Sejarah Belanda Selayang Pandang

Belanda yang kita kenal saat ini sebagian besar merupakan hasil karya manusia. Proses “penciptaan” negara Belanda dilakukan melalui:

–      pembangunan bendungan air

–      pengeringan lahan

–      pembangunan tanggul-tanggul.

Kata-kata kunci dalam sejarah modern negara Belanda: “penyesuaian diri dengan air dan perjuangan melawan banjir”

Kawasan yang sekarang disebut Belanda adalah delta sungai di benua Eropa. Posisi geografi tersebut menentukan sejarah Belanda selama berabad-abad. Pada periode 4500 SM, masyarakat agraris mulai berkembang di sini.

Pada masa awal era Kristen, daerah Belanda menjadi salah satu wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Pada abad-abad berikutnya, daerah yang sekarang kita kenal sebagai negara Belanda menjadi bagian dari kekaisaran lain yang lebih besar. Pada 1590 bentuk geografis Belanda yang ada sekarang mulai terpetakan. Namun, wilayah perbatasan berubah-ubah secara dramatis.

Kehidupan beragama:

Kehidupan beragama dan konsep ketuhanan dalam sejarah negara Belanda tidak banyak diketahui. Berkat Tacitus (salah satunya), diperoleh informasi tentang bentuk-bentuk Tuhan yang disembah pada saat itu:

± 600-700 M: Masyarakat di negara-negara dataran rendah mulai memeluk agama Kristen. Pada masa itu, rumah-rumah ibadah pusat-pusat kebudayaan.

Abad ke-16 dan ke-17: perang membela doktrin kebenaran.  Pada masa ini, Kristen masih menjadi bagian penting dalam budaya Belanda.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Perbatasan Romawi; Willibrord; Desiderius Erasmus; Beeldenstorm;  Statenbijbel

Bahasa Belanda:

Bahasa tulis tertua tercatat tercatat sejak tahun 1100 dan ditulis oleh seorang pendeta Flandria. Tulisan dalam “bahasa ibu” baru dikenal pada Abad ke-16. Pada masa ini, kemahiran dan penggunaan bahasa merupakan simbol penting dalam justifikasi status sosial dalam kehidupan bermasyarakat:

Latin: kaum terpelajar

Prancis: kaum elit

Setiap daerah memiliki punya dialek sendiri.  Belanda punya sejarah kesusastraan yang panjang dalam bahasanya sendiri, dan batas-batas bahasa tidak sejajar dengan batas-batas politis.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Hebban olla vogala; Statenbijbel; Max Havelaar; Annie M.G. Schmidt

Negara urban dan jalur perdagangan di mulut sungai Rhine, Schelde dan Maas

± 1100: urbanisasi mulai terjadi di Belanda dan pusat-pusat perdagangan tumbuh

Pusat kegiatan: di selatan (Flandria dan Brabant) -à sekitar tahun 1500 bagian utara (propinsi Holland) menjadi pusat perdagangan yang kuat.

Sejak sekitar tahun 1600, propinsi Holland dan Zeeland menjadi pusat perdagangan yang penting di Eropa à era modern meneruskan fungsi ini.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Liga Hanseatik; Lingkaran Kanal; Pelabuhan Rotterdam

Republik Tujuh Serikat Belanda : dibentuk melalui pemberontakan

Penduduk di kota-kota kecil mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan kaum bangsawan. Pertanda adanya perseteruan kepentingan itu sudah ada sejak awal. Pada akhir Abad Pertengahan, para penguasa Burgundi mencoba memerintah negara-negara di bawah laut di bawah satu administrasi, tetapi kebijakan ini ditentang oleh penduduk maupun kaum bangsawan. Pada Abad ke-16, perlawanan ini bercampur aduk dengan seruan Reformasi. Perang pun pecahlah dan kaum bangsawan menjadi “gueux’ (pengemis). William van Oranje tampil menjadi pemimpin kaum Pemberontak dan karenanya dikenal sebagai “Bapak Bangsa”. Struktur politik yang unik dan dikenal sebagai “Republik” berkembang setelah kematiannya yang tragis tahun 1584. Ciri khas dari Republik adalah  kekuasaan administratif para pemimpin daerah; otoritas pusat yang lemah dan toleransi beragama.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Floris V; Charles V; Beeldenstorm; Willem Oranje; Republik; Hugo Grotius; Spinoza; Lingkaran Kanal

Masa Keemasan

Republik Tujuh Serikat Belanda à superpower (ekonomis,politis dan budaya) di Eropa Abad ke-17. Kaum imigran (Yahudi, Flemings, Huguenots) berperan penting mewujudkan Masa Keemasan tersebut.

Kebudayaan: lukisan Abad ke-17 sangat mengagumkan. Perkapalan, pasar bahan baku, pengelolaan lahan,industri sangat maju.

Secara politis: Republik merupakan bentuk pemerintahan yang unik di benua yang dikuasai oleh monarki.

Tahun 1672 merupakan tahun yang penuh bencana, pertanda meredupnya Masa Keemasan. Setelah itu, Republik tidak menonjol lagi di panggung Eropa. Secara ekonomi dan budaya, Republik juga tidak berperan penting lagi sejak akhir Abad ke-17.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Hugo Grotius; Rembrandt; Michiel de Ruyter; Atlas Major Blaeu; Christiaan Huygens; Spinoza; Villa-villa Mewah

Kewirausahaan dan Kekuasaan Kolonial

Kapal-kapal Belanda mulai berlayar sejak ± tahun 1600. Pada saat itu, Eropa merupakan pusat perdagangan dunia. Kegiatan perdagangan juga dilakukan di Asia, Afrika dan Amerika à  Daerah-daerah koloni tumbuh di Asia dan Amerika.

Abad ke-19, sentralisasi pemerintahan Belanda di daerah koloni telah mengakibatkan perang yang panjang (termasuk peperangan di Indonesia, Suriname, dan Antilian), dan sampai saat ini, Belanda masih menjalin hubungan yang erat dengan Indonesia, Suriname dan Antilian.

Telusuri lebih lanjut mengenai: VOC; Atlas Major Blaeu; Perbudakan; Max Havelaar; Indonesia; Suriname dan Antilian; Keberagaman di Belanda

Negara-bangsa, monarki konstitusional

Paruh kedua Abad 18: pengaruh aliran Pencerahan:

  • tumbuh kebutuhan untuk menambah dan menyebarkan ilmu pengetahuan.
  • gagasan baru tentang penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat banyak didiskusikan.
  • gerakan Patriot yang mencoba membatasi kekuasaan Stadholders (para gubernur)
  • kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk berpendapat (pada awalnya menemukan jalan buntu).

Bangsa Belanda pada era modern dibentuk antara 1795 dan 1848, dan fondasinya telah dibangun pada periode Prancis (1795-1813). Setelah kekalahan Napoleon: Willem I, putra dari Stadholder (gubernur) terakhir menjadi raja dari serikat kerajaan. “Restorasi” Belanda ini tidak berlangsung lama karena Brussels bergabung dengan kaum pemberontak pada tahun 1830.

Pada tahun 1848, fondasi bagi terbentuknya sebuah monarki konstitusional (sebagaimana Belanda saat ini) dikukuhkan dengan dirancangnya Konstitusi oleh Thorbecke. Kerajaan ini kemudian menjadi kekuasaan kecil yang teguh pada sikap netralnya.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Villa-villa mewah; Eise Eisinga; Patriot; Napoleon Bonaparte; Raja William I; Konstitusi

Bangkitnya Masyarakat Modern

Sejak ± tahun 1870: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag dan Utrecht tumbuh menjadi perkotaan. Industrialisasi di kawasan itu terjadi relatif terlambat, padahal pembangunan jalur kereta api sudah dimulai tidak lama sebelumnya. Pembangunan rel kereta api memberikan keuntungan bagi mobilitas warga, salah satu contohnya adalah jarak menjadi semakin kecil: integrasi Belanda dimulai.

Pemerataan (diatur oleh undang-undang) à semakin kuat.

Orang-orang “biasa”: – menuntut diperhitungkan oleh masyarakat dan politik.

