiegel.de/kultur/literatur/0,1518,71199,00.html, diunduh tanggal 2 Juni 2011 pukul 18:35)

[3] Terjemahan: Here I am still: my land goes to the west

[4] Terjemahan: Fight against the folks (hut), free the government (palace)

[6] Terjemahan: It tosses itself and its meager adornments

[7] Terjemahan: What I never had will be wrested away from me ; What I didn’t experience, I will eternally miss

[8] Terjemahan: The hope lies on the road just like a decoy

[9] Terjemahan: My belongings, now you have them in your claw ; When will I ever say “my” and “my all” again

Ditulis oleh: Nathania Valentine

GRIPS Theater

GRIPS Theater diprakarsai oleh gerakan pelajar di tahun 60-an yang ingin membawa pembaharuan di Jerman, yakni menciptakan teater yang realistis dan mudah dimengerti oleh anak-anak. Kata “GRIPS” sendiri berasal dari bahasa slang di Jerman Utara yang berarti “daya tangkap yang cepat”. GRIPS juga dapat berarti “berpikir dengan cara yang menyenangkan”.

Ciri khas GRIPS Theater adalah bahwa setiap dramanya memiliki sebuah amanat/pesan untuk penontonnya tanpa bermaksud untuk “menggurui”. Amanat/pesannya tidak bersifat pedagogi dan tidak juga propaganda. Tidak seperti teater-teater pada umumnya, dalam menonton GRIPS Theater, penonton tidak bertepuk tangan, melainkan bersorak-sorai, menangis, tertawa, berteriak, bersiul, dan ikut bernyanyi bersama.

GRIPS Theater berusaha untuk mengenali masalah, kebutuhan, dan kerinduan rakyatnya. Hal ini diwujudkan melalui dramanya yang bermaksud untuk membantu penonton mengembangkan fantasi sosial mereka, terutama dalam mengenali konflik-konflik yang terjadi sehari-hari, agar mereka mampu mengubah lingkungannya menjadi lebih baik. Di samping itu, tak dapat dilupakan bahwa tujuan utama GRIPS Theater adalah untuk memfasilitasi anak-anak dan pemuda dalam mengembangkan kreativitasnya, khususnya di bidang teater, dan tentunya memberikan pengalaman kepada mereka di bidang teater.

Saat ini, GRIPS Theater tersebar luas di dunia dan disebut sebagai teater anak dan pemuda. Namun pertunjukkan-pertunjukkan GRIPS Theater tidak hanya disajikan untuk anak-anak dan remaja, melainkan juga untuk kaum dewasa. GRIPS Theater berhasil berkat teater anaknya (Kinderstücken) seperti “Ein Fest bei Papadakis” dan “Max und Milli”, serta teater untuk kaum dewasa seperti “Linie 1” dan “Ab heute heißt du Sara”.

Sumber:

– http://www.grips-theater.de/
– http://www.atlantic-times.com/archive_detail.php?recordID=2021
– http://www.gymnasium-selm.de/schulleben/kultur/musical/linie-1/

Berkenalan dengan Uni Eropa/European Union (EU)

Sejarah Awal Terbentuknya Uni Eropa

Hubungan-hubungan masa lalu yang tercipta sebagai hasil dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui perdagangan, perluasan wilayah, dan pengakuan kedaulatan dari wilayah-wilayah di Eropa telah menimbulkan banyak kejadian penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban kehidupan manusia sampai detik ini. Salah satu kejadian penting itu adalah perang.

Kesadaran terhadap dampak negatif dari peperangan di masa lalu –puncaknya pada pasca Perang Dunia II– menyebabkan negara-negara Eropa yang termasuk ke dalam blok Eropa Barat mendirikan Council of Euopre pada tahun 1949. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama masa perang memicu negara-negara Eropa Barat untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan Eropa dari kemungkinan-kemungkinan peperangan di masa yang akan datang.

Apa yang ingin dicapai dari pembentukan komunitas Eropa yang sekarang ini dikenal dengan nama Uni Eropa ini? Pascal Fontaine[1] dalam tulisannya memaparkan beberapa tujuan dari Uni Eropa, yaitu:1. Perdamaian dan stabilitas: trauma pasca Perang Dunia II mendorong negara-negara di Eropa untuk menciptakan perdamaian dan menjaga stabilitas keamanan di kawasan Eropa. 2. Penyatuan Eropa: setelah runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989 diikuti dengan keruntuhan kekaisaran Soviet pada tahun 1991 keinginan negara-negara di Eropa untuk bersatu semakin kuat. 3. Keselamatan dan keamanan: Keamanan internal dan keamanan eksternal merupakan hal yang sangat penting. Perang melawan terorisme dan kejahatan terorganisir menuntut Uni Eropa untuk membangun suatu kerja sama yang kuat. 4. Solidaritas sosial dan ekonomi: Pasar tunggal Eropa menyediakan perusahaan dengan platform penting untuk bersaing secara efektif di pasar dunia. 5. Identitas dan keberagaman: urusan ekonomi, sosial, teknologi, dan politik di dalam Uni Eropa akan lebih mudah dijalankan dibandingkan jika setiap negara harus bertindak secara individual. Ada nilai tambah dalam bertindak bersama-sama dan berbicara dengan suara tunggal sebagai Uni Eropa. 6. Nilai-nilai (Values): Uni Eropa ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam keberadaan Uni Eropa akan berdampak positif terhadap kemanusiaan, karena kebutuhan masyarakat tidak akan dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan kekuatan pasar atau tindakan-tindakan yang sifatnya sepihak. Pada bulan Desember 2000 diproklamirkan The Charter of Fundamental Rights of the European Union di Nice, yang isinya menetapkan semua hak yang diakui oleh negara-negara anggota Uni Eropa dan warganya. Nilai-nilai ini dapat menciptakan perasaan kekerabatan antara orang Eropa. Salah satu contohnya adalah semua negara Uni Eropa telah menghapuskan hukuman mati.

