Sejarah Belanda Selayang Pandang

Belanda yang kita kenal saat ini sebagian besar merupakan hasil karya manusia. Proses “penciptaan” negara Belanda dilakukan melalui:

–      pembangunan bendungan air

–      pengeringan lahan

–      pembangunan tanggul-tanggul.

Kata-kata kunci dalam sejarah modern negara Belanda: “penyesuaian diri dengan air dan perjuangan melawan banjir”

Kawasan yang sekarang disebut Belanda adalah delta sungai di benua Eropa. Posisi geografi tersebut menentukan sejarah Belanda selama berabad-abad. Pada periode 4500 SM, masyarakat agraris mulai berkembang di sini.

Pada masa awal era Kristen, daerah Belanda menjadi salah satu wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Pada abad-abad berikutnya, daerah yang sekarang kita kenal sebagai negara Belanda menjadi bagian dari kekaisaran lain yang lebih besar. Pada 1590 bentuk geografis Belanda yang ada sekarang mulai terpetakan. Namun, wilayah perbatasan berubah-ubah secara dramatis.

Kehidupan beragama:

Kehidupan beragama dan konsep ketuhanan dalam sejarah negara Belanda tidak banyak diketahui. Berkat Tacitus (salah satunya), diperoleh informasi tentang bentuk-bentuk Tuhan yang disembah pada saat itu:

± 600-700 M: Masyarakat di negara-negara dataran rendah mulai memeluk agama Kristen. Pada masa itu, rumah-rumah ibadah pusat-pusat kebudayaan.

Abad ke-16 dan ke-17: perang membela doktrin kebenaran.  Pada masa ini, Kristen masih menjadi bagian penting dalam budaya Belanda.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Perbatasan Romawi; Willibrord; Desiderius Erasmus; Beeldenstorm;  Statenbijbel

Bahasa Belanda:

Bahasa tulis tertua tercatat tercatat sejak tahun 1100 dan ditulis oleh seorang pendeta Flandria. Tulisan dalam “bahasa ibu” baru dikenal pada Abad ke-16. Pada masa ini, kemahiran dan penggunaan bahasa merupakan simbol penting dalam justifikasi status sosial dalam kehidupan bermasyarakat:

Latin: kaum terpelajar

Prancis: kaum elit

Setiap daerah memiliki punya dialek sendiri.  Belanda punya sejarah kesusastraan yang panjang dalam bahasanya sendiri, dan batas-batas bahasa tidak sejajar dengan batas-batas politis.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Hebban olla vogala; Statenbijbel; Max Havelaar; Annie M.G. Schmidt

Negara urban dan jalur perdagangan di mulut sungai Rhine, Schelde dan Maas

± 1100: urbanisasi mulai terjadi di Belanda dan pusat-pusat perdagangan tumbuh

Pusat kegiatan: di selatan (Flandria dan Brabant) -à sekitar tahun 1500 bagian utara (propinsi Holland) menjadi pusat perdagangan yang kuat.

Sejak sekitar tahun 1600, propinsi Holland dan Zeeland menjadi pusat perdagangan yang penting di Eropa à era modern meneruskan fungsi ini.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Liga Hanseatik; Lingkaran Kanal; Pelabuhan Rotterdam

Republik Tujuh Serikat Belanda : dibentuk melalui pemberontakan

Penduduk di kota-kota kecil mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan kaum bangsawan. Pertanda adanya perseteruan kepentingan itu sudah ada sejak awal. Pada akhir Abad Pertengahan, para penguasa Burgundi mencoba memerintah negara-negara di bawah laut di bawah satu administrasi, tetapi kebijakan ini ditentang oleh penduduk maupun kaum bangsawan. Pada Abad ke-16, perlawanan ini bercampur aduk dengan seruan Reformasi. Perang pun pecahlah dan kaum bangsawan menjadi “gueux’ (pengemis). William van Oranje tampil menjadi pemimpin kaum Pemberontak dan karenanya dikenal sebagai “Bapak Bangsa”. Struktur politik yang unik dan dikenal sebagai “Republik” berkembang setelah kematiannya yang tragis tahun 1584. Ciri khas dari Republik adalah  kekuasaan administratif para pemimpin daerah; otoritas pusat yang lemah dan toleransi beragama.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Floris V; Charles V; Beeldenstorm; Willem Oranje; Republik; Hugo Grotius; Spinoza; Lingkaran Kanal

Masa Keemasan

Republik Tujuh Serikat Belanda à superpower (ekonomis,politis dan budaya) di Eropa Abad ke-17. Kaum imigran (Yahudi, Flemings, Huguenots) berperan penting mewujudkan Masa Keemasan tersebut.

Kebudayaan: lukisan Abad ke-17 sangat mengagumkan. Perkapalan, pasar bahan baku, pengelolaan lahan,industri sangat maju.

Secara politis: Republik merupakan bentuk pemerintahan yang unik di benua yang dikuasai oleh monarki.

Tahun 1672 merupakan tahun yang penuh bencana, pertanda meredupnya Masa Keemasan. Setelah itu, Republik tidak menonjol lagi di panggung Eropa. Secara ekonomi dan budaya, Republik juga tidak berperan penting lagi sejak akhir Abad ke-17.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Hugo Grotius; Rembrandt; Michiel de Ruyter; Atlas Major Blaeu; Christiaan Huygens; Spinoza; Villa-villa Mewah

Kewirausahaan dan Kekuasaan Kolonial

Kapal-kapal Belanda mulai berlayar sejak ± tahun 1600. Pada saat itu, Eropa merupakan pusat perdagangan dunia. Kegiatan perdagangan juga dilakukan di Asia, Afrika dan Amerika à  Daerah-daerah koloni tumbuh di Asia dan Amerika.

Abad ke-19, sentralisasi pemerintahan Belanda di daerah koloni telah mengakibatkan perang yang panjang (termasuk peperangan di Indonesia, Suriname, dan Antilian), dan sampai saat ini, Belanda masih menjalin hubungan yang erat dengan Indonesia, Suriname dan Antilian.

Telusuri lebih lanjut mengenai: VOC; Atlas Major Blaeu; Perbudakan; Max Havelaar; Indonesia; Suriname dan Antilian; Keberagaman di Belanda

Negara-bangsa, monarki konstitusional

Paruh kedua Abad 18: pengaruh aliran Pencerahan:

  • tumbuh kebutuhan untuk menambah dan menyebarkan ilmu pengetahuan.
  • gagasan baru tentang penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat banyak didiskusikan.
  • gerakan Patriot yang mencoba membatasi kekuasaan Stadholders (para gubernur)
  • kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk berpendapat (pada awalnya menemukan jalan buntu).

Bangsa Belanda pada era modern dibentuk antara 1795 dan 1848, dan fondasinya telah dibangun pada periode Prancis (1795-1813). Setelah kekalahan Napoleon: Willem I, putra dari Stadholder (gubernur) terakhir menjadi raja dari serikat kerajaan. “Restorasi” Belanda ini tidak berlangsung lama karena Brussels bergabung dengan kaum pemberontak pada tahun 1830.

Pada tahun 1848, fondasi bagi terbentuknya sebuah monarki konstitusional (sebagaimana Belanda saat ini) dikukuhkan dengan dirancangnya Konstitusi oleh Thorbecke. Kerajaan ini kemudian menjadi kekuasaan kecil yang teguh pada sikap netralnya.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Villa-villa mewah; Eise Eisinga; Patriot; Napoleon Bonaparte; Raja William I; Konstitusi

Bangkitnya Masyarakat Modern

Sejak ± tahun 1870: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag dan Utrecht tumbuh menjadi perkotaan. Industrialisasi di kawasan itu terjadi relatif terlambat, padahal pembangunan jalur kereta api sudah dimulai tidak lama sebelumnya. Pembangunan rel kereta api memberikan keuntungan bagi mobilitas warga, salah satu contohnya adalah jarak menjadi semakin kecil: integrasi Belanda dimulai.

Pemerataan (diatur oleh undang-undang) à semakin kuat.

Orang-orang “biasa”: – menuntut diperhitungkan oleh masyarakat dan politik.

– hak pilih pada pria (1917) dan wanita (1919).

 

Para seniman “modern”: – tidak lagi sebagai penopang tradisi artistik yang mapan

– memberikan kesempatan untuk menjadi artistik yg inovator.

Dalam kesusastraan:  tercermin dalam “Gerakan Delapan Puluh”

Dalam seni lukis: aliran Impresionis dan Pasca-Impresionis

Dalam seni terapan: gerakan Art Nouveau dan Modernisme.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Jalur kereta api pertama; Perlawanan terhadap tenaga kerja anak-anak; Vincent van Gogh; Aletta Jacobs; Perang Dunia Pertama; De Stijl

Belanda pada Perang Dunia (PD)

Belanda mencoba menghindari keterlibatan dalam konflik-konflik besar di Eropa. Sikap netral ini berhasil pada PDI, tetapi setelah PDI Belanda ditarik masuk dalam krisis global sehingga mau tidak mau Belanda ikut terseret dalam kolonisasi Nazi Jerman.

Periode paling buruk pada saat pendudukan Jerman adalah pemboman Rotterdam, deportasi dan pembunuhan kaum Yahudi serta kelaparan pada musim dingin.

Di Asia, perang dimulai tahun 1942, tetapi setelah kemerdekaan tahun 1945 sebuah perang baru berkobar dan tidak berakhir hingga tahun 1949. Perang Dunia Kedua dirujuk sebagai “masa lalu yang menolak menjadi sejarah”.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Perang Dunia Pertama; De Stijl; Tahun-tahun Krisis; Perang Dunia Kedua; Anne Frank; Indonesia

Negara Kesejahteraan, demokratisasi dan sekularisasi

Rekonstruksi dimulai segera setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Setelah tahun-tahun yang penuh kerja keras dan kemiskinan berlalu, pada tahun 1950-an merupakan periode saat terjadinya perubahan besar dalam gaya hidup masyarakat Belanda. Negara kesejahteraan dan masyarakat yang makmur melahirkan peningkatan standar kehidupan secara drastis. Selain itu, orang-orang memutuskan hubungan mereka dengan gereja, kelompok sosial politik dan keluarga. Perubahan ini ditandai dengan hubungan yang tidak begitu hirarkis lagi antara orangtua dan anak, perubahan peran pria dan wanita dan semakin terbukanya pandangan tentang seksualitas. Dalam kaitannya dengan politik, hal ini sangat erat berhubungan dengan gerakan yang kuat menuju demokratisasi : otoritas kelompok elit yang mapan mulai dipermasalahkan.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Willem Drees; Banjir Besar; Televisi; Pelabuhan Rotterdam; Annie M.G. Schmidt; Sumber gas alam

Diversifikasi Belanda

Setelah Perang Dunia Kedua, Belanda terlibat dalam perang kolonial melawan gerakan kemerdekaan Indonesia. Selama dan setelah perang itu, banyak orang Belanda, Indo-Eropa dan Maluku pindah ke Belanda.

Gelombang imigran lainnya menyusul : pada tahun 1960-an, para pekerja dari negara-negara Mediterania tiba, pada saat dekolonisasi Suriname (1975) orang-orang juga datang dari bekas negara jajahan tersebut dan kemudian dari Belanda-Antilian, disusul  dari berbagai negara lainnya. Masyarakat Belanda berubah dengan meningkatnya imigrasi. Tak terelakkan lagi muncullah ketegangan antara penduduk yang sudah mapan dan penduduk yang baru.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Indonesia; Suriname dan Antilian; Keberagaman di Belanda

Belanda di Eropa

Setelah Perang Dunia Kedua diikuti oleh Perang Dingin, Belanda menjadi semacam penengah dalam kerjasama Atlantik dan Eropa. Begitu Perang Dingin berakhir, kerjasama Eropa dengan cepat berkembang. Pada tahap ini, Belanda juga aktif dalam berbagai misi perdamaian PBB.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Srebrenica; Eropa

Sumber: beragam baik online maupun offline

Skenario Hubungan UE dengan Rusia dalam Aspek Pendidikan dan Kebudayaan

Rusia memiliki kebudayaan yang erat melekat pada kehidupan yang bersifat komunal dan berbasis pada nilai-nilai dan norma Kristen Orthodox. Akar kebudayaan yang seperti ini menjadi semakin kental ketika Rusia selama sekitar 75 tahun tergabung ke dalam Uni Soviet karena Soviet menerapkan politik menutup diri dari dunia luar dengan pola chauvinisme yang kental. Kondisi seperti ini menyebabkan Rusia memiliki kebudayaan yang sangat tertutup dari dunia luar dan berhasil mempertahankan “kebudayaan aslinya” tanpa benturan dari budaya-budaya asing yang berasal dari dunia luar. Namun kondisi ini mulai menuju kepada perubahan pada akhir tahun 80-an.

