Metodologi Penelitian Kebudayaan

Metodologi adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang mempelajari metode. Sementara itu Metode merupakan cara yang dipakai untuk mengerjakan (melakukan) riset atau penelitian tertentu. Maka dari itu, pemahaman terhadap metodologi akan mustahil apabila penguasaan terhadap metode-metode penelitian diabaikan.

Sementara itu, objek-objek yang dapat diteliti secara ilmiah dan dapat diterima pada ranah akademik adalah objek-objek yang bersifat logis, artinya hubungan sebab-akibat yang jelas merupakan hal mutlak yang harus hadir di dalam sebuah penelitian (riset ilmiah).

Tulisan ini akan mengulas tentang kebudayaan, penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan. Sebelum membahas lebih lanjut tentang penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu kebudayaan.

Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata dasar “budaya” yang sesungguhnya sangat sulit untuk didefenisikan. “Budaya adalah salah satu dari dua atau tiga kata-kata yang paling rumit di dalam bahasa Inggris….karena saat ini kebudayaan telah digunakan untuk konsep-konsep penting di dalam beberapa disiplin intelektual dan pemikiran” (Raymond William. 1976: 76-7). Hal ini telah terlihat di awal tahun 1950-an, saat itu Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952) telah mengumpulkan  banyak definisi kebudayaan baik dari sumber-sumber populer, maupun dari sumber-sumber ilmiah.

Kata budaya yang dalam bahasa Inggris disebut “culture” sering diasosiasikan dengan kata “cultivation” yang memiliki arti “budidaya”.  Asosiasi ini memperlihatkan segala tindak tanduk manusia dalam kemampuannya mengolah alam sekitar sebagai bentuk dari peningkatan kecerdasan manusia dan peningkatan skil manusia dalam “menaklukan” alam sekitarnya untuk tujuan bertahan hidup (survival). Seiring dengan berjalannya waktu, istilah budaya juga mengacu kepada peningkatan skil seseorang di dalam masyarakat secara keseluruhan, jadi tidak hanya terkait dengan hal-hal “penaklukan” alam dan lingkungan sekitarnya. Hal ini seringkali dianggap sebagai sinonim dari muatan nilai di dalam peradaban (civilization). Jadi pada periode ini istilah budaya erat kaitannya dengan peradaban, dan orang yang dianggap berbudaya adalah mereka yang dianggap telah beradab hidupnya. Contoh yang diambil oleh masyarakat Eropa pada saat itu untuk membedakan orang yang berbudaya/beradab adalah dengan membandingkan orang Eropa dengan orang Afrika yang saat itu di antara keduanya terdapat perbedaan teknologi, moral, dan sikap. Mereka berpendapat saat itu bahwa orang Eropa adalah orang yang berbudaya/beradab terkait dengan kemampuannya dalam menaklukan alam dan lingkungan sekitar (kemajuan teknologi), dan juga terkait dengan moral dan sikap dalam menjalani kehidupan di dalam masyarakat. Sedangkan pada masa Romantisisme pada saat revolusi industri, istilah budaya juga mulai dikaitkan dengan perkembangan spiritualitas seseorang dan untuk membedakan perkembangan psiritualitas tersebut dengan perkembangan infrastruktur semata di dalam masa-masa perkembangan teknologi industri. Kemudian di akhir abad ke-19 muncullah infleksi yang menekankan bahwa tradisi dan kehidupan keseharian merupakan dimensi budaya. Hal ini tercermin di dalam ide budaya rakyat (folk culture) dan budaya nasional (national culture).

Menurut Williams (1976: 80) pergantian masa sejarah kehidupan manusia direfleksikan ke dalam kegunaan-kegunaan dari istilah “budaya”:

  1. Untuk menunjukkan perkembangan intelektualitas, spiritualitas, dan estetika dari individu, kelompok, atau masyarakat.
  2. Untuk membidik cakupan intelektualitas dan aktifitas-aktifitas artistik dan produknya (filem, seni, dan teater). Kegunaan budaya di sini bersinonim dengan kata “kesenian” (the arts), untuk itu kita bisa menyebut “Kementrian Budaya”.
  3. Untuk menunjuk keseluruhan cara hidup, aktifitas, kepercayaan, dan kebiasaan individu, kelompok, dan masyarakat.

Kegunaan budaya yang pertama dan kedua adalah yang paling sering digunakan dan disintesakan di dalam ranah-ranah intelektual. Sedangkan kegunaan budaya yang ketiga diperjuangkan oleh banyak Antropolog dan menjadi pusat dari keilmuannya.

Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengidentifikasi enam pemahaman utama tentang budaya berdasarkan kegunaanya yang ketiga:

  1. Definisi deskriptif: cendrung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang membentuk kehidupan sosial dan mengklasifikasikan berbagai bidang yang membentuk budaya.
  2. Definisi sejarah: cendrung melihat budaya sebagai sebuah warisan yang diwariskan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi.
  3. Definisi normatif: membentuk dua bentuk. Bentuk pertama: menyarankan budaya sebagai aturan hidup yang membentuk pola-pola dari kebiasaan dan aksi konkrit. Bentuk kedua: menekankan peran dari nilai-nilai tanpa mengacu pada perilaku.
  4. Definisi psikologis: menekankan peran budaya sebagai alat pemecahan masalah, memungkinkan orang untuk berkomunikasi, belajar, atau untuk memenuhi kebutuhan material dan emosional.
  5. Definisi struktural: “interelasi aspek-aspek budaya yang terorganisasi” (Tylor: 61)
  6. Definisi genetik: menentukan keberadaan budaya dan kelanjutan eksistensinya. Hal ini sedikit terkait dengan biologi. Jadi, budaya merupakan kemunculan interaksi manusia sebagai produk dari transmisi intergenerasi.

Walaupun ide-ide dari Kroeber dan Kluckhohn ini sangat populer, namun pemahaman tentang budaya senantiasa bergerak secara halus di dalam bidang teori kebudayaan. Perkembangan pemahaman budaya di dalam bidang teori kebudayaan dapat dipahami sebagai berikut:

– Budaya cenderung bertentangan dengan materi, teknologi, dan sosial struktural. Walaupun secara empiris relasi antara budaya dengan materi, teknologi, dan sosial struktural itu dapat ditelusuri, namun ada baiknya untuk melihat budaya sebagai sesuatu yang lebih abstrak dari sekedar “cara hidup”.

– Budaya dilihat sebagai dunia dari ide, spiritualitas, dan non-material. Hal ini diperlukan dalam pemahaman tentang kepercayaan, nilai-nilai, simbol-simbol, tanda-tanda, dan wacana.

– Penekanan diberikan pada “otonomi budaya”. Ini membuktikan bahwa budaya tidak hanya bisa dijelaskan melalui dasar kekuatan ekonomi, distribusi kekuasaan atau kebutuhan sosial struktural belaka.

– Usaha-usaha dibuat untuk tetap menjadi nilai-nilai yang netral. Studi budaya tidak hanya terbatas pada Kesenian, tetapi juga meliputi segala aspek dan tingkatan dalam kehidupan sosial.