– hak pilih pada pria (1917) dan wanita (1919).

 

Para seniman “modern”: – tidak lagi sebagai penopang tradisi artistik yang mapan

– memberikan kesempatan untuk menjadi artistik yg inovator.

Dalam kesusastraan:  tercermin dalam “Gerakan Delapan Puluh”

Dalam seni lukis: aliran Impresionis dan Pasca-Impresionis

Dalam seni terapan: gerakan Art Nouveau dan Modernisme.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Jalur kereta api pertama; Perlawanan terhadap tenaga kerja anak-anak; Vincent van Gogh; Aletta Jacobs; Perang Dunia Pertama; De Stijl

Belanda pada Perang Dunia (PD)

Belanda mencoba menghindari keterlibatan dalam konflik-konflik besar di Eropa. Sikap netral ini berhasil pada PDI, tetapi setelah PDI Belanda ditarik masuk dalam krisis global sehingga mau tidak mau Belanda ikut terseret dalam kolonisasi Nazi Jerman.

Periode paling buruk pada saat pendudukan Jerman adalah pemboman Rotterdam, deportasi dan pembunuhan kaum Yahudi serta kelaparan pada musim dingin.

Di Asia, perang dimulai tahun 1942, tetapi setelah kemerdekaan tahun 1945 sebuah perang baru berkobar dan tidak berakhir hingga tahun 1949. Perang Dunia Kedua dirujuk sebagai “masa lalu yang menolak menjadi sejarah”.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Perang Dunia Pertama; De Stijl; Tahun-tahun Krisis; Perang Dunia Kedua; Anne Frank; Indonesia

Negara Kesejahteraan, demokratisasi dan sekularisasi

Rekonstruksi dimulai segera setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Setelah tahun-tahun yang penuh kerja keras dan kemiskinan berlalu, pada tahun 1950-an merupakan periode saat terjadinya perubahan besar dalam gaya hidup masyarakat Belanda. Negara kesejahteraan dan masyarakat yang makmur melahirkan peningkatan standar kehidupan secara drastis. Selain itu, orang-orang memutuskan hubungan mereka dengan gereja, kelompok sosial politik dan keluarga. Perubahan ini ditandai dengan hubungan yang tidak begitu hirarkis lagi antara orangtua dan anak, perubahan peran pria dan wanita dan semakin terbukanya pandangan tentang seksualitas. Dalam kaitannya dengan politik, hal ini sangat erat berhubungan dengan gerakan yang kuat menuju demokratisasi : otoritas kelompok elit yang mapan mulai dipermasalahkan.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Willem Drees; Banjir Besar; Televisi; Pelabuhan Rotterdam; Annie M.G. Schmidt; Sumber gas alam

Diversifikasi Belanda

Setelah Perang Dunia Kedua, Belanda terlibat dalam perang kolonial melawan gerakan kemerdekaan Indonesia. Selama dan setelah perang itu, banyak orang Belanda, Indo-Eropa dan Maluku pindah ke Belanda.

Gelombang imigran lainnya menyusul : pada tahun 1960-an, para pekerja dari negara-negara Mediterania tiba, pada saat dekolonisasi Suriname (1975) orang-orang juga datang dari bekas negara jajahan tersebut dan kemudian dari Belanda-Antilian, disusul  dari berbagai negara lainnya. Masyarakat Belanda berubah dengan meningkatnya imigrasi. Tak terelakkan lagi muncullah ketegangan antara penduduk yang sudah mapan dan penduduk yang baru.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Indonesia; Suriname dan Antilian; Keberagaman di Belanda

Belanda di Eropa

Setelah Perang Dunia Kedua diikuti oleh Perang Dingin, Belanda menjadi semacam penengah dalam kerjasama Atlantik dan Eropa. Begitu Perang Dingin berakhir, kerjasama Eropa dengan cepat berkembang. Pada tahap ini, Belanda juga aktif dalam berbagai misi perdamaian PBB.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Srebrenica; Eropa

Sumber: beragam baik online maupun offline

Metodologi Penelitian Kebudayaan

Metodologi adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang mempelajari metode. Sementara itu Metode merupakan cara yang dipakai untuk mengerjakan (melakukan) riset atau penelitian tertentu. Maka dari itu, pemahaman terhadap metodologi akan mustahil apabila penguasaan terhadap metode-metode penelitian diabaikan.

Sementara itu, objek-objek yang dapat diteliti secara ilmiah dan dapat diterima pada ranah akademik adalah objek-objek yang bersifat logis, artinya hubungan sebab-akibat yang jelas merupakan hal mutlak yang harus hadir di dalam sebuah penelitian (riset ilmiah).

Tulisan ini akan mengulas tentang kebudayaan, penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan. Sebelum membahas lebih lanjut tentang penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu kebudayaan.

Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata dasar “budaya” yang sesungguhnya sangat sulit untuk didefenisikan. “Budaya adalah salah satu dari dua atau tiga kata-kata yang paling rumit di dalam bahasa Inggris….karena saat ini kebudayaan telah digunakan untuk konsep-konsep penting di dalam beberapa disiplin intelektual dan pemikiran” (Raymond William. 1976: 76-7). Hal ini telah terlihat di awal tahun 1950-an, saat itu Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952) telah mengumpulkan  banyak definisi kebudayaan baik dari sumber-sumber populer, maupun dari sumber-sumber ilmiah.

Kata budaya yang dalam bahasa Inggris disebut “culture” sering diasosiasikan dengan kata “cultivation” yang memiliki arti “budidaya”.  Asosiasi ini memperlihatkan segala tindak tanduk manusia dalam kemampuannya mengolah alam sekitar sebagai bentuk dari peningkatan kecerdasan manusia dan peningkatan skil manusia dalam “menaklukan” alam sekitarnya untuk tujuan bertahan hidup (survival). Seiring dengan berjalannya waktu, istilah budaya juga mengacu kepada peningkatan skil seseorang di dalam masyarakat secara keseluruhan, jadi tidak hanya terkait dengan hal-hal “penaklukan” alam dan lingkungan sekitarnya. Hal ini seringkali dianggap sebagai sinonim dari muatan nilai di dalam peradaban (civilization). Jadi pada periode ini istilah budaya erat kaitannya dengan peradaban, dan orang yang dianggap berbudaya adalah mereka yang dianggap telah beradab hidupnya. Contoh yang diambil oleh masyarakat Eropa pada saat itu untuk membedakan orang yang berbudaya/beradab adalah dengan membandingkan orang Eropa dengan orang Afrika yang saat itu di antara keduanya terdapat perbedaan teknologi, moral, dan sikap. Mereka berpendapat saat itu bahwa orang Eropa adalah orang yang berbudaya/beradab terkait dengan kemampuannya dalam menaklukan alam dan lingkungan sekitar (kemajuan teknologi), dan juga terkait dengan moral dan sikap dalam menjalani kehidupan di dalam masyarakat. Sedangkan pada masa Romantisisme pada saat revolusi industri, istilah budaya juga mulai dikaitkan dengan perkembangan spiritualitas seseorang dan untuk membedakan perkembangan psiritualitas tersebut dengan perkembangan infrastruktur semata di dalam masa-masa perkembangan teknologi industri. Kemudian di akhir abad ke-19 muncullah infleksi yang menekankan bahwa tradisi dan kehidupan keseharian merupakan dimensi budaya. Hal ini tercermin di dalam ide budaya rakyat (folk culture) dan budaya nasional (national culture).

Menurut Williams (1976: 80) pergantian masa sejarah kehidupan manusia direfleksikan ke dalam kegunaan-kegunaan dari istilah “budaya”:

  1. Untuk menunjukkan perkembangan intelektualitas, spiritualitas, dan estetika dari individu, kelompok, atau masyarakat.
  2. Untuk membidik cakupan intelektualitas dan aktifitas-aktifitas artistik dan produknya (filem, seni, dan teater). Kegunaan budaya di sini bersinonim dengan kata “kesenian” (the arts), untuk itu kita bisa menyebut “Kementrian Budaya”.
  3. Untuk menunjuk keseluruhan cara hidup, aktifitas, kepercayaan, dan kebiasaan individu, kelompok, dan masyarakat.