Kejadian-kejadian Penting

Pada tanggal 9 Mei 1950 (Europe Day), Robert Schuman (Menlu Prancis)  mempresentasikan ide-idenya dalam misi penyelamatan Eropa sehingga terbentuk European Coal and Steel Community (ECSC). ECSC akhirnya ditandatangani pada tanggal 18 April 1951 oleh 6 negara pinoir (the Inner Six) yang juga merupakan anggota Council of Europe, yaitu: Prancis, Jerman, Belgia, Belanda, Luxemburg, dan Italia. ECSC resmi dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 1952 s/d tahun 2002.

Tujuan utama pelaksanaan ECSC adalah untuk menghapuskan berbagai macam hambatan dalam proses produksi dan perdagangan pada sektor batu bara dan besi baja[2] , serta menciptakan pasar bersama tempat produk, pekerja, dan modal dari sektor batu bara dan besi baja dari negara-negara anggota bisa bergerak dengan bebas[3].

Pada tanggal 25 Maret 1957, di dalam Traktat Roma, negara-negara yang tergabung ke dalam the Inner Six memutuskan untuk membangun European Economic Community (EEC) dan European Atomic Energy Community (EAEC), lebih dikenal dengan nama Euratom. EEC/Masyarakat Uni Eropa ini bertujuan untuk memperluas kegiatan Common Market. Tujuan dari pelaksanaan Common Market adalah untuk membebaskan secara bertahap proses pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antarnegara anggota sampai tidak ada lagi hambatan sama sekali.

Bergabungnya Inggris, Irlandia, dan Denmark (1973). Sukses besar yang diperoleh oleh EEC dan EAEC (Euratom) menggerakkan Inggris, Denmark, dan Irlandia untuk mencalonkan diri menjadi anggota.

Pembentukan Common Agriculture Policy (CAP) pada 30 Juli 1962. Kebijakan bersama di dalam bidang agrikultur ini dibuat untuk melakukan kontrol terhadap produksi pangan dengan memberikan harga yang sama kepada setiap petani di setiap negara anggota.

Traktat Maastricht (1991). Puncak dari negosisasi ini menelurkan Treaty on European Union (TEU) yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari 1992 di Maastricht. Traktat Maastricht mengubah European Community (EC) menjadi European Union (EU). Traktat ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 1993.

Traktat Maastricht mencakup, memasukkan, dan memodifikasi traktat-traktat yang sudah ada sebelumnya (ECSC, Euratom, dan EEC). Traktat-traktat terdahulu (TEC=Treaties establishing European Community) memiliki ciri integrasi dan kerjasama yang kuat di bidang ekonomi, sedangkan Traktat Maastricht (TEU) menambahkan ciri yang lain, yaitu kerjasama di bidang Kebijakan Politik Internasional dan Keamanan Bersama (CFSP=Common Foreign dan Security Policy) dan Peradilan dan Dalam Negeri (JHA=Justice and Home Affairs).

Bagian terpenting dari isi Traktat Maastricht adalah Tiga Pilar Kerjasama Uni Eropa:

  1. a.      Pilar 1: European Community (Masyarakat Eropa)
    1. Pengaturan pasar internal (termasuk persaingan dan perdagangan luar negeri).
    2. Pengaturan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan, kohesi sosial, dan pertanian.
    3. Pengaturan ekonomi dan moneter .
    4. Pengaturan imigrasi, suaka, dan visa (schengen[4]).
  2. b.      Pilar 2: Common Foreign and Security Policy (CFSP)
    1. Pengaturan tindakan bersama untuk memperkuat keamanan Uni Eropa.
    2. Menjamin perdamaian Internasional.
    3. Mendorong kerja sama internasional.
  3. c.       Pilar 3: Justice and Home Affairs (JHA)
    1. Pengaturan kejahatan lintas batas/negara.
    2. Pengaturan hukum kriminal.
    3. Pengaturan kerjasama antar Kepolisian.

Dalam perkembangan Uni Eropa, Traktat Maastricht inilah yang menjadi dasar utama pedoman hidup negara-negara anggota Uni Eropa, karena dasar hukum dan peraturan-peraturan lainnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat terdapat di dalam 3 pilar ini.

Tahapan Integrasi Ekonomi Uni Eropa

Tidak berbeda dengan negara di belahan dunia lainnya, negara-negara di benua Eropa juga memulai kerjasama ekonomi dengan kerjasama bilateral (Preferential Trade Agreement). Selanjutnya untuk memperluas pasar, maka the Six Inner menyepakati Free Trade Area (FTA). Karena kebutuhan yang semakin besar akhirnya lahirlah Custom Union (CU). CU merupakan usaha untuk penghapusan customs duties, import quotas, dan berbagai hambatan perdagangan lainnya antar sesama negara anggota. Setelah memperoleh penghapusan customs duties, import quotas masih terdapat beberapa hambatan, di antaranya pergerakan manusia dan modal, oleh sebab itu dibuat lagi kesepakatan yang menghasilkan Common Market (CM).CM dibuat untuk membebaskan proses pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antar negara anggota (potensi pekerja) sampai tidak ada lagi hambatan sama sekali.

