Mengapa Perempuan Tergila-gila Berbelanja?

Oleh: Michel Weerden, Groesbeek

Penjelasan yang sangat menarik dari fakta ini berkaitan erat dengan fungsi perempuan dan laki-laki dalam sistem sosial masyarakat dalam sejarah evolusi manusia dari masa lalu, yaitu: laki-laki berburu, dan perempuan mengumpulkan.

Laki-laki berburu hewan-hewan mangsa untuk dijadikan santapan keluarga atau bentuk komunitas lainnya. Setelah para lelaki selesai berburu, mereka akan merasa sangat puas atas penaklukan terhadap hewan mangsa mereka. Sementara itu, perempuan adalah kaum yang gemar mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian di dalam hutan.

“Kebiasaan” masa lalu tersebut menjelma pada masa sekarang dengan “mengumpulkan” barang-barang yang memiliki “penawaran menarik” atau diberi label “diskon”/”korting”. Pusat-pusat perbelanjaan dan toko-toko memahami betul aspek kebiasaan ini, sehingga menjadi “fasilitator” utama bagi kaumperempuan dalam kehidupan masa kini.

Dalam kehidupan masa kini, secara tradisional kaum laki-laki mencari uang dan kaum perempuan dapat menggunakan uang hasil “buruan” tersebut untuk “mengumpulkan” benda-benda yang dianggap berguna atau memiliki nilai-nilai berharga.

Toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan melakukan berbagai cara untuk memfasilitasi “kebiasaan” perempuan ini, dan perempuan juga dengan senang hati dan penuh semangat secara aktif mengambil perang dalam “permainan” ini. Oleh karena itu, pada masa kini berbelanja menjadi sebuah aktifitas yang sangat menarik buat kaum perempuan dan lebih dari itu, berbelanja bisa menjadi pelipur lara bagi perempuan dalam menghadapi beberapa kegalauan dalam hidup.

Sumber: Quest, edisi Desember 2013

Mengapa Menarik Nafas yang Dalam (Deep Inhale) Melegakan?

Oleh: Henny Klok

Menarik nafas yang dalam saat seseorang berada dalam kondisi tertekan, stres, dan kondisi tidak menyenangkan lainnya dapat menjadi sebuah “pelepasan” yang sangat melegakan (meski terkadang hanya untuk sesaat). Bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Para peneliti dari Katholieke Universiteit Leuven (K.U. Leuven) di kota Leuven, Belgia telah meneliti fenomena ini. Hasil dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa menarik nafas yang dalam dapat diibaratkan sebagai “tombol reset” dalam sistem pernafasan manusia. Mereka menjelaskan lebih lanjut bahwa sistem pernafasan manusia sangatlah flexibel: seberapa cepat, dalam, atau lambat seseorang bernafas sangat bergantung pada kondisi fisik dan psikis dari orang tersebut.

Mereka yang berada dalam suasana tegang, tertekan, atau stres membutuhkan oksigen yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang sedang menonton tv atau mendengarkan musik. Suasana tegang, stres, dan tertekan menjadikan sistem pernafasan seorang manusia sangat tidak stabil yang mengakibatkan sirkulasi udara di dalam tubuh orang tersebut menjadi sangat tidak merata.

Menarik nafas yang dalam dapat mengembalikan kedinamisan dari keseluruhan sistem pernafasan seorang manusia. Fakta inilah yang menyebabkan para peneliti mengibaratkan aktifitas menarik nafas yang dalam sebagai “tombol reset” dalam sistem pernafasan manusia.

Menarik nafas yang dalam dapat mengembalikan keseimbangan ritme pernafasan dan kemudian mengendorkan otot-otot yang menegang. Lebih lanjut, para peneliti tersebut menjelaskan bahwa bernafas secara biasa dalam keadaan yang cukup lama dapat menyebakan paru-paru menjadi stagnan dan apabila ini terjadi, maka sistem pernafasan menjadi sangat tidak efisien.

Jadi, menarik nafas yang dalam dapat mengembalikan kesupelan paru-paru, dan diiringi dengan jumlah oksigen yang lebih banyak dapat mengendorkan otot-otot yang tadinya menegang.  Hal ini kemudian dapat mengembalikan perasaan nyaman untuk manusia.

Sumber: Quest, edisi Desember 2013

Metodologi Penelitian Kebudayaan

Metodologi adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang mempelajari metode. Sementara itu Metode merupakan cara yang dipakai untuk mengerjakan (melakukan) riset atau penelitian tertentu. Maka dari itu, pemahaman terhadap metodologi akan mustahil apabila penguasaan terhadap metode-metode penelitian diabaikan.

Sementara itu, objek-objek yang dapat diteliti secara ilmiah dan dapat diterima pada ranah akademik adalah objek-objek yang bersifat logis, artinya hubungan sebab-akibat yang jelas merupakan hal mutlak yang harus hadir di dalam sebuah penelitian (riset ilmiah).

Tulisan ini akan mengulas tentang kebudayaan, penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan. Sebelum membahas lebih lanjut tentang penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu kebudayaan.

Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata dasar “budaya” yang sesungguhnya sangat sulit untuk didefenisikan. “Budaya adalah salah satu dari dua atau tiga kata-kata yang paling rumit di dalam bahasa Inggris….karena saat ini kebudayaan telah digunakan untuk konsep-konsep penting di dalam beberapa disiplin intelektual dan pemikiran” (Raymond William. 1976: 76-7). Hal ini telah terlihat di awal tahun 1950-an, saat itu Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952) telah mengumpulkan  banyak definisi kebudayaan baik dari sumber-sumber populer, maupun dari sumber-sumber ilmiah.

Kata budaya yang dalam bahasa Inggris disebut “culture” sering diasosiasikan dengan kata “cultivation” yang memiliki arti “budidaya”.  Asosiasi ini memperlihatkan segala tindak tanduk manusia dalam kemampuannya mengolah alam sekitar sebagai bentuk dari peningkatan kecerdasan manusia dan peningkatan skil manusia dalam “menaklukan” alam sekitarnya untuk tujuan bertahan hidup (survival). Seiring dengan berjalannya waktu, istilah budaya juga mengacu kepada peningkatan skil seseorang di dalam masyarakat secara keseluruhan, jadi tidak hanya terkait dengan hal-hal “penaklukan” alam dan lingkungan sekitarnya. Hal ini seringkali dianggap sebagai sinonim dari muatan nilai di dalam peradaban (civilization). Jadi pada periode ini istilah budaya erat kaitannya dengan peradaban, dan orang yang dianggap berbudaya adalah mereka yang dianggap telah beradab hidupnya. Contoh yang diambil oleh masyarakat Eropa pada saat itu untuk membedakan orang yang berbudaya/beradab adalah dengan membandingkan orang Eropa dengan orang Afrika yang saat itu di antara keduanya terdapat perbedaan teknologi, moral, dan sikap. Mereka berpendapat saat itu bahwa orang Eropa adalah orang yang berbudaya/beradab terkait dengan kemampuannya dalam menaklukan alam dan lingkungan sekitar (kemajuan teknologi), dan juga terkait dengan moral dan sikap dalam menjalani kehidupan di dalam masyarakat. Sedangkan pada masa Romantisisme pada saat revolusi industri, istilah budaya juga mulai dikaitkan dengan perkembangan spiritualitas seseorang dan untuk membedakan perkembangan psiritualitas tersebut dengan perkembangan infrastruktur semata di dalam masa-masa perkembangan teknologi industri. Kemudian di akhir abad ke-19 muncullah infleksi yang menekankan bahwa tradisi dan kehidupan keseharian merupakan dimensi budaya. Hal ini tercermin di dalam ide budaya rakyat (folk culture) dan budaya nasional (national culture).

Menurut Williams (1976: 80) pergantian masa sejarah kehidupan manusia direfleksikan ke dalam kegunaan-kegunaan dari istilah “budaya”:

  1. Untuk menunjukkan perkembangan intelektualitas, spiritualitas, dan estetika dari individu, kelompok, atau masyarakat.
  2. Untuk membidik cakupan intelektualitas dan aktifitas-aktifitas artistik dan produknya (filem, seni, dan teater). Kegunaan budaya di sini bersinonim dengan kata “kesenian” (the arts), untuk itu kita bisa menyebut “Kementrian Budaya”.
  3. Untuk menunjuk keseluruhan cara hidup, aktifitas, kepercayaan, dan kebiasaan individu, kelompok, dan masyarakat.

Kegunaan budaya yang pertama dan kedua adalah yang paling sering digunakan dan disintesakan di dalam ranah-ranah intelektual. Sedangkan kegunaan budaya yang ketiga diperjuangkan oleh banyak Antropolog dan menjadi pusat dari keilmuannya.

Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengidentifikasi enam pemahaman utama tentang budaya berdasarkan kegunaanya yang ketiga:

  1. Definisi deskriptif: cendrung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang membentuk kehidupan sosial dan mengklasifikasikan berbagai bidang yang membentuk budaya.
  2. Definisi sejarah: cendrung melihat budaya sebagai sebuah warisan yang diwariskan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi.
  3. Definisi normatif: membentuk dua bentuk. Bentuk pertama: menyarankan budaya sebagai aturan hidup yang membentuk pola-pola dari kebiasaan dan aksi konkrit. Bentuk kedua: menekankan peran dari nilai-nilai tanpa mengacu pada perilaku.
  4. Definisi psikologis: menekankan peran budaya sebagai alat pemecahan masalah, memungkinkan orang untuk berkomunikasi, belajar, atau untuk memenuhi kebutuhan material dan emosional.
  5. Definisi struktural: “interelasi aspek-aspek budaya yang terorganisasi” (Tylor: 61)
  6. Definisi genetik: menentukan keberadaan budaya dan kelanjutan eksistensinya. Hal ini sedikit terkait dengan biologi. Jadi, budaya merupakan kemunculan interaksi manusia sebagai produk dari transmisi intergenerasi.