Keruntuhan paham komunis yang ditandai dengan pembubaran Uni Soviet pada masa kekuasaan Michael Gorbachev pada awal tahun 90-an merupakan batu loncatan pertama dan utama yang membawa Rusia menuju Rusia yang kita kenal saat ini dengan istilah the New Russia (Rusia Baru). Masa pasca keruntuhan Uni Soviet memaksa negara pewaris utama Soviet ini untuk lebih “membuka diri” kepada dunia luar demi kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Kondisi baru Rusia ini tentunya dipandang oleh beberapa negara besar dunia sebagai suatu peluang emas untuk melakukan macam-macam bentuk ekspansi dalam segala aspek kehidupan, terutama di dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang bermuara kepada potensi sebagai pasar dalam sistem market economy perekonomian dunia. Namun demikian, kondisi baru ini tidak hanya dipandang positif oleh dunia luar, tetapi Rusia juga bisa memandang dunia luar dengan persepsi yang sama seperti pandangan dunia luar terhadap Rusia Baru.

Lokasi geografis Rusia yang berbatasan langsung dengan komunitas besar dunia Uni Eropa menjadi hal yang sangat menarik dalam mengamati tarik menarik hegemoni pendidikan dan kebudayaan yang terjadi. Apakah Rusia yang akan melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa atau beberapa negara anggotanya, atau justru sebaliknya, Rusia lah yang akan terhegemoni oleh Uni Eropa atau oleh beberapa negara anggotanya? Pertanyaan ini tentu saja bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, fakta bahwa Rusia memiliki sumber energi utama yang memberikan suplai energi kepada sebagian besar negara-negara anggota Uni Eropa menambah serunya tarik menarik hegemoni ini.

Dalam usaha untuk memetakan hasil dari tarik menarik hegemoni budaya antara Rusia dan Uni Eropa ini, maka saya akan mencoba untuk memberikan beberapa skenario beserta implikasinya yang bisa digunakan oleh kedua belah pihak dalam usaha mencapai tujuan hegemoninya.

Skenario I: Program Beasiswa oleh Uni Eropa

Sebagai sebuah komunitas besar, Uni Eropa telah mulai memberikan banyak beasiswa kepada seluruh pelajar di dunia pada awal tahun 2000-an untuk mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan formal ke universitas-universitas terbaik yang terdapat pada masing-masing negara anggotanya. Kesempatan ini tentu saja merupakan peluang emas bagi mereka yang memang memiliki antusias besar dalam bidang pendidikan, terutama dengan alasan untuk memajukan bangsa, maka negara-negara di luar keanggotaan Uni Eropa tentunya berlomba-lomba untuk mengirimkan orang-orang terpelajarnya untuk dapat menimba ilmu di negara-negara anggota Uni Eropa.

Rusia yang berbatasan langsung dengan Uni Eropa tentunya juga dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk investasi jangka panjangnya dalam hal peningkatan mutu sumber daya manusia. Apabila Rusia memandang hal ini 100% merupakan peluang investasi jangka panjang di bidang sumber daya manusia tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruknya, maka alih-alih mendapatkan sumber daya manusia berkualitas dalam membangun negreinya, tetapi malah Rusia berkemungkinan besar kehilangan pemuda-pemuda terpelajarnya.

Saya berani berspekulasi seperti pada paragraf di atas karena saat ini hampir di setiap negara anggota Uni Eropa terdapat kebijakan untuk lulus ujian negara tempat calon pelajar melanjutkan studinya yang terdiri dari ujian bahasa negara setempat dan ujian tentang pengetahuan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat negara setempat. Apabila calon pelajar yang akan menerima beasiswa pendidikan tidak lulus dalam ujian tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan izin tinggal. Apabila calon pelajar penerima beasiswa tidak mendapatkan izin tinggal di negara tujuan, maka mereka tidak akan bisa melanjutkan studi ke negara tersebut, dengan kata lain, mereka gagal mendapatkan beasiswa tersebut.

Kenyataan seperti ini tentunya boomerang yang siap menghantam balik Rusia. Kaum terpelajar yang merupakan pemuda harapan bangsa pastinya dengan sukarela mati-matian mempelajari bahasa dan kebudayaan, serta kebiasaan masyarakat negara tujuan tempat mereka akan melanjutkan studi formalnya. Dengan kata lain, mereka (pelajar) dengan sadar “membuka diri” untuk sesuatu yang baru yang nantinya tanpa sadar akan mereka aplikasikan dan menjadi “pedoman dan pandangan hidup” mereka yang baru kelak ketika mereka mendapatkan beasiswa itu. Alih-alih Rusia dapat melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa, tetapi malah kaum terpelajarnya sangat berisiko dalam “tercemar” kebudayaan dan pandangan hidup Uni Eropa.

Kemungkinan ini menjadi lebih berisiko ketika kita dihadapkan pada fakta model pemerintahan Putin yang masih mewarisi pola-pola tangan besi ala Soviet. Kaum terpelajar yang lebih netral dan kritis dalam berfikir dan bertindak tentunya akan mendapatkan angin segar ketika masuk, menjalani kehidupan, dan menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa. Mimpi-mimpi utopis demokrasi Uni Eropa akan menjadi senjata utama yang nantinya bisa melunturkan sisi nasionalisme para pelajar Rusia yang mendapatkan beasiswa ke Uni Eropa.

Skenario II: Beasiswa untuk Scholar “Pilihan”

Skenario kedua ini merupakan langkah yang dapat diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi dampak negatif dari strategi Uni Eropa yang melancarkan ekspansi budaya melalui program beasiswa yang diberikannya. Risiko pelunturan rasa nasionalisme yang dapat terjadi sebagai implikasi skenario relasi kerjasama pendidikan dan kebudayaan antara Rusia dengan Uni Eropa sangat berdampak negatif bagi perkembangan Rusia Baru di masa depan. Hal ini diperburuk dengan fakta penurunan pertumbuhan populasi Rusia.

Rusia bisa mendapatkan pemutakhiran ilmu pengetahuan dalam segala bidang dengan bekerja sama dengan dunia luar, khususnya Uni Eropa yang juga memiliki kepentingan dalam pengembangan teritorial tanpa harus mempertaruhkan pemuda-pemuda harapan bangsanya. Jika Rusia memiliki kecurigaan yang sama dengan pandangan saya ini, maka tentunya Rusia akan melakukan langkah-langkah antisipasi dalam menyikapi kemungkinan tersebut. Salah satu langkah yang kira-kira akan diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi kemungkinan buruk dari kerja sama bidang pendidikan dan kebudayaan ini adalah dengan merekrut tenaga-tenaga muda untuk menjadi “orang dalam” pada pemerintahan yang sedang berkuasa dan kemudian memfasilitasi kerja sama dengan Uni Eropa untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan formal pada negara-negara anggota Uni Eropa.

Jadi, tanpa harus memberikan kesempatan kepada setiap scholar Rusia untuk menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa, Rusia masih akan bisa mendapatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dengan cara lain, yaitu dengan memilih orang-orang tertentu yang sudah teruji kematangan rasa nasionalismenya dan mengirimkannya ke negara-negara Uni Eropa untuk kemudian dengan penuh semangat kembali pulang ke Rusia untuk berbagi perkembangan ilmu dan pemikiran yang dapat digunakan untuk kemajuan dan perkembangan Rusia di masa depan. Sebagai tambahan, transfer ilmu dan pemikiran yang didapat dari Uni Eropa tidak begitu saja disebarkan di Rusia nantinya, tetapi pihak penguasa akan melakukan sensor terlebih dahulu dan memodifikasi setiap ilmu pengetahuan dan pemikiran yang didapat sesuai dengan kepentingan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan strategi kebudayaan Rusia nantinya.

Skenario III: Impor Guru/Dosen Tamu

Jika dua skenario pendidikan dan kebudayaan sebelumnya mengharuskan Rusia mengirimkan scholar terbaiknya ke negara-negara Uni Eropa, maka skenario ketiga ini justru merupakan sebuah kontradiksi dari dua skenario sebelumnya, yaitu dengan mendatangkan para ahli yang ahli di bidangnya ke Rusia untuk melakukan transfer ilmu dan pemikiran di Rusia.

Skenario ketiga ini adalah skenario yang paling rendah risikonya dalam hal kemungkinan pelunturan rasa nasionalisme yang membahayakan kebudayaan nasional Rusia. Saya berani berpendapat seperti ini karena pada skenario ketiga ini warga Rusia tidak perlu meninggalkan negara, tetapi justru sebaliknya, Rusia mendatangkan tenaga asing yang dirasa perlu demi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dari Uni Eropa. Skenario ini menjadi semakin mini risiko karena dengan situasi seperti ini, pemerintah Rusia dapat secara langsung melakukan kontrol terhadap konten dan proses transfer pengetahuan dan pemikiran yang nantinya terjadi di Rusia.

Selain minim risiko, skenario ketiga ini juga bisa menjadi cara bagi Rusia untuk melakukan hegemoni budayanya terhadap Uni Eropa. Jika pemerintah Rusia dapat mengambil hati setiap guru/dosen tamu yang datang ke Rusia dengan tujuan transfer ilmu, maka dengan sendirinya mereka akan kembali ke Uni Eropa nantinya dengan bias-bias kebudayaan dan kebiasaan Rusia yang mereka dapat selama mereka bertugas di Rusia dalam misi kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Kesimpulan

Fakta bahwa Rusia menjadi pemasok energi yang cukup berpengaruh di benua Eropa menjadikannya semakin menyadari isu-isu hegemoni kebudayaan yang siap menghantam setiap sendi kehidupan di Rusia. Maka dari itu, apapun tawaran yang diberikan kepada Rusia oleh Uni Eropa tentunya akan disikapi dengan sebijak mungkin. Selanjutnya, sebagai negara yang memiliki kebudayaan cukup tua , mengakar, dan sangat berbeda dengan tetangga Uni Eropa nya menambah kadar sensitifitas isu hegemoni budaya di Rusia.

Bibliografi

Boilard, Steve D. (1998). Russia at the Twenty First Century. Orlando: Harcourt Brace & Company.

Sakwa, Richard. (2008). Russian Politics and Society 4th ed. New York: Routledge.

White, Stephen. (2011). Understanding Russian Politics. New York: Cambridge University Press.

Yale, Richmond. (2009). From Nyet to Da: Understanding the New Russia, 4th ed. London: Intercultural Press.

————. (2005). Russian Prospects – Political and Economic Scenarios. Copenhagen Institute for Future Studies.

Cinema Paradiso – Review

Cinema Paradiso adalah sebuah filem cerita yang disutradarai oleh Giuseppe Tornatore (Italia) dan diproduksi di tahun 1988. Seting tempat dan waktu dari filem ini bertempat di kota Sisilia (Italia bagian Selatan) pada masa pasca Perang Dunia ke-2. Kebanyakan shot yang diambil di dalam filem cerita ini terjadi di alun-alun kota tempat berdirinya sebuah bangunan yang diberi nama Cinema Paradiso dan difungsikan sebagai tempat menonton filem. Namun demikian, jika dicermati secara lebih spesifik maka Cinema Paradiso ini lah yang menjadi seting utama di dalam filem cerita ini, karena hampir di setiap scene dari filem ini terjadi di dalam gedung bioskop yang terletak di alun-alun kota Sisilia ini.

Filem Cinema Paradiso ini aslinya berdurasi 2 jam 40 menit, tetapi atas paksaan sang produser yang bernama Franco Cristald, maka pada pertunjukan pertamanya ke publik filem ini akhirnya berdurasi 2 jam 3 menit dan 48 detik. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa ternyata industri filem Eropa pada saat itu telah “berdamai” dengan pertimbangan-pertimbangan komersial. Film ini merupakan sebuah karya yang sangat sukses tidak hanya di masanya, tetapi sampai sekarang karena masih sering digunakan sebagai materi di dalam setiap studi tentang film. Singkat kata filem ini merupakan sebuah penanda sejarah bagi industri filem Eropa, khususnya industri filem di Italia. Pada tahun 1989 film ini memenangi “Grand Prize of the Jury” pada Festival Cannes. Di tahun yang sama filem mini juga mendapatkan penghargaan Felix Awards “Special Prize of the Jury”. Kemudian pada tahun 1990 film ini masuk nominasi Oscar “Best Foreign Language”.