Keberadaan pasar bersama (CM) berjalan sangat bagus, oleh karena itu negara-negara anggota yang tergabung ke dalam pelaksanaannya merasa perlu untuk membuat pasar tunggal/Single Market (SM). Tujuan dari dibentuknya SM adalah untuk menciptakan suatu standardisasi setiap elemen ekonomi yang terlibat (modal, barang, jasa, dan manusia).

Walaupun modal, barang, jasa, dan manusia sudah bisa terhubung tanpa hambatan di dalam komunitas, tetapi masih ada sedikit kendala di dalam sistem ekonomi negara-negara anggota, yaitu perbedaan nilai mata uang. Oleh sebab itu diciptakanlah suatu rancangan moneter baru untuk negara-negara yang tergabung ke dalam komunitas berupa Monetary Union (MU). Salah satu produk dari MU adalah penyeragaman mata uang ke dalam currency Euro. Jadi bisa disimpulkan bahwa perkembangan kerjasama negara-negara anggota di bidang ekonomi telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan sangat berperan besar dalam proses terbentukan komunitas Uni Eropa.

Dinamika Prancis, Jerman, dan Inggris

Sejak awal pembentukan Komunitas Eropa, Prancis dan Jerman adalah dua negara besar yang mendominasi komunitas, hal ini sudah terlihat di tahun-tahun awal  terbentuknya EEC pada tahun 1950-an. Tidak hanya itu, dua negara tersebut terkesan berlomba-lomba menjadi “dominator” di dalam komunitas. Salah satu hasil dari “perlombaan” di antara dua negara itu adalah lahirnya mata uang tunggal Uni Eropa yang bernama Euro (€). Dua negara ini juga dikenal sebagai “traditional EU leadership couple”.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada bulan Oktober 2001(setelah peristiwa penyerangan WTC pada 11 September) Inggris semakin memperlihatkan dirinya sebagai salah satu negara besar yang juga bisa punya perananan besar di dalam Uni Eropa. Inggris, Prancis, dan Jerman mengadakan pertemuan di Downing Street pada bulan November 2001. Tonny Blair cenderung untuk bekerja sama dalam urusan keamanan dengan dua negara besar tersebut (Prancis dan Jerman). Hal ini juga jauh sebelumnya sudah terlihat dari keengganan Inggris untuk mengaplikasikan kebijakan visa schengen dan menggunakan mata uang Euro.

Menurut saya ini merupakan hal yang kurang menuntungkan untuk negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Kepentingan-kepentingan tiga negara besar ini secara implisit telah “mengkhianati” kerelaan rakyat negara-negara anggota lainnya yang telah merelakan sebagian kedaulatan negaranya untuk berpayung di bawah tatanan hukum dan peraturan Uni Eropa. Tidak menutup kemungkinan, kearoganan dan keegoisan tiga negara besar inilah yang pada waktu ke depan bisa menjadi salah satu pemicu hal-hal yang bisa memecah integrasi dan kekuatan Uni Eropa, dan ini bisa berdampak lebih luas ke dalam kegagalan Uni Eropa menjadi salah satu dominasi besar di kancah dunia secara global.

Eropanisasi dan Identitas Uni Eropa

Uni Eropa bercita-cita menjadi salah satu kekuatan besar di dunia yang dapat menahan laju dominasi Amerika dalam berbagai kancah kehidupan di dunia. Untuk mencapai tujuan itu maka Uni Eropa dituntut untuk melakukan manuver-manuver yang berdampak signifikan di kancah dunia, dengan kata lain Uni Eropa dituntut untuk melakukan eropanisasi untuk menanamkan nilai-nilai dan memasukkan ide-ide pemikiran Uni Eropa ke negara-negara dunia. Maka, Uni Eropa membutuhkan suatu Identitas Uni Eropa untuk melancarkan tujuan itu.

Apa yang menjadi identitas Uni Eropa? Identitas adalah sesuatu yang diraih dari usaha-usaha yang telah dilakukan, bukan suatu hal yang sudah ada dari zaman dahulu yang ingin digali kembali. Sejauh ini, keberhasilan Uni Eropa dalam melakukan eropanisasi ke negara-negara di dunia terdapat di dalam penegakan Hak Azasi Manusia, penegakan demokrasi, dan pelestarian lingkungan. Segala macam aturan hukum yang dirancang di dalam tubuh Uni Eropa sebagian besar mengerucut pada hal penegakan Hak Azasi Manusia dan pelestarian lingkungan, contoh: penghilangan vonis hukuman mati dalam pengadilan dan penerapan aturan tentang ambang batas produksi gas buang karbon dari maskapai penerbangan yang melintasi kawasan Uni Eropa.

“From 1 January 2005 onwards the European Union has launched the first large-scale international emissions trading program. The EU Emissions Trading Scheme (EU-ETS) inprinciple has the opportunity to advance the role of market-based policies in environmental regulation and to form the basis for future European and international climate policies.” (Böhringer, dkk.: ii)

Contoh lain untuk membuktikan pendapat ini adalah tiga syarat utama bagi negara-negara di benua Eropa yang ingin menjadi anggota Uni Eropa, yaitu: 1. Menjunjung tinggi dan menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM), 2. Menjalankan demokrasi dengan benar, dan 3. Tunduk terhadap aturan-aturan yang ada di dalam Uni Eropa.

NB: Sumber referensi tulisan ini sama dengan sumber referensi yang terdapat dalam tulisan Sejarah Terbentuknya Uni Eropa.


[1] Mantan asisten Jean Monnet dan Professor pada Institut d’Études Politiques, Paris.

[2] Batu bara dan besi baja merupakan bahan baku utama pada sektor teknologi dan industri pada saat itu, dan penciptaan mesin-mesin perang (senjata dan segala macam alat pendukung perang) merupakan salah satu kegiatan besar di dalam sektor industri negara-negara besar di Eropa saat itu.