Tahapan Kebudayaan

Van Peursen membagi tahapan kebudayaan ke dalam tiga bagian:

  1. Tahapan mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif.
  2. Tahapan ontologis. Ontologis merujuk kepada hal yang sifatnya “being” / “asal muasal”. Jadi, tahapan ontologis di dalam kebudayaan adalah sikap manusia yang tidak didominasi sepenuhnya oleh kekuasaan mitis, tetapi dengan sadar mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dirasakan oleh panca inderanya. Ontologi mengalami perkembangan yang cukup hebat pada kebudayaan masyarakat kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
  3. Tahapan Epistem. Di dalam filsafat ilmu, epistemologi dapat didefenisikan sebagai sebuah pembahasan mengenai perolehan pengetahuan. Pembahasan tersebut meliputi: sumber, hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan, probabilitas perolehan pengetahuan oleh manusia, dan kedalaman manusia dalam menganalisis dalam memperoleh pengetahuan.

Bagian-bagian Dasar Kebudayaan

Secara mendasar, kebudayaan memiliki tiga komponen utama, yaitu:

  1. Asumsi dasar (mentalité)
  2. Nilai dan norma
  3. Tingkah laku, teks, dan artefak

Jika digambarkan, maka bagian-bagian mendasar di dalam kebudayaan akan terlihat sebagai berikut:

mentalite-kebudayaan

Penelitian Kebudayaan

Penjabaran singkat tentang komponen-komponen penting dan penjelasan tentang arti kebudayaan pada bagian-bagian sebelumnya secara eksplisit menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil riset yang bagus dan objektif dalam ranah kebudayaan diperlukan dua pendekatan, yaitu:

  1. Pendekatan intrinsik, yaitu peneliti ikut tinggal di lingkungan objek kebudayaan yang ingin diteliti dan mengikuti semua pola kehidupan di sana, sehingga secara kasat mata terlihat bahwa si peneliti adalah bagian dari kebudayaan tersebut.
  2. Pendekatan ekstrinsik, yaitu pandangan dan peniliaian peneliti dari kacamata netral. Situasi ini menempatkan peneliti berada di luar dari kebudayaan yang akan diteliti dan peneliti dituntut untuk dapat melihat dan menilai objek yang akan diteliti sebagai sesuatu yang bukan merupakan kebudayaan si peneliti itu sendiri.

Dua pendekatan ini sangat dibutuhkan dalam memenuhi tahapan epistemik di dalam tahapan kebudayaan menurut Van Peursen. Tidak hanya itu, di dalam setiap metodologi – khususnya metodologi kebudayaan – harus mencapai tahapan ontologis dan epistemik.

Di dalam penelitian kebudayaan, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, di antaranya yang paling sering digunakan adalah:

1. Metode deskriptif, yaitu sebuah totalitas komprehensif kebudayaan yang digambarkan untuk mendapatkan nilai (value) dari kebudayaan yang diteliti.

2. Metode defenisi logis, terbagi ke dalam dua cara, yaitu:

  • Secara historis, yaitu metode yang menjelaskan tentang warisan untuk generasi baru dari objek kebudayaan yang akan diteliti.
  • Secara normatif, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui: 1. aturan/jalan hidup obejk budaya yang diteliti, 2. Nilai (value) yang mengacu pada nilai tertentu juga.

Jika kita sekali lagi membaca penjelasan tentang metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan, maka kedua-duanya berbicara tentang nilai (value). Ini berarti peneliti di bidang kebudayaan dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bagus di bidang hermeneutika supaya tidak terjadi salah tafsir dalam memaknai nailai-nilai yang ada di dalam sebuah kebudayaan. Hermeneutika kembali dipopulerkan pada abad ke-20 oleh seorang filsuf asal Jerman yang bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002).

Hermeneutika Gadamer merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Hal ini erat kaitannya dengan fusi cakrawala (fusion of horizons), yaitu peleburan cakrawala pembaca (vorhabe, vorsicht, dan vorgiff) dengan cakrawala penulis melalui “teks”[1] yang telah ditulisnya untuk memaknai esensi yang terkandung di dalam suatu “teks”. Dengan demikian, pemakanaan suatu “teks” tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh esensi suatu “teks” yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap pembaca dengan cakrawala si penulis “teks” tersebut melalui “teks” yang ditulisnya. Di samping itu, cakrawala pembaca terhadap “teks” itu sendiri juga dileburkan pada tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah “teks” ditulis, oleh siapa sebuah “teks” ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat “teks” itu ditulis juga menjadi bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini untuk mendapatkan esensi dari sebuah “teks”. Jadi, suatu “teks” dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang dilakukan oleh pembaca “teks” tersebut.

Di samping penguasaan hermeneutika yang bagus, seorang peneliti di bidang kebudayaan juga dituntut untuk memiliki pemahaman estetika yang bagus, hal ini disebabkan karena estetika merupakan sebuah nilai (value) yang memegang peranan cukup sentral di dalam setiap penelitian pada ranah kebudayaan. Menurut Mudji Sutrisno:

“estetika merupakan paparan yang lebih mau menekankan pengalaman si subjek mengenai yang indah tanpa mau mencermati apakah asalnya dari objek kesenian alami (natural object) atau dari karya cipta manusia (artificial object).”

Hal ini sejalan dengan bagian-bagian kebudayaan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bagian kebudayaan nomor tiga terkait dengan artefak yang merupakan karya cipta manusia.

Kesimpulan

Ranah kebudayaan tidak hanya mencakup manusia sebagai subjek yang mengobjekkan hal, dan aktifitas lainnya di dalam suatu kebudayaan. Namun demikian, manusia itu sendiri bisa mengisi posisi objek di dalam sebuah penelitian kebudayaan.

Tiga bagian dasar kebudayaan dapat dijadikan acuan untuk menentukan objek yang akan diteliti di dalam sebuah penelitian kebudayaan.

Kemudian, untuk menghindari subjektifitas peneliti di dalam meneliti kebudayaan, maka diperlukan dua pendekatan yang digunakan di dalam penelitiannya, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.

Metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan terkait dengan nilai-nilai (values) yang ada di dalam kebudayaan yang akan diteliti. Oleh karena itu, pemahaman di dalam bidang hermeneutika dan estetika juga menjadi penting bagi peneliti kebudayaan agar nantinya tidak terjadi salah tafsir di dalam melihat nilai dan memberikan penilaian terhadap sebuah kebudayaan.

Bibliografi

Berry, Peter. (2010). Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Jakarta: Jalasutra.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas

Bambu.

Smith, Philip. (2001). Seri Cultural Theory, An Introduction. U.K.: Blackwell Publishing Ltd..

Sutrisno, Mudji. (2011). Ranah-ranah Hermeneutika. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.

Sutrisno, FX. Mudji & Hardiman, F. Budi (ed.). (1992). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.



[1] Teks tidak hanya berupa tulisan, tetapi apapun yang bisa menjadi objek penafsiran.