Secara garis besar, filem ini berkisah tentang persahabatan antara seorang anak laki-laki bernama Salvatore yang memiliki nama kecil Toto dengan seorang laki-laki dewasa yang bernama Alfredo yang merupakan proyeksionis di bioskop Cinema Paradiso. Banyak konflik dan cerita yang dibangun melalui interaksi kedua tokoh di dalam filem ini.

Alur

Filem Cinema Paradiso bercerita dengan alur maju-mundur. Cerita diawali pada saat Salvatore telah menginjak usia paruh baya yang mendapat kabar dari teman wanitanya yang terbangun dari tidur ketika Salvatore baru pulang dan memasuki kamar tidur. Teman wanitanya itu bercerita bahwa dia sebelumnya mendapat telepon dari Ibu Salvatore yang memberikan kabar bahwa seseorang telah meninggal. Orang yang dimaksud adalah Alfredo, yaitu teman masa kecil dan masa muda Salvatore di kampong halamannya di Sisilia.

Salvatore yang sudah 30 tahun tidak pernah kembali ke Sisilia dan tidak berhubungan dengan keluarga (Ibu dan adik perempuannya) seketika terdiam mendengar kabar kematian Alfredo. Hal ini membuat teman wanitanya bertanya apakah Alfredo bagian dari keluarga dan Salvatore menjawab “tidak”. Dari sini penonton dibawa kembali ke kisah masa kecil Salvatore yang menjelaskan awal persahabatannya dengan seorang proyeksionis di bioskop Cinema Paradiso yang bernama Alfredo, sampai akhirnya ia harus berpisah dengan Alfredo dan keluarganya nanti setelah ia tumbuh dewasa dan selesai dari dinas kemiliteran dan menjadi Salvatore paruh baya yang mendapat kabar dari ibunya tentang kematian Alfredo.

Narasi dan Dimensi Sosial Budaya

Tornatore meramu penceritaan di dalam filem Cinema Paradiso dengan sungguh menarik. Banyak hal yang dan pertanyaan yang muncul di kepala para penonton yang terjelaskan secara tidak langsung dari adegan-adegan maupun seting property yang mendukung. Misalnya ketika penonton di awal cerita bertanya-tanya tentang “siapa tokoh yang bernama Alfredo ini?”, Tornatore memberikan jawaban dari pertanyaan ini dengan langsung membawa penonton mundur ke penerawangan pikiran Salvatore ke masa kecilnya dan menjelaskan secara detil proses persahabatan yang tercipta antara si Toto kecil dengan Alfredo sehingga penonton dengan utuh mendapatkan jawaban tentang tokoh Alfredo di dalam filem ini.

Contoh berikutnya adalah ketika Tornatore hendak memperlihatkan kepada penonton bagaimana kehidupan sosial masyarakat Italia, dan di Sisilia pada khususnya pada saat itu, terutama terkait dengan perkembangan industri filem di Italia. Dia dengan apik menjelaskan kepada penonton betapa ketatnya sensor yang dilakukan oleh Gereja pada saat itu sehingga semua filem yang akan diputar di Cinema Paradiso harus terlebih dahulu disensor oleh seorang Pendeta yang nantinya memberikan tanda dengan isyarat bunyi lonceng bagian yang harus dipotong supaya masyarakat tidak terpapar oleh hal-hal yang diharamkan oleh Gereja.

Masih dari bagian ini penonton juga langsung mendapatkan gambaran dan penjelasan bagaimana filem bisa sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang dan tanpa disadari menentukan masa depan seseorang. Penjelasan ini didapat dari tokoh Toto kecil yang memperlihatkan antusiasme nya terhadap filem sehingga dia melakukan segala daya upaya untuk bisa menikmati filem-filem yang masuk ke bioskop Cinema Paradiso.

Selain tentang awal persahabatan antara Toto dengan Alfredo, filem Cinema Paradiso juga memberikan informasi kepada penonton bahwa seiring dengan perkembangan industri filem, maka sedikit demi sedikit kekuasaan Gereja semakin berkurang di masyarakat Sisilia pada saat itu. Adegan ciuman dan hal-hal yang terkait dengan kekerasan dan sexualitas yang di awal cerita kita dapat mengetahui bahwa adegan-adegan itu tidak akan ditayangkan karena sensor dari gereja, pada perkembangannya mulai dapat dinikmati oleh para penonton. Selain itu, Tornatore juga dengan gamblang menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran norma di dalam masyarakat secara ekstrim. Hal ini dapat dilihat dari scene ketika di dalam bioskop Cinema Paradiso terdapat satu bilik kecil yang digunakan sebagai tempat prostitusi. Scene ini didahului oleh shot pada layar bioskop yang sedang memperlihatkan adegan-adegan yang memancing syahwat para penontonnya.

Dari filem ini penonton juga bisa mengetahui kehidupan masyarakat Italia pada saat itu pada pasca Perang Dunia ke-2. Banyak janda dan anak kecil yang terpaksa harus bekerja untuk melanjutkan hidup karena suami-suami dan bapak-bapak mereka gugur atau dinyatakan hilang oleh dinas kesatuan militernya di medan perang.

Tidak hanya tentang masyarakat Italia dan Sisilia pada khususnya, tetapi Tornatore melalui filem ini juga memperlihatkan naik turun dan perkembangan industri filem di Italia. Jadi, Tornatore dengan apik melalui sebuah filem cerita dengan tokoh dan karakternya masing-masing yang menjadi sentral di dalam cerita ini (Salvatore dan Alfredo) sekaligus dapat memberikan gambaran naik turun dan perkembangan industri filem di Italia. Dari sini juga terlihat bahwa industri filem Amerika juga telah berkembang yang terbukti dari pemutaran filem-filem Amerika di bioskop Cinema Paradiso yang diminati banyak orang ketika itu.

Kisah tentang perkembangan industri filem di Italia ini diakhiri dengan dirubuhkannya bangunan Cinema Paradiso di saat Salvatore pulang ke kampung halamannya untuk menghadiri pemakaman Alfredo. Tradisi menonton filem ke bioskop ternyata sudah tidak lagi seperti di masa kecil Salvatore, seting waktu pada masa ini memang sesuai dengan fakta di dunia pada saat itu, yaitu kemunculan televisi dan perkembangan radio telah menjadi musuh terbesar yang mematikan bagi industri perfileman di masa itu.

Dimensi Estetik

Tornatore cukup piawai dalam memunculkan simbol-simbol yang dapat menyampaikan pesan tertentu kepada penonton tanpa mengurangi fungsi estetiknya di dalam filem Cinema Paradiso. Berikut ini saya tampilkan hanya sebagian capture scene yang menurut saya memiliki simbol dan makna yang kuat yang juga memiliki fungsi estetik di dalam filem ini.

Capture 1

capture-paradiso1

Pendeta dengan loncengnya merupakan simbol yang sangat kuat menyampaikan pesan bahwa waktu itu institusi Gereja memang memiliki kekuasaan absolut, karena Gereja juga “menyaring” hal-hal yang boleh ditonton dan yang tidak ditonton oleh umatnya. Di samping itu kilauan cahaya yang berwarna biru di tengah kegelapan ruangan Cinema Paradiso adalah cahaya yang keluar dari ruang proyektor yang sedang memutarkan filem. Dari bagian ini kita juga menangkap pesan bahwa kira-kira pada saat itu memang institusi Gereja lah yang menjadi “matahari” bagi kehidupan masyarakat di Sisilia.

Capture 2

capture-paradiso2

Tempat keluar cahaya proyektor di dalam bioskop Cinema Paradiso berbentuk kepala singa yang sedang mengaum sehingga taringnya kelihatan, mengisyaratkan kepada penonton bahwa filem pada saat itu merupakan kekuatan baru yang cukup berpengaruh di masyarakat. Hal ini juga dapat diartikan bahwa absolutisme institusi Gereja pada saat itu telah mendapat saingan kekuatan baru. Kemudian, tepat di sisi kanan kepala singa itu terdapat sebuah jendela kecil tempat proyeksionis mengontrol pancaran cahaya proyektor yang diproduksi dari balik ruangan itu, dan di jendela kecil itu terlihat bagian muka Alfredo dari bagian mata sampai kumis. Tampilan muka Alfredo yang seperti ini memberikan kesan kuat bahwa Alfredo adalah “penguasa” bayangan yang memiliki pengaruh kuat karena dialah yang mengoperasikan proyektor yang nantinya akan memancarkan cahaya melalui kepala singa sehingga penonton hanyut terpaku ke dalam filem yang sedang mereka tonton.

Capture 3

capture-paradiso3

Capture ini merupakan gambar kepala singa yang sudah jatuh ke lantai gedung bioskop Cinema Paradiso dan dibalut oleh jarring laba-laba. Hal ini menjelaskan kepada penonton bahwa kepala singa yang dulunya pernah memiliki “kekuasaan” sekarang telah lemah tak berdaya. Scene ini terdapat di menit-menit terakhir filem Cinema Paradiso yang juga mengungkap fakta bahwa industry filem di Italia, khususnya di Sisilia telah mati karena kemunculan televisi dan perkembangan radio sehingga menyebabkan orang malas beranjak dari tempat tinggalnya menuju bioskop.

Capture 4

capture-paradiso4b capture-paradiso4a capture-paradiso4c

Di samping banyaknya dimensi estetik yang terdapat dari simbol-simbol yang diberikan Tornatore di dalam filem ini, ternyata secara tidak langsung Tornatore juga memberikan fakta dan edukasi menyangkut perkembangan teknologi di dalam industri filem pada saat itu. Hal ini diketahui dari kebakaran kecil yang terjadi di rumah si Toto kecil dan kebakaran di bioskop Cinema Paradiso yang disebabkan oleh seluloid dari negatif filem yang akan diputar sampai pada shot close up yang memperlihatkan negatif filem yang tidak sensitive terhadap api.

Demikianlah beberapa capture dari filem Cinema Paradiso yang menurut saya memiliki simbol yang kuat tanpa mengurangi kepentingan estetik dalam bangun keseluruhan filem tersebut.

Dimensi Tekhnik

Di dalam filem Cinema Paradiso terdapat banyak  close up dari beberapa tokoh yang memberikan tanda bahwa tokoh tersebut sangat berperan dan menjadi sentral dalam cerita yang dibangun. Misalnya close up pendeta sebagai simbol absolutisme gereja, close up Toto yang sedang mengintip sensor filem dari balik tirai bioskop.

Kebanyakan dialog yang melibatkan Salvatore (Toto) dan Alfredo. Tokoh-tokoh lainnya yang berdialog dengan salah satu dari kedua tokoh di atas rata-rata mendapatkan shot close up. Menurut saya hal ini sengaja dilakukan oleh Tornatore untuk memberikan perbedaan karakter yang jelas sehingga penonton tanpa sadar bisa langsung mengikuti alur cerita yang sedang dibangun dari percakapan-percakapan yang terjadi. Di samping itu, menurut saya Tornatore juga ingin menyampaikan pesan bahwa walaupun Salvatore (Toto) dan Alfredo merupakan tokoh sentral dari filem cerita ini, namun keberadaan orang-orang tertentu yang mendapatkan close up juga merupakan salah satu faktor penting di dalam pembangunan karakter kedua tokoh sentral itu dan juga di dalam pembangunan cerita di dalam filem ini.

Beberapa shot dengan tekhnik pengambilan bird eye juga terdapat di dalam file mini, terutama shot-shot yang menampilkan alun-alun kota. Saya berpendapat bahwa Tornatore sengaja melakukan ini untuk memberikan kesan latar tempat yang kuat bahwa alun-alun kota menjadi seting latar tempat yang penting, karena di sanalah terdapat gedung bioskop Cinema Paradiso, yaitu sebuah tempat yang menjadi sejarah di dalam kehidupan masyarakat Sisilia pada masa itu dan telah menjadi saksi dari banyak kejadian dan perubahan-perubahan sosial, masyarakat, dan individu yang berada di sekitarnya, termasuk perubahan kota Sisilia itu sendiri.

Kesimpulan

Filem cerita Cinema Paradiso karya Giuseppe Tornatore merupakan salah satu filem cerita penting, tidak hanya bagi industri filem Italia, tetapi juga bagi perkembangan industri filem di dunia. Filem ini bisa dibilang sebagai salah satu penanda sejarah di dalam perkembangan industri filem dunia.

