Cinema Paradiso – Review

Cinema Paradiso adalah sebuah filem cerita yang disutradarai oleh Giuseppe Tornatore (Italia) dan diproduksi di tahun 1988. Seting tempat dan waktu dari filem ini bertempat di kota Sisilia (Italia bagian Selatan) pada masa pasca Perang Dunia ke-2. Kebanyakan shot yang diambil di dalam filem cerita ini terjadi di alun-alun kota tempat berdirinya sebuah bangunan yang diberi nama Cinema Paradiso dan difungsikan sebagai tempat menonton filem. Namun demikian, jika dicermati secara lebih spesifik maka Cinema Paradiso ini lah yang menjadi seting utama di dalam filem cerita ini, karena hampir di setiap scene dari filem ini terjadi di dalam gedung bioskop yang terletak di alun-alun kota Sisilia ini.

Filem Cinema Paradiso ini aslinya berdurasi 2 jam 40 menit, tetapi atas paksaan sang produser yang bernama Franco Cristald, maka pada pertunjukan pertamanya ke publik filem ini akhirnya berdurasi 2 jam 3 menit dan 48 detik. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa ternyata industri filem Eropa pada saat itu telah “berdamai” dengan pertimbangan-pertimbangan komersial. Film ini merupakan sebuah karya yang sangat sukses tidak hanya di masanya, tetapi sampai sekarang karena masih sering digunakan sebagai materi di dalam setiap studi tentang film. Singkat kata filem ini merupakan sebuah penanda sejarah bagi industri filem Eropa, khususnya industri filem di Italia. Pada tahun 1989 film ini memenangi “Grand Prize of the Jury” pada Festival Cannes. Di tahun yang sama filem mini juga mendapatkan penghargaan Felix Awards “Special Prize of the Jury”. Kemudian pada tahun 1990 film ini masuk nominasi Oscar “Best Foreign Language”.

Secara garis besar, filem ini berkisah tentang persahabatan antara seorang anak laki-laki bernama Salvatore yang memiliki nama kecil Toto dengan seorang laki-laki dewasa yang bernama Alfredo yang merupakan proyeksionis di bioskop Cinema Paradiso. Banyak konflik dan cerita yang dibangun melalui interaksi kedua tokoh di dalam filem ini.

Alur

Filem Cinema Paradiso bercerita dengan alur maju-mundur. Cerita diawali pada saat Salvatore telah menginjak usia paruh baya yang mendapat kabar dari teman wanitanya yang terbangun dari tidur ketika Salvatore baru pulang dan memasuki kamar tidur. Teman wanitanya itu bercerita bahwa dia sebelumnya mendapat telepon dari Ibu Salvatore yang memberikan kabar bahwa seseorang telah meninggal. Orang yang dimaksud adalah Alfredo, yaitu teman masa kecil dan masa muda Salvatore di kampong halamannya di Sisilia.

Salvatore yang sudah 30 tahun tidak pernah kembali ke Sisilia dan tidak berhubungan dengan keluarga (Ibu dan adik perempuannya) seketika terdiam mendengar kabar kematian Alfredo. Hal ini membuat teman wanitanya bertanya apakah Alfredo bagian dari keluarga dan Salvatore menjawab “tidak”. Dari sini penonton dibawa kembali ke kisah masa kecil Salvatore yang menjelaskan awal persahabatannya dengan seorang proyeksionis di bioskop Cinema Paradiso yang bernama Alfredo, sampai akhirnya ia harus berpisah dengan Alfredo dan keluarganya nanti setelah ia tumbuh dewasa dan selesai dari dinas kemiliteran dan menjadi Salvatore paruh baya yang mendapat kabar dari ibunya tentang kematian Alfredo.

Narasi dan Dimensi Sosial Budaya

Tornatore meramu penceritaan di dalam filem Cinema Paradiso dengan sungguh menarik. Banyak hal yang dan pertanyaan yang muncul di kepala para penonton yang terjelaskan secara tidak langsung dari adegan-adegan maupun seting property yang mendukung. Misalnya ketika penonton di awal cerita bertanya-tanya tentang “siapa tokoh yang bernama Alfredo ini?”, Tornatore memberikan jawaban dari pertanyaan ini dengan langsung membawa penonton mundur ke penerawangan pikiran Salvatore ke masa kecilnya dan menjelaskan secara detil proses persahabatan yang tercipta antara si Toto kecil dengan Alfredo sehingga penonton dengan utuh mendapatkan jawaban tentang tokoh Alfredo di dalam filem ini.