Konsep Intensionalitas dan 3 Bentuk Reduksi Fenomenologi Edmund Husserl

Fenomenologi Husserl erat kaitannya dengan “kesadaran’. Husserl membangun konsep pemikirannya tentang fenomenologi didasarkan atas dua asumsi, yaitu:

  1. Setiap pengalaman manusia merupakan ekspresi dari kesadaran. Kesadaran terhadap pengalaman sendiri tersebut bersifat subjektif.
  2. Setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ini artinya selalu ada subjek dan objek.

Intensionalitas dalam pemikiran fenomenologi Husserl mempunyai ide bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran terhadap sesuatu. Suatu tindakan bisa disebut intensional apabila tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas dan kesadaran penuh. Hal ini mirip dengan konsep kesadaran pada pemikiran eksistensialisme Sartre. Jadi, konsep intensionalitas dalam fenomenologi Husserl adalah keterarahan kesadaran dan juga merupakan keterarahan tindakan yang bertujuan terhadap suatu objek.

Tiga (3) bentuk reduksi dalam fenomenologi Husserl merupakan suatu metode dalam menangkap suatu pengertian sebenarnya terhadap objek.

  1. Reduksi fenomenologis: sikap menyisihkan (filterisasi) pengalaman pada pengamatan pertama. Maksudnya adalah bahwa setiap pengalaman pribadi yang bersifat inderawi dan subjektif perlu disisihkan dan disaring terlebih dahulu sehingga pengertian terhadap suatu objek tidak terdistorsi oleh prasangka, praanggapan, prateori, dan prakonsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan tradisional maupun berdasarkan keyakinan agama.
  2. Reduksi eidetis: sikap untuk menemukan eidos (esensi) yang tersembunyi. Jadi, hasil reduksi ini merupakan pemilihan hakikat yang sebenarnya, bukan sesuatu yang sifatnya asesoris dan imajinatif semata.
  3. Reduksi transendental: berbeda dengan dua jenis reduksi sebelumnya yang terkait erat antara pemahaman subjek terhadap objek, maka reduksi transendental fokus terhadap subjek itu sendiri. Jadi, reduksi transendental merupakan subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri. Subjek empiris diletakkan di dalam kurung untuk mencapai subjek yang sejati. Contoh: ketika seseorang dipukul , namun dia dengan sadar tidak membalas pukulan tersebut (bukan karena takut, terancam, atau kasihan) setelah meletakkan aku (subjek yng dipukul) di dalam tanda kurung, maka orang tersebut telah sampai pada tahap reduksi transendental. Dia berhasil menguasai dirinya dan menjadi subjek sejati seperti yang dimaksud pada penjelasan tentang reduksi transendental.

 

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.

Hegemoni, Intelektual Organis, dan Catharsis oleh Antonio Gramsci

Menurut Gramsci, hegemoni merupakan suatu upaya dominasi dengan atau tanpa kekerasan yang nantinya dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Frasa “dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar” merupakan poin utama yang harus dicapai dalam konsep hegemoni oleh Gramsci. Konsep hegemoni menurut Gramsci lebih condong ke arah budaya dan intelektualitas. Pelaksanaan hegemoni Gramsci memiliki dua tahapan: 1. Tahap dominasi, 2. Tahap pengarahan. Tahap dominasi dilakukan oleh kelompok/isntutusi/negara/kelas yang ingin memasukkan ide-/paham-nya, sedangkan tahap pengarahan merupakan pengarahan yang dilakukan oleh pihak yang telah berhasil melakukan dominasi terhadap kelas/kelompok yang terdominasi. Tahap hegemoni menurut Gramsci merupakan suatu tahap arah menuju perjuangan sampai pada kesadaran yang tidak hanya didasari oleh kebutuhan ekonomi, melainkan koheren dalam konsepsi ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Intelektual organis merupakan salah satu instrumen untuk melawan hegemoni , yaitu suatu institusi/kelompok/kelas yang langsung bersentuhan dengan kelas yang terdominasi dan bisa memberikan edukasi kesadaran terhadap apa yang sedang dialami oleh kelompok yang terdominasi untuk melawan suatu hegemoni demi tercapainya kepentingan kelompok masyarakat/kelas tersebut. Contoh kaum intelektual organis: LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), wartawan, penulis, dan cendikiawan. Dengan bidangnya masing-masing, kaum intelektual organis bisa langsung menyentuh masyarakat/kelas yang terdominasi untuk memberikan edukasi kesadaran terhadap apa yang sedang dialami oleh masyarakat/kelas yang terdominasi untuk melawan suatu hegemoni demi tercapainya kepentingan kelompok masyarakat/kelas tersebut.

Cahtarsis dalam pemikiran Gramsci merupakan suatu transformasi kesadaran yang pada awalnya didasari oleh kepentingan suatu kelompok menjadi kepentingan global (kepentingan orang banyak yang bersifat objektif). Contoh: sekelompok tukang becak yang tidak sadar dibayar sangat murah dan tetap harus memenuhi target setoran minimal yang ditetapkan oleh juragan becak diberikan edukasi oleh kaum intelektual organis (misal: LSM atau kelompok yang concern terhadap kesejahteraan hidup kelas bawah, khususnya tukang becak) untuk protes melawan kebijakan juragan becak demi meningkatnya standar kelayakan hidup mereka. Nantinya kelompok tukang becak tersebut akan melakukan hal-hal bersifat protes berdasarkan pengetahuan edukasi yang diberikan oleh kaum intelektual tersebut. Selanjutnya, sampai pada suatu saat kelompok tukang becak tersebut bergerak untuk memenuhi tuntutan mereka berdasarkan kesadaran dari mereka sendiri tentang perlunya mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, dan pada akhirnya isu berkembang tidak hanya pada suatu kelompok tukang bceak tertentu, tetapi berlaku untuk kepentingan seluruh kelompok tukang becak yang ada, dan mungkin juga bisa berkembang pada level kelompok kelas bawah pada umumnya (kepentinga orang banyak/global), maka transformasi inilah yang disebut sebagai catharsis dalam hegemoni Gramsci.

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.

Konsep “fusion of horizons” dalam Hermeneutika Hans-Georg Gadamer

Hermeneutika Gadamer merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Hal ini erat kaitannya dengan fusi cakrawala (fusion of horizons), yaitu peleburan cakrawala pembaca (vorhabe, vorsicht, dan vorgiff) dengan cakrawala penulis melalui teks yang telah ditulisnya untuk memaknai esensi yang terkandung di dalam suatu teks. Dengan demikian, pemakanaan suatu teks tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh esensi suatu teks yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap pembaca dengan cakrawala si penulis teks tersebut melalui teks yang ditulisnya. Di samping itu, cakrawala pembaca terhadap teks itu sendiri juga dileburkan pada tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah teks ditulis, oleh siapa sebuah teks ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat teks itu ditulis juga menjadi bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini untuk mendapatkan esensi dari sebuah teks. Jadi, suatu teks dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang dilakukan oleh pembaca teks tersebut.