Filem yang berdurasi selama 2 jam 3 menit dan 48 detik ini tidak hanya memberikan kita informasi tentang satu hal, tetapi di dalamnya penonton juga dapat mendapat banyak gambaran tentang dinamika kehidupan sosial dan masyarakat yang menjadi latar tempat dan waktu di dalam filem ini. Tidak hanya tambahan pengetahuan tentang dinamika kehidupan sosial dan masyarakat yang diperoleh penonton ketika menonton filem ini, tetapi filem ini juga memberikan edukasi kepada para pecinta filem tentang sensitifitas seluloid terhadap api yang bisa menjadi malapetaka, sampai pada perkembangan teknologi di dalam industri filem di dunia yang berhasil menemukan bahan yang lebih aman terhadap api yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan negatif filem.

Jika diibaratkan sebagai sebuah lotere, maka filem ini merupakan hadiah berupa paket kombo bagi para penikmat filem dan mereka yang akan memulai studi tentang filem. Saya berpendapat demikian karena file mini dibanjiri dengan tiga dimensi yang menjadi aspek utama di dalam sebuah filem, yaitu dimensi tekhnik, dimensi estetik, dan dimensi kultural. Banyak bagian yang bisa dijadikan contoh dari masing-masing dimensi tersebut di dalam file mini.

Aspek sinematografis yang tidak kalah pentingnya di dalam sebuah filem juga diramu dengan sedemikian rupa oleh Tornatore sehingga terjadi peleburan yang halus antara aspek sinematografis dengan bangun cerita dari filem ini. Hal ini berarti kepuasan penonton, baik yang menyatakan diri hanya sebagai penikmat filem, maupun yang menyatakan diri sebagai pengamat, penggiat, dan pembelajar filem merupakan garansi yang diberikan oleh Tornatore.

Filem Cinema Paradiso juga mengandung aspek naratif yang sangat kuat. Dari scene pembuka sampai scene penutup, penonton mendapatkan banyak hal terkait sosial, budaya, dan masyarakat pada saat itu tanpa harus bersusah payah merangkai cerita antara scene yang satu dengan scene yang lainnya. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, filem Cinema Paradiso karya Tornatore ini merupakan paket kombo bagi para pecinta filem. Banyak hal didapat, seperti: kepuasan, kesenangan, edukasi, dan informasi dalam satu paket yang bernama Cinema Paradiso.

Seperti judulnya, Cinema Paradiso benar-benar memberikan paradiso kepada para penontonnya dan sekaligus meunjukkan kepada penonton betapa cinema (filem) benar-benar merupakan sebuah paradiso (surga) bagi masyarakat Sisilia yang pada saat itu masih dikuasai oleh dogma dan kuasa dari institusi Gereja yang telah menjanjikan bentuk paradiso lainnya yang bersifat imajiner kepada mereka yang taat kepada Gereja.

Bibliografi

Sumarno, Marselli, (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

http://www.netcomuk.co.uk/-media/CinePara.html , diunduh pada tanggal 23 Oktober 2012 pada pukul 23.21.

 

Simbolisasi Negatif terhadap Islam sebagai Fenomena Perkotaan di Belanda

Dalam pemahaman Barthes, teks yang tediri dari deretan huruf-huruf dipandang sebagai bentuk. Teks diibaratkan sesiung bawang yang dapat dikupas hingga ke lapisan paling akhir. Ketika sampai pada lapisan terakhir, bawangnya sendiri sudah tidak ada. Karena memahami teks dengan analogi bawang tadi, maka teks tak memiliki kesatuan dalam pengertian esensial. Dengan menganggap teks sebagai “yang dapat berbicara sendiri”, terjadi kecenderungan untuk menghilangkan subjek (pengarang).

Istilah semiologi pertama kali dikenalkan oleh Ferdinand de Saussure . Definisi umum semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda dan penanda. Mitos termasuk dalam wilayah semiologi karena mitos merupakan tipe wicara yang membahas mengenai tanda. Ferdinand de Saussure memiliki dua istilah dalam semiologi yaitu signifiant (penanda) dan signifié (petanda/ yang ditandakan). Petanda adalah konsep sedangkan penanda adalah gambaran akustik. Hubungan antara penanda dan petanda bukanlah kesamaan melainkan bersifat ekuivalen. Bukan yang satu membawa yang lain, tetapi korelasi yang menyatukan keduanya [Hawkes 1977: 22].

Berdasarkan Semiologi yang telah dirumuskan oleh Saussure, Barthes kemudian mengembangkannya. Menurut Barthes , dalam semiologi terdapat tiga istilah: penanda, petanda, dan tanda (sign). Ketiganya memiliki implikasi fungsional yang erat dan berperan penting dalam menganalisis mitos sebagai bentuk semiologi. Mitos terbentuk berdasarkan tiga istilah itu, namun mitos adalah suatu sistem khusus yang terbangun dari serangkaian rantai semiologis yang ada sebelumnya. Mitos adalah sistem semiologis tingkat kedua. Tanda pada sistem pertama menjadi penanda pada sistem kedua. Dengan kata lain, mitos adalah penandaan tingkat kedua.

Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi [Hoed 2011 :45—49]. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi

Analisis

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, yang dikembangkan Barthes adalah konotasi dengan berdasar pada konsep de Saussure tentang signifiant-signifié. Jika menurut de Saussure, bahasa bersifat statis, misalnya ‘Islam’ memiliki makna ‘sebuah agama samawi dari Asia Barat’. Hal demikian disebut Barthes sebagai primary sign yang didapatkan melalui relasi (R) expression (signifiant/penanda) dan content (signifié/petanda). Primary sign merupakan R1 yang menghasilkan makna denotasi. Barthes memaparkan bahwa baik expression (E) maupun content (C) masih dapat dikembangkan. Jika segi E yang dikembangkan maka yang berlaku adalah hubungan sinonim atau metabahasa, misalnya mengganti kata ‘Islam’ dengan ‘Muslim’. Dalam menjelaskan teori konotasi-nya, Barthes lebih menekankan pengembangan pada segi C. Kata ‘Islam’ setelah mengalami pengembangan content dapat bermakna “orang-orang di Belanda Barat yang beragama Islam yang terdiskriminasi”, “etnis yang eklusif”, “etnis yang mengancam keamanan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar yang berlaku di Belanda”. Makna-makna tersebut disebut makna konotasi. Maka konotasi akan sangat bergantung pada bagaimana seseorang pemakai bahasa menilai suatu kata. Makna “orang-orang yang didiskriminasi” mungkin hanya berlaku di kalangan aktivis pembela hak-hak azasi manusia.

Makna konotasi dalam perkembangannya dapat berubah menjadi makna denotasi. Jika makna kata ‘Islam’ memiliki konotasi ‘orang-orang yang mulai mendominasi politik dan perekonomian di Belanda yang mulai menjadi ancaman bagi warga negara asli Belanda’ dan makna itu diyakini secara umum dan telah dianggap wajar dalam suatu masyarakat meskipun bertentangan dengan kenyataan maka makna “etnis yang mulai mendominasi politik dan perekonomian di Belanda yang mulai menjadi ancaman bagi warga negara asli Belanda” menjadi sebuah mitos. Jika mitos semakin intens dan kuat diyakini oleh suatu masyarakat tertentu, maka mitos pun dapat berubah menjadi ideologi, dan kemudian ideologi ini menjadikan Islam sebagai simbol dari suatu hal yang bersifat ancaman dan berdampak negatif bagi warga negara asli Belanda.

Dalam mitos, konstruksi penandaan pertama adalah bahasa/teks[1]/sistem denotasi sedangkan yang kedua disebut Barthes sebagai metabahasa / sistem konotasi. Bagan dan contoh lain di bawah ini dapat membantu dalam memahami semiologi Barthes.

 

 

 

Mitos

Bahasa
  1. Penanda (Islam)
  2. Petanda ( Islam sebagai simbol kehidupan multikultur di Belanda)
 

 

 

 

   
  1. Tanda

I.Bentuk (Islam sebagai simbol kehidupan multikultur di Belanda)

  II. Konsep/ Petanda”(Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda)
    III. Pemaknaan / Tanda “ (Islam menjadi “ancaman” bagi warga pribumi Belanda)  

 

Berdasarkan contoh yang telah diberikan melalui bagan di atas, dengan bentuk dan konsep, yaitu Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda, maka pemaknaannya adalah Islam merupakan ancaman bagi warga pribumi Belanda. Dengan demikian, Islam di Belanda menjadi simbol masalah di Belanda.

Perkembangan Islam dari awal dengan damai yang telah memberikan makna positif di dalam kehidupan bermasyarakat Belanda yang lambat laun berubah menjadi simbol keberagaman kehidupan bermasyarakat di sana (masyarakat multikultur di Belanda) ternyata memasuki babak baru pada saat ini. Dengan teori mitos dan mitologi Rolland Barthes, kita bisa sama-sama menelusuri proses perubahan pandangan dan pemaknaan masyarakat Belanda terhadap Islam.

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, selain simbol positif yang terdapat di dalam Islam terkait dengan kehidupan masyarakat yang multikultur di Belanda, pergerakan kehidupan bermasyarakat di Belanda ternyata menimbulkan pandangan dan pemaknaan baru yang bersifat negatif mengenai Islam. Dimulai dari pertikaian internal antara masyarakat Belanda keturunan Turki dan Marokko yang cukup mengganggu ketentraman kehidupan bermasyarakat sampai pada beberapa kasus pembunuhan terhadap publik figur Belanda yang memiliki pandangan ekstrim terhadap Islam.

Keadaan seperti ini menimbulkan aksi-aksi menentang Islam di Belanda, dan kelompok ekstrim kanan yang sangat chauvinistis banyak melakukan propaganda yang bersifat diskriminatif terhadap umat Muslim di Belanda. Salah satu aksi diskriminatif yang paling terkenal adalah ditampilkannya filem pendek berjudul Fitna oleh Geert Wilders yang berisi tentang propaganda betapa Islam adalah agama dengan ideologi dan ajaran yang sangat kejam dan barbar.

Popularitas Wilders setelah kemunculan filem pendek Fitna menjadikannya publik figur baru di Belanda yang sekarang menjadi politikus yang sangat berpengaruh di Belanda. Banyak keputusan-keputusan dan kebijakan yang dicetuskan oleh Wilders bersifat diskriminatif terhadap kaum pendatang, khususnya yang berasal dari negara dengan jumlah penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam. Aksi-aksi Wilders yang diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan politik ini dengan pasti menimbulkan suatu ketakutan terhadap kaum pendatang (xenophobia) dan juga ketakutan terhadap Islam (Islamophobia).

Jika ditelaah lebih dalam, kasus-kasus pembunuhan terhadap publik figur yang berpikiran ekstrim terhadap Islam itu bisa dimaknai sebagai beberapa bentuk reaksi terhadap pergeseran pandangan dan pemahaman terhadap Islam di Belanda. Aksi propaganda dan kebijakan-kebijakan publik yang bersifat diskriminatif terhadap Islam telah menimbulkan reaksi cukup ekstrim dari mereka yang merasa terdiskriminasi.

Kesimpulan

Di Belanda telah terjadi pergeseran pandangan dan pemaknaan terhadap Islam dan penganutnya (Muslim). Dari awal masuk dan berkembangnya Islam di Belanda yang berlangsung secara damai dan Islam berhasil menjadi bagian dari masyarakat Belanda yang memberikan dampak positif terhadap Belanda terkait dengan kehidupan masyarakat yang sangat multikultur menjadi suatu agama dan kelompok manusia yang ditakuti dan tidak dikehendaki keberadaannya karena mereka perlahan tapi pasti terlabeli sebagai simbol masalah di Belanda.

Banyak faktor yang berperan dalam pergeseran pandangan dan pemaknaan masyarakat Belanda terhadap Islam. Perbedaan nilai-nilai dasar yang dianut oleh Islam dengan masyarakat Belanda, kejahatan teroris internasional yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras, posisi strategis di dalam negeri Belanda yang pelan-pelan dilakoni oleh umat Muslim di Belanda, dan propaganda negatif tentang Islam oleh kelompok-kelompok ekstrim kanan Belanda memiliki andil yang sangat besar terhadap simbolisasi Islam sebagai suatu masalah di Belanda.