Walaupun ide-ide dari Kroeber dan Kluckhohn ini sangat populer, namun pemahaman tentang budaya senantiasa bergerak secara halus di dalam bidang teori kebudayaan. Perkembangan pemahaman budaya di dalam bidang teori kebudayaan dapat dipahami sebagai berikut:

– Budaya cenderung bertentangan dengan materi, teknologi, dan sosial struktural. Walaupun secara empiris relasi antara budaya dengan materi, teknologi, dan sosial struktural itu dapat ditelusuri, namun ada baiknya untuk melihat budaya sebagai sesuatu yang lebih abstrak dari sekedar “cara hidup”.

– Budaya dilihat sebagai dunia dari ide, spiritualitas, dan non-material. Hal ini diperlukan dalam pemahaman tentang kepercayaan, nilai-nilai, simbol-simbol, tanda-tanda, dan wacana.

– Penekanan diberikan pada “otonomi budaya”. Ini membuktikan bahwa budaya tidak hanya bisa dijelaskan melalui dasar kekuatan ekonomi, distribusi kekuasaan atau kebutuhan sosial struktural belaka.

– Usaha-usaha dibuat untuk tetap menjadi nilai-nilai yang netral. Studi budaya tidak hanya terbatas pada Kesenian, tetapi juga meliputi segala aspek dan tingkatan dalam kehidupan sosial.

Tahapan Kebudayaan

Van Peursen membagi tahapan kebudayaan ke dalam tiga bagian:

  1. Tahapan mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif.
  2. Tahapan ontologis. Ontologis merujuk kepada hal yang sifatnya “being” / “asal muasal”. Jadi, tahapan ontologis di dalam kebudayaan adalah sikap manusia yang tidak didominasi sepenuhnya oleh kekuasaan mitis, tetapi dengan sadar mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dirasakan oleh panca inderanya. Ontologi mengalami perkembangan yang cukup hebat pada kebudayaan masyarakat kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
  3. Tahapan Epistem. Di dalam filsafat ilmu, epistemologi dapat didefenisikan sebagai sebuah pembahasan mengenai perolehan pengetahuan. Pembahasan tersebut meliputi: sumber, hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan, probabilitas perolehan pengetahuan oleh manusia, dan kedalaman manusia dalam menganalisis dalam memperoleh pengetahuan.

Bagian-bagian Dasar Kebudayaan

Secara mendasar, kebudayaan memiliki tiga komponen utama, yaitu:

  1. Asumsi dasar (mentalité)
  2. Nilai dan norma
  3. Tingkah laku, teks, dan artefak

Jika digambarkan, maka bagian-bagian mendasar di dalam kebudayaan akan terlihat sebagai berikut:

mentalite-kebudayaan

Penelitian Kebudayaan

Penjabaran singkat tentang komponen-komponen penting dan penjelasan tentang arti kebudayaan pada bagian-bagian sebelumnya secara eksplisit menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil riset yang bagus dan objektif dalam ranah kebudayaan diperlukan dua pendekatan, yaitu:

  1. Pendekatan intrinsik, yaitu peneliti ikut tinggal di lingkungan objek kebudayaan yang ingin diteliti dan mengikuti semua pola kehidupan di sana, sehingga secara kasat mata terlihat bahwa si peneliti adalah bagian dari kebudayaan tersebut.
  2. Pendekatan ekstrinsik, yaitu pandangan dan peniliaian peneliti dari kacamata netral. Situasi ini menempatkan peneliti berada di luar dari kebudayaan yang akan diteliti dan peneliti dituntut untuk dapat melihat dan menilai objek yang akan diteliti sebagai sesuatu yang bukan merupakan kebudayaan si peneliti itu sendiri.

Dua pendekatan ini sangat dibutuhkan dalam memenuhi tahapan epistemik di dalam tahapan kebudayaan menurut Van Peursen. Tidak hanya itu, di dalam setiap metodologi – khususnya metodologi kebudayaan – harus mencapai tahapan ontologis dan epistemik.

Di dalam penelitian kebudayaan, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, di antaranya yang paling sering digunakan adalah:

1. Metode deskriptif, yaitu sebuah totalitas komprehensif kebudayaan yang digambarkan untuk mendapatkan nilai (value) dari kebudayaan yang diteliti.

2. Metode defenisi logis, terbagi ke dalam dua cara, yaitu:

  • Secara historis, yaitu metode yang menjelaskan tentang warisan untuk generasi baru dari objek kebudayaan yang akan diteliti.
  • Secara normatif, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui: 1. aturan/jalan hidup obejk budaya yang diteliti, 2. Nilai (value) yang mengacu pada nilai tertentu juga.

Jika kita sekali lagi membaca penjelasan tentang metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan, maka kedua-duanya berbicara tentang nilai (value). Ini berarti peneliti di bidang kebudayaan dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bagus di bidang hermeneutika supaya tidak terjadi salah tafsir dalam memaknai nailai-nilai yang ada di dalam sebuah kebudayaan. Hermeneutika kembali dipopulerkan pada abad ke-20 oleh seorang filsuf asal Jerman yang bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002).

Hermeneutika Gadamer merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Hal ini erat kaitannya dengan fusi cakrawala (fusion of horizons), yaitu peleburan cakrawala pembaca (vorhabe, vorsicht, dan vorgiff) dengan cakrawala penulis melalui “teks”[1] yang telah ditulisnya untuk memaknai esensi yang terkandung di dalam suatu “teks”. Dengan demikian, pemakanaan suatu “teks” tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh esensi suatu “teks” yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap pembaca dengan cakrawala si penulis “teks” tersebut melalui “teks” yang ditulisnya. Di samping itu, cakrawala pembaca terhadap “teks” itu sendiri juga dileburkan pada tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah “teks” ditulis, oleh siapa sebuah “teks” ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat “teks” itu ditulis juga menjadi bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini untuk mendapatkan esensi dari sebuah “teks”. Jadi, suatu “teks” dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang dilakukan oleh pembaca “teks” tersebut.

Di samping penguasaan hermeneutika yang bagus, seorang peneliti di bidang kebudayaan juga dituntut untuk memiliki pemahaman estetika yang bagus, hal ini disebabkan karena estetika merupakan sebuah nilai (value) yang memegang peranan cukup sentral di dalam setiap penelitian pada ranah kebudayaan. Menurut Mudji Sutrisno:

“estetika merupakan paparan yang lebih mau menekankan pengalaman si subjek mengenai yang indah tanpa mau mencermati apakah asalnya dari objek kesenian alami (natural object) atau dari karya cipta manusia (artificial object).”

Hal ini sejalan dengan bagian-bagian kebudayaan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bagian kebudayaan nomor tiga terkait dengan artefak yang merupakan karya cipta manusia.

Kesimpulan

Ranah kebudayaan tidak hanya mencakup manusia sebagai subjek yang mengobjekkan hal, dan aktifitas lainnya di dalam suatu kebudayaan. Namun demikian, manusia itu sendiri bisa mengisi posisi objek di dalam sebuah penelitian kebudayaan.

Tiga bagian dasar kebudayaan dapat dijadikan acuan untuk menentukan objek yang akan diteliti di dalam sebuah penelitian kebudayaan.

Kemudian, untuk menghindari subjektifitas peneliti di dalam meneliti kebudayaan, maka diperlukan dua pendekatan yang digunakan di dalam penelitiannya, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.

Metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan terkait dengan nilai-nilai (values) yang ada di dalam kebudayaan yang akan diteliti. Oleh karena itu, pemahaman di dalam bidang hermeneutika dan estetika juga menjadi penting bagi peneliti kebudayaan agar nantinya tidak terjadi salah tafsir di dalam melihat nilai dan memberikan penilaian terhadap sebuah kebudayaan.

Bibliografi

Berry, Peter. (2010). Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Jakarta: Jalasutra.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas

Bambu.

Smith, Philip. (2001). Seri Cultural Theory, An Introduction. U.K.: Blackwell Publishing Ltd..

Sutrisno, Mudji. (2011). Ranah-ranah Hermeneutika. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.

Sutrisno, FX. Mudji & Hardiman, F. Budi (ed.). (1992). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.



[1] Teks tidak hanya berupa tulisan, tetapi apapun yang bisa menjadi objek penafsiran.

Skenario Hubungan UE dengan Rusia dalam Aspek Pendidikan dan Kebudayaan

Rusia memiliki kebudayaan yang erat melekat pada kehidupan yang bersifat komunal dan berbasis pada nilai-nilai dan norma Kristen Orthodox. Akar kebudayaan yang seperti ini menjadi semakin kental ketika Rusia selama sekitar 75 tahun tergabung ke dalam Uni Soviet karena Soviet menerapkan politik menutup diri dari dunia luar dengan pola chauvinisme yang kental. Kondisi seperti ini menyebabkan Rusia memiliki kebudayaan yang sangat tertutup dari dunia luar dan berhasil mempertahankan “kebudayaan aslinya” tanpa benturan dari budaya-budaya asing yang berasal dari dunia luar. Namun kondisi ini mulai menuju kepada perubahan pada akhir tahun 80-an.

Keruntuhan paham komunis yang ditandai dengan pembubaran Uni Soviet pada masa kekuasaan Michael Gorbachev pada awal tahun 90-an merupakan batu loncatan pertama dan utama yang membawa Rusia menuju Rusia yang kita kenal saat ini dengan istilah the New Russia (Rusia Baru). Masa pasca keruntuhan Uni Soviet memaksa negara pewaris utama Soviet ini untuk lebih “membuka diri” kepada dunia luar demi kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Kondisi baru Rusia ini tentunya dipandang oleh beberapa negara besar dunia sebagai suatu peluang emas untuk melakukan macam-macam bentuk ekspansi dalam segala aspek kehidupan, terutama di dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang bermuara kepada potensi sebagai pasar dalam sistem market economy perekonomian dunia. Namun demikian, kondisi baru ini tidak hanya dipandang positif oleh dunia luar, tetapi Rusia juga bisa memandang dunia luar dengan persepsi yang sama seperti pandangan dunia luar terhadap Rusia Baru.