Contoh berikutnya adalah ketika Tornatore hendak memperlihatkan kepada penonton bagaimana kehidupan sosial masyarakat Italia, dan di Sisilia pada khususnya pada saat itu, terutama terkait dengan perkembangan industri filem di Italia. Dia dengan apik menjelaskan kepada penonton betapa ketatnya sensor yang dilakukan oleh Gereja pada saat itu sehingga semua filem yang akan diputar di Cinema Paradiso harus terlebih dahulu disensor oleh seorang Pendeta yang nantinya memberikan tanda dengan isyarat bunyi lonceng bagian yang harus dipotong supaya masyarakat tidak terpapar oleh hal-hal yang diharamkan oleh Gereja.

Masih dari bagian ini penonton juga langsung mendapatkan gambaran dan penjelasan bagaimana filem bisa sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang dan tanpa disadari menentukan masa depan seseorang. Penjelasan ini didapat dari tokoh Toto kecil yang memperlihatkan antusiasme nya terhadap filem sehingga dia melakukan segala daya upaya untuk bisa menikmati filem-filem yang masuk ke bioskop Cinema Paradiso.

Selain tentang awal persahabatan antara Toto dengan Alfredo, filem Cinema Paradiso juga memberikan informasi kepada penonton bahwa seiring dengan perkembangan industri filem, maka sedikit demi sedikit kekuasaan Gereja semakin berkurang di masyarakat Sisilia pada saat itu. Adegan ciuman dan hal-hal yang terkait dengan kekerasan dan sexualitas yang di awal cerita kita dapat mengetahui bahwa adegan-adegan itu tidak akan ditayangkan karena sensor dari gereja, pada perkembangannya mulai dapat dinikmati oleh para penonton. Selain itu, Tornatore juga dengan gamblang menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran norma di dalam masyarakat secara ekstrim. Hal ini dapat dilihat dari scene ketika di dalam bioskop Cinema Paradiso terdapat satu bilik kecil yang digunakan sebagai tempat prostitusi. Scene ini didahului oleh shot pada layar bioskop yang sedang memperlihatkan adegan-adegan yang memancing syahwat para penontonnya.

Dari filem ini penonton juga bisa mengetahui kehidupan masyarakat Italia pada saat itu pada pasca Perang Dunia ke-2. Banyak janda dan anak kecil yang terpaksa harus bekerja untuk melanjutkan hidup karena suami-suami dan bapak-bapak mereka gugur atau dinyatakan hilang oleh dinas kesatuan militernya di medan perang.

Tidak hanya tentang masyarakat Italia dan Sisilia pada khususnya, tetapi Tornatore melalui filem ini juga memperlihatkan naik turun dan perkembangan industri filem di Italia. Jadi, Tornatore dengan apik melalui sebuah filem cerita dengan tokoh dan karakternya masing-masing yang menjadi sentral di dalam cerita ini (Salvatore dan Alfredo) sekaligus dapat memberikan gambaran naik turun dan perkembangan industri filem di Italia. Dari sini juga terlihat bahwa industri filem Amerika juga telah berkembang yang terbukti dari pemutaran filem-filem Amerika di bioskop Cinema Paradiso yang diminati banyak orang ketika itu.

Kisah tentang perkembangan industri filem di Italia ini diakhiri dengan dirubuhkannya bangunan Cinema Paradiso di saat Salvatore pulang ke kampung halamannya untuk menghadiri pemakaman Alfredo. Tradisi menonton filem ke bioskop ternyata sudah tidak lagi seperti di masa kecil Salvatore, seting waktu pada masa ini memang sesuai dengan fakta di dunia pada saat itu, yaitu kemunculan televisi dan perkembangan radio telah menjadi musuh terbesar yang mematikan bagi industri perfileman di masa itu.

Dimensi Estetik

Tornatore cukup piawai dalam memunculkan simbol-simbol yang dapat menyampaikan pesan tertentu kepada penonton tanpa mengurangi fungsi estetiknya di dalam filem Cinema Paradiso. Berikut ini saya tampilkan hanya sebagian capture scene yang menurut saya memiliki simbol dan makna yang kuat yang juga memiliki fungsi estetik di dalam filem ini.