[3] Common Market di bidang batu bara dan besi baja

[4] The Schengen Visa has made traveling between its 25 member countries (22 European Union states and 3 non-EU members) much easier and less bureaucratic. Traveling on a Schengen Visa means that the visa holder can travel to any (or all) member countries using one single visa, thus avoiding the hassle and expense of obtaining individual visas for each country. This is particularly beneficial for persons who wish to visit several European countries on the same trip. The Schengen visa is a “visitor visa”. It is issued to citizens of countries who are required to obtain a visa before entering Europe. (http://www.schengenvisa.cc/)

 

UPDATE:  There is now 26 countries in the Schengen Zone. Visit http://www.schengenvisas.org .

Sejarah Terbentuknya Uni Eropa

I. Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwa negara-negara Barat (Regional Eropa) merupakan wilayah-wilayah tempat munculnya peradaban manusia yang cukup maju. Mulai dari pesisir pantai sampai dengan wilayah daratan Eropa tidak luput dari keterlibatannya dalam perkembangan peradaban kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang.

Hubungan-hubungan masa lalu yang tercipta sebagai hasil dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui perdagangan, perluasan wilayah, dan pengakuan kedaulatan dari wilayah-wilayah sekitar telah menimbulkan banyak kejadian penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban kehidupan manusia sampai detik ini.

Salah satu kejadian penting itu adalah perang. Perang besar yang terjadi di muka bumi ini di saat peradaban kehidupan manusia sudah bisa dibilang maju dan modern telah melibatkan beberapa negara di benua Eropa. Ada beberapa negara yang mencoba untuk menguasai regional Eropa dan ada beberapa negara Eropa yang menjalin koalisi perang dengan negara-negara dari benua lain untuk kepentingan dan keperluan masing-masing.

Kesadaran terhadap dampak negatif dari peperangan di masa lalu –puncaknya pada pasca Perang Dunia II– menyebabkan negara-negara Eropa yang termasuk ke dalam blok Eropa Barat mendirikan Council of Europe  pada tahun 1949. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama masa perang memicu negara-negara Eropa Barat untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan Eropa dari kemungkinan-kemungkinan peperangan di masa yang akan datang.

Dalam perkembangan Uni Eropa, negara-negara pionir –yang juga dikenal dengan sebutan The Inner Six– sering melakukan pertemuan-pertemuan dan menghasilkan banyak traktat-traktat yang menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baru. Perjalanan terbentuknya Uni Eropa dari masa awal mengalami perkembangan yang cukup bagus dan signifikan. Hal yang paling mencolok adalah semakin banyaknya negara-negara Eropa yang bergabung dengan The Inner Six sehingga terbentuklah persatuan yang saat ini dikenal dengan sebutan European Union. Saat ini tercatat ada 27 negara anggota UE dengan 23 bahasa resmi.

II. Permasalahan

Di dalam buku European Union Politics (Cini, 2003) pembahasan tentang sejarah awal terbentuknya Uni Eropa dimulai dan dititikberatkan dari terbentuknya European Community (EC), lalu apa yang menyebabkan begitu pentingnya keberadaan EC dalam terwujudnya suatu komunitas regional besar yang saat ini dikenal dengan nama European Union (EU)? Issue lain yang juga akan dicoba dijawab pada makalah ini adalah tujuan utama pembentukan EU dan apakah tujuan tersebut tercapai mengingat bahwa pembentukan EU diawali dengan pembentukan EC?

III. Latar Belakang Masalah

Relasi antara dibentuknya European Community (EC) dengan tujuan dibentuknya European Union (EU) menjadi sangat penting untuk dicermati, karena mustahil sesuatu yang besar diciptakan tanpa tujuan tertentu yang sangat besar pula. Di sinilah nantinya akan terlihat titik temu alasan utama pentingnya keberadaan EC sebagai titik tolak dasar pembentukan komunitas besar yang saat ini kita kenal dengan nama European Union.

IV. ISI

A.  Apa itu European Community (EC)?

European Community (EC) merupakan institusi internasional negara-negara Eropa yang terdiri dari European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic Community (EEC), dan European Atomic Energy Community (EAEC/Euratom). Negara-negara pionir yang tergabung ke dalam komunitas ini dikenal dengan sebutan The Inner Six (Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Luxemburg, dan Italia).

Tujuan utama dibentuknya Masyarakat Eropa (EC) adalah terciptanya pasar bebas. Ketentuan-ketentuan khusus yang mengaturnya adalah Pasal 3 (a) yang melarang adanya cukai; Pasal 3 (b) mengatur Community’s common commercial policy seperti dalam bidang pertanian, perikanan dan transportasi; pasal 3 (g) secara khusus mewajibkan Community memasyarakatkan bahwa ‘persaingan dijamin dalam internal market tidak terganggu, dan Pasal 3 (h) mengatur tentang perkiraan tingkat kebutuhan hukum dalam pasar bebas.

ECSC adalah komunitas negara-negara The Inner Six yang bertujuan menghapus berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan pasar bersama tempat produk, pekerja, dan modal dari sektor batubara dan baja dari negara-negara anggota bisa bergerak dengan bebas. Pada tanggal 9 Mei 1950 (Europe Day), Robert Schuman (Menlu Prancis)  mempresentasikan ide-idenya dalam misi penyelamatan Eropa sehingga terbentuk European Coal and Steel Community (ECSC). ECSC akhirnya ditandatangani pada Traktat Paris (18 April 1951) oleh 6 negara pinoir yang juga merupakan anggota Council of Europe. ECSC resmi dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 1952 s/d tahun 2002. Dalam pelaksanaannya ECSC terbukti ampuh menjaga “keharmonisan” Eropa selama hampir setengah abad.