Lokasi geografis Rusia yang berbatasan langsung dengan komunitas besar dunia Uni Eropa menjadi hal yang sangat menarik dalam mengamati tarik menarik hegemoni pendidikan dan kebudayaan yang terjadi. Apakah Rusia yang akan melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa atau beberapa negara anggotanya, atau justru sebaliknya, Rusia lah yang akan terhegemoni oleh Uni Eropa atau oleh beberapa negara anggotanya? Pertanyaan ini tentu saja bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, fakta bahwa Rusia memiliki sumber energi utama yang memberikan suplai energi kepada sebagian besar negara-negara anggota Uni Eropa menambah serunya tarik menarik hegemoni ini.

Dalam usaha untuk memetakan hasil dari tarik menarik hegemoni budaya antara Rusia dan Uni Eropa ini, maka saya akan mencoba untuk memberikan beberapa skenario beserta implikasinya yang bisa digunakan oleh kedua belah pihak dalam usaha mencapai tujuan hegemoninya.

Skenario I: Program Beasiswa oleh Uni Eropa

Sebagai sebuah komunitas besar, Uni Eropa telah mulai memberikan banyak beasiswa kepada seluruh pelajar di dunia pada awal tahun 2000-an untuk mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan formal ke universitas-universitas terbaik yang terdapat pada masing-masing negara anggotanya. Kesempatan ini tentu saja merupakan peluang emas bagi mereka yang memang memiliki antusias besar dalam bidang pendidikan, terutama dengan alasan untuk memajukan bangsa, maka negara-negara di luar keanggotaan Uni Eropa tentunya berlomba-lomba untuk mengirimkan orang-orang terpelajarnya untuk dapat menimba ilmu di negara-negara anggota Uni Eropa.

Rusia yang berbatasan langsung dengan Uni Eropa tentunya juga dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk investasi jangka panjangnya dalam hal peningkatan mutu sumber daya manusia. Apabila Rusia memandang hal ini 100% merupakan peluang investasi jangka panjang di bidang sumber daya manusia tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruknya, maka alih-alih mendapatkan sumber daya manusia berkualitas dalam membangun negreinya, tetapi malah Rusia berkemungkinan besar kehilangan pemuda-pemuda terpelajarnya.

Saya berani berspekulasi seperti pada paragraf di atas karena saat ini hampir di setiap negara anggota Uni Eropa terdapat kebijakan untuk lulus ujian negara tempat calon pelajar melanjutkan studinya yang terdiri dari ujian bahasa negara setempat dan ujian tentang pengetahuan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat negara setempat. Apabila calon pelajar yang akan menerima beasiswa pendidikan tidak lulus dalam ujian tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan izin tinggal. Apabila calon pelajar penerima beasiswa tidak mendapatkan izin tinggal di negara tujuan, maka mereka tidak akan bisa melanjutkan studi ke negara tersebut, dengan kata lain, mereka gagal mendapatkan beasiswa tersebut.

Kenyataan seperti ini tentunya boomerang yang siap menghantam balik Rusia. Kaum terpelajar yang merupakan pemuda harapan bangsa pastinya dengan sukarela mati-matian mempelajari bahasa dan kebudayaan, serta kebiasaan masyarakat negara tujuan tempat mereka akan melanjutkan studi formalnya. Dengan kata lain, mereka (pelajar) dengan sadar “membuka diri” untuk sesuatu yang baru yang nantinya tanpa sadar akan mereka aplikasikan dan menjadi “pedoman dan pandangan hidup” mereka yang baru kelak ketika mereka mendapatkan beasiswa itu. Alih-alih Rusia dapat melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa, tetapi malah kaum terpelajarnya sangat berisiko dalam “tercemar” kebudayaan dan pandangan hidup Uni Eropa.

Kemungkinan ini menjadi lebih berisiko ketika kita dihadapkan pada fakta model pemerintahan Putin yang masih mewarisi pola-pola tangan besi ala Soviet. Kaum terpelajar yang lebih netral dan kritis dalam berfikir dan bertindak tentunya akan mendapatkan angin segar ketika masuk, menjalani kehidupan, dan menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa. Mimpi-mimpi utopis demokrasi Uni Eropa akan menjadi senjata utama yang nantinya bisa melunturkan sisi nasionalisme para pelajar Rusia yang mendapatkan beasiswa ke Uni Eropa.

Skenario II: Beasiswa untuk Scholar “Pilihan”

Skenario kedua ini merupakan langkah yang dapat diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi dampak negatif dari strategi Uni Eropa yang melancarkan ekspansi budaya melalui program beasiswa yang diberikannya. Risiko pelunturan rasa nasionalisme yang dapat terjadi sebagai implikasi skenario relasi kerjasama pendidikan dan kebudayaan antara Rusia dengan Uni Eropa sangat berdampak negatif bagi perkembangan Rusia Baru di masa depan. Hal ini diperburuk dengan fakta penurunan pertumbuhan populasi Rusia.

Rusia bisa mendapatkan pemutakhiran ilmu pengetahuan dalam segala bidang dengan bekerja sama dengan dunia luar, khususnya Uni Eropa yang juga memiliki kepentingan dalam pengembangan teritorial tanpa harus mempertaruhkan pemuda-pemuda harapan bangsanya. Jika Rusia memiliki kecurigaan yang sama dengan pandangan saya ini, maka tentunya Rusia akan melakukan langkah-langkah antisipasi dalam menyikapi kemungkinan tersebut. Salah satu langkah yang kira-kira akan diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi kemungkinan buruk dari kerja sama bidang pendidikan dan kebudayaan ini adalah dengan merekrut tenaga-tenaga muda untuk menjadi “orang dalam” pada pemerintahan yang sedang berkuasa dan kemudian memfasilitasi kerja sama dengan Uni Eropa untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan formal pada negara-negara anggota Uni Eropa.

Jadi, tanpa harus memberikan kesempatan kepada setiap scholar Rusia untuk menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa, Rusia masih akan bisa mendapatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dengan cara lain, yaitu dengan memilih orang-orang tertentu yang sudah teruji kematangan rasa nasionalismenya dan mengirimkannya ke negara-negara Uni Eropa untuk kemudian dengan penuh semangat kembali pulang ke Rusia untuk berbagi perkembangan ilmu dan pemikiran yang dapat digunakan untuk kemajuan dan perkembangan Rusia di masa depan. Sebagai tambahan, transfer ilmu dan pemikiran yang didapat dari Uni Eropa tidak begitu saja disebarkan di Rusia nantinya, tetapi pihak penguasa akan melakukan sensor terlebih dahulu dan memodifikasi setiap ilmu pengetahuan dan pemikiran yang didapat sesuai dengan kepentingan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan strategi kebudayaan Rusia nantinya.

Skenario III: Impor Guru/Dosen Tamu

Jika dua skenario pendidikan dan kebudayaan sebelumnya mengharuskan Rusia mengirimkan scholar terbaiknya ke negara-negara Uni Eropa, maka skenario ketiga ini justru merupakan sebuah kontradiksi dari dua skenario sebelumnya, yaitu dengan mendatangkan para ahli yang ahli di bidangnya ke Rusia untuk melakukan transfer ilmu dan pemikiran di Rusia.

Skenario ketiga ini adalah skenario yang paling rendah risikonya dalam hal kemungkinan pelunturan rasa nasionalisme yang membahayakan kebudayaan nasional Rusia. Saya berani berpendapat seperti ini karena pada skenario ketiga ini warga Rusia tidak perlu meninggalkan negara, tetapi justru sebaliknya, Rusia mendatangkan tenaga asing yang dirasa perlu demi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dari Uni Eropa. Skenario ini menjadi semakin mini risiko karena dengan situasi seperti ini, pemerintah Rusia dapat secara langsung melakukan kontrol terhadap konten dan proses transfer pengetahuan dan pemikiran yang nantinya terjadi di Rusia.

Selain minim risiko, skenario ketiga ini juga bisa menjadi cara bagi Rusia untuk melakukan hegemoni budayanya terhadap Uni Eropa. Jika pemerintah Rusia dapat mengambil hati setiap guru/dosen tamu yang datang ke Rusia dengan tujuan transfer ilmu, maka dengan sendirinya mereka akan kembali ke Uni Eropa nantinya dengan bias-bias kebudayaan dan kebiasaan Rusia yang mereka dapat selama mereka bertugas di Rusia dalam misi kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Kesimpulan

Fakta bahwa Rusia menjadi pemasok energi yang cukup berpengaruh di benua Eropa menjadikannya semakin menyadari isu-isu hegemoni kebudayaan yang siap menghantam setiap sendi kehidupan di Rusia. Maka dari itu, apapun tawaran yang diberikan kepada Rusia oleh Uni Eropa tentunya akan disikapi dengan sebijak mungkin. Selanjutnya, sebagai negara yang memiliki kebudayaan cukup tua , mengakar, dan sangat berbeda dengan tetangga Uni Eropa nya menambah kadar sensitifitas isu hegemoni budaya di Rusia.

Bibliografi

Boilard, Steve D. (1998). Russia at the Twenty First Century. Orlando: Harcourt Brace & Company.

Sakwa, Richard. (2008). Russian Politics and Society 4th ed. New York: Routledge.

White, Stephen. (2011). Understanding Russian Politics. New York: Cambridge University Press.