Capture 1

capture-paradiso1

Pendeta dengan loncengnya merupakan simbol yang sangat kuat menyampaikan pesan bahwa waktu itu institusi Gereja memang memiliki kekuasaan absolut, karena Gereja juga “menyaring” hal-hal yang boleh ditonton dan yang tidak ditonton oleh umatnya. Di samping itu kilauan cahaya yang berwarna biru di tengah kegelapan ruangan Cinema Paradiso adalah cahaya yang keluar dari ruang proyektor yang sedang memutarkan filem. Dari bagian ini kita juga menangkap pesan bahwa kira-kira pada saat itu memang institusi Gereja lah yang menjadi “matahari” bagi kehidupan masyarakat di Sisilia.

Capture 2

capture-paradiso2

Tempat keluar cahaya proyektor di dalam bioskop Cinema Paradiso berbentuk kepala singa yang sedang mengaum sehingga taringnya kelihatan, mengisyaratkan kepada penonton bahwa filem pada saat itu merupakan kekuatan baru yang cukup berpengaruh di masyarakat. Hal ini juga dapat diartikan bahwa absolutisme institusi Gereja pada saat itu telah mendapat saingan kekuatan baru. Kemudian, tepat di sisi kanan kepala singa itu terdapat sebuah jendela kecil tempat proyeksionis mengontrol pancaran cahaya proyektor yang diproduksi dari balik ruangan itu, dan di jendela kecil itu terlihat bagian muka Alfredo dari bagian mata sampai kumis. Tampilan muka Alfredo yang seperti ini memberikan kesan kuat bahwa Alfredo adalah “penguasa” bayangan yang memiliki pengaruh kuat karena dialah yang mengoperasikan proyektor yang nantinya akan memancarkan cahaya melalui kepala singa sehingga penonton hanyut terpaku ke dalam filem yang sedang mereka tonton.

Capture 3

capture-paradiso3

Capture ini merupakan gambar kepala singa yang sudah jatuh ke lantai gedung bioskop Cinema Paradiso dan dibalut oleh jarring laba-laba. Hal ini menjelaskan kepada penonton bahwa kepala singa yang dulunya pernah memiliki “kekuasaan” sekarang telah lemah tak berdaya. Scene ini terdapat di menit-menit terakhir filem Cinema Paradiso yang juga mengungkap fakta bahwa industry filem di Italia, khususnya di Sisilia telah mati karena kemunculan televisi dan perkembangan radio sehingga menyebabkan orang malas beranjak dari tempat tinggalnya menuju bioskop.

Capture 4

capture-paradiso4b capture-paradiso4a capture-paradiso4c

Di samping banyaknya dimensi estetik yang terdapat dari simbol-simbol yang diberikan Tornatore di dalam filem ini, ternyata secara tidak langsung Tornatore juga memberikan fakta dan edukasi menyangkut perkembangan teknologi di dalam industri filem pada saat itu. Hal ini diketahui dari kebakaran kecil yang terjadi di rumah si Toto kecil dan kebakaran di bioskop Cinema Paradiso yang disebabkan oleh seluloid dari negatif filem yang akan diputar sampai pada shot close up yang memperlihatkan negatif filem yang tidak sensitive terhadap api.

Demikianlah beberapa capture dari filem Cinema Paradiso yang menurut saya memiliki simbol yang kuat tanpa mengurangi kepentingan estetik dalam bangun keseluruhan filem tersebut.

Dimensi Tekhnik

Di dalam filem Cinema Paradiso terdapat banyak  close up dari beberapa tokoh yang memberikan tanda bahwa tokoh tersebut sangat berperan dan menjadi sentral dalam cerita yang dibangun. Misalnya close up pendeta sebagai simbol absolutisme gereja, close up Toto yang sedang mengintip sensor filem dari balik tirai bioskop.

