Islam dan Masyarakat Belanda pada Abad-21

Posisi Islam yang tumbuh subur dan mendapat tempat di Belanda pada abad ke-20, sampai akhirnya memiliki siaran radio sendiri di masa verzuiling menjadikan Islam sebagai salah satu elemen yang memiliki peran cukup penting di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda.

Kesuksesan pertumbuhan Islam di Belanda yang dibawa oleh para pekerja impor (imigran) dari Turki dan Marokko ikut memiliki andil dalam membentuk negara Belanda sebagai salah satu negara di dunia Barat, khususnya di benua Eropa yang sukses dalam penerapan multikulturalisme di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi, Islam memiliki peran cukup besar dalam menambah keberagaman budaya di negara Belanda.

Di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 jumlah pemeluk agama Islam di Belanda relatif meningkat. Di beberapa periode terjadi penurunan jumlah, tetapi tidak begitu signifikan. Data yang dikeluarkan oleh CBS (Centraal Buerau voor de Statistiek)[1] menunjukkan fluktuasi pergerakan peningkatan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda.

Tabel 1.1 pertumbuhan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda 1971-2009 dan prediksi sampai tahun 2050

Sumber: Centraal Bureau voor de Statistiek

Pertumbuhan jumlah pemeluk agama Islam di Belanda juga diiringi dengan pertumbuhan fasilitas lainnya, seperti: sekolah-sekolah dasar dengan basis Islam, Mesjid-mesjid, dan lain sebagainya. Data dari CBS memperlihatkan di tahun 2006 telah terdapat 47 sekolah dasar berbasis Islam, di tahun 2001 telah terdapat dua sekolah lanjutan menengah, yaitu: Islamitisch College Amsterdam dan  Islamitische Scholengemeenschap Ibn Ghaldoun di Rotterdam.

Kegiatan-kegiatan keagamaan Islam yang identik dengan sesuatu yang bersifat komunal juga difasilitasi dan dijamin hak nya oleh Pemerintah Belanda. Tidak hanya itu, kebudayaan Islam yang menuntut kaum perempuan mengenakan pakaian yang hampir seperti jubah dengan menggunakan jilbab di bagian kepala juga tidak menjadi masalah dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda.

Namun demikian, kehidupan masyarakat Islam di Belanda tidak luput dari masalah-masalah yang memiliki potensi besar sebagai pemicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda. Pemeluk agama Islam di Belanda tidak hidup sebagai satu kesatuan umat Islam, mereka lebih terikat dengan budaya negara asal mereka. Dalam hal ini kelompok Islam dari Turki sering terlibat konflik dengan kelompok Islam yang berasal dari Marokko. Rumah-rumah ibadah (Mesjid) di Belanda pun terkesan lebih dibuat untuk menampung golongan-golongan Islam dari asal negara tertentu, misalnya kelompok Muslim Turki memiliki Mesjid yang khusus didatangi oleh warga negara keturunan Turki, begitu juga dengan kelompok Muslim asal Marokko.

Stigma negatif masyarakat Belanda terhadap warga negara keturunan Turki dan Marokko yang sempat bermasalah pada masa-masa paruh kedua abad ke-20 menambah pemicu yang mengakibatkan terjadinya konflik-konflik antar negara asal. Mereka (warga keturunan Turki dan Marokko) sering mendapat cap kriminal di Belanda, dan hal ini menimbulkan efek saling tuduh antara warga keturunan Turki dengan warga keturunan Marokko. Pertikaian-pertikaian seperti ini nantinya mulai menjadi pemicu ketidaknyamanan kehidupan bermasyarakat di Belanda.

Penerimaan masyarakat Belanda terhadap Islam dan imigran lainnya memberikan peluang bagi pemeluk agama Islam dan imigran di Belanda untuk aktif berkegiatan di segala aspek kehidupan. Tidak sedikit dari para imigran dan pemeluk agama Islam yang aktif dalam percaturan politik dan urusan kenegaraan di Belanda. Bukti konkritnya adalah Duta Besar Belanda untuk Indonesia saat ini adalah Tjeerd de Zwaan, seorang Muslim keturunan Marokko. De NMP (de Nederlandse Moslim Partij), merupakan partai politik yang masih aktif dan masih akan ikut dalam pemilu pada tanggal 13 Mei 2015. De NMP mengusung ideologi Islam dan aktif dalam upaya mengurangi jurang pemisah antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di Belanda.