Kegunaan budaya yang pertama dan kedua adalah yang paling sering digunakan dan disintesakan di dalam ranah-ranah intelektual. Sedangkan kegunaan budaya yang ketiga diperjuangkan oleh banyak Antropolog dan menjadi pusat dari keilmuannya.

Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengidentifikasi enam pemahaman utama tentang budaya berdasarkan kegunaanya yang ketiga:

  1. Definisi deskriptif: cendrung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang membentuk kehidupan sosial dan mengklasifikasikan berbagai bidang yang membentuk budaya.
  2. Definisi sejarah: cendrung melihat budaya sebagai sebuah warisan yang diwariskan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi.
  3. Definisi normatif: membentuk dua bentuk. Bentuk pertama: menyarankan budaya sebagai aturan hidup yang membentuk pola-pola dari kebiasaan dan aksi konkrit. Bentuk kedua: menekankan peran dari nilai-nilai tanpa mengacu pada perilaku.
  4. Definisi psikologis: menekankan peran budaya sebagai alat pemecahan masalah, memungkinkan orang untuk berkomunikasi, belajar, atau untuk memenuhi kebutuhan material dan emosional.
  5. Definisi struktural: “interelasi aspek-aspek budaya yang terorganisasi” (Tylor: 61)
  6. Definisi genetik: menentukan keberadaan budaya dan kelanjutan eksistensinya. Hal ini sedikit terkait dengan biologi. Jadi, budaya merupakan kemunculan interaksi manusia sebagai produk dari transmisi intergenerasi.

Walaupun ide-ide dari Kroeber dan Kluckhohn ini sangat populer, namun pemahaman tentang budaya senantiasa bergerak secara halus di dalam bidang teori kebudayaan. Perkembangan pemahaman budaya di dalam bidang teori kebudayaan dapat dipahami sebagai berikut:

– Budaya cenderung bertentangan dengan materi, teknologi, dan sosial struktural. Walaupun secara empiris relasi antara budaya dengan materi, teknologi, dan sosial struktural itu dapat ditelusuri, namun ada baiknya untuk melihat budaya sebagai sesuatu yang lebih abstrak dari sekedar “cara hidup”.

– Budaya dilihat sebagai dunia dari ide, spiritualitas, dan non-material. Hal ini diperlukan dalam pemahaman tentang kepercayaan, nilai-nilai, simbol-simbol, tanda-tanda, dan wacana.

– Penekanan diberikan pada “otonomi budaya”. Ini membuktikan bahwa budaya tidak hanya bisa dijelaskan melalui dasar kekuatan ekonomi, distribusi kekuasaan atau kebutuhan sosial struktural belaka.

– Usaha-usaha dibuat untuk tetap menjadi nilai-nilai yang netral. Studi budaya tidak hanya terbatas pada Kesenian, tetapi juga meliputi segala aspek dan tingkatan dalam kehidupan sosial.

Tahapan Kebudayaan

Van Peursen membagi tahapan kebudayaan ke dalam tiga bagian:

  1. Tahapan mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif.
  2. Tahapan ontologis. Ontologis merujuk kepada hal yang sifatnya “being” / “asal muasal”. Jadi, tahapan ontologis di dalam kebudayaan adalah sikap manusia yang tidak didominasi sepenuhnya oleh kekuasaan mitis, tetapi dengan sadar mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dirasakan oleh panca inderanya. Ontologi mengalami perkembangan yang cukup hebat pada kebudayaan masyarakat kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
  3. Tahapan Epistem. Di dalam filsafat ilmu, epistemologi dapat didefenisikan sebagai sebuah pembahasan mengenai perolehan pengetahuan. Pembahasan tersebut meliputi: sumber, hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan, probabilitas perolehan pengetahuan oleh manusia, dan kedalaman manusia dalam menganalisis dalam memperoleh pengetahuan.

Bagian-bagian Dasar Kebudayaan

Secara mendasar, kebudayaan memiliki tiga komponen utama, yaitu:

  1. Asumsi dasar (mentalité)
  2. Nilai dan norma
  3. Tingkah laku, teks, dan artefak

Jika digambarkan, maka bagian-bagian mendasar di dalam kebudayaan akan terlihat sebagai berikut:

mentalite-kebudayaan

Penelitian Kebudayaan

Penjabaran singkat tentang komponen-komponen penting dan penjelasan tentang arti kebudayaan pada bagian-bagian sebelumnya secara eksplisit menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil riset yang bagus dan objektif dalam ranah kebudayaan diperlukan dua pendekatan, yaitu:

  1. Pendekatan intrinsik, yaitu peneliti ikut tinggal di lingkungan objek kebudayaan yang ingin diteliti dan mengikuti semua pola kehidupan di sana, sehingga secara kasat mata terlihat bahwa si peneliti adalah bagian dari kebudayaan tersebut.
  2. Pendekatan ekstrinsik, yaitu pandangan dan peniliaian peneliti dari kacamata netral. Situasi ini menempatkan peneliti berada di luar dari kebudayaan yang akan diteliti dan peneliti dituntut untuk dapat melihat dan menilai objek yang akan diteliti sebagai sesuatu yang bukan merupakan kebudayaan si peneliti itu sendiri.

Dua pendekatan ini sangat dibutuhkan dalam memenuhi tahapan epistemik di dalam tahapan kebudayaan menurut Van Peursen. Tidak hanya itu, di dalam setiap metodologi – khususnya metodologi kebudayaan – harus mencapai tahapan ontologis dan epistemik.

Di dalam penelitian kebudayaan, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, di antaranya yang paling sering digunakan adalah:

1. Metode deskriptif, yaitu sebuah totalitas komprehensif kebudayaan yang digambarkan untuk mendapatkan nilai (value) dari kebudayaan yang diteliti.

2. Metode defenisi logis, terbagi ke dalam dua cara, yaitu:

  • Secara historis, yaitu metode yang menjelaskan tentang warisan untuk generasi baru dari objek kebudayaan yang akan diteliti.
  • Secara normatif, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui: 1. aturan/jalan hidup obejk budaya yang diteliti, 2. Nilai (value) yang mengacu pada nilai tertentu juga.

Jika kita sekali lagi membaca penjelasan tentang metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan, maka kedua-duanya berbicara tentang nilai (value). Ini berarti peneliti di bidang kebudayaan dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bagus di bidang hermeneutika supaya tidak terjadi salah tafsir dalam memaknai nailai-nilai yang ada di dalam sebuah kebudayaan. Hermeneutika kembali dipopulerkan pada abad ke-20 oleh seorang filsuf asal Jerman yang bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002).

Hermeneutika Gadamer merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Hal ini erat kaitannya dengan fusi cakrawala (fusion of horizons), yaitu peleburan cakrawala pembaca (vorhabe, vorsicht, dan vorgiff) dengan cakrawala penulis melalui “teks”[1] yang telah ditulisnya untuk memaknai esensi yang terkandung di dalam suatu “teks”. Dengan demikian, pemakanaan suatu “teks” tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh esensi suatu “teks” yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap pembaca dengan cakrawala si penulis “teks” tersebut melalui “teks” yang ditulisnya. Di samping itu, cakrawala pembaca terhadap “teks” itu sendiri juga dileburkan pada tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah “teks” ditulis, oleh siapa sebuah “teks” ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat “teks” itu ditulis juga menjadi bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini untuk mendapatkan esensi dari sebuah “teks”. Jadi, suatu “teks” dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang dilakukan oleh pembaca “teks” tersebut.

Di samping penguasaan hermeneutika yang bagus, seorang peneliti di bidang kebudayaan juga dituntut untuk memiliki pemahaman estetika yang bagus, hal ini disebabkan karena estetika merupakan sebuah nilai (value) yang memegang peranan cukup sentral di dalam setiap penelitian pada ranah kebudayaan. Menurut Mudji Sutrisno:

“estetika merupakan paparan yang lebih mau menekankan pengalaman si subjek mengenai yang indah tanpa mau mencermati apakah asalnya dari objek kesenian alami (natural object) atau dari karya cipta manusia (artificial object).”