Kebanyakan dialog yang melibatkan Salvatore (Toto) dan Alfredo. Tokoh-tokoh lainnya yang berdialog dengan salah satu dari kedua tokoh di atas rata-rata mendapatkan shot close up. Menurut saya hal ini sengaja dilakukan oleh Tornatore untuk memberikan perbedaan karakter yang jelas sehingga penonton tanpa sadar bisa langsung mengikuti alur cerita yang sedang dibangun dari percakapan-percakapan yang terjadi. Di samping itu, menurut saya Tornatore juga ingin menyampaikan pesan bahwa walaupun Salvatore (Toto) dan Alfredo merupakan tokoh sentral dari filem cerita ini, namun keberadaan orang-orang tertentu yang mendapatkan close up juga merupakan salah satu faktor penting di dalam pembangunan karakter kedua tokoh sentral itu dan juga di dalam pembangunan cerita di dalam filem ini.

Beberapa shot dengan tekhnik pengambilan bird eye juga terdapat di dalam file mini, terutama shot-shot yang menampilkan alun-alun kota. Saya berpendapat bahwa Tornatore sengaja melakukan ini untuk memberikan kesan latar tempat yang kuat bahwa alun-alun kota menjadi seting latar tempat yang penting, karena di sanalah terdapat gedung bioskop Cinema Paradiso, yaitu sebuah tempat yang menjadi sejarah di dalam kehidupan masyarakat Sisilia pada masa itu dan telah menjadi saksi dari banyak kejadian dan perubahan-perubahan sosial, masyarakat, dan individu yang berada di sekitarnya, termasuk perubahan kota Sisilia itu sendiri.

Kesimpulan

Filem cerita Cinema Paradiso karya Giuseppe Tornatore merupakan salah satu filem cerita penting, tidak hanya bagi industri filem Italia, tetapi juga bagi perkembangan industri filem di dunia. Filem ini bisa dibilang sebagai salah satu penanda sejarah di dalam perkembangan industri filem dunia.

Filem yang berdurasi selama 2 jam 3 menit dan 48 detik ini tidak hanya memberikan kita informasi tentang satu hal, tetapi di dalamnya penonton juga dapat mendapat banyak gambaran tentang dinamika kehidupan sosial dan masyarakat yang menjadi latar tempat dan waktu di dalam filem ini. Tidak hanya tambahan pengetahuan tentang dinamika kehidupan sosial dan masyarakat yang diperoleh penonton ketika menonton filem ini, tetapi filem ini juga memberikan edukasi kepada para pecinta filem tentang sensitifitas seluloid terhadap api yang bisa menjadi malapetaka, sampai pada perkembangan teknologi di dalam industri filem di dunia yang berhasil menemukan bahan yang lebih aman terhadap api yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan negatif filem.

Jika diibaratkan sebagai sebuah lotere, maka filem ini merupakan hadiah berupa paket kombo bagi para penikmat filem dan mereka yang akan memulai studi tentang filem. Saya berpendapat demikian karena file mini dibanjiri dengan tiga dimensi yang menjadi aspek utama di dalam sebuah filem, yaitu dimensi tekhnik, dimensi estetik, dan dimensi kultural. Banyak bagian yang bisa dijadikan contoh dari masing-masing dimensi tersebut di dalam file mini.

Aspek sinematografis yang tidak kalah pentingnya di dalam sebuah filem juga diramu dengan sedemikian rupa oleh Tornatore sehingga terjadi peleburan yang halus antara aspek sinematografis dengan bangun cerita dari filem ini. Hal ini berarti kepuasan penonton, baik yang menyatakan diri hanya sebagai penikmat filem, maupun yang menyatakan diri sebagai pengamat, penggiat, dan pembelajar filem merupakan garansi yang diberikan oleh Tornatore.

Filem Cinema Paradiso juga mengandung aspek naratif yang sangat kuat. Dari scene pembuka sampai scene penutup, penonton mendapatkan banyak hal terkait sosial, budaya, dan masyarakat pada saat itu tanpa harus bersusah payah merangkai cerita antara scene yang satu dengan scene yang lainnya. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, filem Cinema Paradiso karya Tornatore ini merupakan paket kombo bagi para pecinta filem. Banyak hal didapat, seperti: kepuasan, kesenangan, edukasi, dan informasi dalam satu paket yang bernama Cinema Paradiso.

Seperti judulnya, Cinema Paradiso benar-benar memberikan paradiso kepada para penontonnya dan sekaligus meunjukkan kepada penonton betapa cinema (filem) benar-benar merupakan sebuah paradiso (surga) bagi masyarakat Sisilia yang pada saat itu masih dikuasai oleh dogma dan kuasa dari institusi Gereja yang telah menjanjikan bentuk paradiso lainnya yang bersifat imajiner kepada mereka yang taat kepada Gereja.