Traktat Roma (25 Maret 1957) menghasilkan Euratom dan European Economic Community (EEC). Tujuan dari pembentukan EEC adalah terciptanya Pencapaian Custom Unions, yang merupakan usaha untuk penghapusan customs duties, import quotas, dan berbagai hambatan perdagangan lainnya antar sesama negara anggota. Di sisi lain diberlakukan Common Customs Tarrif (CCT) negara ketiga (negara-negara non-anggota).

Dalam pasar bebas semua sumber ekonomi harus bergerak secara bebas, tidak ada hambatan oleh batasan negara. Oleh karena itu Traktat Roma menetapkan empat kebebasan (four freedoms) yang mengikat yaitu kebebasan perpindahan barang, kebebasan berpindah tempat kerja, kebebasan memilih tempat tinggal dan lalu lintas jasa yang bebas, lalu lintas modal yang bebas[1].

Pasar bebas mempunyai kebijakan yang komersial umum, relasi komersial dengan negara-negara ketiga dan kebijakan persaingan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur pasar bebas yang mempunyai peranan sangat penting bagi Masyarakat Eropa adalah Hukum Persaingan Usaha[2].

Namun demikian, saat ini pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antarnegara anggota masih belum sepenuhnya bebas, artinya pelaksanaan tujuan dari pembentukan EEC masih dalam proses penyempurnaan.

Terkait dengan kebijakan pasar bebas yang diwujudkan dalam EEC, maka tujuan dibentuknya EAEC/Euratom juga terkait dengan pergerakan bebas sumber produksi, distribusi, dan riset yang diperlukan untuk pengembangan sumber energi yang berbasis kepada penguunaan nuklir antar sesama negara anggota. EEC dan EAEC (Euratom) resmi diberlakukan pada tahun 1958.

ESCS, EEC dan Euratom resmi disatukan (merger) menjadi European Community (EC) atau Masyarakat Eropa pada bulan Juli 1967. Kerjasama ekonomi yang disepakati pada EEC segera diterapkan, sehingga pada tahun 1968 semua tarif yang ada antar negara-negara anggota dihilangkan sepenuhnya.

Setelah ketiga organisasi itu disatukan ke dalam EC tidak terlihat adanya progress yang cukup besar, sampai pada saat Georges Pompidou menggantikan posisi De Gaulle sebagai Presiden Perancis. Georges Pompidou melakukan tindakan-tindakan yang lebih terbuka untuk memicu perkembangan EC. Atas saran Pompidou, sebuah pertemuan digelar di Den Haag, Belanda pada tahun 1969. Dalam pertemuan ini dicapai beberapa poin penting, seperti pembentukan sistem financial untuk EC yang didasarkan pada kontribusi tiap negara anggota, pembentukan kebijakan luar negeri, dan negosiasi dengan Inggris, Denmark, Irlandia dan Norwegia untuk bisa bergabung dengan EC.

Sukses besar EC berlanjut sampai pada terbentuknya komunitas regional yang saat ini dikenal dengan nama European Union. Dalam perkembangannya banyak terjadi pertemuan-pertemuan lainnya yang menghasilkan banyak kebijakan-kebijakan baru dan jumlah keanggotaan yang semakin besar jumlahnya.

B. Tujuan Utama Pembentukan Uni Eropa

Pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh The Inner Six menelurkan kebijakan-kebijakan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan dan pengembangan sektor produksi dan distribusi antar sesama negara anggota. Dimulai dari kerja sama antar sesama negara-negara anggota di dalam kerangka pengolahan, sumber perolehan bahan baku produksi, dan distribusi batu bara dan besi baja (ECSC), sampai dengan terbentuknya suatu komunitas yang lebih luas yang disebut European Community (EC) yang merupakan gabungan antara ECSC, EEC, dan Euratom.

Jika diperhatikan dengan sangat teliti, maka terlihat jelas bahwa cikal bakal pondasi utama pembentukan European Union adalah komunitas-komunitas yang mengutamakan urusan-urusan ekonomi. Mulai dari pengaturan perolehan sumber bahan baku produksi, sampai dengan pengaturan di bidang distribusi hasil produksi antar sesama negara-negara anggota, semuanya tercermin di dalam merger ECSC, EEC, dan Euratom menjadi satu komunitas yang disebut Masyarakat Eropa/European Community (EC).

Dalam pelaksanaannya, keberadaan EC mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini menyebabkan munculnya minat dari negara-negara lain di luar negara-negara anggota untuk bergabung dengan komunitas ini. Kesuksesan inilah yang mendorong Inggris, Denmark, Irlandia dan Norwegia untuk mengajukan diri bergabung dengan EC.

Pengajuan diri Inggris untuk menjadi bagian dari EC tidak berjalan mulus. Kejadian-kejadian di masa lalu membuat De Gaulle (Presiden Perancis) tidak meloloskan niat Inggris untuk bergabung dengan EC. Seiring berjalannya waktu, penggantian tampuk kepemimpinan di Perancis akhirnya memberikan angin segar kepada Inggris untuk meloloskan niatnya bergabung dengan EC. Georges Pompidou, di masa kepemimpinan dialah Inggris beserta tiga negara lainnya resmi bergabung dengan EC.