Proses simbolisasi Islam menjadi simbol masalah di Belanda dapat dijelaskan dengan bagan yang telah dijelaskan pada bagian analisis: dengan bentuk dan konsep, yaitu Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda, Kelompok Islam garis keras yang melakukan kejahatan teror internasional, perbedaan nilai-nilai dasar antara Islam dengan Belanda, dan konflik internal antara umat Muslim keturunan Turki dengan umat Muslim keturunan Marokko, maka pemaknaannya adalah Islam merupakan ancaman bagi masyarakat Belanda. Dengan demikian, Islam di Belanda menjadi simbol masalah di Belanda.

Bibliografi

Anonim. 2010. De Posistie van Moslims in Nederland: Feiten en Cijfers. Utrecht: FORUM-Instituut voor Multiculturele Vraagstukken.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. 1972. Denotation and Conotation. Element of Semiology. London: Jonatahan Cape.

———————. 2006. Mitologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Geuijen, C.H.M. 1998. Werken aan Ontwikkelingsvraagstukken Multiculturalisme. Utrecht: Lema  BV.

Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. California: University of California Press.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Yogyakarta: Indonesiatera.

http://www.dakhorst.nl/dossiers/islam/gastarbeiders.htm diunduh pada tanggal 19 Desember 2012.



[1] Pada tulisan ini yang menjadi “teks” adalah Islam, bukan sekedar tanda bahasa pada tataran linguistik.

Pembagian Wilayah Negara Belgia (bagian 2)

Seperti yang terjadi pada hampir seluruh daratan Eropa, de Nederlanden[1] juga tidak luput dari kekuasan Julius Caesar. Kerajaan Romawi ini melakukan ekspansi besar-besaran ke hampir seluruh daratan Eropa untuk menularkan ide demokrasi dan sistem perpajakan dalam sistem pemerintahan. Caesar melakukan ekspansi ini dengan menggunakan pendekatan yang sangat kultural, yaitu dengan menggunakan bahasa daerah tersebut dalam melakukan aksinya. Dengan kata lain, rumpun bahasa Germania yang menjadi bahasa pada kawasan de Nederlanden tidak dijadikan hal yang harus “diseragamkan” oleh Caesar dalam melancarkan aksinya.

Metode ini ternyata sangat efektif, karena ekspansi oleh Roma tidak menjadi sangat berat karena tidak melukai perasaan pribumi dengan tidak menggunakan politik bahasa yang bersifat chauvinis, artinya bahasa kaum yang berkuasa tidak menjadi isu utama yang harus disebarkan ke daerah jajahan. Caesar justru mengeluarkan kebijakan untuk tetap menggunakan bahasa setempat untuk menyebarluaskan ide demokrasi dan perpajakan dalam pemerintahan pada 17 provinsi yang termasuk ke dalam wilayah de Nederlanden.

Pada masa 1560 – 1650, tampuk kekuasaan di wilayah Nederlanden pindah ke tangan Spanyol. Sedikit berbeda dengan misi ekspansi yang dilakukan oleh Ceasar, Spanyol melakukan ekspansi untuk menyebarkan ajaran Katolik dan hal-hal yang terkait dengan ke-Gerejaan. Berbeda dengan politik bahasa yang dilakukan oleh Caesar, Spanyol menggunakan politik bahasa yang bersifat chauvinis, artinya daerah jajahan Spanyol saat itu harus menggunakan bahasa Spanyol sebagai linguafranca. Jadi, Spanyol menyebarkan ajaran Katolik, menyeragamkan Gereja-gereja yang terdapat di 17 provinsi yang termasuk ke dalam wilayah de Nederlanden, dan juga melancarkan politik bahasa yang bersifat chauvinis.

Misi ekspansi Spanyol ke wilayah de Nederlanden yang sangat berbeda dengan misi ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Romawi tenyata menyulut rasa sakit hati yang cukup mendalam di kalangan pribumi saat itu. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena Spanyol datang dengan misi yang sangat mengintervensi akar-akar budaya masyarakat pribumi, yaitu penyeragaman kepercayaan dan bahasa.

Pada wilayah de Nederlanden bagian Utara, rasa sakit hati ini bermuara pada pemberontakan pada tahun 1568 – 1648. Pemberontakan ini terkenal dengan nama de tachtigjarige oorlog (perang delapan puluh tahun) yang diprakarsai oleh Willem van Oranje. Pemberontakan ini memberikan hasil yang sangat memuaskan bagi para pribumi, karena kekuasaan Spanyol bisa dikalahkan. Oleh karena itu, Willem van Oranje juga dipilih sebagai pemimpin dan Calvinis dipilih sebagai agama satu-satunya yang mereka imani. Willem van Oranje pada awalnya hanya menguasai wilayah Nederlanden yang berada di sebelah Utara, namun perlahan tapi pasti ia juga mulai melakukan ekspansi ke bagian Selatan, sampai pada kota Brussel dan wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan de taalgrens. Pada akhir abad ke-16, di tahun 80-an wilayah de Nederlanden terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Utara yang menganut agama Calvinis, dan bagian Selatan sampai wilayah de taalgrens yang menganut agama Katolik.

Hal yang perlu di garis bawahi dari ulasan singkat tentang sejarah Belgia yang dahulunya merupakan bagian dari de Nederlanden adalah perluasan kekuasaan Willem van Oranje ke bagian Selatan yang di dalamnya termasuk kota Brussel. Perlu dicermati, pemberontakan yang muncul pada wilayah bagian Utara dari de Nedelanden ini dipicu oleh rasa nasionalisme yang tinggi dan sangat terkait dengan hal-hal yang bersifat kebudayaan, yaitu mepertahankan bahasa dan agama. Brussel yang saat itu juga sudah menjadi ibu kota de Nederlanden akhirnya juga mulai menggunakan bahasa Germania (bahasa Belanda) dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Spanyol akhirnya menetapkan prioritasnya di Eropa Barat terkait dengan situasi pasca masa pemberontakan. Spanyol menetapkan bahwa mereka hanya akan keras terhadap urusan kepercayaan (agama). Dengan kata lain, dalam urusan bahasa Spanyol akan bersikap lebih fleksibel. Bahkan di kota Brussel – tempat bermukimnya para Gubernur dan pusat pemerintahan – Spanyol tidak lagi memaksakan bahasa dari rumpun bahasa Roman yang di dalamnya juga terdapat bahasa Prancis.

Dalam sisa-sisa masa pemerintahannya, Spanyol tetap mempertahankan penggunaan tradisi Burgondia dengan senantiasa berkomunikasi dalam bahasa Prancis dalam urusan pemerintahan, birokrasi, dan administrasi. Penggunaan bahasa Prancis dalam segala urusan formal pada masa itu bukanlah hal yang mengejutkan karena ternyata bahasa Prancis memang sudah menjadi bahasa yang digunakan sebagai bahasa formal dalam urusan resmi pada hampir sebagian besar wilayah daratan Eropa setelah masa kekuasaan Kerajaan Romawi berakhir. Budaya-budaya Burgondia, yang di dalamnya terdapat bahasa Prancis, merupakan simbol status sosial pada masa setelah kekuasaan Kerajaan Romawi, dan identitas sosial masyarakat kelas atas identik dengan kemampuannya dalam baca-tulis dalam bahasa Prancis.

Bahasa Belanda hanya mendapat tempat di bagian Utara de Nederlanden – daerah Flandria dan Brabant – pada kalangan tertentu, hal ini dapat dilihat dari terjemahan alkitab dalam bahasa Belanda yang terdapat di kawasan de Nederlanden bagian Utara. Sementara itu, kawasan de Nederlanden bagian Selatan – yang masih dikuasai oleh Spanyol – tetap menggunakan bahasa Prancis dalam level pemerintahan.

Sekolah dasar menggunakan bahasa atau dialek setempat. Namun, anak-anak yang memiliki status sosial tinggi dan memiliki orang tua yang kaya akan menjalankan pendidikan privat, dengan tambahan biaya untuk pelajaran memasak, berhitung, dan pelajaran bahasa Prancis. Dari fakta ini dapat dibuktikan bahwa memang sudah sejak masa pendudukan Spanyol bahasa Prancis merupakan bahasa kalangan atas dan siapapun yang bisa baca-tulis dalam bahasa Prancis akan dipandang mulia pada masa itu, karena terkait dengan status sosial keluarga mereka di dalam masyarakat.

Sementara itu, pendidikan lanjutan diberikan dalam bahasa Latin. Hal ini merupakan dampak lanjutan dari aliran Humanisme pada abad ke-16. Kontrareformasi[2] memberikan dampak tumbuh dan menjamurnya sekolah-sekolah Katolik untuk anak muda. Hal ini terjadi dalam rangka menjaga agar ide reformasi dan pemberontakan dari wilayah de Nederlanden bagian Utara tidak sampai menjadikan generasi muda pada wilayah de Nederlanden bagian Selatan menganut agama Calvinis. Hal yang sudah sangat jelas dari tumbuh dan menjamurnya sekolah-sekolah Katolik adalah penggunaan bahasa Latin yang semakin mendapatkan tempat dalam ranah pendidikan. Kemudian, bahasa lokal dianggap tabu oleh sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Latin.

Kekalahan Spanyol dalam pemberontakan yang terjadi di de Nederlanden bagian Utara bukan tanpa sebab, Spanyol yang dalam masa ini juga sedang berperang melawan kerajaan Prancis harus membagi kekuatan dalam setiap pertempuran yang terjadi pada masa itu.

Prancis akhirnya bisa menaklukkan kekuasaan Spanyol, dan pada tahun 1769 – 1821, dan Napoleon Bonaparte akhirnya menguasai wilayah yang dahulunya merupakan kekuasaan Spanyol. Pada masa kekuasaannya di de Nederlanden, Bonaparte mengeluarkan Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang di dalamnya menyatakan kesetaraan masyarakat di mata hukum, dan mendirikan negara modern. Negara modern ala Bonaparte ini diwujudkan dengan mengganti semua aturan perpajakan, mewajibkan registrasi kelahiran (pengeluaran akte kelahiran), registrasi perkawinan (pengeluaran akte nikah), dan registrasi kematian (pengeluaran akte kematian).

Namun kemudian, perlahan tapi pasti kekuasaan Bonaparte terasa menjadi semakin absolut. Hal ini terasa dalam hal penggunaan bahasa di Gereja-gereja dan sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Latin. Tanpa terasa Bonaparte melakukan verfransing (mewajibkan bahasa Perancis di setiap wilayah taklukannya, termasuk kawasan de Nederlanden). Namun situasi ini tidak berlangsung lama, karena kejatuhan kekuasaan Bonaparte yang ditaklukkan oleh Raja Willem I menghentikan proses verfransing ini.

Pada masa kekuasaan Willem I, semua sekolah, universitas, dan kegiatan-kegiatan pemerintahan diwajibkan menggunakan bahasa Belanda. Seperti Bonaparte yang melakukan verfransing, Willem I melakukan vernederlandsing (mewajibkan penggunaan bahasa Belanda di dalam setiap kawasan taklukkannya). Universitas-universitas, dan sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Prancis, pada masa kekuasaan Willem I berubah menjadi tempat-tempat yang diwajibkan berbahasa Beanda.

Tahun 1970 adalah momentum yang sangat bersejarah bagi negara Belgia, terutama terkait dengan pembagian wilayah negara berdasarkan diversitas bahasa yang diakui. Di tahun ini diresmikanlah garis batas bahasa (Taalgrens) yang membagi wilayah Belgia ke dalam beberapa bagian berdasarkan bahasa utama yang diakui di wilayah tersebut:

  1. Vlaanderen (Flandria): kawasan sebelah Utara Belgia dengan bahasa Belanda Flemish,
  2. Wallonië (Walonia): kawasan sebelah Selatan Belgia dengan bahasa Prancis,
  3. Oost-België (Belgia Timur): kawasan sebelah Timur Belgia dengan bahasa Jerman.

Taalgrens atau garis batas bahasa ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara. Selain membagi Belgia ke dalam 3 kawasan berdasarkan bahasa yang diakui pada masing-masing wilayah, Taalgrens juga mengatur situasi kebahasaan kota Brussel (ibu kota Belgia) menjadi kota dwibahasa. Jadi, bahasa Belanda dan bahasa Prancis adalah dua bahasa resmi yang diakui di kota Brussel.