Tidak hanya di bidang politik, bidang ekonomi juga digeluti oleh para imigran dan pemeluk Islam di Belanda. Tidak terdapat deskriminasi agama dalam segala aspek kehidupan di Belanda, hal ini menjadikan Belanda sebagai salah satu negara barat, khususnya di Eropa yang berhasil menerapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kesamarataan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda menjadikan Belanda sebagai salah satu negara favorit yang dijadikan tujuan oleh mereka yang ingin bermigrasi dalam rangka mewujudkan mimpi dan cita-cita. Hal ini dipermudah dengan keberadaan Uni Eropa dengan kesepakatan Schengen-nya. Keberadaan Schengen menjadikan arus imigrasi semakin besar jumlahnya, dan tanpa disadari, ternyata hal ini nantinya akan menjadi pemicu baru terkait isu-isu negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Belanda.



[1] Centraal Bureau voor de Statistiek adalah sebuah institusi negara di Belanda yang fungsinya dapat dipadankan dengan Badan Pusat Statistik di Republik Indonesia.

Das Eigentum von Volker Braun (1990)

Das Eigentum yang ditulis pada tahun 1990 ini sangat erat kaitannya dengan reunifikasi Jerman, atau boleh dikatakan memang ditulis oleh Volker Braun sebagai bentuk kritik pada masa itu terhadap pemerintah DDR, BRD, maupun masyarakat Jerman Barat itu sendiri. Mengapa saya katakan demikian? Dalam majalah der Spiegel[1], 31.03.2000, dikatakan bahwa karya-karya Braun pada masa pemerintahan DDR berisi tentang keluhan-keluhan masyarakat terhadap pemerintahan DDR, namun tanpa meragukan dasar ideologi sosialis mereka. Braun sendiri memang besar di Jerman Timur, dan oleh karena itu ideologi sosialis adalah “makanan sehari-hari” yang ia dapatkan dari mulai sekolah, di tempat kerja, dan selama ia hidup dalam pemerintahan DDR itu. Atas dasar ini, yang Braun kritik dari pemerintahan DDR adalah bukan kekuatan perlawanannya terhadap paham demokrasi dan kebebasan di Barat, melainkan ketidakberhasilannya dalam melaksanakan dan mempertahankan nilai yang dijunjung tinggi, yakni persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakatnya[2].

Baris pertama mengisahkan tentang perpindahan mein Land ke negeri Barat yang dapat kita lihat sebagai simbol reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Namun, ada hal mencolok dan menarik dalam kalimat ini, yaitu bahwa reunifikasi yang terjadi nampak tidak seperti dua negara yang bersatu atau melebur menjadi satu, melainkan lebih terlihat bahwa Jerman Timur “harus menyesuaikan dirinya” dengan Jerman Barat. [“Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen”][3]. Hal ini kemudian dikuatkan lagi oleh baris kedua yang bahkan terlihat lebih kuat dan ditekankan karena seluruh kata-katanya ditulis dengan huruf kapital. [“KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN”][4]. Hal ini terdengar sangat ironi dan tentunya bertentangan dengan apa yang telah ditulis oleh Georg Büchner lebih dulu dalam Hessischer Landbote. Namun Braun ingin menggambarkan bagaimana pemerintah dan masyarakat Jerman Barat pada masa itu melihat dan memperlakukan masyarakat Jerman Timur. Jerman Barat merupakan masyarakat yang secara sosial dan budaya didominasi oleh kelas menengah, sementara Jerman Timur merupakan masyarakat yang telah dibentuk menjadi kaum proletar (verproletarisierte Gesellschaft)[5]. Oleh karena itu, dapat kita lihat bagaimana dua kelompok masyarakat yang sangat berbeda dan telah terpisah selama 45 tahun tiba-tiba dipersatukan. Hal ini ditinjau lebih lanjut oleh baris keempat [“Es wirft sich weg und seine magre Zierde”][6]. Es yang melambangkan mein Land dikisahkan telah membuang dirinya dan perhiasan-perhiasan sederhananya. Sebuah contoh dapat kita ambil untuk melambangkan “perhiasan sederhana” yang dimiliki oleh Jerman Timur, yakni trabant. Jika kita sandingkan trabant dengan mobil-mobil mewah yang dihasilkan Jerman Barat, tentunya ia nampak terlampau sederhana. Hal ini kembali mendukung baris kedua tadi, yaitu bahwa masyarakat Jerman Timur (den Hütten) terlihat menjadi bahan olok-olokan pihak yang lebih berkuasa (den Palästen atau Jerman Barat).