Yale, Richmond. (2009). From Nyet to Da: Understanding the New Russia, 4th ed. London: Intercultural Press.

————. (2005). Russian Prospects – Political and Economic Scenarios. Copenhagen Institute for Future Studies.

Pembagian Wilayah Negara Belgia (bagian 2)

Seperti yang terjadi pada hampir seluruh daratan Eropa, de Nederlanden[1] juga tidak luput dari kekuasan Julius Caesar. Kerajaan Romawi ini melakukan ekspansi besar-besaran ke hampir seluruh daratan Eropa untuk menularkan ide demokrasi dan sistem perpajakan dalam sistem pemerintahan. Caesar melakukan ekspansi ini dengan menggunakan pendekatan yang sangat kultural, yaitu dengan menggunakan bahasa daerah tersebut dalam melakukan aksinya. Dengan kata lain, rumpun bahasa Germania yang menjadi bahasa pada kawasan de Nederlanden tidak dijadikan hal yang harus “diseragamkan” oleh Caesar dalam melancarkan aksinya.

Metode ini ternyata sangat efektif, karena ekspansi oleh Roma tidak menjadi sangat berat karena tidak melukai perasaan pribumi dengan tidak menggunakan politik bahasa yang bersifat chauvinis, artinya bahasa kaum yang berkuasa tidak menjadi isu utama yang harus disebarkan ke daerah jajahan. Caesar justru mengeluarkan kebijakan untuk tetap menggunakan bahasa setempat untuk menyebarluaskan ide demokrasi dan perpajakan dalam pemerintahan pada 17 provinsi yang termasuk ke dalam wilayah de Nederlanden.

Pada masa 1560 – 1650, tampuk kekuasaan di wilayah Nederlanden pindah ke tangan Spanyol. Sedikit berbeda dengan misi ekspansi yang dilakukan oleh Ceasar, Spanyol melakukan ekspansi untuk menyebarkan ajaran Katolik dan hal-hal yang terkait dengan ke-Gerejaan. Berbeda dengan politik bahasa yang dilakukan oleh Caesar, Spanyol menggunakan politik bahasa yang bersifat chauvinis, artinya daerah jajahan Spanyol saat itu harus menggunakan bahasa Spanyol sebagai linguafranca. Jadi, Spanyol menyebarkan ajaran Katolik, menyeragamkan Gereja-gereja yang terdapat di 17 provinsi yang termasuk ke dalam wilayah de Nederlanden, dan juga melancarkan politik bahasa yang bersifat chauvinis.

Misi ekspansi Spanyol ke wilayah de Nederlanden yang sangat berbeda dengan misi ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Romawi tenyata menyulut rasa sakit hati yang cukup mendalam di kalangan pribumi saat itu. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena Spanyol datang dengan misi yang sangat mengintervensi akar-akar budaya masyarakat pribumi, yaitu penyeragaman kepercayaan dan bahasa.

Pada wilayah de Nederlanden bagian Utara, rasa sakit hati ini bermuara pada pemberontakan pada tahun 1568 – 1648. Pemberontakan ini terkenal dengan nama de tachtigjarige oorlog (perang delapan puluh tahun) yang diprakarsai oleh Willem van Oranje. Pemberontakan ini memberikan hasil yang sangat memuaskan bagi para pribumi, karena kekuasaan Spanyol bisa dikalahkan. Oleh karena itu, Willem van Oranje juga dipilih sebagai pemimpin dan Calvinis dipilih sebagai agama satu-satunya yang mereka imani. Willem van Oranje pada awalnya hanya menguasai wilayah Nederlanden yang berada di sebelah Utara, namun perlahan tapi pasti ia juga mulai melakukan ekspansi ke bagian Selatan, sampai pada kota Brussel dan wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan de taalgrens. Pada akhir abad ke-16, di tahun 80-an wilayah de Nederlanden terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Utara yang menganut agama Calvinis, dan bagian Selatan sampai wilayah de taalgrens yang menganut agama Katolik.

Hal yang perlu di garis bawahi dari ulasan singkat tentang sejarah Belgia yang dahulunya merupakan bagian dari de Nederlanden adalah perluasan kekuasaan Willem van Oranje ke bagian Selatan yang di dalamnya termasuk kota Brussel. Perlu dicermati, pemberontakan yang muncul pada wilayah bagian Utara dari de Nedelanden ini dipicu oleh rasa nasionalisme yang tinggi dan sangat terkait dengan hal-hal yang bersifat kebudayaan, yaitu mepertahankan bahasa dan agama. Brussel yang saat itu juga sudah menjadi ibu kota de Nederlanden akhirnya juga mulai menggunakan bahasa Germania (bahasa Belanda) dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Spanyol akhirnya menetapkan prioritasnya di Eropa Barat terkait dengan situasi pasca masa pemberontakan. Spanyol menetapkan bahwa mereka hanya akan keras terhadap urusan kepercayaan (agama). Dengan kata lain, dalam urusan bahasa Spanyol akan bersikap lebih fleksibel. Bahkan di kota Brussel – tempat bermukimnya para Gubernur dan pusat pemerintahan – Spanyol tidak lagi memaksakan bahasa dari rumpun bahasa Roman yang di dalamnya juga terdapat bahasa Prancis.

Dalam sisa-sisa masa pemerintahannya, Spanyol tetap mempertahankan penggunaan tradisi Burgondia dengan senantiasa berkomunikasi dalam bahasa Prancis dalam urusan pemerintahan, birokrasi, dan administrasi. Penggunaan bahasa Prancis dalam segala urusan formal pada masa itu bukanlah hal yang mengejutkan karena ternyata bahasa Prancis memang sudah menjadi bahasa yang digunakan sebagai bahasa formal dalam urusan resmi pada hampir sebagian besar wilayah daratan Eropa setelah masa kekuasaan Kerajaan Romawi berakhir. Budaya-budaya Burgondia, yang di dalamnya terdapat bahasa Prancis, merupakan simbol status sosial pada masa setelah kekuasaan Kerajaan Romawi, dan identitas sosial masyarakat kelas atas identik dengan kemampuannya dalam baca-tulis dalam bahasa Prancis.

Bahasa Belanda hanya mendapat tempat di bagian Utara de Nederlanden – daerah Flandria dan Brabant – pada kalangan tertentu, hal ini dapat dilihat dari terjemahan alkitab dalam bahasa Belanda yang terdapat di kawasan de Nederlanden bagian Utara. Sementara itu, kawasan de Nederlanden bagian Selatan – yang masih dikuasai oleh Spanyol – tetap menggunakan bahasa Prancis dalam level pemerintahan.

Sekolah dasar menggunakan bahasa atau dialek setempat. Namun, anak-anak yang memiliki status sosial tinggi dan memiliki orang tua yang kaya akan menjalankan pendidikan privat, dengan tambahan biaya untuk pelajaran memasak, berhitung, dan pelajaran bahasa Prancis. Dari fakta ini dapat dibuktikan bahwa memang sudah sejak masa pendudukan Spanyol bahasa Prancis merupakan bahasa kalangan atas dan siapapun yang bisa baca-tulis dalam bahasa Prancis akan dipandang mulia pada masa itu, karena terkait dengan status sosial keluarga mereka di dalam masyarakat.

Sementara itu, pendidikan lanjutan diberikan dalam bahasa Latin. Hal ini merupakan dampak lanjutan dari aliran Humanisme pada abad ke-16. Kontrareformasi[2] memberikan dampak tumbuh dan menjamurnya sekolah-sekolah Katolik untuk anak muda. Hal ini terjadi dalam rangka menjaga agar ide reformasi dan pemberontakan dari wilayah de Nederlanden bagian Utara tidak sampai menjadikan generasi muda pada wilayah de Nederlanden bagian Selatan menganut agama Calvinis. Hal yang sudah sangat jelas dari tumbuh dan menjamurnya sekolah-sekolah Katolik adalah penggunaan bahasa Latin yang semakin mendapatkan tempat dalam ranah pendidikan. Kemudian, bahasa lokal dianggap tabu oleh sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Latin.

Kekalahan Spanyol dalam pemberontakan yang terjadi di de Nederlanden bagian Utara bukan tanpa sebab, Spanyol yang dalam masa ini juga sedang berperang melawan kerajaan Prancis harus membagi kekuatan dalam setiap pertempuran yang terjadi pada masa itu.

Prancis akhirnya bisa menaklukkan kekuasaan Spanyol, dan pada tahun 1769 – 1821, dan Napoleon Bonaparte akhirnya menguasai wilayah yang dahulunya merupakan kekuasaan Spanyol. Pada masa kekuasaannya di de Nederlanden, Bonaparte mengeluarkan Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang di dalamnya menyatakan kesetaraan masyarakat di mata hukum, dan mendirikan negara modern. Negara modern ala Bonaparte ini diwujudkan dengan mengganti semua aturan perpajakan, mewajibkan registrasi kelahiran (pengeluaran akte kelahiran), registrasi perkawinan (pengeluaran akte nikah), dan registrasi kematian (pengeluaran akte kematian).

Namun kemudian, perlahan tapi pasti kekuasaan Bonaparte terasa menjadi semakin absolut. Hal ini terasa dalam hal penggunaan bahasa di Gereja-gereja dan sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Latin. Tanpa terasa Bonaparte melakukan verfransing (mewajibkan bahasa Perancis di setiap wilayah taklukannya, termasuk kawasan de Nederlanden). Namun situasi ini tidak berlangsung lama, karena kejatuhan kekuasaan Bonaparte yang ditaklukkan oleh Raja Willem I menghentikan proses verfransing ini.