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.

Konsep “la mauvaise foi” dalam Eksistensialisme Jean Paul Sartre

La mauvaise foi dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai bad faith, artinya: manusia bertanggungjawab atas segala keputusan dan tindakan yang telah diambil secara sadar. Manusia tidak boleh mengeluh dan menyesali apapun akibat dari tindakan dan keputusan yang telah diambil, bahkan mengeluh juga suatu bentuk melepaskan diri dari “tanggung jawab” tersebut. Jika dikaitkan dengan konsep Sartre mengenai kebebasan, maka la mauvaise foi menjadi sangat dilematis dan menjadi alasan munculnya “kecemasan”, karena menurut Sartre manusia memiliki kebebasan, bebas untuk memilih langkah dan pilihan apapun dalam menjalani kehidupan untuk menjadi “ada” (être pour soi) asalkan bertanggung jawab terhadap apapun yang telah dipilih. Karena kebebasan ini lah manusia rentan terhadap La mauvaise foi dalam pencapaian eksistensi menurut Sartre, dan nati erat kaitannya dengan munculnya kecemasan. Dalam pencapaian eksistensi menurut Sartre “kecemasan” akan muncul karena manusia memiliki kebebasan untuk menentukan dan memilih jalan hidup masing-masing, tetapi harus bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dipilih, bahkan untuk mengeluh, menyesali, dan mencari pihak yang dapat disalahkan terhadap efek negatif dari apa yang telah dengan sadar dipilih oleh manusia akan menjauhkan manusia dari pencapaian eksistensinya menurut Sartre.

Eksistensialisme Sartre meniadakan Tuhan, Tuhan ada,tapi hanya berperan sebagai pencipta manusia, setelah itu Tuhan tidak ikut campur dalam urusan duniawi karena manusia memiliki “kebebasan”.

Jadi menurut pemikiran eksistensialisme Sartre: manusia terlahir (être en soi: mengada) atas kehendak Tuhan, kemudian memiliki kebebasan untuk menjalani hidup dengan menaklukan “kecemasan”nya dan bertanggung jawab atas segala pilihan yang telah diambil dalam menjalani kehidupannya. Dengan demikian, maka barulah manusia memperoleh eksistensi menjadi ada (être pour soi). Begitulah konsep eksistensialisme menurut Sartre.

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.

Tubuh Perempuan dan Ketidaksetaraan Gender Menurut Simone de Beauvoir

Ketika seseorang mempertanyakan definisi perempuan barangkali umumnya kita akan mengartikannya sebagai makhluk betina, memiliki indung telur, mampu melahirkan, dan merupakan pendamping laki-laki. Tanpa disadari definisi yang diajukan untuk menggambarkan perempuan tidak pernah mengacu pada diri perempuan sendiri melainkan selalu bertolak pada hubungannya dengan laki-laki. Selama ini, perempuan bukanlah makhluk otonom, bahkan untuk mendefinisikan dirinya sendiri saja harus dilihat dari sudut pandang laki-laki. Hanya ada satu diri yang mutlak diterima dan yang keberadaannya absolut yaitu laki-laki sementara perempuan menjadi “yang lain”  yang merupakan subordinat dari laki-laki. Beauvoir kemudian menyebutnya sebagai Le deuxieme sexe.

Di dalam karyanya yang berjudul Le deuxime sexe, Beauvoir mengutarakan pandangannya mengenai tubuh perempuan. Hal ini penting karena segala bentuk ketidakadilan gender berawal dari persepsi masyarakat tentang tubuh perempuan. Menurut situasi konkretnya, tubuh perempuan berbeda dengan tubuh laki-laki. Perbedaan paling jelas diperlihatkan melalui perbedaan organ seks mereka. Perempuan memiliki rahim dan selaput dara, sedangkan laki-laki memiliki phallus dan sperma. Perbedaan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa situasi konkret kebertubuhan laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini penting karena secara biologis, sperma dan sel telur adalah dua aspek yang dibutuhkan spesies manusia untuk menciptakan generasi baru dan menjaga kelangsungan eksistensinya. Hanya saja yang menjadi masalah, perempuan selalu dianggap sebagai simbol proses regenerasi seperti melahirkan, merawat serta membesarkan anak. Padahal secara biologis, laki-laki pun mengambil peran dalam proses tersebut.

Selain ditentukan oleh seksualitasnya, pada dasarnya manusia dengan kesadarannya juga menyadari bahwa dirinya tidak hanya ditentukan oleh seksualitasnya. Dengan kata lain, laki-laki tidak bisa diidentikkan dengan phallus dan perempuan dengan rahim. Kenyataannya dalam budaya patriarki, laki-laki memang bukan phallus namun perempuan adalah rahim. Laki-laki dalam budaya patriarki adalah individu yang netral yang mewakili manusia secara umum. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata “homme” yang bermakna laki-laki dan manusia.

Beauvoir juga mengutip pernyataan beberapa filsuf yang berbicara mengenai perempuan. Sebagai contoh ia mengutip pernyataan St.Thomas bahwa perempuan adalah “manusia/laki-laki yang tidak sempurna”. Demikian juga dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa kita harus menganggap kodrat perempuan sebagai kodrat yang secara alami memang sudah cacat. Maka eksistensi perempuan kemudian dimaknai berdasarkan fungsi biologisnya yaitu sebagai penerima benih laki-laki sejauh rahimnya masih berfungsi.

Dalam budaya patriarki, inferioritas perempuan dipertahankan melalui penciptaan mitos-mitos. Misalnya mitos kesucian/kemuliaan perempuan. Sebagai istri, perempuan harus perawan. Keperawanan dianggap sebagai tolak ukur moralitas perempuan. Perempuan yang tidak perawan sebelum menikah dianggap hina, tercela, berdosa, dan memalukan keluarga. Sementara laki-laki tidak harus menjaga keperjakaannya, bahkan semakin banyak pengalaman laki-laki dalam aktivitas seksualnya, maka ia semakin dianggap hebat.

Ketika telah menikah, perempuan harus memiliki anak yang keluar dari rahimnya sendiri. Perempuan yang tidak memiliki anak dianggap sebagai perempuan yang tidak sempurna atau cacat. Peran ibu juga menunjukkan tempat perempuan di dalam tatanan masyarakat, yaitu di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan membesarkan anak, tidak terlibat dalam masalah di luar rumah, seperti masalah sosial, budaya, ataupun politik. Pembagian kerja dilakukan bukan karena alasan efektivitas dan efisiensi demi tercapainya tujuan bersama laki-laki dan perempuan, melainkan karena perempuan dianggap tidak mampu, bodoh, dan tidak cakap untuk memikirkan hal lain di luar pekerjaan rumah tangga.

Perempuan dalam budaya patriarki terkondisikan sedemikian rupa sebagai makhluk lemah dan tidak bisa melihat tempatnya di dunia tanpa kehadiran laki-laki, penolongnya, yang dinyatakan dalam budaya patriarki sebagai sosok kuat dan perkasa. Perempuan tidak memaknai tubuhnya sendiri melainkan kekuasaan lain di luar dirinyalah (laki-laki)yang memberi makna pada tubuhnya.