Fakta penolakan De Gaulle terhadap keinginan Inggris untuk bergabung dengan EC yang didasari oleh kejadian-kejadian di masa lalu menimbulkan retorika apakah keberadaan ECSC, EEC, dan Euratom yang akhirnya terintegrasi ke dalam European Community murni berdasarkan kepentingan dan tujuan bersama dalam bidang ekonomi saja? Metamorfosa EC menjadi European Union (EU) terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang, dan di dalamnya terdapat banyak perkembangan kebijakan-kebijakan baru melalui pertemuan-pertemuan antar negara anggota yang jumlahnya senantiasa bertambah.

Penolakan De Gaulle terhadap keinginan Inggris untuk bergabung dengan EC bukan satu-satunya hal yang menimbulkan retorika keberadaan EU – yang diawali oleh EC – didasari atas kepentingan dan tujuan ekonomi saja. Kenyataan lainnya yang cukup mencolok adalah adanya beberapa negara anggota yang menolak menggunakan mata uang Euro dan menolak untuk termasuk ke dalam kebijakan Schengen[3].

 V. Kesimpulan

Di bagian pendahuluan makalah ini telah dijelaskan sedikit tentang sejarah awal terbentuknya EU, yaitu berdasarkan trauma pasca perang antar negara-negara di kawasan Eropa yang puncaknya sangat dirasakan pada pasca Perang Dunia II. Keruntuhan perekonomian negara-negara Eropa pasca Perang Dunia II memang menjadi alasan utama untuk membangun kerja sama antar negara-negara di kawasan Eropa sehingga perekonomian bisa kembali normal.

Namun demikian, mustahil perekonomian akan kembali stabil dan berjalan dengan normal jika penyebab utama malapetaka (perang) tidak diantisipasi. Berbicara soal perang erat kaitannya dengan banyak kepentingan, dan apabila kita membahas tentang kepentingan, maka akan sangat erat kaitannya dengan politik. Jadi tujuan utama pendirian EC yang perlahan tapi pasti bermetamorfosa menjadi apa yang sekarang dikenal dengan nama European Union adalah kepentingan untuk membangun kembali perekonomian negara-negara anggota EC pasca Perang Dunia II dan sekaligus sebagai salah satu upaya untuk meredam rivalitas antar negara-negara di kawasan Eropa sehingga bisa dicegah terjadinya perang yang berdampak sangat buruk terhadap kehidupan, terutama di dalam bidang perekonomian, karena perang menguras banyak biaya dan menghancurkan sumber-sumber produksi basis-basis perekonomian negara-negara yang terkena imbas perang.

Fakta bahwa negara-negara anggota UE saat ini merupakan bagian dari negara-negara maju seantero dunia menunjukkan bahwa apa yang dicita-citakan sejak awal tentang misi “penyelamatan” Eropa cukup berhasil. Namun demikian, latar belakang historis hubungan antar negara-negara besar di benua Eropa juga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan Uni Eropa sejak awal pembentukannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan pada setiap pertemuan yang diadakan juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi dari beberapa negara besar.

Misi utama penyelamatan Eropa melalui sektor kerjasama di bidang ekonomi menuai sukses besar dalam perjalanannya sampai saat ini. Dimulai dari pembentukan ECSC (Traktat Paris, 18 April 1951), dan kemudian diikuti oleh traktat Roma pada tanggal 25 Maret 1957 yang menghasilkan keputusan pembentukan EEC dan Euratom yang kemudian diintegrasikan dengan ECSC dalam suatu wadah yang disebut European Community (EC) adalah cikal bakal kesuksekan negara-negara anggota dalam pencapaian misi “penyelamatan” Eropa.

Seiring perkembangannya, kerjasama-kerjasama di bidang ekonomi juga mendorong lahirnya kerjasama-kerjasama lain yang merupakan usaha pemenuhan kepentingan politik negara-negara anggota (terutama kepentingan politik negara-negara besar seperti Perancis, Jerman, dan Inggirs).

Jadi, secara garis besar bisa ditarik dua tujuan utama pembentukan Uni Eropa, yaitu:

  1. Terjalinnya kerjasama antar negara anggota di bidang ekonomi yang fokus terhadap keleluasaan gerak sumber produksi, manusia (sumber tenaga kerja), hasil produksi, dan jasa tanpa tarif atau minimal dengan kesegaraman tarif yang rendah.
  2. Terjalinnya kerjasama antar negara anggota di bidang politik sehingga dapat mengurangi dampak negatif rivalitas antar negara-negara besar di Eropa yang telah ada sejak dahulu kala sehingga bisa menghindari terjadinya perang kembali di Eropa, serta menjadi salah satu kekuatan di dunia dalam regulasi internasional.

Dari kesimpulan ini dapat dilihat alasan pentingnya keberadan EC dalam sejarah terbentuknya Uni Eropa. Dengan demikian terjawab pula pertanyaan ketiga dari makalah ini, yaitu pembentukan Uni Eropa yang diawali dengan pembentukan EC (kerjasama dalam bidang ekonomi) telah mencapai tujuan utamanya, yaitu kerjasama dalam bidang ekonomi, dan berkembang ke dalam kerjasama politik yang dapat “mengontrol” rivalitas antar negara-negara besar di Eropa sehingga perang bisa dihindari, serta perlahan tapi pasti menjadi salah satu bagian utama dalam percaturan politik dunia internasional.

Daftar Pustaka

Andi Fahmi Lubis, dkk. (2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Jakarta: GTZ

Cini, Michele. (2003). European Union Politics. New York: Oxford University

Craig, P., & de Burca, G. (2003). EU Law, Text, Cases and Material . New York: Oxford University Press.

Foster, Nigel. (2010). EU Law Directions, 2nd ed. New York: Oxford University Press.