Pada masa kekuasaan Willem I, semua sekolah, universitas, dan kegiatan-kegiatan pemerintahan diwajibkan menggunakan bahasa Belanda. Seperti Bonaparte yang melakukan verfransing, Willem I melakukan vernederlandsing (mewajibkan penggunaan bahasa Belanda di dalam setiap kawasan taklukkannya). Universitas-universitas, dan sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Prancis, pada masa kekuasaan Willem I berubah menjadi tempat-tempat yang diwajibkan berbahasa Beanda.

Tahun 1970 adalah momentum yang sangat bersejarah bagi negara Belgia, terutama terkait dengan pembagian wilayah negara berdasarkan diversitas bahasa yang diakui. Di tahun ini diresmikanlah garis batas bahasa (Taalgrens) yang membagi wilayah Belgia ke dalam beberapa bagian berdasarkan bahasa utama yang diakui di wilayah tersebut:

  1. Vlaanderen (Flandria): kawasan sebelah Utara Belgia dengan bahasa Belanda Flemish,
  2. Wallonië (Walonia): kawasan sebelah Selatan Belgia dengan bahasa Prancis,
  3. Oost-België (Belgia Timur): kawasan sebelah Timur Belgia dengan bahasa Jerman.

Taalgrens atau garis batas bahasa ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara. Selain membagi Belgia ke dalam 3 kawasan berdasarkan bahasa yang diakui pada masing-masing wilayah, Taalgrens juga mengatur situasi kebahasaan kota Brussel (ibu kota Belgia) menjadi kota dwibahasa. Jadi, bahasa Belanda dan bahasa Prancis adalah dua bahasa resmi yang diakui di kota Brussel.



[1] Kawasan tanah rendah yang berada di sebelah Barat benua Eropa dan terdiri dari 17 provinsi. Saat ini Kawasan tersebut dikenal dengan nama Benelux: Belgium, Netherlands, and Luxemburg. 17 provinsi tersebut adalah: Graafschap Artesië, Graafschap Vlaanderen, Kasselrijen Rijsel, Dowaai dan Orchies (kadang-kadang juga disebut Rijsels-Vlaanderen), Heerlijkheid Mechelen, Graafschap Namen, Graafschap Henegouwen, Graafschap Zeeland, Graafschap Holland, Hertogdom Brabant dan Markgraafschap Antwerpen, Hertogdom Limburg dan de Landen van Overmaas, Hertogdom Luxemburg, Heerlijkheid Friesland, Doornik dan het Doornikse, Heerlijkheid Utrecht, Heerlijkheid Overijssel, termasuk Drenthe, Lingen, Wedde dan Westwoldingerland, Heerlijkheid Groningen, Hertogdom Gelre dan Graafschap Zutphen.

[2] Bentuk perlawanan dari masyarakat bagian Selatan de Nederlanden dalam menyikapi kemenangan pemberontakan yang dilakukan oleh Willem van Oranje pada wilayah de Nederlanden bagian Utara.

Sumber utama: Raskin, Brigitte. De Taalgrens. 2012

Pembagian Wilayah Negara Belgia (bagian 1)

Belgia adalah sebuah negara federal di bagian Barat daratan Eropa yang memiliki keunikan tersendiri dari perspektif situasi kebahasaannya. Pembagian wilayah politik (dalam konteks federalisme bisa disebut sebagai “negara bagian”) di Belgia sangat terkait dengan akar budaya dan bahasa yang digunakan sebagai bahasa utama dan menjadi bahasa resmi pada kawasan tersebut.

Pembagian wilayah dalam negara Belgia dibagi menjadi:

1. Gewest (wilayah ekonomi),

2. Gemeenschap (masyarakat kebudayaan),

3. Pemerintah Federal.

Gewest dan Gemeenschap dapat dibagi lagi menjadi:

1. Gewest:

Vlaams Gewest (wilayah ekonomi Flandria),

– Waals Gewest (wilayah ekonomi Walonia),

–  Brussels Hoofdstedelijk Gewest (wilayah ekonomi kawasan ibu kota Brussel).

 2. Gemeenschap:

Vlaamse Gemeenschap (masyarakat kebudayaan Flandria),

Waalse Gemeenschap (masyarakat kebudayaan Walonia),

Duitstalige Gemeenschap (masyarakat kebudayaan berbahasa jerman).

Masing-masing pembagian wilayah memiliki wewenang tertentu dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah Federal bertanggung jawab terhadap urusan pertahanan dan keamanan nasional, pertahanan dan keamanan internasional (kesatuan Uni Eropa), serta politik luar negeri dan diplomasi. Sementara itu, urusan perekonomian, kesejahteraan, dan peluang kerja merupakan wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh Gewest. Untuk hal-hal yang terkait dengan kebudayaan dan pendidikan – yang di dalamnya termasuk bahasa – merupakan wewenang dan tanggung jawab dari Gemeenschap. Vlaamse Gemeenschap berbahasa Belanda, Waalse Gemeenschap berbahasa Prancis, dan Duitstalige Gemeenschap berbahasa Jerman.

Stamboom/Silsilah Raja dan Ratu Belanda

 

 

 

 

 

 

 

 

Berikut ini adalah stamboom/silsilah keturunan raja-raja dan ratu-ratu Kerajaan Belanda:

De stamboom van de Nederlandse Koninkrijk

De stamboom van de Nederlandse Koninkrijk

Keterangan:

Berikut ini merupakan masa hidup raja-raja, ratu-ratu, dan calon raja dan ratu Kerajaan Belanda berikutnya.

1772 – 1843         : Raja Willem I

1792 – 1849         : Raja Willem II

1817 – 1890         : Raja Willem III

1858 – 1934         : Ratu Emma

1880 – 1962         : Ratu Wilhelmina

1909 – 2004         : Ratu Juliana

1938                       : Ratu Beatrix

1967                       : Pangeran Willem-Alexander (pada tanggal 30 April 2013 ia akan menggantikan Beatrix dan akan menjadi Raja Kerajaan Belanda berikutnya)

2003                       : Putri Mahkota Catharina-Amalia

 

Sumber: NRC-Handelsblad, 2013

Review buku: “Modern Turkey: People, State and Foreign Policy in a Globalized World”

Judul buku          : Modern Turkey: People, State and Foreign Policy in a Globalized World

Penulis                    : Bill Park

Penerbit/tahun : Routledge/2012

Bagian                      : 4. Turkey’s Europeanization: A journey without an arrival?

 

Turki yang perlahan namun pasti bergerak ke arah kehidupan yang bersifat modern setelah periode Perang Dunia II ternyata tidak diimbangi dengan perkembangan demokratisasi politik. Perkembangan pesat di bidang ekonomi dan teknologi membuat Turki telah memiliki identitas Eropa yang sesungguhnya.

Tidak hanya kealpaan perkembangan demokratisasi politik di dalam negeri, tetapi Turki juga dianggap masih kurang dalam memaknai dan menerapkan pelaksanaan Hak Azasi Manusia yang merupakan salah satu syarat mendasar untuk dapat diterima sebagai negara anggota Uni Eropa. Oleh sebab itulah Turki yang menganggap dirinya sebagai negara yang telah berangsur-angsur ke arah demokrasi yang sesungguhnya ternyata “dikalahkan” oleh negara-negara Eropa lainnya yang bisa dengan cepat menjadi negara anggota Uni Eropa walaupun negara-negara tersebut  telah lebih dari tiga dasawarsa dikungkung oleh ideologi komunis.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Turki membutuhkan waktu dan usaha yang lebih banyak untuk dapat menjadi bagian negara anggota Uni Eropa. Hal ini didasari oleh pendapat bahwa secara historis dan religiusitas Turki memiliki akar yang sangat berbeda dengan negara-negara di daratan Eropa secara keseluruhan. Negara-negara Eropa lainnya memiliki sejarah kebudayaan yang sama-sama berakar dari kekaisaran Romawi, dan setelah itu diikuti oleh campur tangan Gereja yang memilik peran sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial dan masyarakat di negara-negara Eropa. Sementara itu, negara Turki yang berada berdampingan dengan negara-negara di daratan Eropa dengan histori Romawi dan Gereja tidak cukup banyak memiliki pengalaman historis dan religiusitas yang sama.

Tidak hanya di bidang latar belakang historis dan religiusitas, di bidang budaya lainnya – bahasa – Turki juga memiliki perbedaan cukup besar dengan negara-negara lainnya di daratan Eropa. Bahasa yang menjadi bahasa nasional dan bahasa-bahasa yang dijadikan bahasa resmi di dalam Uni Eropa adalah bahasa-bahasa yang berasal dari tiga rumpun bahasa, yaitu rumpun bahasa Germania, rumpun bahasa Romans, dan rumpun bahasa Slavia. Sementara itu Turki memiliki bahasa yang tidak bersumber dari salah satu dari tiga rumpun bahasa di atas.

Jika kita berbicara tentang identitas suatu negara, maka faktor historis, religiusitas, dan bahasa yang merupakan bagian inti dati sebuah kebudayaan, maka secara kasat mata kita bisa meraba bahwa sebenarnya Turki memang tidak memiliki “identitas” Eropa yang sesungguhnya.

Namun demikian, ada hal yang membuat Turki merasa telah memiliki identitas Eropa dan dengan yakin merasa bahwa Turki bisa dengan mudah menjadi negara anggota Uni Eropa adalah ketika pada tahun 1995 Turki menandatangani kesepakatan pelaksanaan Custom Union dengan Uni Eropa. Namun kemudian, kekecewaan muncul dan pertanyaan besar bagi Turki telah menjadi isu dunia ketika negara-negara seperti: Polandia, Republik Ceko, Hungaria, Estonia, Slovenia, dan Cyprus yang sebagian besar merupakan negara-negara dengan akar komunis dengan mudah telah mendahului Turki menjadi negara anggota Uni Eropa. Dari kacamata Turki hal ini menjadi semakin buruk ketika Turki dihadapkan pada fakta bahwa negara-negara yang telah disebutkan di atas tidak satupun yang pernah menjadi bagian dari Custom Union Uni Eropa, sedangkan Turki telah menjadi bagian dari Uni Eropa melalui kesepakatan pada ranah ekonomi itu, tetapi tetap sampai sekarang Turki belum menjadi negara anggota Uni Eropa.