Beauvoir mengemukakan harapannya akan suatu relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam Le deuxieme sexe. Ia menyatakan bahwa meskipun manusia dibedakan berdasarkan fungsi biologisnya, kelebihan dan kekhasan manusia justru terletak pada kemampuannya untuk hidup tidak berdasarkan dorongan biologis atau insting semata. Manusia seharusnya memandang manusia lain sebagai individu bebas yang berhak mewujudkan eksistensinya terlepas dari perbedaan fungsi biologisnya.

Menyadari bahwa laki-laki dan perempuan adalah subjek yang berbeda, persahabatan adalah bentuk hubungan yang dapat menjembatani dua subjek yang berbeda tersebut. Hubungan persahabatan memungkinkan keduanya dapat saling mengerti, saling memberi dan menerima, dan terbuka satu sama lain sehingga ada hubungan yang timbal balik tidak seperti dalam hubungan patriarkis yang hanya mengenal relasi satu arah.

 

Sumber :

Lie, Shirley. 2005. Pembebasan Tubuh Perempuan, Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Watkins, Susan Alice, Marisa Rueda, dan Marta Rodriguez. 2007. Feminisme untuk Pemula-Susan Alice Watkins, Marisa Rueda, dan Marta Rodriguez. Yogyakarta : Resist Book.

Ditulis oleh: Fitri Ratna Irmalasari

Gagasan Filosofis Jean-Paul Sartre dalam “LES MOUCHES”


1.1.1    Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre adalah seorang filsuf dan penulis Prancis yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis dan merupakan anak tunggal dari keluarga bourgeois yang taat beraga Katolik. Ayahnya, Jean Baptiste Sartre dikenal sebagai prajurit militer dan ibunya Anne Schweitzer berasal dari keluarga intelektual keturunan Jerman-Alsatian. Sartre memiliki kakek bernama Charles Schweitzer yang  dikenal sebagai seorang guru bahasa Jerman di sekolah menengah atas dan paman bernama Albert Schweitzer yang dikenal luas sebagai penulis terkenal peraih penghargaan nobel.

Sejak kecil Sartre dibesarkan oleh ibunya dan Ia tidak pernah mengenal ayahnya sebab beliau telah meninggal pada tahun 1906 akibat demam tinggi. Sosok ayah kemudian digantikan oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Charles menjadi figur yang sangat penting dan berpengaruh bagi hidup Sartre. Melalui kakeknya, Sartre telah mengenal karya-karya sastra klasik di usia masih sangat muda bahkan sebelum memasuki usia sekolah. Antara tahun 1907 hingga 1917, Poulou (nama panggilan kecil Sartre) tinggal di rumah kakeknya dan melewati masa kanak-kanak yang membahagiakan serta tumbuh sebagai anak yang cemerlang dan percaya diri . Melalui perpustakaan pribadi keluarga Schwitzer, Sartre mengenal berbagai karya sastra terkenal lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

Namun masa kecil Sartre yang membahagiakan itu harus berakhir ketika di tahun 1917, ibunya menikah lagi dengan seorang polytechnicien. Sartre tidak pernah menyukai ayah tirinya itu. Sejak pernikahan kedua ibunya, Sartre pindah ke La Rochelle dan tinggal di kota itu selama tiga tahun. Baginya waktu tiga tahun tersebut menjadi masa-masa yang paling menyedihkan dalam hidupnya karena menganggap ayah tirinya telah mengambil perhatian ibunya yang sebelumnya hanya tertuju pada Sartre.

Pada usia 16 tahun, Sartre masuk lycée Henri IV dan kemudian bertemu dengan Paul Nizan yang bersama-sama dengannya mempersiapkan untuk masuk ke l’école Normale Supérieure. Nizan telah mengenalkan kepadanya karir kepenulisan dan menjadi sahabat karib Sartre hingga kematiannya di tahun 1940. Persahabatan yang terjalin di antara keduanya memberikan pengaruh pada perkembangan kepribadian dan pemikiran Sartre. Dalam lycée Henri IV keduanya dikenal sebagai siswa cerdas dan kritis sehingga dengan mudah lulus dari sekolah yang elit dan bergengsi itu. Kekompakan keduanya kemudian dituangkan dalam karya sastra mereka yang pertama, berupa dua petit conte yang berisi sindiran-sindiran terhadap para professeur.

Pada tahun 1924 Sartre pun melanjutkan pendidikannya di école Normale Superieur dan bertemu dengan Simone de Beauvoir. Ia pun tertarik pada aspek-aspek filsafat barat yang menyerap gagasan-gagasan Immanuel Kant dan Martin Heidegger. Sartre telah menejemahkan la Psycopathologie karya Jaspers bersama Nizan pada tahun 1927. Kemudian berkat kecerdasannya, pada tahun 1929 Sartre berhasil lulus ujian agrégation filsafat. Ujian tersebut memberikan Sartre kesempatan untuk berkarir sebagai guru filsafat di Le Havre, Lyon, dan Paris.

Sejak muda, Sartre tidak menyukai lingkungan borjuis dan segala kebiasaannya. Perasaan tidak suka itu perlahan-lahan berubah menjadi perasaan muak dan keinginan untuk memberontak. Perasaaan dan keinginannya itulah yang mendasari roman-romannya. Pada tahun 1938, saat sedang menjadi dosen muda di Lycée du Havre, Sartre menulis novel berjudul La Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karya Sartre yang terkenal. Nausée bercerita tentang seorang peneliti yang patah semangat, Roquentin, di sebuah kota yang jika diamati memiliki kemiripan dengan Le Havre. Roquentin menyadari seutuhnya akan fakta bahwa benda-benda mati serta situasi khayalan merupakan dua hal yang sangat berbeda dengan eksistensi dirinya.

Sartre juga menulis novel Le Mur. Le Mur menekankan pada aspek kesadaran di mana manusia mengenali dirinya sendiri dan absurditas dari usaha-usaha mereka untuk menghadapi diri mereka sendiri secara rasional.

Pada tahun 1929, Sartre bergabung dalam Angkatan Bersenjata Nasional Perancis sebagai seorang meteorologist. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjarakan selama 9 bulan sebagai seorang tahanan perang pada tahun 1940. Selama menjadi tahanan perang Sartre ia harus berpindah-pindah dari Padoux, kemudian ke Nancy, dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah ia sempat menulis skenario teater pertamanya Bariona, fills du tonnerre.

Sartre dibebaskan pada bulan April 1941 dengan alasan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Ia kemudian kembali mengajar di Lycée Pasteur di dekat Paris. Sebulan kemudian di kota Paris, Sartre dan teman-temannya : Simone de Beauvoir, Marleau-Ponty, Jean-Toussaint, Dominique Desanti, Jean Kanapa, dan siswa-siswi Ecole Normale, mendirikan kelompok pemberontak Socialisme et Liberte. Pada bulan Agustus 1941, Sartre mencoba meminta dukungan Andre Malraux dan Andre Gide terhadap gerakan pemberontakan yang didirikan Sartre dkk namun baik Gide maupun Malraux tidak memberikan kepastian untuk mendukung gerakan tersebut.