[1] Kawasan tanah rendah yang berada di sebelah Barat benua Eropa dan terdiri dari 17 provinsi. Saat ini Kawasan tersebut dikenal dengan nama Benelux: Belgium, Netherlands, and Luxemburg. 17 provinsi tersebut adalah: Graafschap Artesië, Graafschap Vlaanderen, Kasselrijen Rijsel, Dowaai dan Orchies (kadang-kadang juga disebut Rijsels-Vlaanderen), Heerlijkheid Mechelen, Graafschap Namen, Graafschap Henegouwen, Graafschap Zeeland, Graafschap Holland, Hertogdom Brabant dan Markgraafschap Antwerpen, Hertogdom Limburg dan de Landen van Overmaas, Hertogdom Luxemburg, Heerlijkheid Friesland, Doornik dan het Doornikse, Heerlijkheid Utrecht, Heerlijkheid Overijssel, termasuk Drenthe, Lingen, Wedde dan Westwoldingerland, Heerlijkheid Groningen, Hertogdom Gelre dan Graafschap Zutphen.

[2] Bentuk perlawanan dari masyarakat bagian Selatan de Nederlanden dalam menyikapi kemenangan pemberontakan yang dilakukan oleh Willem van Oranje pada wilayah de Nederlanden bagian Utara.

Sumber utama: Raskin, Brigitte. De Taalgrens. 2012

Stamboom/Silsilah Raja dan Ratu Belanda

 

 

 

 

 

 

 

 

Berikut ini adalah stamboom/silsilah keturunan raja-raja dan ratu-ratu Kerajaan Belanda:

De stamboom van de Nederlandse Koninkrijk

De stamboom van de Nederlandse Koninkrijk

Keterangan:

Berikut ini merupakan masa hidup raja-raja, ratu-ratu, dan calon raja dan ratu Kerajaan Belanda berikutnya.

1772 – 1843         : Raja Willem I

1792 – 1849         : Raja Willem II

1817 – 1890         : Raja Willem III

1858 – 1934         : Ratu Emma

1880 – 1962         : Ratu Wilhelmina

1909 – 2004         : Ratu Juliana

1938                       : Ratu Beatrix

1967                       : Pangeran Willem-Alexander (pada tanggal 30 April 2013 ia akan menggantikan Beatrix dan akan menjadi Raja Kerajaan Belanda berikutnya)

2003                       : Putri Mahkota Catharina-Amalia

 

Sumber: NRC-Handelsblad, 2013

Review buku: “Modern Turkey: People, State and Foreign Policy in a Globalized World”

Judul buku          : Modern Turkey: People, State and Foreign Policy in a Globalized World

Penulis                    : Bill Park

Penerbit/tahun : Routledge/2012

Bagian                      : 4. Turkey’s Europeanization: A journey without an arrival?

 

Turki yang perlahan namun pasti bergerak ke arah kehidupan yang bersifat modern setelah periode Perang Dunia II ternyata tidak diimbangi dengan perkembangan demokratisasi politik. Perkembangan pesat di bidang ekonomi dan teknologi membuat Turki telah memiliki identitas Eropa yang sesungguhnya.

Tidak hanya kealpaan perkembangan demokratisasi politik di dalam negeri, tetapi Turki juga dianggap masih kurang dalam memaknai dan menerapkan pelaksanaan Hak Azasi Manusia yang merupakan salah satu syarat mendasar untuk dapat diterima sebagai negara anggota Uni Eropa. Oleh sebab itulah Turki yang menganggap dirinya sebagai negara yang telah berangsur-angsur ke arah demokrasi yang sesungguhnya ternyata “dikalahkan” oleh negara-negara Eropa lainnya yang bisa dengan cepat menjadi negara anggota Uni Eropa walaupun negara-negara tersebut  telah lebih dari tiga dasawarsa dikungkung oleh ideologi komunis.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Turki membutuhkan waktu dan usaha yang lebih banyak untuk dapat menjadi bagian negara anggota Uni Eropa. Hal ini didasari oleh pendapat bahwa secara historis dan religiusitas Turki memiliki akar yang sangat berbeda dengan negara-negara di daratan Eropa secara keseluruhan. Negara-negara Eropa lainnya memiliki sejarah kebudayaan yang sama-sama berakar dari kekaisaran Romawi, dan setelah itu diikuti oleh campur tangan Gereja yang memilik peran sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial dan masyarakat di negara-negara Eropa. Sementara itu, negara Turki yang berada berdampingan dengan negara-negara di daratan Eropa dengan histori Romawi dan Gereja tidak cukup banyak memiliki pengalaman historis dan religiusitas yang sama.

Tidak hanya di bidang latar belakang historis dan religiusitas, di bidang budaya lainnya – bahasa – Turki juga memiliki perbedaan cukup besar dengan negara-negara lainnya di daratan Eropa. Bahasa yang menjadi bahasa nasional dan bahasa-bahasa yang dijadikan bahasa resmi di dalam Uni Eropa adalah bahasa-bahasa yang berasal dari tiga rumpun bahasa, yaitu rumpun bahasa Germania, rumpun bahasa Romans, dan rumpun bahasa Slavia. Sementara itu Turki memiliki bahasa yang tidak bersumber dari salah satu dari tiga rumpun bahasa di atas.

Jika kita berbicara tentang identitas suatu negara, maka faktor historis, religiusitas, dan bahasa yang merupakan bagian inti dati sebuah kebudayaan, maka secara kasat mata kita bisa meraba bahwa sebenarnya Turki memang tidak memiliki “identitas” Eropa yang sesungguhnya.

Namun demikian, ada hal yang membuat Turki merasa telah memiliki identitas Eropa dan dengan yakin merasa bahwa Turki bisa dengan mudah menjadi negara anggota Uni Eropa adalah ketika pada tahun 1995 Turki menandatangani kesepakatan pelaksanaan Custom Union dengan Uni Eropa. Namun kemudian, kekecewaan muncul dan pertanyaan besar bagi Turki telah menjadi isu dunia ketika negara-negara seperti: Polandia, Republik Ceko, Hungaria, Estonia, Slovenia, dan Cyprus yang sebagian besar merupakan negara-negara dengan akar komunis dengan mudah telah mendahului Turki menjadi negara anggota Uni Eropa. Dari kacamata Turki hal ini menjadi semakin buruk ketika Turki dihadapkan pada fakta bahwa negara-negara yang telah disebutkan di atas tidak satupun yang pernah menjadi bagian dari Custom Union Uni Eropa, sedangkan Turki telah menjadi bagian dari Uni Eropa melalui kesepakatan pada ranah ekonomi itu, tetapi tetap sampai sekarang Turki belum menjadi negara anggota Uni Eropa.

Turki dan Rezim Norma-Norma Internasional

Perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas merupakan nilai yang dijunjung Eropa. Walaupun sudah mengalami perkembangan yang besar dalam penandatanganan dan peratifikasian perjanjian hak azasi manusia internasional sejak pertama kali dicalonkan menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 1999 di Helsinki, Turki dianggap masih belum sepenuhnya menerapkan norma-norma hak azasi manusia dan hak-hak kaum minoritas.

Pada tahun 1995, Dewan Eropa membuka penandatanganan Framework Convention for the Protection of National Minorities, yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum minoritas adalah elemen yang tidak terpisahkan dalam perlindungan hak azasi manusia. Pada tahun 1998, konvensi ini mulai berlaku. Konvensi ini mendukung kehidupan kaum minoritas dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya, seperti agama, bahasa, tradisi, dan peninggalan budaya. Turki adalah salah satu dari empat negara anggota Dewan Eropa yang tidak menandatangani maupun meratifikasi konvensi ini.

Selain itu, Turki masih harus meratifikasi semua protokol Mahkamah Eropa untuk Hak Azasi Manusia. Turki juga merupakan satu-satunya anggota Dewan Eropa yang tidak menandatangani Statuta Roma Mahkamah Kriminal Internasional.

Walaupun Turki telah meratifikasi Pakta PBB mengenai Perjanjian Internasional dalam Hak Sipil dan Politik pada tahun 2006, Turki perlu memenuhi syarat dan kualifikasi peserta pakta tersebut. Salah satunya adalah dengan menyelaraskan pakta tersebut dengan Konstitusi Republik Turki dan Pakta Lausanne.

Berdasarkan Pakta Lausanne, hak kaum minoritas non Muslim (Yahudi, Yunani, dan Armenia) dalam hal bahasa, agama, dan hak budaya dilindungi. Namun, pada kenyataannya Turki dianggap belum sepenuhnya melindungi hak mereka. Hak kaum minoritas non Muslim, seperti komunitas Ortodoks Syria tidak termasuk yang dilindungi Pakta Lausanne. Selain itu, hak kaum minoritas Muslim, seperti Orang Kurdi, juga belum dilindungi, baik oleh Konstitusi Republik Turki, maupun Pakta Lausanne.

Laporan Perkembangan Turki Tahun 2009

Laporan Perkembangan Tahunan Turki yang dibuat oleh Komisi Eropa selalu menyatakan bahwa demokrasi di Turki perlu diperbaiki. Setelah sepuluh tahun sejak kuputusan di Helsinki tahun 1999, Laporan Perkembangan Turki secara garis besar menyatakan ada sedikit perkembangan pada pelaksanaan reformasi politik dan konstitusi di Turki. Namun demikian, penerapan demokrasi di Turki masih dianggap perlu diperbaiki.

Beberapa hal yang disorot:

–      Partai Sosial Demokratis pro Kurdi dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Turki.

–      Dewan Pemilihan Tertinggi Turki mengambil keputusan yang krusial pada menit-menit terakhir mengenai persyaratan dokumentasi untuk memilih dan pelarangan penggunaan jilbab bagi pengawas kotak pemilihan suara.

–      Pengadilan militer di Turki juga dianggap perlu dibenahi agar selaras dengan praktek yang berlaku di Uni Eropa.

Pada tahun 2009, Turki hendak menerapkan pengadilan sipil bagi anggota militer pada masa damai. Selanjutnya, kekuasaan pengadilan militer untuk mengadili warga sipil akan dihapuskan. Namun, pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi menolak hak

pengadilan sipil untuk mengadili anggota militer.

–      Pengawasan legislatif terhadap anggaran dan pengeluaran militer perlu diperketat.

–      Turki masih harus meratifikasi semua protokol Mahkamah Eropa untuk Hak Azasi Manusia.

–      Aturan hukum dianggap masih memberatkan wartawan, penulis, penerbit, politikus, dan akademisi.

–      Perlindungan terhadap hak kaum minoritas, seperti kaum non-Muslim, kelompok Alevi, perempuan, dan kaum minoritas lain perlu dsesuaikan dengan standar Uni Eropa.

–      Perlindungan terhadap hak dan kebebasan kaum Kurdi masih perlu ditegakkan.

Apakah Turki sedang Mengalami Eropanisasi?

Sejak awal berdiri, Turki telah mengarahkan dirinya ke Eropa. Seiring waktu, hubungan Turki dan Uni Eropa semakin dekat dan Turki semakin terintegrasi dengan Uni Eropa. Namun demikian, penerapan liberalisme, aturan hukum, toleransi, dan otonomi institusional di Turki masih dianggap belum stabil dan belum konsisten. Proses aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa hingga saat ini belum berhasil mengubah nilai-nilai elit politik di Turki yang masih penuh dengan nuansa otoritarianisme dan nepotisme.

Uni Eropa menjadi pusat yang mendasari reformasi di Turki. Namun, reformasi itu lebih karena adanya dorongan dari pihak eksternal, terutama dari Brussel. Dorongan ‘Eropanisasi’ dari internal Turki sendiri terlihat lemah. Pembuat kebijakan di Turki telah dengan cermat dan teliti memenuhi persyaratan Uni Eropa, namun mereka tetap terkesan tidak sungguh-sungguh dalam  melakukan tindakan dalam memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan oleh Uni Eropa.

Apa Akar Permasalahannya?

Penerapan demokrasi dan adaptasi norma-norma Eropa yang dilakukan Turki selalu mengalami kesulitan karena pihak yang berkuasa mempertahankan sistem pemerintahan yang birokratis, nasionalis, dan cenderung mendukung otoritarianisme. Hal ini berlawanan dengan internasionalisme liberal Eropa.

Demokrasi multi partai yang diterapkan Turki memberikan tempat kepada kelompok religius, provinsi, Kaum Kurdi, dan kelompok-kelompok lain di dunia politik, sosial, dan ekonomi. Evolusi politik Turki perlahan membuat kelompok politik Kemalis menjadi lemah, walaupun partai-partai Islam dan Kaum Kurdi masih mendapatkan kekangan. Melemahnya kelompok politik Kemalis menyebabkan militer turun tangan mempertahankan warisan Kemal. Hal ini justru menggangu perkembangan demokrasi di Turki.