Turki dan Rezim Norma-Norma Internasional

Perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas merupakan nilai yang dijunjung Eropa. Walaupun sudah mengalami perkembangan yang besar dalam penandatanganan dan peratifikasian perjanjian hak azasi manusia internasional sejak pertama kali dicalonkan menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 1999 di Helsinki, Turki dianggap masih belum sepenuhnya menerapkan norma-norma hak azasi manusia dan hak-hak kaum minoritas.

Pada tahun 1995, Dewan Eropa membuka penandatanganan Framework Convention for the Protection of National Minorities, yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas adalah elemen yang tidak terpisahkan dalam perlindungan hak azasi manusia. Pada tahun 1998, konvensi ini mulai berlaku. Konvensi ini mendukung kehidupan kaum minoritas dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya, seperti agama, bahasa, tradisi, dan peninggalan budaya. Turki adalah salah satu dari empat negara anggota Dewan Eropa yang tidak menandatangani maupun meratifikasi konvensi ini.

Selain itu, Turki masih harus meratifikasi semua protokol Mahkamah Eropa untuk Hak Azasi Manusia. Turki juga merupakan satu-satunya anggota Dewan Eropa yang tidak menandatangani Statuta Roma Mahkamah Kriminal Internasional.

Walaupun Turki telah meratifikasi Pakta PBB mengenai Perjanjian Internasional dalam Hak Sipil dan Politik pada tahun 2006, Turki perlu memenuhi syarat dan kualifikasi peserta pakta tersebut. Salah satunya adalah dengan menyelaraskan pakta tersebut dengan Konstitusi Republik Turki dan Pakta Lausanne.

Berdasarkan Pakta Lausanne, hak kaum minoritas non Muslim (Yahudi, Yunani, dan Armenia) dalam hal bahasa, agama, dan hak budaya dilindungi. Namun, pada kenyataannya Turki dianggap belum sepenuhnya melindungi hak mereka. Hak kaum minoritas non Muslim, seperti komunitas Ortodoks Syria tidak termasuk yang dilindungi Pakta Lausanne. Selain itu, hak kaum minoritas Muslim, seperti Orang Kurdi, juga belum dilindungi, baik oleh Konstitusi Republik Turki, maupun Pakta Lausanne.

Laporan Perkembangan Turki Tahun 2009

Laporan Perkembangan Tahunan Turki yang dibuat oleh Komisi Eropa selalu menyatakan bahwa demokrasi di Turki perlu diperbaiki. Setelah sepuluh tahun sejak kuputusan di Helsinki tahun 1999, Laporan Perkembangan Turki secara garis besar menyatakan ada sedikit perkembangan pada pelaksanaan reformasi politik dan konstitusi di Turki. Namun demikian, penerapan demokrasi di Turki masih dianggap perlu diperbaiki.

Beberapa hal yang disorot:

–      Partai Sosial Demokratis pro Kurdi dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Turki.

–      Dewan Pemilihan Tertinggi Turki mengambil keputusan yang krusial pada menit-menit terakhir mengenai persyaratan dokumentasi untuk memilih dan pelarangan penggunaan jilbab bagi pengawas kotak pemilihan suara.

–      Pengadilan militer di Turki juga dianggap perlu dibenahi agar selaras dengan praktek yang berlaku di Uni Eropa.

Pada tahun 2009, Turki hendak menerapkan pengadilan sipil bagi anggota militer pada masa damai. Selanjutnya, kekuasaan pengadilan militer untuk mengadili warga sipil akan dihapuskan. Namun, pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi menolak hak

pengadilan sipil untuk mengadili anggota militer.

–      Pengawasan legislatif terhadap anggaran dan pengeluaran militer perlu diperketat.

–      Turki masih harus meratifikasi semua protokol Mahkamah Eropa untuk Hak Azasi Manusia.

–      Aturan hukum dianggap masih memberatkan wartawan, penulis, penerbit, politikus, dan akademisi.

–      Perlindungan terhadap hak kaum minoritas, seperti kaum non-Muslim, kelompok Alevi, perempuan, dan kaum minoritas lain perlu dsesuaikan dengan standar Uni Eropa.

–      Perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum Kurdi masih perlu ditegakkan.

Apakah Turki sedang Mengalami Eropanisasi?

Sejak awal berdiri, Turki telah mengarahkan dirinya ke Eropa. Seiring waktu, hubungan Turki dan Uni Eropa semakin dekat dan Turki semakin terintegrasi dengan Uni Eropa. Namun demikian, penerapan liberalisme, aturan hukum, toleransi, dan otonomi institusional di Turki masih dianggap belum stabil dan belum konsisten. Proses aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa hingga saat ini belum berhasil mengubah nilai-nilai elit politik di Turki yang masih penuh dengan nuansa otoritarianisme dan nepotisme.

Uni Eropa menjadi pusat yang mendasari reformasi di Turki. Namun, reformasi itu lebih karena adanya dorongan dari pihak eksternal, terutama dari Brussel. Dorongan ‘Eropanisasi’ dari internal Turki sendiri terlihat lemah. Pembuat kebijakan di Turki telah dengan cermat dan teliti memenuhi persyaratan Uni Eropa, namun mereka tetap terkesan tidak sungguh-sungguh dalam  melakukan tindakan dalam memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan oleh Uni Eropa.

Apa Akar Permasalahannya?

Penerapan demokrasi dan adaptasi norma-norma Eropa yang dilakukan Turki selalu mengalami kesulitan karena pihak yang berkuasa mempertahankan sistem pemerintahan yang birokratis, nasionalis, dan cenderung mendukung otoritarianisme. Hal ini berlawanan dengan internasionalisme liberal Eropa.

Demokrasi multi partai yang diterapkan Turki memberikan tempat kepada kelompok religius, provinsi, Kaum Kurdi, dan kelompok-kelompok lain di dunia politik, sosial, dan ekonomi. Evolusi politik Turki perlahan membuat kelompok politik Kemalis menjadi lemah, walaupun partai-partai Islam dan Kaum Kurdi masih mendapatkan kekangan. Melemahnya kelompok politik Kemalis menyebabkan militer turun tangan mempertahankan warisan Kemal. Hal ini justru menggangu perkembangan demokrasi di Turki.

Peran Militer

Dunia politik di Turki telah diwarnai dengan kudeta militer pada tahun 1960, 1971, dan 1980. Militer juga melakukan intervensi secara lebih halus pada tahun 1997. Keterlibatan militer pada ranah politik di Turki tidak memiliki pola yang konsisten, namun selalu didasari untuk mengembalikan Turki ke arah politik Kemal.

Militer Turki menganggap institusi mereka sebagai penjaga negara kesatuan Turki yang sekuler dan penjaga ideologi Kemalis. Namun, secara bersamaan, kelompok militer Turki sendiri menjaga institusinya independen dari gangguan pihak sipil.

Keterlibatan militer pada ranah politik di Turki yang seperti ini dan kondisi politik Turki yang tidak stabil menghambat upaya Eropanisasi Turki.

Budaya Politik

Terlepas dari intervensi militer di dalam ranah politik di Turki, penerapan demokrasi di Turki belum berjalan secara mulus. Baik politikus maupun rakyat memiliki andil dalam kegagalan demokrasi di Turki.

Politikus sering diasosiasikan dengan korupsi dan nepotisme. Pemerintahan yang berkuasa terdiri dari koalisi yang lemah dan masyarakat Turki telah mengalami berbagai kekacauan sejak demokrasi multi partai diterapkan.

Walaupun kaum terpelajar garis kiri semakin mempertanyakan peran militer di Turki sejak kudeta tahun 1971, masyarakat umumnya menganggap militer Turki lebih dapat dipercaya dan lebih bertanggung jawab dibandingkan politikus sipil. Mungkin hanya masyarakat yang beraliran politik sangat kiri, pro Kurdi, dan kelompok Islam yang tidak suka dengan peran militer di dunia politik Turki. Supremasi sipil terhadap militer dalam konsep demokrasi Turki belum dilihat penting oleh kelompok sipil.

Keraguan Eropa

Kapasitas dan keinginan Turki untuk mengadaptasi acquis Uni Eropa bukan satu-satunya syarat aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa. Turki masih harus menyelesaikan masalah yang terkait dengan Republik Turki Siprus Utara. Karakter Islam Turki juga mendapatkan tentangan dari berbagai oposisi Turki di Eropa, terutama oleh kelompok Demokrat Kristen Eropa.

Walaupun keberatan yang dikatakan sebagai penghambat aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa adalah demokrasi yang buruk, catatan pelanggaran hak azasi manusia, dan kondisi ekonomi yang lebih terbelakang. Eropa juga memiliki ketakutan tersendiri terhadap Turki, seperti mengenai imigrasi atau terorisme Islam. Pada dasarnya, negara dan masyarakat Turki tidak dilihat sebagai bagian Eropa.

Kesimpulan dan Opini

Uni Eropa secara resmi menyatakan bahwa demokrasi yang belum stabil, penegakan HAM yang masih setengah-setengah dan penanganan kasus-kasus yang terkait dengan HAM belum tuntas, serta perlindungan dan pengakuan terhadap kaum minoritas yang belum seutuhnya ditegakkan di Turki merupakan hal-hal yang menjadi penghalang bagi Turki untuk dapat bergabung sebagai anggota Uni Eropa. Anehnya, hal-hal yang disebutkan tadi tidak menjadi halangan bagi Turki untuk menjadi bagian dari negara-negara yang tergabung ke dalam Custom Union pada tahun 1995. Kejanggalan semakin terasa ketika negara-negara yang dulunya menganut ideologi komunis – yang sangat bertolak belakang dengan ideologi demokrasi – telah dengan mudah menjadi anggota Uni Eropa walaupun tidak satupun dari negara-negara tersebut yang pernah ikut berpartisipasi di dalam Custom Union sebelumnya.