Sartre memimpin majalah Les Temps Modernes antara tahun 1945 dan 1955. Ia dipandang sebagai penseur engagé karena ia menerbitkan karya-karya teater yang bertemakan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Ia memanfaatkan teater untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tentang hidup yang disebut eksistensialisme. Pemikiran Sartre itu bertplak dari pendapat: L’Existence de l’homme exclut l’existence de Dieu ‘Eksistensi manusia meniadakan eksistensi Tuhan.’ Melalui karya-karyanyalah Sartre mengungkapkan bahwa hidup tidak untuk dibuktikan atau dicarikan pembenarannya, iamuncul dan tidak dapat ditolak. Untuk meberi makna hidup, manusia hanya dapat mengandalkan diri sendiri, tanggung jawab sendiri, dan dengan kebebasan dalam keterlibatannya. Ia tidak dapat meminta atau mengharapkan bantuan dari siapapun: L’homme n’est rien d’autre que ce qu’il se fait ‘Manusia tidak lain adalah apa yang dibuatnya sendiri.’

Ketika Sartre mengerjakan Critique dan sebuah biografi analisis dari Gustave Flaubert, L’Idiot de la famille yang merupakan karya terakhir selama hidupnya, kondisi fisiknya. Hal ini dikarenakan terlalu banyak bekerja dan mengkonsumsi narkoba, amfetamin untuk merampungkan karya-karyanya tersebut. Namun kedua karyanya tersebut tidak berhasil diselesaikan, Sartre pun kemudian meninggal pada 15 April 1980 karena mengidap Oedema paru-paru.

1.1.2    Karya-karya Jean-Paul Sartre

  • La Trencendance de l’Égo (1936)
  • L’Imagination (1936)
  • Esquisse d’une théorie des émotions (1939)
  • Le Mur (1939)
  • La Nausée (1938)
  • Les Mouches (1943)
  • L’Etre en le Néant (1943)
  • Huis Clos (1944)
  • Chemins de la Liberté
  • L’Âge de Raison
  • Le Sursis
  • L’Existentialisme est un humanisme (pidato) (1946)
  • La Putain Respectueuse
  • Réflexions sur loa question juive
  • Essai sur Beaudelaire (1947)
  • Les Mains sales (1948)
  • La Mort dans l’âme (1949)
  • Le Diable et le Bon Dieu (1951)
  • Saint Genet, comédien et martyr
  • Nekrassov (1955)
  • Les Séquestrés d’Altona
  • L’Être et le Néant: Critique de la raison dialectique (1960)
  •  Les Mots (1964)
  • L’Idiot de la Famille (1971)

 1.1.3    Jean Paul Sartre dan Pemikirannya

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.

Donny Gahral Ardian di dalam bukunya yang berjudul Percik Pemikiran Kontemporer menjelaskan pemikiran Sartre terhadap masalah eksistensi yang membedakannya dengan filsuf-filsuf sebelumnya. Dijelaskan bahwa Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur). Contohnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.

Filsuf-filsuf sebelum Sartre cenderung memandang manusia seperti pisau tadi. Mereka menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Konsep pemikiran inilah yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.

  • Kesadaran

Konsepsi mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.

Sartre mengemukakan adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya, maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan modus eksistensi benda-benda.

Kesadaran membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu être en soi (ada pada dirinya) dan être pour soi (ada bagi dirinya). Être en soi merupakan tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang. Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.

  • Waktu

Sartre menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala kemungkinan.

  • Kebebasan

“Manusia terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.

Kebebasan itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan tanggung jawab.

 1.2       Selayang Pandang Mengenai ‘Les Mouches’

Les Mouches merupakan karya drama Sartre yang ditulis pada tahun 1943 dan diadaptasi dari cerita mitologi Yunani.

Dilatarbelakangi oleh Agamemnon, Raja dari Argos yang terletak di timur laut dari Péloponoèse yang memiliki seorang istri bernama Clytemnestra dan tiga orang anak yaitu Oreste, Electre dan Ephygénie (telah meninggal), yang sedang mengarungi laut untuk menaklukan Troie. Kemudian angin pun tiba-tiba berhembus dengan kencang dan ahli nujum kerajaan mengatakan bahwa hal itu merupakan kutukan dari para dewa akibat Agamemnon telah membunuh seekor kijang betina. Agamemnon, raja yang haus akan kekuasaan rela untuk mengorbankan anaknya, Ephygénie agar perjalanannya menuju Troie berjalan mulus kembali. Clytemnestra sangat terpukul dan sedih mendengar kabar tersebut dan ia pun menjadi sangat membenci suaminya. Selama Agamemnon berada di Troie, Clytemnestra jatuh cinta kepada Aegistheus yang nantinya akan membunuh Agamemnon sekembalinya dari Troie. Pada nantinya Orestelah yang akan membalaskan dendam ayahnya dengan membunuh ibunya Clytemnestra dan kekasih ibunya Aegistheus.

1.2.1    Tokoh-tokoh dalam ‘Les Mouches

  • Jupiter
  • Oreste
  • Aegistheus/ Egisthe
  • Le Pedagogue
  • Electre
  • Clytemnestre
  • Les Erinyes: les mouches

1.2.2    Sinopsis ‘Les Mouches

Babak I

Oreste, seorang pengembara, datang ke kota bersama guru pribadinya (la pedagogue) setelah melakukan perjalanan sebagai usaha untuk menemukan jati dirinya. Oreste digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tampak dewasa meskipun wajahnya masih seperti anak kecil, polos, dan seolah-olah belum tahu akan tanggung jawabnya. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Philébus ketika memasuki kota dengan tujuan menyembunyikan idenditas dirinya. Jupiter juga melakukan hal yang sama yaitu menyamar sebagai orang lain untuk mengikuti petualangan Oreste.

Di kota, Oreste dan gurunya menghadiri acara peringatan kematian Agamemnon (ayah Oreste) lima belas tahun yang lalu. Tidak seorang pun yang berbicara dan menyapa Oreste serta guru pribadinya, orang-orang dalam peringatan tersebut benar-benar tidak mengenali Oreste. Oreste lalu bertemu dengan kakak perempuannya yang bernama Electre yang sepeninggal ayahnya tumbuh menjadi gadis yang penuh kebencian terhadap ibu dan Aegistheus, ayah tirinya sekaligus pembunuh ayah kandungnya.

Babak II

Oreste memutuskan datang ke upacara kematian ayahnya dan menunjukkan kemarahannya pada Aegistheus. Dalam rangkaian peringatan kematian Agamemnon, terdapat satu hari di mana para pasukan kerajaan diizinkan keluar untuk mengelilingi kota dan menyiksa orang-orang yang dianggap bersalah. Penduduk kota tidak dapat melarikan diri dan hanya mampu pasrah.