Bibliografi

Sumarno, Marselli, (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

http://www.netcomuk.co.uk/-media/CinePara.html , diunduh pada tanggal 23 Oktober 2012 pada pukul 23.21.

 

Resensi Filem: “Persembahan Forshufvud untuk Napoleon”

Film : The Napoleon Murder Mistery

Sutradara : Noah Morowitz

Napoleon Bonaparte, seorang penakluk Eropa yang nama besarnya terus hidup ratusan tahun lamanya bahkan jauh melebihi usia hidupnya di dunia. Goethe bahkan mengatakan bahwa hidup Napoleon dipenuhi kecemerlangan yang tak pernah disaksikan sebelumnya dan tanpa ragu tak akan pernah terlihat kembali (kecemerlangan yang demikian). Tak heran, kisah-kisah kejayaan serta kematiannya yang tragis tidak hanya menjadi perhatian para akademisi namun juga para pencinta sosok Napoleon di seluruh dunia.

Dalam film The Napoleon Murder Mystery yang disutradarai oleh Noah Morowitz dengan dukungan dari Discovery Channel,misteri kematian tragis Napoleon diungkapkan dalam kisah dramatis yang bermain di antara kesetiaan dan penghianatan pelayan setia Napoleon selama di St Helena, tempat ia diasingkan pada bulan Oktober 1815. J.David Markham dari Napoleonic  Society, menjelaskan bahwa sebelum kematiaannya Napoleon sadar bahwa keadaannya sedang sekarat . Napoleon sempat menulis surat pada dokternya di St.Helena yang bernama Dr. Antommarchi enam jam sebelum kematiannya. Surat itu berisi perintah agar Dr. Antommarchi melakukan otopsi jasad Napoleon jika ia telah wafat guna memperlihatkan rasa malu dan horor bagi para penguasa atas kematiannya.

Napoleon akhirnya wafat pada 5 Mei 1821. Seluruh pengikutnya yang turut bersama Napoleon ke pulau pengasingan,St. Helena, hadir di kamarnya untuk mencium tangan Napoleon yang telah tak bernyawa. Louis Marchand,pelayan setia yang mengabdi pada Napoleon sejak masih remaja mengurus jenasahnya dan menggunting rambut Napoleon untuk nantinya dibagikan kepada keluarga dan kerabat.  Sehari kemudian sesuai dengan perintah Napoleon, enam dokter salah satunya Dr. Antommarchi ditugaskan melakukan otopsi jasad Napoleon. Dr. Antommarchi terkesan asal-asalan dalam menganalisa penyebab kematian Napoleon. Napoleon kemudian dinyatakan mati karena kanker perut.

Sepeninggal Napoleon, Louis Marchand meninggalkan St. Helena dan kembali ke Prancis. Ia menjalankan wasiat Napoleon yang memintanya untuk menikah dan memiliki anak agar kelak Marchand dapat menceritakan kisah kejayaan maupun kisah tragis hidup Napoleon. Louis Marchand menikah dan memiliki seorang putri bernama Malvina. Kepada Malvina, Marchand menuliskan catatan yang berisi kesaksian mengenai hari-hari terakhir Napoleon di St.Helena. Berbeda dengan orang lainnya yang menulis kesaksian untuk diterbitkan dan mendapatkan uang, Marchand menulis catatannya hanya untuk dibaca oleh Malvina. Hingga pada tahun 1952, Komandan Henry Lachouque membeli properti Marchand termasuk kumpulan catatan Marchand yang kemudian diterbitkan.