Peran Militer

Dunia politik di Turki telah diwarnai dengan kudeta militer pada tahun 1960, 1971, dan 1980. Militer juga melakukan intervensi secara lebih halus pada tahun 1997. Keterlibatan militer pada ranah politik di Turki tidak memiliki pola yang konsisten, namun selalu didasari untuk mengembalikan Turki ke arah politik Kemal.

Militer Turki menganggap institusi mereka sebagai penjaga negara kesatuan Turki yang sekuler dan penjaga ideologi Kemalis. Namun, secara bersamaan, kelompok militer Turki sendiri menjaga institusinya independen dari gangguan pihak sipil.

Keterlibatan militer pada ranah politik di Turki yang seperti ini dan kondisi politik Turki yang tidak stabil menghambat upaya Eropanisasi Turki.

Budaya Politik

Terlepas dari intervensi militer di dalam ranah politik di Turki, penerapan demokrasi di Turki belum berjalan secara mulus. Baik politikus maupun rakyat memiliki andil dalam kegagalan demokrasi di Turki.

Politikus sering diasosiasikan dengan korupsi dan nepotisme. Pemerintahan yang berkuasa terdiri dari koalisi yang lemah dan masyarakat Turki telah mengalami berbagai kekacauan sejak demokrasi multi partai diterapkan.

Walaupun kaum terpelajar garis kiri semakin mempertanyakan peran militer di Turki sejak kudeta tahun 1971, masyarakat umumnya menganggap militer Turki lebih dapat dipercaya dan lebih bertanggung jawab dibandingkan politikus sipil. Mungkin hanya masyarakat yang beraliran politik sangat kiri, pro Kurdi, dan kelompok Islam yang tidak suka dengan peran militer di dunia politik Turki. Supremasi sipil terhadap militer dalam konsep demokrasi Turki belum dilihat penting oleh kelompok sipil.

Keraguan Eropa

Kapasitas dan keinginan Turki untuk mengadaptasi acquis Uni Eropa bukan satu-satunya syarat aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa. Turki masih harus menyelesaikan masalah yang terkait dengan Republik Turki Siprus Utara. Karakter Islam Turki juga mendapatkan tentangan dari berbagai oposisi Turki di Eropa, terutama oleh kelompok Demokrat Kristen Eropa.

Walaupun keberatan yang dikatakan sebagai penghambat aksesi Turki menjadi anggota Uni Eropa adalah demokrasi yang buruk, catatan pelanggaran hak azasi manusia, dan kondisi ekonomi yang lebih terbelakang. Eropa juga memiliki ketakutan tersendiri terhadap Turki, seperti mengenai imigrasi atau terorisme Islam. Pada dasarnya, negara dan masyarakat Turki tidak dilihat sebagai bagian Eropa.

Kesimpulan dan Opini

Uni Eropa secara resmi menyatakan bahwa demokrasi yang belum stabil, penegakan HAM yang masih setengah-setengah dan penanganan kasus-kasus yang terkait dengan HAM belum tuntas, serta perlindungan dan pengakuan terhadap kaum minoritas yang belum seutuhnya ditegakkan di Turki merupakan hal-hal yang menjadi penghalang bagi Turki untuk dapat bergabung sebagai anggota Uni Eropa. Anehnya, hal-hal yang disebutkan tadi tidak menjadi halangan bagi Turki untuk menjadi bagian dari negara-negara yang tergabung ke dalam Custom Union pada tahun 1995. Kejanggalan semakin terasa ketika negara-negara yang dulunya menganut ideologi komunis – yang sangat bertolak belakang dengan ideologi demokrasi – telah dengan mudah menjadi anggota Uni Eropa walaupun tidak satupun dari negara-negara tersebut yang pernah ikut berpartisipasi di dalam Custom Union sebelumnya.

Menurut saya, hal-hal yang diungkapkan pada paragraf di atas hanyalah basa-basi Uni Eropa untuk menunda status keanggotaan Turki menjadi anggota Uni Eropa, karena isu identitas dan pengalaman historis lah yang menurut saya menjadi sorotan utama Uni Eropa dalam menimbang-nimbang pemberian status keanggotaan kepada Turki.

Seperti yang telah saya jabarkan pada paragraf-paragraf awal dalam tulisan ini, perbedaan historis Turki dengan Eropa menjadikan Turki sebagai kelompok yang tidak mengantongi identitas dan ciri Eropa di mata Uni Eropa. Hal ini menjadi semakin buruk ketika pada masa-masa sekarang ini Islamophobia mulai menjadi momok terbesar di dalam kehidupan masyarakat di Eropa. Terkait dengan isu Islamophobia di Eropa, Turki bukanlah negara yang tidak dirugikan atas fakta ini, karena di mata Eropa pada umumnya Turki sangat identik dengan Islam. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah imigran asal Turki beragama Islam yang telah berketurunan di negara-negara Eropa lainnya dan sebagian dari mereka tercatat sebagai Muslim yang memiliki andil di dalam kekacauan dan kekerasan di dalam kehidupan sosial di Eropa.

Daftar Pustaka

Cini, Michele. (2010). European Union Politics. New York: Oxford University.

Karp, J.A., & Bowler, S. (2006). Broadening and deepening or broadening versus deepening: The question of enlargement and Europe’s “hesitant Europeans”. European Journal of Political Research, 45,

369-390.

Koenig, T., Mihelj, S., Downey, J., & Bek, M. G. (2006). Media framing of the issue of Turkish accession to the EU. A European or national process? Innovation: The European Journal of Social Science Research, 19, 149-169.

Lelieveldt, Herman & Princen, Sebastian. (2011). The Politics of The European Union, 2nd ed. New York: Cambridge University Press.

McLaren, L. (2007). Explaining opposition to Turkish membership of the EU. European Union Politics, 8, 251-278.

Jejak-jejak Pengaruh Gilde di Benelux dalam Bidang Sosial Budaya pada Awal Abad 21

Gilde adalah bentuk kerja sama para tukang/pengrajin dengan jenis produk yang bersifat homogen. Gilde dikembangkan oleh kelompok pedagang di Eropa Barat yang mulai muncul di masa awal abad pertengahan. Mereka mendiami sebuah pemukiman di dekat benteng kota, namun keberadaan mereka tidak termasuk ke dalam sistem feodal yang sudah ada waktu itu di kota tempat gilde berada. Namun demikian, keberadaan gilde ini memegang peranan penting di dalam sistem feodal yang ada terkait dengan hubungan antar kelas sosial masyarakat.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota dan kehidupan sosial pada masyarakat di Eropa Barat, maka peran gilde menjadi semakin penting demi terjaganya suplai barang-barang hasil produksi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat kelas menengah atas dan pertumbuhan infra-struktur pertumbuhan kota itu sendiri. Dengan demikian gilde termasuk ke dalam salah satu bagian kelompok masyarakat yang memegang peranan kunci dalam perkembangan kota pada paruh akhir abad pertengahan.

Dalam menyikapi situasi seperti ini, maka akhirnya kota-kota di Eropa waktu itu membentuk pemerintahan kota sebagai pemegang kekuasaan politik. Hal ini nantinya membedakan antara warga sebagai bagian dari suatu kota yang dipimpin oleh pemerintahan masing-masing dengan warga yang tergabung ke dalam suatu gilde, karena gilde juga memiliki hirarki kekuasaan tersendiri. Sementara itu, gilde menguasai sektor perdagangan dan ekonomi. Jadi, relasi antara pemerintah di setiap kota dengan gilde-gilde yang ada di masing-masing kota nantinya akan menentukan progres pertumbuhan kota dan peningkatan kesejahteraan kehidupan sosial masyarakat suatu kota.

Perkembangan Gilde

Pada sekitar abad ke-12, biasanya satu gilde terdiri merupakan sebuah cabang lengkap industri, misalnya pembuatan alas kaki. Namun di akhir abad ke- 12 dan selama abad ke-13 terjadi pembagian lebih spesifik dari aktifitas produk yang dihasilkan oleh suatu gilde. Oleh karena itu, dimulai dari abad ini semakin banyak bermunculan gilde yang lebih spesifik. Misalnya gilde yang khusus mengolah kulit hewan untuk dijadikan sepatu, gilde yang khusus memproduksi sol sepatu, gilde yang khusus memproduksi tali sepatu, dan sebagainya.

Pertumbuhan gilde yang semakin spesifik jenis produksinya disebabkan karena dua hal:

  1. Pertumbuhan kota yang cepat dan pertumbuhan jumlah masyarakat kota yang ikut meningkat menyebabkan gilde dengan pola lama (gilde yang merupakan cabang lengkap industri) dirasa tidak lagi efektif dalam memenuhi kebutuhan pesanan.
  2. Di dalam gilde pola lama mulai bermunculan orang-orang yang bekerja terpisah dalam mengerjakan bagian-bagian tertentu produk yang akan. Hal ini menyebabkan keberadaan alat produksi terpisah-pisah. Maka kemudian situasi ini akan lebih efektif apabila masing-masing gilde melakukan produksi bagian-bagian tertentu dari suatu produk utuh yang dipesan, misalnya gilde yang hanya mengolah kulit untuk dijadikan sepatu, gilde yang hanya memproduksi sol sepatu, dan lain sebagainya.

Fungsi Sosial Gilde

Pertumbuhan gilde yang cukup pesat dan langsung bersentuhan dengan masyarakat kota dari semua kelas sosial menyebabkan gilde perlahan tapi pasti memiliki peranan penting di dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat di kota-kota Benelux pada waktu itu.

Gilde-gilde yang ada pada saat itu bisa menjelma menjadi jaring pengaman sosial (social security system) bagi para anggotanya, dan kadang-kadang bagi masyarakat umum.

Aksi-aksi yang dilakukan oleh gilde yang berguna bagi kehidupan sosial masyarakat di Belanda:

  1. Penyelenggaraan upacara-upacara perayaan penobatan meester (tingkat paling tinggi di dalam struktur gilde) yang baru. Kegiatan ini merupakan kegiatan internal gilde yang efeknya memberikan fungsi sosial kepada masyarakat umum, karena pada kegiatan ini gilde menyediakan makanan dan minuman gratis bagi masyarakat sekitar.
  2. Donasi uang kepada gereja yang berada di sekitar gilde.
  3. Pembayaran biaya pemakaman anggota gilde yang meinggal dan nantinya diikuti dengan pembiayaan kehidupan janda-janda dan anak-anak yatim yang ditinggalkan.

Sementara itu, keuntungan-keuntungan khusus yang didapatkan sebagai anggota gilde adalah sebagai berikut:

  1. Pendidikan gratis untuk para putra meester yang mulai menurun kemampuan ekonominya.
  2. Jaminan kesehatan untuk anggota gilde yang sakit atau mengalami kecelakaan dalam pelaksanaan tugasnya.
  3. Apabila ada anggota yang kehilangan kekuatan ekonominya secara mendadak, misalnya setelah dirampok, maka gilde memberikan modal kepada orang itu untuk kembali membangun usahanya.
  4. Apabila ada orang asing yang menolak membayar sesuai dengan harga yang telah disepakati, maka gilde akan menagih utang orang tersebut kepada pemuka masyarakat kota tempat orang itu berasal.

Gilde-gilde yang ada pada masa ini memiliki pengaruh yang besar di dalam sistem pemerintahan kota-kota di Benelux. Sementara para anggota pemerintahan sibuk dengan usaha pertumbuhan kota melalui ekonomi dan perdagangan, maka gilde-gilde yang ada semakin memiliki kuasa untuk “mengatur” pola perkembangan yang ada di dalam pertumbuhan kota dan masyarakat pada waktu itu. Atas dasar inilah, maka banyak masyarakat Benelux pada waktu itu berlomba-lomba untuk masuk ke sekolah-sekolah[1] yang didirikan oleh gilde. Maka dari itu, sekolah-sekolah ini nantinya akan menjadi cikal bakal kemunculan sekolah-sekolah kejuruan yang ada di Benelux sebelum kemunculan universtias-universitas.

Jejak-jejak Pengaruh Gilde di Benelux pada Abad 21

I.                   Sistem Pendidikan di Belanda

Gambar 1

Nederlands_Onderwijs-schema
sumber: http://beroepskeuzeonline.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=59

Keterangan:

1. Warna ungu                            : pendidikan dasar

2. Warna hijau muda               : pendidikan lanjutan pertama

3. Warna biru muda                : pendidikan lanjutan atas

4. Warna kuning                       : pendidikan bidang keterampilan/kejuruan  lanjutan atas

5. Warna merah                        : pendidikan tinggi/universitas

Dari gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa Negara Belanda memiliki sistem pendidikan yang sangat tertata. Setelah lulus dari pendidikan dasar para siswa sudah bisa memilih kompetensi apa yang nantinya ingin diraih setelah lulus sekolah, dan hal ini sangat menentukan apakah siswa akan melanjutkan pendidikannya ke universitas atau ke sekolah tinggi kejuruan.