Electre hadir paling telat dalam upacara dansa. Ia datang dengan gaun berwarna putih sebagai simbol masa muda dan tidak berdosa. Ia berdansa dan bersorak-sorak serta mengolok-olok orang yang datang berkabung sebagai simbol kebebasannya. Penduduk kota mulai percaya dan berpikir tentang kebebasan sampai Jupiter melarang mereka melakukannya. Jupiter juga mengahalangi niat Oreste bertarung dengan raja Aegistheus saat itu.

Oreste dan Electre kemudian sepakat untuk menyusun rencana pembunuhan terhadap raja dan ibu mereka sendiri. Mengetahu niat tersebut, Jupiter mendatangi Aegistheus dan membocorkan rencana pembunuhan yang telah disusun oleh dua bersaudara Oreste dan Electre. Jupiter pun meminta Aegistheus untuk segera mengambil tindakan.

Ketika Oreste menyerang Aegistheus, Aegistheus menolak melawan balik serangan lawannya, maka Aegistheus akhirnya mati dan kemudian disusul oleh kematian Clytemnestra yang dibunuh seketika setelah Oreste menghabisi nyawa Aegistheus.

Babak III

Setelah melakukan pembunuhan, Oreste dan Electra melarikan diri ke kuil Apollo dengan tujuan melarikan diri dari manusia dan les mouches (yang berarti dosa yang sesungguhnya). Sementara Oreste dan Electra bersembunyi dalam kuil, para petugas pemberi hukuman telah berjaga-jaga menunggu mereka keluar dari kuil Apollo untuk kemudian menyerbu dan menyiksa keduanya.

Electre mulai merasa takut dan mencoba untuk menakut-nakuti saudara laki-lakinya. Kemudian ia pun menyatakan penyesalannya atas pembunuhan yang telah mereka lakukan dan mengakui bahwa pembunuhan itu adalah suatu kesalahan/dosa. Electre mengatakan bahwa ia sebenarnya hanya bermimpi tentang pembunuhan itu sejak 15 tahun yang lalu sebagai bentuk pelarian. Ia juga menegaskan bahwa Orestelah pembunuh sebenarnya.

Jupiter datang dan meyakinkan Oreste agar segera menebus kejahatannya, namun tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Oreste. Oreste merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa sehingga tidak ada yang perlu ditebusnya. Jupiter lalu menjanjikan tahta bagi Oreste serta akan memberikan perlindungan bagi dua bersaudara itu jika mereka bersedia bertobat. Namun Oreste menolak tawaran Jupiter yang akan memberikan tahta dan harta  milik Aegistheus kepadanya.

2.1 Hubungan Les Mouches dengan Pemikiran Jean-Paul Sartre

Les Mouches merupakan gambaran dari penyesalan (le remords) yang menghantui manusia setelah ia melakukan sebuah perbuatan yang dinilai buruk berdasarkan norma moralitas yang sudah terbentuk dalam suatu masyarakat. Dalam karya Sartre ini, penduduk kota Argos adalah penduduk yang hidupnya tidak tenang akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh Aegistheus bahwa terdapat satu hari khusus dalam perayaan kematian Agamemnon yang memperbolehkan pihak kerajaan untuk menghukum  siapapun di luar kalangan istana yang dianggap bersalah dan penduduk kota hanya bisa pasrah menghadapi hal tersebut.

Oreste, putra Agamemnon ingin terlepas dari ketakutan yang berasal dari luar dirinya. Perbuatan yang telah ia lakukan yaitu membunuh ibu kandungnya Clytemnestra dan Aegistheus merupakan wujud kebebasan dirinya dari les mouches (le remords). Dengan perbuatannya, Oreste ingin agar penduduk kota sadar bahwa manusia ditakdirkan bebas.

Sekalipun manusia bebas, ia tetap dituntut untuk senantiasa mempertimbangkan pilihannya. Sekali pilihan itu diaktualisasikan dalam tindakan, tidak ada lagi jalan mundur bagi manusia. Persoalannya, manusia tidak memiliki kriteria benar-salah, sehingga pilihan tindakannya selalu mengandung kemungkinan salah. Hal itu membuat manusia senantiasa cemas dan seringkali tergoda untuk menggantungkan diri pada norma kebenaran dari luar dirinya. Padahal, kesahihan norma hanya dapat diperoleh dari tindakan subjektif yang dialami. Perlu diketahui pula bahwa subjektivitas sifatnya tidak tertutup, karena tindakan individual akan melibatkan manusia secara umum.

Serba ketidakpastian itu merupakan sumber kecemasan. Hal itulah yang sering menjerumuskan diri manusia dalam suatu kemunafikan atau mauvaise foi. Penyesalan merupakan bentuk kemunafikan itu. Ungkapan “Maaf, saya tidak sadar melakukannya”, atau “ Itu bukan kesalahan saya”, merupakan ungkapan kemunafikan, karena hal itu mengandaikan adanya hakikat manusia a priori di luar diri manusia, menggantungkan kesadaran pada sesuatu yang abstrak di luar dirinya, sekaligus melemparkan tanggung jawab tindakannya dengan mengingkari dirinya.

ELECTRE: Par notre père, Oreste, je t’en conjure, ne joins pas le blasphème au crime.

Tokoh Electre merupakan gambaran dari sikap kemunafikan itu. Electre yang telah bertahun-tahun mendambakan kematian ibunya, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya telah terbunuh oleh Oreste, berkat bantuannya. Ia sangat khawatir dan kemudian takut pada dirinya sendiri. Hal itu membuatnya mulai menyalahkan diri dan akhirnya menyerah pada Jupiter untuk memohon bantuannya.Oreste juga merasakan kecemasan yang sama. Namun ia sadar akan kebebasannya dan bertekad untuk tidak pernah menyesalinya perbuatannya.

2.1.1 Ateisme dan KeTuhanan menurut Jean-Paul Sartre dalam Les Mouches

Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, Sartre mengambil posisi ateis untuk menjelaskan gagasan eksistensinya. Posisi ateistik menempatkan manusia sebagai satu-satunya penentu bagi kemanusiaan. Artinya, manusia tidak memiliki acuan bagi hakikatnya sebagai manusia, bagi Baik dan Buruk, bagi nilai-nilai moralnya. Hal ini sungguh menyulitkan, karena dengan demikian manusia tidak memiliki ‘kompas’ dan kerangka-kerangka acuan bagi tindakannya. Andaikata manusia menerima Tuhan sebagai penciptanya itu berarti ia menerima bahwa hakikat kemanusiaan berada di luar dunia, dan ia diciptakan dengan kepenuhan finalitas tertentu dan jelas. Dengan menolak Tuhan, manusia ditempatkan sebagai satu-satunya penentu bagi kehidupannya, dan sebagai satu-satunya hakim bagi tindakannya.