Menurut saya, hal-hal yang diungkapkan pada paragraf di atas hanyalah basa-basi Uni Eropa untuk menunda status keanggotaan Turki menjadi anggota Uni Eropa, karena isu identitas dan pengalaman historis lah yang menurut saya menjadi sorotan utama Uni Eropa dalam menimbang-nimbang pemberian status keanggotaan kepada Turki.

Seperti yang telah saya jabarkan pada paragraf-paragraf awal dalam tulisan ini, perbedaan historis Turki dengan Eropa menjadikan Turki sebagai kelompok yang tidak mengantongi identitas dan ciri Eropa di mata Uni Eropa. Hal ini menjadi semakin buruk ketika pada masa-masa sekarang ini Islamophobia mulai menjadi momok terbesar di dalam kehidupan masyarakat di Eropa. Terkait dengan isu Islamophobia di Eropa, Turki bukanlah negara yang tidak dirugikan atas fakta ini, karena di mata Eropa pada umumnya Turki sangat identik dengan Islam. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah imigran asal Turki beragama Islam yang telah berketurunan di negara-negara Eropa lainnya dan sebagian dari mereka tercatat sebagai Muslim yang memiliki andil di dalam kekacauan dan kekerasan di dalam kehidupan sosial di Eropa.

Daftar Pustaka

Cini, Michele. (2010). European Union Politics. New York: Oxford University.

Karp, J.A., & Bowler, S. (2006). Broadening and deepening or broadening versus deepening: The question of enlargement and Europe’s “hesitant Europeans”. European Journal of Political Research, 45,

369-390.

Koenig, T., Mihelj, S., Downey, J., & Bek, M. G. (2006). Media framing of the issue of Turkish accession to the EU. A European or national process? Innovation: The European Journal of Social Science Research, 19, 149-169.

Lelieveldt, Herman & Princen, Sebastian. (2011). The Politics of The European Union, 2nd ed. New York: Cambridge University Press.

McLaren, L. (2007). Explaining opposition to Turkish membership of the EU. European Union Politics, 8, 251-278.

Jejak-jejak Pengaruh Gilde di Benelux dalam Bidang Sosial Budaya pada Awal Abad 21

Gilde adalah bentuk kerja sama para tukang/pengrajin dengan jenis produk yang bersifat homogen. Gilde dikembangkan oleh kelompok pedagang di Eropa Barat yang mulai muncul di masa awal abad pertengahan. Mereka mendiami sebuah pemukiman di dekat benteng kota, namun keberadaan mereka tidak termasuk ke dalam sistem feodal yang sudah ada waktu itu di kota tempat gilde berada. Namun demikian, keberadaan gilde ini memegang peranan penting di dalam sistem feodal yang ada terkait dengan hubungan antar kelas sosial masyarakat.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota dan kehidupan sosial pada masyarakat di Eropa Barat, maka peran gilde menjadi semakin penting demi terjaganya suplai barang-barang hasil produksi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat kelas menengah atas dan pertumbuhan infra-struktur pertumbuhan kota itu sendiri. Dengan demikian gilde termasuk ke dalam salah satu bagian kelompok masyarakat yang memegang peranan kunci dalam perkembangan kota pada paruh akhir abad pertengahan.

Dalam menyikapi situasi seperti ini, maka akhirnya kota-kota di Eropa waktu itu membentuk pemerintahan kota sebagai pemegang kekuasaan politik. Hal ini nantinya membedakan antara warga sebagai bagian dari suatu kota yang dipimpin oleh pemerintahan masing-masing dengan warga yang tergabung ke dalam suatu gilde, karena gilde juga memiliki hirarki kekuasaan tersendiri. Sementara itu, gilde menguasai sektor perdagangan dan ekonomi. Jadi, relasi antara pemerintah di setiap kota dengan gilde-gilde yang ada di masing-masing kota nantinya akan menentukan progres pertumbuhan kota dan peningkatan kesejahteraan kehidupan sosial masyarakat suatu kota.

Perkembangan Gilde

Pada sekitar abad ke-12, biasanya satu gilde terdiri merupakan sebuah cabang lengkap industri, misalnya pembuatan alas kaki. Namun di akhir abad ke- 12 dan selama abad ke-13 terjadi pembagian lebih spesifik dari aktifitas produk yang dihasilkan oleh suatu gilde. Oleh karena itu, dimulai dari abad ini semakin banyak bermunculan gilde yang lebih spesifik. Misalnya gilde yang khusus mengolah kulit hewan untuk dijadikan sepatu, gilde yang khusus memproduksi sol sepatu, gilde yang khusus memproduksi tali sepatu, dan sebagainya.

Pertumbuhan gilde yang semakin spesifik jenis produksinya disebabkan karena dua hal:

  1. Pertumbuhan kota yang cepat dan pertumbuhan jumlah masyarakat kota yang ikut meningkat menyebabkan gilde dengan pola lama (gilde yang merupakan cabang lengkap industri) dirasa tidak lagi efektif dalam memenuhi kebutuhan pesanan.
  2. Di dalam gilde pola lama mulai bermunculan orang-orang yang bekerja terpisah dalam mengerjakan bagian-bagian tertentu produk yang akan. Hal ini menyebabkan keberadaan alat produksi terpisah-pisah. Maka kemudian situasi ini akan lebih efektif apabila masing-masing gilde melakukan produksi bagian-bagian tertentu dari suatu produk utuh yang dipesan, misalnya gilde yang hanya mengolah kulit untuk dijadikan sepatu, gilde yang hanya memproduksi sol sepatu, dan lain sebagainya.

Fungsi Sosial Gilde

Pertumbuhan gilde yang cukup pesat dan langsung bersentuhan dengan masyarakat kota dari semua kelas sosial menyebabkan gilde perlahan tapi pasti memiliki peranan penting di dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat di kota-kota Benelux pada waktu itu.

Gilde-gilde yang ada pada saat itu bisa menjelma menjadi jaring pengaman sosial (social security system) bagi para anggotanya, dan kadang-kadang bagi masyarakat umum.

Aksi-aksi yang dilakukan oleh gilde yang berguna bagi kehidupan sosial masyarakat di Belanda:

  1. Penyelenggaraan upacara-upacara perayaan penobatan meester (tingkat paling tinggi di dalam struktur gilde) yang baru. Kegiatan ini merupakan kegiatan internal gilde yang efeknya memberikan fungsi sosial kepada masyarakat umum, karena pada kegiatan ini gilde menyediakan makanan dan minuman gratis bagi masyarakat sekitar.
  2. Donasi uang kepada gereja yang berada di sekitar gilde.
  3. Pembayaran biaya pemakaman anggota gilde yang meinggal dan nantinya diikuti dengan pembiayaan kehidupan janda-janda dan anak-anak yatim yang ditinggalkan.

Sementara itu, keuntungan-keuntungan khusus yang didapatkan sebagai anggota gilde adalah sebagai berikut:

  1. Pendidikan gratis untuk para putra meester yang mulai menurun kemampuan ekonominya.
  2. Jaminan kesehatan untuk anggota gilde yang sakit atau mengalami kecelakaan dalam pelaksanaan tugasnya.
  3. Apabila ada anggota yang kehilangan kekuatan ekonominya secara mendadak, misalnya setelah dirampok, maka gilde memberikan modal kepada orang itu untuk kembali membangun usahanya.
  4. Apabila ada orang asing yang menolak membayar sesuai dengan harga yang telah disepakati, maka gilde akan menagih utang orang tersebut kepada pemuka masyarakat kota tempat orang itu berasal.

Gilde-gilde yang ada pada masa ini memiliki pengaruh yang besar di dalam sistem pemerintahan kota-kota di Benelux. Sementara para anggota pemerintahan sibuk dengan usaha pertumbuhan kota melalui ekonomi dan perdagangan, maka gilde-gilde yang ada semakin memiliki kuasa untuk “mengatur” pola perkembangan yang ada di dalam pertumbuhan kota dan masyarakat pada waktu itu. Atas dasar inilah, maka banyak masyarakat Benelux pada waktu itu berlomba-lomba untuk masuk ke sekolah-sekolah[1] yang didirikan oleh gilde. Maka dari itu, sekolah-sekolah ini nantinya akan menjadi cikal bakal kemunculan sekolah-sekolah kejuruan yang ada di Benelux sebelum kemunculan universtias-universitas.

Jejak-jejak Pengaruh Gilde di Benelux pada Abad 21

I.                   Sistem Pendidikan di Belanda

Gambar 1

Nederlands_Onderwijs-schema
sumber: http://beroepskeuzeonline.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=59

Keterangan:

1. Warna ungu                            : pendidikan dasar

2. Warna hijau muda               : pendidikan lanjutan pertama

3. Warna biru muda                : pendidikan lanjutan atas

4. Warna kuning                       : pendidikan bidang keterampilan/kejuruan  lanjutan atas

5. Warna merah                        : pendidikan tinggi/universitas

Dari gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa Negara Belanda memiliki sistem pendidikan yang sangat tertata. Setelah lulus dari pendidikan dasar para siswa sudah bisa memilih kompetensi apa yang nantinya ingin diraih setelah lulus sekolah, dan hal ini sangat menentukan apakah siswa akan melanjutkan pendidikannya ke universitas atau ke sekolah tinggi kejuruan.