Pada baris kelima dikisahkan bagaimana musim dingin diikuti oleh musim panas yang penuh hasrat. Hal ini sangat cocok dengan keadaan masyarakat Jerman Timur yang hasratnya telah dibekukan selama masa pemerintahan DDR dengan terbatasnya barang konsumsi dan penerapan hidup sederhana. Mereka kemudian bisa memuaskan hasratnya lagi ketika telah bersatu dengan Jerman Barat, di mana tersedia semua jenis pemuas hasrat itu.

Kemudian baris 8 dan 9 mengisahkan tentang harapan Ich yang belum sempat tercapai, namun telah direnggut. [“Was ich niemals besaß wird mir entrissen.” , “Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.”][7]. Hal ini dapat saya kaitkan dengan hal yang telah saya tulis pada paragraf pertama, yaitu bahwa Braun mengkritik pemerintah DDR dalam hal ketidakberhasilannya menerapkan nilai yang mereka junjung tinggi, yaitu persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakat. Kenyataan bahwa Braun juga sebenarnya tidak meragukan paham sosialisme itu sendiri mengisyaratkan bahwa Braun tidak hendak menilai paham mana yang benar atau salah, namun yang ia harapkan adalah adanya penerapan sebuah ideologi sesuai dengan nilai-nilai yang memang dijunjung tinggi. Ketika penerapan itu tidak sesuai dengan nilai yang dipercaya oleh sebuah ideologi, maka hal itu patut disalahkan. Ini mungkin yang merupakan harapan Ich yang belum tercapai, namun telah direnggut, karena Ich tidak mungkin bisa mewujudkan harapannya itu sementara negerinya sendiri telah “runtuh”.

Kemudian baris 10 mengisyaratkan harapan masyarakat Jerman, khususnya Jerman Timur, yang dijadikan sebagai “umpan” ?dalam hal ini menurut saya oleh Amerika Serikat? dengan adanya penyatuan Jerman [“Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle”][8]. Amerika Serikat dengan ideologi Baratnya menjanjikan sebuah kebebasan dan pemerintahan yang demokratis. Di saat masyarakat Jerman Timur yang pada pemerintahan DDR dikukung dan dibatasi kebebasannya, tentunya mereka menjadi haus akan kebebasan dan ingin “lari” ke Barat. Hal ini jika dilihat dari sisi Jerman Timur merupakan sebuah harapan, sementara di sisi Jerman Barat menjadi layaknya sebuah umpan.

Baris penutup, yakni baris 11 dan 12, merupakan sindiran terhadap Jerman Barat. [“Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.” , “Wann sag ich wieder mein und meine alle.”][9]. Pada baris ke-11, Braun mengatakan bahwa sekarang kepunyaanku telah kalian genggam di cakar kalian. Kata “cakar” yang dipilih oleh Braun memiliki kekuatan makna tersendiri yang dapat diartikan dengan kekuasaan atau genggaman yang kuat dan seakan-akan “memenjarai”. Hal ini dapat dihubungkan dengan pemerintah Jerman Barat yang lebih berkuasa atas masyarakat Jerman Timur dan ingin membuat mereka menjadi “ke-barat-an”. Kemudian pada baris ke-12, Braun ingin memberikan umpan dengan mempertanyakan konsep kepemilikan itu sendiri, yaitu kapankah ia bisa mengatakan milikku dan milik kita bersama.

Berdasarkan pemaparan di atas, Braun memang berhak dan pantas mendapatkan Büchnerpreis (tahun 2000) karena selain karya-karyanya yang mengandung kritik dan cenderung berpihak ke pihak yang “dijajah” atau “menderita”, ia tetap mampu melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Selain itu, ia juga mempunyai kekuatan dalam menulis karya-karyanya, yaitu dengan menggunakan pilihan kata (diksi) yang tepat, yakni yang secara estetika puisi dapat terdengar indah (misalnya dengan penyesuaian bunyi rima), namun makna kata tersebut mampu “menusuk” atau “menampar” pembacanya.