Segala kontraversi perihal penyebab kematian Napoleon berawal dari penelitian Sten Forshufvud ,berasal dari Gotenberg, Swedia. Forshufvud adalah seorang dokter gigi sekaligus pemuja sosok Napoleon. Ia membaca lima jilid buku tentang Napoleon dari malam ke malam untuk memenuhi obsesinya akan Kaisar penakluk Eropa itu. Pada tahun 1955, setelah membaca Memoires de Marchand, Forshufvud berani menyatakan bahwa Napoleon tidak mati karena kanker melainkan karena pembunuhan berencana dengan racun arsenik. Ia mematahkan fakta kematian Napoleon yang disebabkan oleh kanker. Menurut Forshufvud, Napoleon tidak mungkin mati karena kanker karena tubuhnya gemuk dan tidak ada bekas tumor di tubuhnya. Ia lalu menuliskan pendapatnya itu dalam sebuah artikel. Artikel yang ia tulis memicu sikap dingin para sejarawan konvensional Prancis. Tak ada satupun yang berkenan membantu penelitian Sten ketika ia datang ke Prancis guna mencari sumber. Namun di sisi lain, artikelnya itu telah menarik simpati para pembaca, sehingga ada di antara mereka( baik yang berasal dari New York, Paris, dan Moscow) yang menyimpan rambut Napoleon kemudian mengirimkan rambut-rambut tersebut kepada Forshufvud. Ia juga berhasil mendapatkan rambut Napoleon milik Betsy Balcombe, gadis kecil berkebangsaan Inggris yang bersahabat dengan Napoleon selama di St.Helena.

Pada tahun 1959 ia membuktikan teorinya itu dengan bantuan Hamilton Smith,ilmuwan dari Universitas Glasgow untuk menguji rambut Napoleon yang ia dapatkan dari banyak pihak. Teknologi saat itu mampu mengungkapkan riwayat racun yang berada di tubuh Napoleon menjelang kematiannya. Penelitian itu mengungkapkan bahwa Napoleon diracun sebanyak 40 kali dan memastikan bahwa rambut-rambut yang datang dari berbagai tempat itu berasal dari pemilik rambut yang sama.

Setelah berhasil mengungkap penyebab kematian Napoleon, Forshufvud mengalihkan penelitiannya untuk mencari pelaku pembunuhan. Beberapa nama masuk dalam daftar tersangka yaitu Hudson Lowe , Louis Marchand, Count Charles Tristan de Montholon, dan Dr.Antommarchi. Pembunuh Napoleon tentunya harus memiliki kriteria sebagai orang yang sangat dipercaya oleh Napoleon, orang yang memiliki akses untuk memberikan 40 dosis racun secara terpisah,orang yang mengawasi rumah tangga istana dan memiliki kunci, serta orang yang memiliki akses ke persediaan anggur yang diminum oleh Napoleon. Berdasarkan kriteria tersebut, Forshufvud menyebut Count de Montholon sebagai pelakunya.

Count de Montholon diriwayatkan sebagai seorang bangsawan yang gemar hura-hura. Ia dan istrinya Albine de Montholon turut bersama Napoleon ke St.Helena. Ia berhasil mengambil hati Napoleon sehingga Napoleon memberinya julukan “yang paling setia di antara yang setia”. Albine de Montholon pernah menjalin hubungan percintaan dengan Napoleon. Hal ini dicurigai menimbulkan dendam atau rasa cemburu yang tersembunyi dalam diri Count de Montholon terhadap Napoleon. Napoleon juga pernah memergoki Albine de Montholon sedang membaca buku The History of Madame Brinvillers yang menceritakan kisah Madame Brinviller membunuh keluarganya dengan menggunakan racun. Napoleon mengetahui isi buku tersebut dan kemudian berkata pada Albine bahwa racun adalah senjata pengecut. Setelah kematian Napoleon, Count de Montholon menghambur-hamburkan uang pemberian Sang Kaisar. Ia mendukung siapa pun yang sedang berkuasa demi kenyamanan hidupnya. Atas dasar itu, tuduhan Forshufvud terhadap Count de Montholon memiliki dasar yang kuat.

Hasil penelitian Forshuvud menuai kontroversi dan tidak diakui oleh Pemerintah Prancis karena dianggap dapat mengganggu nasionalisme Prancis yang diwakili semboyan “Liberté,Egalité,Fraternité”. Namun, kerja keras Forshufvud yang semula dipandang sebelah mata pada akhirnya tetap diakui sebagai hasil penelitian yang valid dalam menganalisis penyebab kematian Napoleon. Profesinya sebagai dokter gigi, membuktikan bahwa dalam menulis sejarah keterlibatan ilmu-ilmu lainnya akan sangat membantu memberikan penjelasan yang rinci mengenai suatu peristiwa.

Ditulis oleh: Fitri Ratna Irmalasari