Hal ini sejalan dengan bagian-bagian kebudayaan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bagian kebudayaan nomor tiga terkait dengan artefak yang merupakan karya cipta manusia.

Kesimpulan

Ranah kebudayaan tidak hanya mencakup manusia sebagai subjek yang mengobjekkan hal, dan aktifitas lainnya di dalam suatu kebudayaan. Namun demikian, manusia itu sendiri bisa mengisi posisi objek di dalam sebuah penelitian kebudayaan.

Tiga bagian dasar kebudayaan dapat dijadikan acuan untuk menentukan objek yang akan diteliti di dalam sebuah penelitian kebudayaan.

Kemudian, untuk menghindari subjektifitas peneliti di dalam meneliti kebudayaan, maka diperlukan dua pendekatan yang digunakan di dalam penelitiannya, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.

Metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan terkait dengan nilai-nilai (values) yang ada di dalam kebudayaan yang akan diteliti. Oleh karena itu, pemahaman di dalam bidang hermeneutika dan estetika juga menjadi penting bagi peneliti kebudayaan agar nantinya tidak terjadi salah tafsir di dalam melihat nilai dan memberikan penilaian terhadap sebuah kebudayaan.

Bibliografi

Berry, Peter. (2010). Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Jakarta: Jalasutra.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas

Bambu.

Smith, Philip. (2001). Seri Cultural Theory, An Introduction. U.K.: Blackwell Publishing Ltd..

Sutrisno, Mudji. (2011). Ranah-ranah Hermeneutika. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.

Sutrisno, FX. Mudji & Hardiman, F. Budi (ed.). (1992). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.



[1] Teks tidak hanya berupa tulisan, tetapi apapun yang bisa menjadi objek penafsiran.

Skenario Hubungan UE dengan Rusia dalam Aspek Pendidikan dan Kebudayaan

Rusia memiliki kebudayaan yang erat melekat pada kehidupan yang bersifat komunal dan berbasis pada nilai-nilai dan norma Kristen Orthodox. Akar kebudayaan yang seperti ini menjadi semakin kental ketika Rusia selama sekitar 75 tahun tergabung ke dalam Uni Soviet karena Soviet menerapkan politik menutup diri dari dunia luar dengan pola chauvinisme yang kental. Kondisi seperti ini menyebabkan Rusia memiliki kebudayaan yang sangat tertutup dari dunia luar dan berhasil mempertahankan “kebudayaan aslinya” tanpa benturan dari budaya-budaya asing yang berasal dari dunia luar. Namun kondisi ini mulai menuju kepada perubahan pada akhir tahun 80-an.

Keruntuhan paham komunis yang ditandai dengan pembubaran Uni Soviet pada masa kekuasaan Michael Gorbachev pada awal tahun 90-an merupakan batu loncatan pertama dan utama yang membawa Rusia menuju Rusia yang kita kenal saat ini dengan istilah the New Russia (Rusia Baru). Masa pasca keruntuhan Uni Soviet memaksa negara pewaris utama Soviet ini untuk lebih “membuka diri” kepada dunia luar demi kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Kondisi baru Rusia ini tentunya dipandang oleh beberapa negara besar dunia sebagai suatu peluang emas untuk melakukan macam-macam bentuk ekspansi dalam segala aspek kehidupan, terutama di dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang bermuara kepada potensi sebagai pasar dalam sistem market economy perekonomian dunia. Namun demikian, kondisi baru ini tidak hanya dipandang positif oleh dunia luar, tetapi Rusia juga bisa memandang dunia luar dengan persepsi yang sama seperti pandangan dunia luar terhadap Rusia Baru.

Lokasi geografis Rusia yang berbatasan langsung dengan komunitas besar dunia Uni Eropa menjadi hal yang sangat menarik dalam mengamati tarik menarik hegemoni pendidikan dan kebudayaan yang terjadi. Apakah Rusia yang akan melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa atau beberapa negara anggotanya, atau justru sebaliknya, Rusia lah yang akan terhegemoni oleh Uni Eropa atau oleh beberapa negara anggotanya? Pertanyaan ini tentu saja bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, fakta bahwa Rusia memiliki sumber energi utama yang memberikan suplai energi kepada sebagian besar negara-negara anggota Uni Eropa menambah serunya tarik menarik hegemoni ini.

Dalam usaha untuk memetakan hasil dari tarik menarik hegemoni budaya antara Rusia dan Uni Eropa ini, maka saya akan mencoba untuk memberikan beberapa skenario beserta implikasinya yang bisa digunakan oleh kedua belah pihak dalam usaha mencapai tujuan hegemoninya.

Skenario I: Program Beasiswa oleh Uni Eropa

Sebagai sebuah komunitas besar, Uni Eropa telah mulai memberikan banyak beasiswa kepada seluruh pelajar di dunia pada awal tahun 2000-an untuk mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan formal ke universitas-universitas terbaik yang terdapat pada masing-masing negara anggotanya. Kesempatan ini tentu saja merupakan peluang emas bagi mereka yang memang memiliki antusias besar dalam bidang pendidikan, terutama dengan alasan untuk memajukan bangsa, maka negara-negara di luar keanggotaan Uni Eropa tentunya berlomba-lomba untuk mengirimkan orang-orang terpelajarnya untuk dapat menimba ilmu di negara-negara anggota Uni Eropa.

Rusia yang berbatasan langsung dengan Uni Eropa tentunya juga dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk investasi jangka panjangnya dalam hal peningkatan mutu sumber daya manusia. Apabila Rusia memandang hal ini 100% merupakan peluang investasi jangka panjang di bidang sumber daya manusia tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruknya, maka alih-alih mendapatkan sumber daya manusia berkualitas dalam membangun negreinya, tetapi malah Rusia berkemungkinan besar kehilangan pemuda-pemuda terpelajarnya.

Saya berani berspekulasi seperti pada paragraf di atas karena saat ini hampir di setiap negara anggota Uni Eropa terdapat kebijakan untuk lulus ujian negara tempat calon pelajar melanjutkan studinya yang terdiri dari ujian bahasa negara setempat dan ujian tentang pengetahuan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat negara setempat. Apabila calon pelajar yang akan menerima beasiswa pendidikan tidak lulus dalam ujian tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan izin tinggal. Apabila calon pelajar penerima beasiswa tidak mendapatkan izin tinggal di negara tujuan, maka mereka tidak akan bisa melanjutkan studi ke negara tersebut, dengan kata lain, mereka gagal mendapatkan beasiswa tersebut.

Kenyataan seperti ini tentunya boomerang yang siap menghantam balik Rusia. Kaum terpelajar yang merupakan pemuda harapan bangsa pastinya dengan sukarela mati-matian mempelajari bahasa dan kebudayaan, serta kebiasaan masyarakat negara tujuan tempat mereka akan melanjutkan studi formalnya. Dengan kata lain, mereka (pelajar) dengan sadar “membuka diri” untuk sesuatu yang baru yang nantinya tanpa sadar akan mereka aplikasikan dan menjadi “pedoman dan pandangan hidup” mereka yang baru kelak ketika mereka mendapatkan beasiswa itu. Alih-alih Rusia dapat melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa, tetapi malah kaum terpelajarnya sangat berisiko dalam “tercemar” kebudayaan dan pandangan hidup Uni Eropa.

Kemungkinan ini menjadi lebih berisiko ketika kita dihadapkan pada fakta model pemerintahan Putin yang masih mewarisi pola-pola tangan besi ala Soviet. Kaum terpelajar yang lebih netral dan kritis dalam berfikir dan bertindak tentunya akan mendapatkan angin segar ketika masuk, menjalani kehidupan, dan menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa. Mimpi-mimpi utopis demokrasi Uni Eropa akan menjadi senjata utama yang nantinya bisa melunturkan sisi nasionalisme para pelajar Rusia yang mendapatkan beasiswa ke Uni Eropa.