Menurut saya, sistem pendidikan di bidang keterampilan/kejuruan merupakan warisan dari sistem sekolah-sekolah yang didirikan oleh gilde di abad pertengahan. Jadi, generasi muda di Belanda tidak semuanya memiliki orientasi untuk melanjutkan pendidikan ke universitas, tetapi dari tingkat lanjutan pertama para siswa sudah diberikan kebebasan untuk memilih bidang mana nantinya yang ingin dikuasai apabila yang bersangkutan berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat yang paling tinggi. Dengan demikian, masyarakat Belanda memiliki fungsi yang jelas di dalam masyarakat dan di dalam dunia kerja ketika mereka telah menyelesaikan pendidikannya.

Maka dari itu, bukan hal yang aneh apabila di Belanda kita menemukan tukang cukur yang memiliki sertifikat kelulusan pendidikan sebagai tukang cukur dan piñata rambut, pedagang roti yang memiliki sertifikat kelulusan pendidikan tata boga dengan spesialisasi roti, makelar yang memiliki brevet dan sertifikat ahli di bidang makelar, tukang kebun yang memiliki sertifikat di bidang pengelolaan kebun, pengusaha restoran yang memiliki sertifikat keahlian dalam pengelolaan restoran, dan profesi lainnya.

II.                Sistem Perbankan di Benelux

Pertumbuhan dan perkembangan gilde di Benelux memberikan dampak yang cukup besar secara langsung terhadap perkembangan ekonomi pada saat itu. Hal ini menjadi alasan utam munculnya institusi ekonomi dan keuangan yang saat ini kita kenal dengan nama “bank”. Kegiatan transaksi yang tidak lagi menggunakan sistem barter, tetapi sudah mengenal sistem alat tukar (uang) memaksa kemunculan bank di Benelux.

Kegiatan transaksi tidak hanya di dalam kota, namun transaksi juga terjadi antar kota dan antar pulau. Seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa gilde-gilde yang ada dan semakin banyak jumlahnya mulai spesifik mengelola/memproduksi bagian-bagian tertentu dari suatu produk. Hal ini menyebabkan interaksi antar kota dan antar pulau semakin sering dalam upaya penyelesaian produksi suatu barang.

Kegiatan transaksi dalam jumlah besar dan dengan jumlah uang yang cukup banyak sangat rentan dengan perampokan yang biasanya terjadi di luar benteng (di luar kota, dalam perjalanan menuju kota atau pulau berikutnya untuk kepentingan transaksi). Maka dari itu, pada Abad ke-13 berdirilah sebuah bank di kota Gent (Belgia), London, Paris, dan Florence.

III.              Sistem Jaminan Sosial

Fungsi sosial gilde yang telah saya jelaskan pada halaman dua menjadi tiang berdirinya sistem jaminan sosial masyarakat di Benelux. Sistem asuransi warga negara di Belanda, Belgia, dan Luxemburg merupakan perkembangan dari fungsi sosial gilde di abad pertengahan.

Tidak hanya warga negara yang mendapatkan jaminan sosial, tetapi setiap warga asing yang ingin masuk ke negara di Benelux harus memenuhi banyak persyaratan dan salah satu persyaratan itu adalah memiliki asuransi jiwa dan kesehatan. Hal ini jelas merupakan pengaruh yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat di manapun di dunia, karena kesehatan adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya.

Jaminan kesejahteraan hidup warga negara di Benelux yang terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan pendidikan yang layak, jaminan kecelakaan kerja, tunjangan untuk pengangguran, tunjangan untuk warga miskin yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya, dan tunjangan hari tua (pension) yang ada pada saat ini merupakan bentuk penyempurnaan dari fungsi sosial gilde yang telah saya jelaskan pada halaman dua makalah ini.

IV.              Bangunan dan Seni Arsitektur

Banyak kota-kota di Eropa yang memiliki banyak bangunan-bangunan bersejarah memiliki seni arsitektur dengan nilai estetika yang sangat tinggi. Keberadaan bangunan-bangunan ini tidak lepas dari keberadaan gilde di masa lalu karena gilde tidak hanya melakukan aktifitas memproduksi suatu barang, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, gilde-gilde pada abad pertengahan juga berkembang pada sektor jasa, misalnya: ahli bangunan, tukang batu, tukang kayu (untuk dekorasi bangunan dan jendela), tukang kaca, dan sebagainya. Perkembangan keahlian gilde seperti ini sangat memegang peranan yang penting di dalam keberadaan bangunan-bangunan dan seni arsitektur yang melekat pada bangunan-bangunan tersebut yang berdiri megah pada saat ini di kota-kota di Benelux.

Bangunan-bangunan ini merupakan peninggalan budaya yang sangat penting karena berkaitan dengan sejarah dan identitas masyarakat suatu kota di Benelux, dan di benua Eropa pada umumnya.

Kesimpulan

Gilde yang mulai tumbuh di Benelux pada awal abad pertengahan dan semakin berkembang pada abad-abad berikutnya merupakan salah satu aspek terpenting dalam eksistensi dan identitas sosial dan budaya kota-kota dan masyarakat di Benelux.

Begitu banyak pengaruh jejak-jejak keberadaan gilde di Benelux yang memiliki nilai manfaat tinggi pada masa sekarang ini (abad ke-21). Keberadaan dan sistem sekolah yang ada di Belanda, Bank pertama yang ada di Gent, sistem jaminan sosial masyarakat, dan seni arsitektur bangunan di Benelux yang masih berdiri megah sampai saat ini merupakan beberapa warisan dari keberadaan gilde yang muncul di awal abad pertengahan di Benelux.

Melebihi dari apa yang telah saya sampaikan pada paragraf di atas, sejarah keberadaan gilde itu sendiri merupakan aspek budaya yang sangat penting bagi Eropa Barat, khususnya Benelux. Keberadaan gilde tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan budaya negara dan masyarakat Benelux, karena pertumbuhan kota yang diikuti dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan sistem sosial yang berlaku di dalam kota tersebut merupakan produk dari interaksi gilde yang mendiami suatu kota pada abad pertengahan.

Bibliografi

B. Tierney, S. Painter, (1983). Western Europe in the Middle Ages. New York: —

R. van Uyten, (1982). Stadsgeschiedenis in het Noorden en Zuiden. Haarlem: —

http://beroepskeuzeonline.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=59, diunduh pada tanggal 26 Oktober 2012, pukul 23.44 WIB.

http://kunst-en-kultuur.infonu.nl/geschiedenis/9099-de-gilde-een-vereniging-van-ambacht-en-werklieden.html, diunduh pada tanggal 27 oktober 2012, pukul 08.39 WIB.



[1] Demi menjaga kualitas barang hasil produksi, maka gilde mendirikan sekolah-sekolah untuk pendidikan bagi anggota baru yang nantinya akan mendapat pengakuan dari gilde untuk menguasai satu bidang usaha produksi produk tertentu atau kemahiran tertentu.

Islam dan Masyarakat Belanda pada Abad-21

Posisi Islam yang tumbuh subur dan mendapat tempat di Belanda pada abad ke-20, sampai akhirnya memiliki siaran radio sendiri di masa verzuiling menjadikan Islam sebagai salah satu elemen yang memiliki peran cukup penting di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda.

Kesuksesan pertumbuhan Islam di Belanda yang dibawa oleh para pekerja impor (imigran) dari Turki dan Marokko ikut memiliki andil dalam membentuk negara Belanda sebagai salah satu negara di dunia Barat, khususnya di benua Eropa yang sukses dalam penerapan multikulturalisme di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi, Islam memiliki peran cukup besar dalam menambah keberagaman budaya di negara Belanda.

Di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 jumlah pemeluk agama Islam di Belanda relatif meningkat. Di beberapa periode terjadi penurunan jumlah, tetapi tidak begitu signifikan. Data yang dikeluarkan oleh CBS (Centraal Buerau voor de Statistiek)[1] menunjukkan fluktuasi pergerakan peningkatan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda.

Tabel 1.1 pertumbuhan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda 1971-2009 dan prediksi sampai tahun 2050

Sumber: Centraal Bureau voor de Statistiek

Pertumbuhan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda juga diiringi dengan pertumbuhan fasilitas lainnya, seperti: sekolah-sekolah dasar dengan basis Islam, Mesjid-mesjid, dan lain sebagainya. Data dari CBS memperlihatkan di tahun 2006 telah terdapat 47 sekolah dasar berbasis Islam, di tahun 2001 telah terdapat dua sekolah lanjutan menengah, yaitu: Islamitisch College Amsterdam dan  Islamitische Scholengemeenschap Ibn Ghaldoun di Rotterdam.

Kegiatan-kegiatan keagamaan Islam yang identik dengan sesuatu yang bersifat komunal juga difasilitasi dan dijamin hak nya oleh Pemerintah Belanda. Tidak hanya itu, kebudayaan Islam yang menuntut kaum perempuan mengenakan pakaian yang hampir seperti jubah dengan menggunakan jilbab di bagian kepala juga tidak menjadi masalah dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda.

Namun demikian, kehidupan masyarakat Islam di Belanda tidak luput dari masalah-masalah yang memiliki potensi besar sebagai pemicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda. Pemeluk agama Islam di Belanda tidak hidup sebagai satu kesatuan umat Islam, mereka lebih terikat dengan budaya negara asal mereka. Dalam hal ini kelompok Islam dari Turki sering terlibat konflik dengan kelompok Islam yang berasal dari Marokko. Rumah-rumah ibadah (Mesjid) di Belanda pun terkesan lebih dibuat untuk menampung golongan-golongan Islam dari asal negara tertentu, misalnya kelompok Muslim Turki memiliki Mesjid yang khusus didatangi oleh warga negara keturunan Turki, begitu juga dengan kelompok Muslim asal Marokko.

Stigma negatif masyarakat Belanda terhadap warga negara keturunan Turki dan Marokko yang sempat bermasalah pada masa-masa paruh kedua abad ke-20 menambah pemicu yang mengakibatkan terjadinya konflik-konflik antar negara asal. Mereka (warga keturunan Turki dan Marokko) sering mendapat cap kriminal di Belanda, dan hal ini menimbulkan efek saling tuduh antara warga keturunan Turki dengan warga keturunan Marokko. Pertikaian-pertikaian seperti ini nantinya mulai menjadi pemicu ketidaknyamanan kehidupan bermasyarakat di Belanda.

Penerimaan masyarakat Belanda terhadap Islam dan imigran lainnya memberikan peluang bagi pemeluk agama Islam dan imigran di Belanda untuk aktif berkegiatan di segala aspek kehidupan. Tidak sedikit dari para imigran dan pemeluk agama Islam yang aktif dalam percaturan politik dan urusan kenegaraan di Belanda. Bukti konkritnya adalah Duta Besar Belanda untuk Indonesia saat ini adalah Tjeerd de Zwaan, seorang Muslim keturunan Marokko. De NMP (de Nederlandse Moslim Partij), merupakan partai politik yang masih aktif dan masih akan ikut dalam pemilu pada tanggal 13 Mei 2015. De NMP mengusung ideologi Islam dan aktif dalam upaya mengurangi jurang pemisah antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di Belanda.

Tidak hanya di bidang politik, bidang ekonomi juga digeluti oleh para imigran dan pemeluk Islam di Belanda. Tidak terdapat deskriminasi agama dalam segala aspek kehidupan di Belanda, hal ini menjadikan Belanda sebagai salah satu negara barat, khususnya di Eropa yang berhasil menerapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kesamarataan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda menjadikan Belanda sebagai salah satu negara favorit yang dijadikan tujuan oleh mereka yang ingin bermigrasi dalam rangka mewujudkan mimpi dan cita-cita. Hal ini dipermudah dengan keberadaan Uni Eropa dengan kesepakatan Schengen-nya. Keberadaan Schengen menjadikan arus imigrasi semakin besar jumlahnya, dan tanpa disadari, ternyata hal ini nantinya akan menjadi pemicu baru terkait isu-isu negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda.



[1] Centraal Bureau voor de Statistiek adalah sebuah institusi negara di Belanda yang fungsinya dapat dipadankan dengan Badan Pusat Statistik di Republik Indonesia.