Korah, V. (2000). An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice . Portland Oregon: Oxford.

http://www.schengenvisa.cc/



[1] Valentine Korah, An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice, 7th ed. (Portland, Oregon: Oxford, 2000)

[2] Paul Craig and Grainne de Burca, EU Law, Text, Cases and Material, 3rd ed. (New York: Oxford University

Press, 2003) p.936.

[3] The Schengen Visa has made traveling between its 25 member countries (22 European Union states and 3 non-EU members) much easier and less bureaucratic. Traveling on a Schengen Visa means that the visa holder can travel to any (or all) member countries using one single visa, thus avoiding the hassle and expense of obtaining individual visas for each country. This is particularly beneficial for persons who wish to visit several European countries on the same trip. The Schengen visa is a “visitor visa”. It is issued to citizens of countries who are required to obtain a visa before entering Europe. (http://www.schengenvisa.cc/)

Lembaga-lembaga di Tubuh Uni Eropa

Keberadaaan Institusi-institusi di dalam Uni Eropa diatur dalam pasal 13 Traktat EU (sebelumnya berada di dalam pasal 7 EC). Di dalam pasal 13 disebutkan bahwa institusi-institusi Uni Eropa terdiri dari: the European Parliament, the European Council, the Council (of Ministers), the Comission, the Court of Justice, the European Central Bank, dan the Court of Auditors[1].

Dalam pelaksanaan prosedur legislatif Uni Eropa terdapat tiga institusi yang mempunyai peran sangat besar, yaitu: the Comission, the Council of Ministers, dan the European Parliament. The Comission memenuhi fungsi sebagai executive administration Uni Eropa dan memiliki hak untuk mengajukan draft perundang-undangan. The Comission memiliki limited powers of decision untuk menetapkan perundang-undangan di bawah wewenang yang diberikan oleh the Council of Ministers. The Comission juga disebut sebagai “the guardian or watchdog of the Community”, karena the Comission juga bertugas untuk memonitor pelaksanaan perundang-undangan yang telah ada dan bisa melaporkan negara anggota (Pasal 258 TFEU), institusi yang lain (Pasal 263 TFEU), dan perorangan apabila terindikasi tidak menaati perundang-undangan yang telah ada. Selanjutnya, the Comission juga bertanggung jawab dalam representasi external dan negosiasi international agreements (Pasal 207 dan 218 TFEU). Oleh sebab itu the Comission juga dianggap sebagai institusi di dalam Uni Eropa yang paling federal.

The Council of Ministers diketuai oleh seorang Presidensi dari setiap negara anggota yang berganti-ganti setiap enam bulan sekali[2] dan anggotanya terdiri dari perwakilan menteri-menteri dari setiap negara anggota tergantung pada subjek yang sedang didiskusikan. The Council of Ministers memiliki prosedur voting di dalam prosedur-prosedur legislatif, dan yang paling penting adalah fakta bahwa the Council of Ministers memiliki general law-making powers. Setelah banyak perubahan, terutama setelah Traktat Lisbon the Council of Ministers tetap menjadi organ legislatif yang utama di dalam Uni Eropa. Tugas-tugas dan fungsi-fungsinya tertuang di dalam Pasal 16 TEU dan Pasal 237-243 TFEU. Di dalam Pasal 16(1) TEU dijelaskan bahwa the Council memiliki persyaratan umum untuk mengemban tugas policy-making and coordinating functions bersama-sama dengan the European Parliament. Dalam Traktat Lisbon juga dijelaskan bahwa the Council mempunyai hak dalam memberikan keputusan terhadap pelaksanaan sebagian besar prosedur legislatif. The Council bersama-sama dengan the European Parliament bertanggung jawab terhadap pelaksanaan budget tahunan.

Setara dengan the Council of Ministers, the Parliament adalah cabang legislatif dari institusi yang ada di dalam Uni Eropa. Yang membedakannya dengan the Councils adalah bahwa the Parliament tidak memiliki general law-making powers, tetapi the Parliament bisa melakukan amandemen dan memveto macam-macam kebijakan. The Parliament juga diberikan hak untuk melakukan kontrol terhadap anggaran Uni Eropa (Budgetary powers)[3]. Anggota the Parliament dipilih secara langsung oleh warga negara Uni Eropa setiap lima tahun berdasarkan perwakilan proporsional suara yang dikumpulkan oleh masing-masing partai politik.

Dari uraian singkat di atas didapatkan fakta bahwa secara hierarki the Council of Ministers dan the Parliament menempati posisi sejajar. The Comission mengajukan draft perundang-undangan, yang nantinya akan dibahas oleh the Council of Ministers dan the Parliament. The Council of Ministers akan “mengetuk palu” apa perundang-undangan itu telah disepakati secara bersama. Namun the Parliament bisa memveto kebijakan tersebut. Dalam pelaksanaannya, the Comission melakukan pengawasan dan apabila terjadi penyelewengan dalam penerapan undang-undang yang telah ada, maka the Comission bisa melaporkan negara, institusi, dan perorangan ke , the Court of Justice.

Namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka institusi yang paling “berkuasa” sebenarnya adalah the Council of Ministers, karena institusi ini memiliki general law-making powers. Namun, dalam pelaksanaannya nanti akan diawasi bersama-sama oleh the Parliament dan the Comission. The Parliament  bisa melakukan amandemen terhadap undang-undang yang telah disahkan, dan the Comission bisa melaporkan pihak-pihak yang melanggar ke the Court of Justice.