Menurut saya, sistem pendidikan di bidang keterampilan/kejuruan merupakan warisan dari sistem sekolah-sekolah yang didirikan oleh gilde di abad pertengahan. Jadi, generasi muda di Belanda tidak semuanya memiliki orientasi untuk melanjutkan pendidikan ke universitas, tetapi dari tingkat lanjutan pertama para siswa sudah diberikan kebebasan untuk memilih bidang mana nantinya yang ingin dikuasai apabila yang bersangkutan berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat yang paling tinggi. Dengan demikian, masyarakat Belanda memiliki fungsi yang jelas di dalam masyarakat dan di dalam dunia kerja ketika mereka telah menyelesaikan pendidikannya.

Maka dari itu, bukan hal yang aneh apabila di Belanda kita menemukan tukang cukur yang memiliki sertifikat kelulusan pendidikan sebagai tukang cukur dan piñata rambut, pedagang roti yang memiliki sertifikat kelulusan pendidikan tata boga dengan spesialisasi roti, makelar yang memiliki brevet dan sertifikat ahli di bidang makelar, tukang kebun yang memiliki sertifikat di bidang pengelolaan kebun, pengusaha restoran yang memiliki sertifikat keahlian dalam pengelolaan restoran, dan profesi lainnya.

II.                Sistem Perbankan di Benelux

Pertumbuhan dan perkembangan gilde di Benelux memberikan dampak yang cukup besar secara langsung terhadap perkembangan ekonomi pada saat itu. Hal ini menjadi alasan utam munculnya institusi ekonomi dan keuangan yang saat ini kita kenal dengan nama “bank”. Kegiatan transaksi yang tidak lagi menggunakan sistem barter, tetapi sudah mengenal sistem alat tukar (uang) memaksa kemunculan bank di Benelux.

Kegiatan transaksi tidak hanya di dalam kota, namun transaksi juga terjadi antar kota dan antar pulau. Seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa gilde-gilde yang ada dan semakin banyak jumlahnya mulai spesifik mengelola/memproduksi bagian-bagian tertentu dari suatu produk. Hal ini menyebabkan interaksi antar kota dan antar pulau semakin sering dalam upaya penyelesaian produksi suatu barang.

Kegiatan transaksi dalam jumlah besar dan dengan jumlah uang yang cukup banyak sangat rentan dengan perampokan yang biasanya terjadi di luar benteng (di luar kota, dalam perjalanan menuju kota atau pulau berikutnya untuk kepentingan transaksi). Maka dari itu, pada Abad ke-13 berdirilah sebuah bank di kota Gent (Belgia), London, Paris, dan Florence.

III.              Sistem Jaminan Sosial

Fungsi sosial gilde yang telah saya jelaskan pada halaman dua menjadi tiang berdirinya sistem jaminan sosial masyarakat di Benelux. Sistem asuransi warga negara di Belanda, Belgia, dan Luxemburg merupakan perkembangan dari fungsi sosial gilde di abad pertengahan.

Tidak hanya warga negara yang mendapatkan jaminan sosial, tetapi setiap warga asing yang ingin masuk ke negara di Benelux harus memenuhi banyak persyaratan dan salah satu persyaratan itu adalah memiliki asuransi jiwa dan kesehatan. Hal ini jelas merupakan pengaruh yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat di manapun di dunia, karena kesehatan adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya.

Jaminan kesejahteraan hidup warga negara di Benelux yang terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan pendidikan yang layak, jaminan kecelakaan kerja, tunjangan untuk pengangguran, tunjangan untuk warga miskin yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya, dan tunjangan hari tua (pension) yang ada pada saat ini merupakan bentuk penyempurnaan dari fungsi sosial gilde yang telah saya jelaskan pada halaman dua makalah ini.

IV.              Bangunan dan Seni Arsitektur

Banyak kota-kota di Eropa yang memiliki banyak bangunan-bangunan bersejarah memiliki seni arsitektur dengan nilai estetika yang sangat tinggi. Keberadaan bangunan-bangunan ini tidak lepas dari keberadaan gilde di masa lalu karena gilde tidak hanya melakukan aktifitas memproduksi suatu barang, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, gilde-gilde pada abad pertengahan juga berkembang pada sektor jasa, misalnya: ahli bangunan, tukang batu, tukang kayu (untuk dekorasi bangunan dan jendela), tukang kaca, dan sebagainya. Perkembangan keahlian gilde seperti ini sangat memegang peranan yang penting di dalam keberadaan bangunan-bangunan dan seni arsitektur yang melekat pada bangunan-bangunan tersebut yang berdiri megah pada saat ini di kota-kota di Benelux.

Bangunan-bangunan ini merupakan peninggalan budaya yang sangat penting karena berkaitan dengan sejarah dan identitas masyarakat suatu kota di Benelux, dan di benua Eropa pada umumnya.

Kesimpulan

Gilde yang mulai tumbuh di Benelux pada awal abad pertengahan dan semakin berkembang pada abad-abad berikutnya merupakan salah satu aspek terpenting dalam eksistensi dan identitas sosial dan budaya kota-kota dan masyarakat di Benelux.

Begitu banyak pengaruh jejak-jejak keberadaan gilde di Benelux yang memiliki nilai manfaat tinggi pada masa sekarang ini (abad ke-21). Keberadaan dan sistem sekolah yang ada di Belanda, Bank pertama yang ada di Gent, sistem jaminan sosial masyarakat, dan seni arsitektur bangunan di Benelux yang masih berdiri megah sampai saat ini merupakan beberapa warisan dari keberadaan gilde yang muncul di awal abad pertengahan di Benelux.

Melebihi dari apa yang telah saya sampaikan pada paragraf di atas, sejarah keberadaan gilde itu sendiri merupakan aspek budaya yang sangat penting bagi Eropa Barat, khususnya Benelux. Keberadaan gilde tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan budaya negara dan masyarakat Benelux, karena pertumbuhan kota yang diikuti dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan sistem sosial yang berlaku di dalam kota tersebut merupakan produk dari interaksi gilde yang mendiami suatu kota pada abad pertengahan.

Bibliografi

B. Tierney, S. Painter, (1983). Western Europe in the Middle Ages. New York: —

R. van Uyten, (1982). Stadsgeschiedenis in het Noorden en Zuiden. Haarlem: —

http://beroepskeuzeonline.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=59, diunduh pada tanggal 26 Oktober 2012, pukul 23.44 WIB.

http://kunst-en-kultuur.infonu.nl/geschiedenis/9099-de-gilde-een-vereniging-van-ambacht-en-werklieden.html, diunduh pada tanggal 27 oktober 2012, pukul 08.39 WIB.



[1] Demi menjaga kualitas barang hasil produksi, maka gilde mendirikan sekolah-sekolah untuk pendidikan bagi anggota baru yang nantinya akan mendapat pengakuan dari gilde untuk menguasai satu bidang usaha produksi produk tertentu atau kemahiran tertentu.

Latar Belakang Munculnya Islamophobia di Kalangan Masyarakat Eropa

Islamophobia adalah ketakutan terhadap segala sesuatu tentang Islam. Islamophobia saat ini sangat “mewabah” di negara-negara Barat (Amerika dan Eropa). Pada kesempatan ini fokus akan dikerucutkan pada Islamophobia di Eropa. Pasca Perang Dunia II yang telah meluluh lantakkan sebagian besar negara-negara di Eropa memaksa bangsa-bangsa di Eropa “mengimpor” para pekerja dari luar untuk membangun kembali negara mereka yang telah hancur setelah Perang Dunia II. Sebagian besar negara-negara di Eropa (khususnya negara Eropa Barat) “mengimpor” para pekerja dari negara-negara yang mayoritas penduduk dan budayanya berdasarkan ajaran Islam, seperti: Aljazair, Marokko, India, dan Turki. Para pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan banyak di antara mereka yang berkeluarga dan berketurunan di negara-negara Eropa dan beragama Islam. Keberadaan para pekerja asing ini yang akhirnya berkeluarga dan mempunyai keturunan di Eropa lama-kelamaan mengalami beberapa kendala terkait dengan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat asli di negara Eropa tempat mereka bekerja. Sebagian besar pekerja asing beserta keluarga dirasa kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat mereka bekerja (mereka hidup berkelompok di wilayah-wilayah tertentu yang di lingkungan itu hanya orang-orang dari asal negara yang sama yang bermukim). Tidak sedikit di antara mereka (antar pekerja pendatang yang berbeda asal negaranya) juga berselisih dalam kehidupan bermasyarakat di negara tempat mereka bekerja, hal ini tidak jarang menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan. Kejadian-kejadian seperti ini memupuk stigma negatif terhadap Islam yang lambat laun berkembang menjadi ketakutan terhadap Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Islamophobia.

Islamophobia diperkuat dengan kejadian-kejadian teror yang menyita perhatian dunia yang sebagian besar ditengarai dilakukan oleh-oleh kelompok Islam radikal dari negara-negara yang memiki basis penganut Islam cukup besar di dunia, Misal: tragedi WTC di Amerika, Bom bunuh diri di Inggris, Bom Bunuh diri di Spanyol, Pembunuhan terhadap sutradara Theo Van Gogh di Belanda oleh seorang Muslim, Pembunuhan Politikus Belanda, Pim Fortuyn oleh seorang Belanda keturunan Marokko, dsb.

Bentuk-bentuk Islamophobia yang terjadi di Eropa akhir-akhir ini sebagai berikut:

  1. Pelarangan pemakaian burka (cadar penutup muka) bagi Muslimah di Prancis
  2. Diskriminasi terhadap pelaksaan ibadah umat Muslim (termasuk pendirian tempat ibadah umat Muslim, dsb.)
  3. Pemeriksaan extra ketat di setiap imigrasi transportasi darat, laut, dan udara terhadap mereka yang beragama Islam atau mereka yang berasal dari negara yang mayoritas penduduknya Muslim.