Skenario II: Beasiswa untuk Scholar “Pilihan”

Skenario kedua ini merupakan langkah yang dapat diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi dampak negatif dari strategi Uni Eropa yang melancarkan ekspansi budaya melalui program beasiswa yang diberikannya. Risiko pelunturan rasa nasionalisme yang dapat terjadi sebagai implikasi skenario relasi kerjasama pendidikan dan kebudayaan antara Rusia dengan Uni Eropa sangat berdampak negatif bagi perkembangan Rusia Baru di masa depan. Hal ini diperburuk dengan fakta penurunan pertumbuhan populasi Rusia.

Rusia bisa mendapatkan pemutakhiran ilmu pengetahuan dalam segala bidang dengan bekerja sama dengan dunia luar, khususnya Uni Eropa yang juga memiliki kepentingan dalam pengembangan teritorial tanpa harus mempertaruhkan pemuda-pemuda harapan bangsanya. Jika Rusia memiliki kecurigaan yang sama dengan pandangan saya ini, maka tentunya Rusia akan melakukan langkah-langkah antisipasi dalam menyikapi kemungkinan tersebut. Salah satu langkah yang kira-kira akan diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi kemungkinan buruk dari kerja sama bidang pendidikan dan kebudayaan ini adalah dengan merekrut tenaga-tenaga muda untuk menjadi “orang dalam” pada pemerintahan yang sedang berkuasa dan kemudian memfasilitasi kerja sama dengan Uni Eropa untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan formal pada negara-negara anggota Uni Eropa.

Jadi, tanpa harus memberikan kesempatan kepada setiap scholar Rusia untuk menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa, Rusia masih akan bisa mendapatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dengan cara lain, yaitu dengan memilih orang-orang tertentu yang sudah teruji kematangan rasa nasionalismenya dan mengirimkannya ke negara-negara Uni Eropa untuk kemudian dengan penuh semangat kembali pulang ke Rusia untuk berbagi perkembangan ilmu dan pemikiran yang dapat digunakan untuk kemajuan dan perkembangan Rusia di masa depan. Sebagai tambahan, transfer ilmu dan pemikiran yang didapat dari Uni Eropa tidak begitu saja disebarkan di Rusia nantinya, tetapi pihak penguasa akan melakukan sensor terlebih dahulu dan memodifikasi setiap ilmu pengetahuan dan pemikiran yang didapat sesuai dengan kepentingan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan strategi kebudayaan Rusia nantinya.

Skenario III: Impor Guru/Dosen Tamu

Jika dua skenario pendidikan dan kebudayaan sebelumnya mengharuskan Rusia mengirimkan scholar terbaiknya ke negara-negara Uni Eropa, maka skenario ketiga ini justru merupakan sebuah kontradiksi dari dua skenario sebelumnya, yaitu dengan mendatangkan para ahli yang ahli di bidangnya ke Rusia untuk melakukan transfer ilmu dan pemikiran di Rusia.

Skenario ketiga ini adalah skenario yang paling rendah risikonya dalam hal kemungkinan pelunturan rasa nasionalisme yang membahayakan kebudayaan nasional Rusia. Saya berani berpendapat seperti ini karena pada skenario ketiga ini warga Rusia tidak perlu meninggalkan negara, tetapi justru sebaliknya, Rusia mendatangkan tenaga asing yang dirasa perlu demi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dari Uni Eropa. Skenario ini menjadi semakin mini risiko karena dengan situasi seperti ini, pemerintah Rusia dapat secara langsung melakukan kontrol terhadap konten dan proses transfer pengetahuan dan pemikiran yang nantinya terjadi di Rusia.

Selain minim risiko, skenario ketiga ini juga bisa menjadi cara bagi Rusia untuk melakukan hegemoni budayanya terhadap Uni Eropa. Jika pemerintah Rusia dapat mengambil hati setiap guru/dosen tamu yang datang ke Rusia dengan tujuan transfer ilmu, maka dengan sendirinya mereka akan kembali ke Uni Eropa nantinya dengan bias-bias kebudayaan dan kebiasaan Rusia yang mereka dapat selama mereka bertugas di Rusia dalam misi kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Kesimpulan

Fakta bahwa Rusia menjadi pemasok energi yang cukup berpengaruh di benua Eropa menjadikannya semakin menyadari isu-isu hegemoni kebudayaan yang siap menghantam setiap sendi kehidupan di Rusia. Maka dari itu, apapun tawaran yang diberikan kepada Rusia oleh Uni Eropa tentunya akan disikapi dengan sebijak mungkin. Selanjutnya, sebagai negara yang memiliki kebudayaan cukup tua , mengakar, dan sangat berbeda dengan tetangga Uni Eropa nya menambah kadar sensitifitas isu hegemoni budaya di Rusia.

Bibliografi

Boilard, Steve D. (1998). Russia at the Twenty First Century. Orlando: Harcourt Brace & Company.

Sakwa, Richard. (2008). Russian Politics and Society 4th ed. New York: Routledge.

White, Stephen. (2011). Understanding Russian Politics. New York: Cambridge University Press.

Yale, Richmond. (2009). From Nyet to Da: Understanding the New Russia, 4th ed. London: Intercultural Press.

————. (2005). Russian Prospects – Political and Economic Scenarios. Copenhagen Institute for Future Studies.

Cinema Paradiso – Review

Cinema Paradiso adalah sebuah filem cerita yang disutradarai oleh Giuseppe Tornatore (Italia) dan diproduksi di tahun 1988. Seting tempat dan waktu dari filem ini bertempat di kota Sisilia (Italia bagian Selatan) pada masa pasca Perang Dunia ke-2. Kebanyakan shot yang diambil di dalam filem cerita ini terjadi di alun-alun kota tempat berdirinya sebuah bangunan yang diberi nama Cinema Paradiso dan difungsikan sebagai tempat menonton filem. Namun demikian, jika dicermati secara lebih spesifik maka Cinema Paradiso ini lah yang menjadi seting utama di dalam filem cerita ini, karena hampir di setiap scene dari filem ini terjadi di dalam gedung bioskop yang terletak di alun-alun kota Sisilia ini.

Filem Cinema Paradiso ini aslinya berdurasi 2 jam 40 menit, tetapi atas paksaan sang produser yang bernama Franco Cristald, maka pada pertunjukan pertamanya ke publik filem ini akhirnya berdurasi 2 jam 3 menit dan 48 detik. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa ternyata industri filem Eropa pada saat itu telah “berdamai” dengan pertimbangan-pertimbangan komersial. Film ini merupakan sebuah karya yang sangat sukses tidak hanya di masanya, tetapi sampai sekarang karena masih sering digunakan sebagai materi di dalam setiap studi tentang film. Singkat kata filem ini merupakan sebuah penanda sejarah bagi industri filem Eropa, khususnya industri filem di Italia. Pada tahun 1989 film ini memenangi “Grand Prize of the Jury” pada Festival Cannes. Di tahun yang sama filem mini juga mendapatkan penghargaan Felix Awards “Special Prize of the Jury”. Kemudian pada tahun 1990 film ini masuk nominasi Oscar “Best Foreign Language”.

Secara garis besar, filem ini berkisah tentang persahabatan antara seorang anak laki-laki bernama Salvatore yang memiliki nama kecil Toto dengan seorang laki-laki dewasa yang bernama Alfredo yang merupakan proyeksionis di bioskop Cinema Paradiso. Banyak konflik dan cerita yang dibangun melalui interaksi kedua tokoh di dalam filem ini.

Alur

Filem Cinema Paradiso bercerita dengan alur maju-mundur. Cerita diawali pada saat Salvatore telah menginjak usia paruh baya yang mendapat kabar dari teman wanitanya yang terbangun dari tidur ketika Salvatore baru pulang dan memasuki kamar tidur. Teman wanitanya itu bercerita bahwa dia sebelumnya mendapat telepon dari Ibu Salvatore yang memberikan kabar bahwa seseorang telah meninggal. Orang yang dimaksud adalah Alfredo, yaitu teman masa kecil dan masa muda Salvatore di kampong halamannya di Sisilia.