Nigel Foster dalam bukunya mengatakan “the institutional framework of the EU, like the EU itself is not a static entity but a changing one” (Foster: EU Law Directions, 67). Hal ini disebabkan karena setiap isu yang muncul akan dibicarakan di dalam institusi, apabila terjadi benturan atau jalan buntu dalam pembahasannya, maka nantinya akan ada lagi Traktat-traktat baru yang mengatur tentang perubahan, penambahan, atau mungkin pengurangan di dalam setiap tugas dan fungsi dari masing-masing institusi, tidak menutup kemungkinan perubahan, penambahan, atau mungkin pengurangan juga diberikan terhadap institusi itu sendiri.

Institusi yang bisa dianggap sebagai motor utama dari integrasi dalam EU adalah the Comission. Fungsi dan tugas the Comission yang bisa mengajukan draft perundang-undangan, mempunyai kekuatan untuk melaporkan pihak-pihak yang “melenceng” ke the Court of Justice, tanggung jawab dalam representasi external dan negosiasi international agreements menjadikannya sebuah institusi tempat menampung semua aspirasi dari setiap negara anggota dan institusi lainnya. Dari sisi ini bisa dilihat peran the Comission dalam proses integrasi baik dalam hubungan antar institusi, maupun hubungan antar negara anggota di dalam Uni Eropa.

Keberadaan institusi-institusi di dalam tubuh Uni Eropa yang merupakan payung dari 27 negara anggota memerlukan satu atau mungkin beberapa faktor yang mendorong dan mengharuskan terjalinnya kerja sama yang baik antar institusi dan antar setiap negara anggota. Namun demikian, muncul pertanyaan apakah relasi antar institusi-institusi di dalam tubuh Uni Eropa terjalin berdasarkan kerja sama atau berdasarkan konflik?

Menurut saya kedua faktor tersebut mempunyai peran yang besar dalam proses integrasi di dalam tubuh Uni Eropa, terutama dalam hubungan antar institusi-institusinya. Atas dasar konflik, setiap institusi dituntut untuk memiliki hubungan yang “harmonis” dengan institusi-institusi lain yang berada di dalam Uni Eropa, karena konflik-konflik yang ada merupakan motivasi utama bagi Uni Eropa untuk menjalin hubungan yang “harmonis” sehingga tujuan utama yang berupa pencapaian perdamaian di Eropa dapat terwujud.

Jadi, dari konflik yang ada Uni Eropa melalui institusi-institusinya tertantang untuk menjalin kerja sama yang lebih “harmonis” sehingga tujuan-tujuan utama dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud. Maka keberadaan konflik sejalan dengan tuntutan kerja sama yang baik supaya apa yang menjadi cita-cita dasar dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud.

Jika dilihat dari sejarah awal pembentukan Uni Eropa, maka musuh utama Uni Eropa adalah perang dan kemelaratan ekonomi yang merupakan salah satu dampak dari peperangan, dan perang hanya akan terjadi jika ada konflik antar lebih dari satu pihak yang berkepentingan. Maka, bisa disimpulkan keberadaan konflik baik antar negara anggota maupun antar institusi di dalam tubuh Uni Eropa merupakan motivasi utama dari pencapaian kerja sama yang baik sehingga tujuan utama dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud.

Daftar Pustaka

Cini, Michele. (2003). European Union Politics. New York: Oxford University

Foster, Nigel. (2010). EU Law Directions, 2nd ed. New York: Oxford University Press.

Pinder, John & Usherwood, Simon. (2007). The European Union A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.



[1] Nigel Foster, EU Law Directions, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 2010) p. 41

[2] Terdapat dalam Pasal 16(9) TEU dan 236 TFEU

[3] Terdapat dalam Pasal 314 TFEU

 

Tulisan ini merupakan tugas pada Mata Kuliah Uni Eropa Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan ke dosen terkait pada tanggal 17 Maret 2012. Dosen: Made Nadera, M.Si.

Ulasan Singkat tentang Kama Sutra

kama_sutra_cover

Kamasutra dianggap sebagai buku ajar tentang cinta dan sex yang paling penting di India. Buku ini disusun oleh Vatsyayana* kira-kira pada abad ke-II Masehi. Buku ini disusun sedemikian rupa untuk tujuan didaktis tentang hal-hal dalam ranah erotik.

Buku ini bisa disebut sebagai buku yang menyajikan pengantar untuk pasangan yang baru saja menikah dalam pencapaian kenikmatan dalam percintaan mereka. Kamasutra mengajarkan pria cara untuk melayani, memuaskan, dan memenangi cinta dari wanita yang ia nikahi.

Kamasutra terdiri dari 36 bab di dalam 7 bagian:

    1. Pengantar (5 bab) – tentang cinta dalam garis besar, tempat cinta di dalam kehidupan, dan pengantar tentang jenis-jenis wanita.
    2. Tentang penyatuan seksual (10 bab) – pembahasan mendalam tentang bermacam-macam teknik dalam bercinta, dari pemanasan yang berupa ciuman sampai dengan pencapaian orgasme, serta posisi-posisi bercinta dengan pasangan dan posisi Trio dalam bercinta.
    3. Tentang bagaimana cara mendapatkan seorang wanita (5 bab) – pacaran dan pernikahan.
    4. Tentang pasangan suami-istri (2 bab) – bagaimana mereka bersikap.
    5. Tentang istri orang lain (6 bab) – tentang godaan.
    6. Tentang courtisanes (6 bab).
    7. Tentang cara membuat diri kita menarik bagi orang lain (2 bab).

 

*V?tsy?yana adalah seorang filsuf Hindu di dalam tradisi Vedic yang dipercaya hidup di masa Kekaisaran Gupta (abad ke-4 s/d ke-6 Masehi) di India.

Sumber: Wikipedia berbahasa Belanda