Pemikiran Sartre ini tercermin dalam jawaban Oreste kepada Jupiter berikut ini,

ORESTEQu’elle s’effrite! Que les rochers me condamnent et que les palntes se fanent sur mon passage: tout ton univers ne suffira pas à me dinner tort. Tu es le roi des Dieux, Jupiter, le roi des pierres et des étoiles, le roi des vagues de la mer. Mais tu n’es pas le roi des hommes.

Jawaban Oreste tersebut memperlihatkan bahwa ia menolak penentuan kebenaran Tuhan. Ia sendirilah yang berhak menentukan dan memberikan kriteria benar salah bagi tindakannya. Oreste tidak menunjukan sikap menolak secara sistematis kehadiran Tuhan. Namun yang penting, meskipun Tuhan itu ada, hal tersebut tidak berati apa-apa bagi manusia, karena tetap manusialah yang menentukan dirinya sendiri. Sikap Oreste memperlihatkan suatu penolakan radikal terhadap penghakiman dirinya. Dalam keberadaannya, hanya manusia yang berhak menghakimi dirinya sendiri. Dalam hal ini, keberadaan manusia mengandaikan suatu subjektivitas dan kebebasan yang inheren dengan keberadaannya dan tidak terhindarkan.

Posisi Tuhan dalam karya Les Mouches diwakilkan oleh Jupiter yang dimunculkan untuk menonjolkan pemikiran Sartre pada tokoh Oreste.

JUPITER: (…) je suis le Bien. Mais toi, tu as fait le mal, et les choses t’accusent de leurs voix pétrifiées: le Bien est partout, c’est la moelle du sureau, la fraîcheur de la source, le grain du silex, la pesanteur de la pierre; tu le retrouveras jusque dans la nature du feu et de la lumière, ton corps même te trahit, car il se conforme à mes prscriptions. Le Bien est en toi, hors de toi: (…)

Berdasarkan kutipan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa Jupiter merupakan tokoh representatif keilahian yang dimiliki Tuhan. Jupiter memiliki otoritas yang absolut terhadap seluruh makhluk ciptaannya dan norma-norma moralitas pun ditentukan olehnya. Nilai Baik tidak berasal dari diri manusia tetapi merupakan Tuhan itu sendiri. Tuhan memiliki ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal yang dianggap baik atau buruk. Contohnya ketika manusia melakukan tindakan kebajikan, ia tidak melakukan perbuatan tersebut berdasarkan kesadaran dirinya sendiri melainkan lebih kepada rasa takut terhadap hukuman dari Tuhan jika ia tidak melakukan kebajikan.

Hubungan antara Jupiter dan Aegistheus merupakan representasi Tuhan dan agama. Aegistheus mencerminkan agama yang merupakan alat Tuhan di dunia untuk menciptakan sistem tata nilai baik dan buruk bagi manusia. Dalam karya Les Mouches, Aegistheus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membuat para penduduk kota tunduk kepada perintahnya. Sama halnya dengan agama, Aegistheus mengeluarkan tata nilai mengenai baik dan buruk

2.1.2 Pemikiran Jean-Paul Sartre mengenai Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam Les Mouches

Konsep kebebasan dan tanggung jawab menurut Sartre terdapat pada ucapan Oreste berikut ini,

ORESTE: Je ne suis ni le maître ni l’esclave, Jupiter. Je suis ma liberté! A peine m’as-tu as créé que j’ai cessé de t’appartenir.

Jawaban Oreste di atas memberikan kita gambaran mengenai kesadaran Oreste terhadap konsekwensi yang harus diterima olehnya atas apa yang telah ia perbuat. Manusia ditakdirkan untuk bebas. Namun kebebasan itu menjadi problematik, karena manusia harus memilih dan pilihannya itu selalu berarti keterlibatan terhadap manusia. Kebebasan tidak bermakna tanpa keterlibatan, dan keterlibatan itu ditentukan oleh pilihan-pilihan untuk bertindak karena manusia tidak lain dari tindakannya.

Perkataan Oreste di atas pun menyanggah pernyataan Jupiter sebelumnya bahwa dia lah yang memberi kebebasan kepada manusia untuk melayaninya (Je t’ai donné ta liberté pour me servir). Sedangkan menurut Oreste, kebebasan itu bukan sebuah pemberian, bukan pula sesuatu yang berusaha dicapai, tetapi kebebasan adalah manusia.

Pada dialog yang lain Oreste menunjukkan kesadaran akan kebebasan yang merupakan dirinya

ORESTE: Hier, j’etais près d’Electre; toute ta nature se pressait autour de moi; elle chantait ton Bien, la sirène, et me prodiguait les conseils. (…) Mais tout à coup  la liberté a fondu sur moi et m’a transi, la nature a sauté en arrière, et je n’ai plus eu d’âge, et je me suis senti tout seul, au milieu de ton petit monde bénin, comme quelqu’un qui a perdu son ombre; et il n’ya plus rien eu au ciel, ni Bien ni Mal, ni personne pour me dinner des ordres.

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Oreste sadar akan konsepsi kebebasan yang kemudian mengantarkannya kepada kebebasan itu sendiri. Kata ‘hier’ menunjukkan bahwa dulu Oreste membutuhkan Tuhan, tetapi kemudian ia sadar bahwa untuk mencapai kebebasan ia harus menghapus keberadaan Tuhan dari hidupnya. Pilihannya untuk menghapus keberadaan Tuhan membawa kebebasannya menemukan makna riil, karena dengan keputusan itu ia seta merta memutuskan ikatan dengan segala kepastian hipotetis, hakikat manusia, dan hakikat kebenaran hipotetis di luar dirinya.

3. Penutup

Jean-Paul Sartre merupakan salah satu filsuf Perancis abad ke-20 yang produktif. Les Mouches merupakan salah satu dari karya-karya besarnya yang mencerminkan pemikirannya. Karya tersebut menonjolkan pemikiran Sartre yaitu eksistensialisme yang meliputi kebebasan, subjektifitas, dan ateisme. Menurut Sartre eksistensi mendahului esensi, maksudnya adalah manusia ‘ada’ lalu menemukan hakikatnya. Hakikat itu tidak mendahului keberadaan manusia dan Sartre menolak segala pemikiran tentang konsep normatif yang menjadi acuan bagi manusia mendahului keberadaannya. Eksistensialisme menyinggung subjektifitas, oleh karena itu eksistensi seseorang akan selalu bersinggungan eksistensi orang lain.

 DAFTAR PUSTAKA

Ahdian, Donny Gahral. 2000. Percik Pemikiran Kontemporer. Jogjakarta

Husen, Ida Sundari. 2001. Mengenal Pengarang-Pengarang Prancis dari Abad ke Abad. Grasindo: Jakarta.

Pasuhuk, Tonny. 2000. Gagasan Filosofis dalam Drama Telaah Bandingan Dua Lakon Electre Karya Jean Giraudoux dan Les Mouches Karya Jean-Paul Sartre. Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

http://mael.monnier.free.fr/bac_francais/mythe/6.htm

 

Ditulis oleh: Fitri Ratna Irmalasari