Salvatore yang sudah 30 tahun tidak pernah kembali ke Sisilia dan tidak berhubungan dengan keluarga (Ibu dan adik perempuannya) seketika terdiam mendengar kabar kematian Alfredo. Hal ini membuat teman wanitanya bertanya apakah Alfredo bagian dari keluarga dan Salvatore menjawab “tidak”. Dari sini penonton dibawa kembali ke kisah masa kecil Salvatore yang menjelaskan awal persahabatannya dengan seorang proyeksionis di bioskop Cinema Paradiso yang bernama Alfredo, sampai akhirnya ia harus berpisah dengan Alfredo dan keluarganya nanti setelah ia tumbuh dewasa dan selesai dari dinas kemiliteran dan menjadi Salvatore paruh baya yang mendapat kabar dari ibunya tentang kematian Alfredo.

Narasi dan Dimensi Sosial Budaya

Tornatore meramu penceritaan di dalam filem Cinema Paradiso dengan sungguh menarik. Banyak hal yang dan pertanyaan yang muncul di kepala para penonton yang terjelaskan secara tidak langsung dari adegan-adegan maupun seting property yang mendukung. Misalnya ketika penonton di awal cerita bertanya-tanya tentang “siapa tokoh yang bernama Alfredo ini?”, Tornatore memberikan jawaban dari pertanyaan ini dengan langsung membawa penonton mundur ke penerawangan pikiran Salvatore ke masa kecilnya dan menjelaskan secara detil proses persahabatan yang tercipta antara si Toto kecil dengan Alfredo sehingga penonton dengan utuh mendapatkan jawaban tentang tokoh Alfredo di dalam filem ini.

Contoh berikutnya adalah ketika Tornatore hendak memperlihatkan kepada penonton bagaimana kehidupan sosial masyarakat Italia, dan di Sisilia pada khususnya pada saat itu, terutama terkait dengan perkembangan industri filem di Italia. Dia dengan apik menjelaskan kepada penonton betapa ketatnya sensor yang dilakukan oleh Gereja pada saat itu sehingga semua filem yang akan diputar di Cinema Paradiso harus terlebih dahulu disensor oleh seorang Pendeta yang nantinya memberikan tanda dengan isyarat bunyi lonceng bagian yang harus dipotong supaya masyarakat tidak terpapar oleh hal-hal yang diharamkan oleh Gereja.

Masih dari bagian ini penonton juga langsung mendapatkan gambaran dan penjelasan bagaimana filem bisa sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang dan tanpa disadari menentukan masa depan seseorang. Penjelasan ini didapat dari tokoh Toto kecil yang memperlihatkan antusiasme nya terhadap filem sehingga dia melakukan segala daya upaya untuk bisa menikmati filem-filem yang masuk ke bioskop Cinema Paradiso.

Selain tentang awal persahabatan antara Toto dengan Alfredo, filem Cinema Paradiso juga memberikan informasi kepada penonton bahwa seiring dengan perkembangan industri filem, maka sedikit demi sedikit kekuasaan Gereja semakin berkurang di masyarakat Sisilia pada saat itu. Adegan ciuman dan hal-hal yang terkait dengan kekerasan dan sexualitas yang di awal cerita kita dapat mengetahui bahwa adegan-adegan itu tidak akan ditayangkan karena sensor dari gereja, pada perkembangannya mulai dapat dinikmati oleh para penonton. Selain itu, Tornatore juga dengan gamblang menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran norma di dalam masyarakat secara ekstrim. Hal ini dapat dilihat dari scene ketika di dalam bioskop Cinema Paradiso terdapat satu bilik kecil yang digunakan sebagai tempat prostitusi. Scene ini didahului oleh shot pada layar bioskop yang sedang memperlihatkan adegan-adegan yang memancing syahwat para penontonnya.

Dari filem ini penonton juga bisa mengetahui kehidupan masyarakat Italia pada saat itu pada pasca Perang Dunia ke-2. Banyak janda dan anak kecil yang terpaksa harus bekerja untuk melanjutkan hidup karena suami-suami dan bapak-bapak mereka gugur atau dinyatakan hilang oleh dinas kesatuan militernya di medan perang.

Tidak hanya tentang masyarakat Italia dan Sisilia pada khususnya, tetapi Tornatore melalui filem ini juga memperlihatkan naik turun dan perkembangan industri filem di Italia. Jadi, Tornatore dengan apik melalui sebuah filem cerita dengan tokoh dan karakternya masing-masing yang menjadi sentral di dalam cerita ini (Salvatore dan Alfredo) sekaligus dapat memberikan gambaran naik turun dan perkembangan industri filem di Italia. Dari sini juga terlihat bahwa industri filem Amerika juga telah berkembang yang terbukti dari pemutaran filem-filem Amerika di bioskop Cinema Paradiso yang diminati banyak orang ketika itu.

Kisah tentang perkembangan industri filem di Italia ini diakhiri dengan dirubuhkannya bangunan Cinema Paradiso di saat Salvatore pulang ke kampung halamannya untuk menghadiri pemakaman Alfredo. Tradisi menonton filem ke bioskop ternyata sudah tidak lagi seperti di masa kecil Salvatore, seting waktu pada masa ini memang sesuai dengan fakta di dunia pada saat itu, yaitu kemunculan televisi dan perkembangan radio telah menjadi musuh terbesar yang mematikan bagi industri perfileman di masa itu.

Dimensi Estetik

Tornatore cukup piawai dalam memunculkan simbol-simbol yang dapat menyampaikan pesan tertentu kepada penonton tanpa mengurangi fungsi estetiknya di dalam filem Cinema Paradiso. Berikut ini saya tampilkan hanya sebagian capture scene yang menurut saya memiliki simbol dan makna yang kuat yang juga memiliki fungsi estetik di dalam filem ini.

Capture 1

capture-paradiso1

Pendeta dengan loncengnya merupakan simbol yang sangat kuat menyampaikan pesan bahwa waktu itu institusi Gereja memang memiliki kekuasaan absolut, karena Gereja juga “menyaring” hal-hal yang boleh ditonton dan yang tidak ditonton oleh umatnya. Di samping itu kilauan cahaya yang berwarna biru di tengah kegelapan ruangan Cinema Paradiso adalah cahaya yang keluar dari ruang proyektor yang sedang memutarkan filem. Dari bagian ini kita juga menangkap pesan bahwa kira-kira pada saat itu memang institusi Gereja lah yang menjadi “matahari” bagi kehidupan masyarakat di Sisilia.

Capture 2

capture-paradiso2

Tempat keluar cahaya proyektor di dalam bioskop Cinema Paradiso berbentuk kepala singa yang sedang mengaum sehingga taringnya kelihatan, mengisyaratkan kepada penonton bahwa filem pada saat itu merupakan kekuatan baru yang cukup berpengaruh di masyarakat. Hal ini juga dapat diartikan bahwa absolutisme institusi Gereja pada saat itu telah mendapat saingan kekuatan baru. Kemudian, tepat di sisi kanan kepala singa itu terdapat sebuah jendela kecil tempat proyeksionis mengontrol pancaran cahaya proyektor yang diproduksi dari balik ruangan itu, dan di jendela kecil itu terlihat bagian muka Alfredo dari bagian mata sampai kumis. Tampilan muka Alfredo yang seperti ini memberikan kesan kuat bahwa Alfredo adalah “penguasa” bayangan yang memiliki pengaruh kuat karena dialah yang mengoperasikan proyektor yang nantinya akan memancarkan cahaya melalui kepala singa sehingga penonton hanyut terpaku ke dalam filem yang sedang mereka tonton.

Capture 3

capture-paradiso3

Capture ini merupakan gambar kepala singa yang sudah jatuh ke lantai gedung bioskop Cinema Paradiso dan dibalut oleh jarring laba-laba. Hal ini menjelaskan kepada penonton bahwa kepala singa yang dulunya pernah memiliki “kekuasaan” sekarang telah lemah tak berdaya. Scene ini terdapat di menit-menit terakhir filem Cinema Paradiso yang juga mengungkap fakta bahwa industry filem di Italia, khususnya di Sisilia telah mati karena kemunculan televisi dan perkembangan radio sehingga menyebabkan orang malas beranjak dari tempat tinggalnya menuju bioskop.