Lampiran: Teks Das Eigentum

Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen.

KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN.

Ich selber habe ihm den Tritt versetzt.

Es wirft sich weg und seine magre Zierde.

Dem Winter folgt der Sommer der Begierde.

Und ich kann bleiben wo der Pfeffer wächst.

Und unverständlich wird mein ganzer Text.

Was ich niemals besaß wird mir entrissen.

Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.

Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle.

Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.

Wann sag ich wieder mein und meine alle.

In: Die Zickzackbrücke. Ein Abrißkalender, Halle 1992, S. 84.



[1] http://www.spiegel.de/kultur/literatur/0,1518,71199,00.html, diunduh tanggal 2 Juni 2011 pukul 18:35)

[3] Terjemahan: Here I am still: my land goes to the west

[4] Terjemahan: Fight against the folks (hut), free the government (palace)

[6] Terjemahan: It tosses itself and its meager adornments

[7] Terjemahan: What I never had will be wrested away from me ; What I didn’t experience, I will eternally miss

[8] Terjemahan: The hope lies on the road just like a decoy

[9] Terjemahan: My belongings, now you have them in your claw ; When will I ever say “my” and “my all” again

Ditulis oleh: Nathania Valentine

Konsep Intensionalitas dan 3 Bentuk Reduksi Fenomenologi Edmund Husserl

Fenomenologi Husserl erat kaitannya dengan “kesadaran’. Husserl membangun konsep pemikirannya tentang fenomenologi didasarkan atas dua asumsi, yaitu:

  1. Setiap pengalaman manusia merupakan ekspresi dari kesadaran. Kesadaran terhadap pengalaman sendiri tersebut bersifat subjektif.
  2. Setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ini artinya selalu ada subjek dan objek.

Intensionalitas dalam pemikiran fenomenologi Husserl mempunyai ide bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran terhadap sesuatu. Suatu tindakan bisa disebut intensional apabila tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas dan kesadaran penuh. Hal ini mirip dengan konsep kesadaran pada pemikiran eksistensialisme Sartre. Jadi, konsep intensionalitas dalam fenomenologi Husserl adalah keterarahan kesadaran dan juga merupakan keterarahan tindakan yang bertujuan terhadap suatu objek.

Tiga (3) bentuk reduksi dalam fenomenologi Husserl merupakan suatu metode dalam menangkap suatu pengertian sebenarnya terhadap objek.

  1. Reduksi fenomenologis: sikap menyisihkan (filterisasi) pengalaman pada pengamatan pertama. Maksudnya adalah bahwa setiap pengalaman pribadi yang bersifat inderawi dan subjektif perlu disisihkan dan disaring terlebih dahulu sehingga pengertian terhadap suatu objek tidak terdistorsi oleh prasangka, praanggapan, prateori, dan prakonsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan tradisional maupun berdasarkan keyakinan agama.
  2. Reduksi eidetis: sikap untuk menemukan eidos (esensi) yang tersembunyi. Jadi, hasil reduksi ini merupakan pemilihan hakikat yang sebenarnya, bukan sesuatu yang sifatnya asesoris dan imajinatif semata.
  3. Reduksi transendental: berbeda dengan dua jenis reduksi sebelumnya yang terkait erat antara pemahaman subjek terhadap objek, maka reduksi transendental fokus terhadap subjek itu sendiri. Jadi, reduksi transendental merupakan subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri. Subjek empiris diletakkan di dalam kurung untuk mencapai subjek yang sejati. Contoh: ketika seseorang dipukul , namun dia dengan sadar tidak membalas pukulan tersebut (bukan karena takut, terancam, atau kasihan) setelah meletakkan aku (subjek yng dipukul) di dalam tanda kurung, maka orang tersebut telah sampai pada tahap reduksi transendental. Dia berhasil menguasai dirinya dan menjadi subjek sejati seperti yang dimaksud pada penjelasan tentang reduksi transendental.

 

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.