Capture 4

capture-paradiso4b capture-paradiso4a capture-paradiso4c

Di samping banyaknya dimensi estetik yang terdapat dari simbol-simbol yang diberikan Tornatore di dalam filem ini, ternyata secara tidak langsung Tornatore juga memberikan fakta dan edukasi menyangkut perkembangan teknologi di dalam industri filem pada saat itu. Hal ini diketahui dari kebakaran kecil yang terjadi di rumah si Toto kecil dan kebakaran di bioskop Cinema Paradiso yang disebabkan oleh seluloid dari negatif filem yang akan diputar sampai pada shot close up yang memperlihatkan negatif filem yang tidak sensitive terhadap api.

Demikianlah beberapa capture dari filem Cinema Paradiso yang menurut saya memiliki simbol yang kuat tanpa mengurangi kepentingan estetik dalam bangun keseluruhan filem tersebut.

Dimensi Tekhnik

Di dalam filem Cinema Paradiso terdapat banyak  close up dari beberapa tokoh yang memberikan tanda bahwa tokoh tersebut sangat berperan dan menjadi sentral dalam cerita yang dibangun. Misalnya close up pendeta sebagai simbol absolutisme gereja, close up Toto yang sedang mengintip sensor filem dari balik tirai bioskop.

Kebanyakan dialog yang melibatkan Salvatore (Toto) dan Alfredo. Tokoh-tokoh lainnya yang berdialog dengan salah satu dari kedua tokoh di atas rata-rata mendapatkan shot close up. Menurut saya hal ini sengaja dilakukan oleh Tornatore untuk memberikan perbedaan karakter yang jelas sehingga penonton tanpa sadar bisa langsung mengikuti alur cerita yang sedang dibangun dari percakapan-percakapan yang terjadi. Di samping itu, menurut saya Tornatore juga ingin menyampaikan pesan bahwa walaupun Salvatore (Toto) dan Alfredo merupakan tokoh sentral dari filem cerita ini, namun keberadaan orang-orang tertentu yang mendapatkan close up juga merupakan salah satu faktor penting di dalam pembangunan karakter kedua tokoh sentral itu dan juga di dalam pembangunan cerita di dalam filem ini.

Beberapa shot dengan tekhnik pengambilan bird eye juga terdapat di dalam file mini, terutama shot-shot yang menampilkan alun-alun kota. Saya berpendapat bahwa Tornatore sengaja melakukan ini untuk memberikan kesan latar tempat yang kuat bahwa alun-alun kota menjadi seting latar tempat yang penting, karena di sanalah terdapat gedung bioskop Cinema Paradiso, yaitu sebuah tempat yang menjadi sejarah di dalam kehidupan masyarakat Sisilia pada masa itu dan telah menjadi saksi dari banyak kejadian dan perubahan-perubahan sosial, masyarakat, dan individu yang berada di sekitarnya, termasuk perubahan kota Sisilia itu sendiri.

Kesimpulan

Filem cerita Cinema Paradiso karya Giuseppe Tornatore merupakan salah satu filem cerita penting, tidak hanya bagi industri filem Italia, tetapi juga bagi perkembangan industri filem di dunia. Filem ini bisa dibilang sebagai salah satu penanda sejarah di dalam perkembangan industri filem dunia.

Filem yang berdurasi selama 2 jam 3 menit dan 48 detik ini tidak hanya memberikan kita informasi tentang satu hal, tetapi di dalamnya penonton juga dapat mendapat banyak gambaran tentang dinamika kehidupan sosial dan masyarakat yang menjadi latar tempat dan waktu di dalam filem ini. Tidak hanya tambahan pengetahuan tentang dinamika kehidupan sosial dan masyarakat yang diperoleh penonton ketika menonton filem ini, tetapi filem ini juga memberikan edukasi kepada para pecinta filem tentang sensitifitas seluloid terhadap api yang bisa menjadi malapetaka, sampai pada perkembangan teknologi di dalam industri filem di dunia yang berhasil menemukan bahan yang lebih aman terhadap api yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan negatif filem.

Jika diibaratkan sebagai sebuah lotere, maka filem ini merupakan hadiah berupa paket kombo bagi para penikmat filem dan mereka yang akan memulai studi tentang filem. Saya berpendapat demikian karena file mini dibanjiri dengan tiga dimensi yang menjadi aspek utama di dalam sebuah filem, yaitu dimensi tekhnik, dimensi estetik, dan dimensi kultural. Banyak bagian yang bisa dijadikan contoh dari masing-masing dimensi tersebut di dalam file mini.

Aspek sinematografis yang tidak kalah pentingnya di dalam sebuah filem juga diramu dengan sedemikian rupa oleh Tornatore sehingga terjadi peleburan yang halus antara aspek sinematografis dengan bangun cerita dari filem ini. Hal ini berarti kepuasan penonton, baik yang menyatakan diri hanya sebagai penikmat filem, maupun yang menyatakan diri sebagai pengamat, penggiat, dan pembelajar filem merupakan garansi yang diberikan oleh Tornatore.

Filem Cinema Paradiso juga mengandung aspek naratif yang sangat kuat. Dari scene pembuka sampai scene penutup, penonton mendapatkan banyak hal terkait sosial, budaya, dan masyarakat pada saat itu tanpa harus bersusah payah merangkai cerita antara scene yang satu dengan scene yang lainnya. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, filem Cinema Paradiso karya Tornatore ini merupakan paket kombo bagi para pecinta filem. Banyak hal didapat, seperti: kepuasan, kesenangan, edukasi, dan informasi dalam satu paket yang bernama Cinema Paradiso.

Seperti judulnya, Cinema Paradiso benar-benar memberikan paradiso kepada para penontonnya dan sekaligus meunjukkan kepada penonton betapa cinema (filem) benar-benar merupakan sebuah paradiso (surga) bagi masyarakat Sisilia yang pada saat itu masih dikuasai oleh dogma dan kuasa dari institusi Gereja yang telah menjanjikan bentuk paradiso lainnya yang bersifat imajiner kepada mereka yang taat kepada Gereja.

Bibliografi

Sumarno, Marselli, (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

http://www.netcomuk.co.uk/-media/CinePara.html , diunduh pada tanggal 23 Oktober 2012 pada pukul 23.21.

 

Simbolisasi Negatif terhadap Islam sebagai Fenomena Perkotaan di Belanda

Dalam pemahaman Barthes, teks yang tediri dari deretan huruf-huruf dipandang sebagai bentuk. Teks diibaratkan sesiung bawang yang dapat dikupas hingga ke lapisan paling akhir. Ketika sampai pada lapisan terakhir, bawangnya sendiri sudah tidak ada. Karena memahami teks dengan analogi bawang tadi, maka teks tak memiliki kesatuan dalam pengertian esensial. Dengan menganggap teks sebagai “yang dapat berbicara sendiri”, terjadi kecenderungan untuk menghilangkan subjek (pengarang).

Istilah semiologi pertama kali dikenalkan oleh Ferdinand de Saussure . Definisi umum semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda dan penanda. Mitos termasuk dalam wilayah semiologi karena mitos merupakan tipe wicara yang membahas mengenai tanda. Ferdinand de Saussure memiliki dua istilah dalam semiologi yaitu signifiant (penanda) dan signifié (petanda/ yang ditandakan). Petanda adalah konsep sedangkan penanda adalah gambaran akustik. Hubungan antara penanda dan petanda bukanlah kesamaan melainkan bersifat ekuivalen. Bukan yang satu membawa yang lain, tetapi korelasi yang menyatukan keduanya [Hawkes 1977: 22].

Berdasarkan Semiologi yang telah dirumuskan oleh Saussure, Barthes kemudian mengembangkannya. Menurut Barthes , dalam semiologi terdapat tiga istilah: penanda, petanda, dan tanda (sign). Ketiganya memiliki implikasi fungsional yang erat dan berperan penting dalam menganalisis mitos sebagai bentuk semiologi. Mitos terbentuk berdasarkan tiga istilah itu, namun mitos adalah suatu sistem khusus yang terbangun dari serangkaian rantai semiologis yang ada sebelumnya. Mitos adalah sistem semiologis tingkat kedua. Tanda pada sistem pertama menjadi penanda pada sistem kedua. Dengan kata lain, mitos adalah penandaan tingkat kedua.

Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi [Hoed 2011 :45—49]. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi

Analisis

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, yang dikembangkan Barthes adalah konotasi dengan berdasar pada konsep de Saussure tentang signifiant-signifié. Jika menurut de Saussure, bahasa bersifat statis, misalnya ‘Islam’ memiliki makna ‘sebuah agama samawi dari Asia Barat’. Hal demikian disebut Barthes sebagai primary sign yang didapatkan melalui relasi (R) expression (signifiant/penanda) dan content (signifié/petanda). Primary sign merupakan R1 yang menghasilkan makna denotasi. Barthes memaparkan bahwa baik expression (E) maupun content (C) masih dapat dikembangkan. Jika segi E yang dikembangkan maka yang berlaku adalah hubungan sinonim atau metabahasa, misalnya mengganti kata ‘Islam’ dengan ‘Muslim’. Dalam menjelaskan teori konotasi-nya, Barthes lebih menekankan pengembangan pada segi C. Kata ‘Islam’ setelah mengalami pengembangan content dapat bermakna “orang-orang di Belanda Barat yang beragama Islam yang terdiskriminasi”, “etnis yang eklusif”, “etnis yang mengancam keamanan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar yang berlaku di Belanda”. Makna-makna tersebut disebut makna konotasi. Maka konotasi akan sangat bergantung pada bagaimana seseorang pemakai bahasa menilai suatu kata. Makna “orang-orang yang didiskriminasi” mungkin hanya berlaku di kalangan aktivis pembela hak-hak azasi manusia.

Makna konotasi dalam perkembangannya dapat berubah menjadi makna denotasi. Jika makna kata ‘Islam’ memiliki konotasi ‘orang-orang yang mulai mendominasi politik dan perekonomian di Belanda yang mulai menjadi ancaman bagi warga negara asli Belanda’ dan makna itu diyakini secara umum dan telah dianggap wajar dalam suatu masyarakat meskipun bertentangan dengan kenyataan maka makna “etnis yang mulai mendominasi politik dan perekonomian di Belanda yang mulai menjadi ancaman bagi warga negara asli Belanda” menjadi sebuah mitos. Jika mitos semakin intens dan kuat diyakini oleh suatu masyarakat tertentu, maka mitos pun dapat berubah menjadi ideologi, dan kemudian ideologi ini menjadikan Islam sebagai simbol dari suatu hal yang bersifat ancaman dan berdampak negatif bagi warga negara asli Belanda.

Dalam mitos, konstruksi penandaan pertama adalah bahasa/teks[1]/sistem denotasi sedangkan yang kedua disebut Barthes sebagai metabahasa / sistem konotasi. Bagan dan contoh lain di bawah ini dapat membantu dalam memahami semiologi Barthes.

 

 

 

Mitos

Bahasa
  1. Penanda (Islam)
  2. Petanda ( Islam sebagai simbol kehidupan multikultur di Belanda)
 

 

 

 

   
  1. Tanda

I.Bentuk (Islam sebagai simbol kehidupan multikultur di Belanda)

  II. Konsep/ Petanda”(Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda)
    III. Pemaknaan / Tanda “ (Islam menjadi “ancaman” bagi warga pribumi Belanda)  

 

Berdasarkan contoh yang telah diberikan melalui bagan di atas, dengan bentuk dan konsep, yaitu Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda, maka pemaknaannya adalah Islam merupakan ancaman bagi warga pribumi Belanda. Dengan demikian, Islam di Belanda menjadi simbol masalah di Belanda.

Perkembangan Islam dari awal dengan damai yang telah memberikan makna positif di dalam kehidupan bermasyarakat Belanda yang lambat laun berubah menjadi simbol keberagaman kehidupan bermasyarakat di sana (masyarakat multikultur di Belanda) ternyata memasuki babak baru pada saat ini. Dengan teori mitos dan mitologi Rolland Barthes, kita bisa sama-sama menelusuri proses perubahan pandangan dan pemaknaan masyarakat Belanda terhadap Islam.

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, selain simbol positif yang terdapat di dalam Islam terkait dengan kehidupan masyarakat yang multikultur di Belanda, pergerakan kehidupan bermasyarakat di Belanda ternyata menimbulkan pandangan dan pemaknaan baru yang bersifat negatif mengenai Islam. Dimulai dari pertikaian internal antara masyarakat Belanda keturunan Turki dan Marokko yang cukup mengganggu ketentraman kehidupan bermasyarakat sampai pada beberapa kasus pembunuhan terhadap publik figur Belanda yang memiliki pandangan ekstrim terhadap Islam.

Keadaan seperti ini menimbulkan aksi-aksi menentang Islam di Belanda, dan kelompok ekstrim kanan yang sangat chauvinistis banyak melakukan propaganda yang bersifat diskriminatif terhadap umat Muslim di Belanda. Salah satu aksi diskriminatif yang paling terkenal adalah ditampilkannya filem pendek berjudul Fitna oleh Geert Wilders yang berisi tentang propaganda betapa Islam adalah agama dengan ideologi dan ajaran yang sangat kejam dan barbar.

Popularitas Wilders setelah kemunculan filem pendek Fitna menjadikannya publik figur baru di Belanda yang sekarang menjadi politikus yang sangat berpengaruh di Belanda. Banyak keputusan-keputusan dan kebijakan yang dicetuskan oleh Wilders bersifat diskriminatif terhadap kaum pendatang, khususnya yang berasal dari negara dengan jumlah penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam. Aksi-aksi Wilders yang diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan politik ini dengan pasti menimbulkan suatu ketakutan terhadap kaum pendatang (xenophobia) dan juga ketakutan terhadap Islam (Islamophobia).

Jika ditelaah lebih dalam, kasus-kasus pembunuhan terhadap publik figur yang berpikiran ekstrim terhadap Islam itu bisa dimaknai sebagai beberapa bentuk reaksi terhadap pergeseran pandangan dan pemahaman terhadap Islam di Belanda. Aksi propaganda dan kebijakan-kebijakan publik yang bersifat diskriminatif terhadap Islam telah menimbulkan reaksi cukup ekstrim dari mereka yang merasa terdiskriminasi.

Kesimpulan

Di Belanda telah terjadi pergeseran pandangan dan pemaknaan terhadap Islam dan penganutnya (Muslim). Dari awal masuk dan berkembangnya Islam di Belanda yang berlangsung secara damai dan Islam berhasil menjadi bagian dari masyarakat Belanda yang memberikan dampak positif terhadap Belanda terkait dengan kehidupan masyarakat yang sangat multikultur menjadi suatu agama dan kelompok manusia yang ditakuti dan tidak dikehendaki keberadaannya karena mereka perlahan tapi pasti terlabeli sebagai simbol masalah di Belanda.

Banyak faktor yang berperan dalam pergeseran pandangan dan pemaknaan masyarakat Belanda terhadap Islam. Perbedaan nilai-nilai dasar yang dianut oleh Islam dengan masyarakat Belanda, kejahatan teroris internasional yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras, posisi strategis di dalam negeri Belanda yang pelan-pelan dilakoni oleh umat Muslim di Belanda, dan propaganda negatif tentang Islam oleh kelompok-kelompok ekstrim kanan Belanda memiliki andil yang sangat besar terhadap simbolisasi Islam sebagai suatu masalah di Belanda.

Proses simbolisasi Islam menjadi simbol masalah di Belanda dapat dijelaskan dengan bagan yang telah dijelaskan pada bagian analisis: dengan bentuk dan konsep, yaitu Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda, Kelompok Islam garis keras yang melakukan kejahatan teror internasional, perbedaan nilai-nilai dasar antara Islam dengan Belanda, dan konflik internal antara umat Muslim keturunan Turki dengan umat Muslim keturunan Marokko, maka pemaknaannya adalah Islam merupakan ancaman bagi masyarakat Belanda. Dengan demikian, Islam di Belanda menjadi simbol masalah di Belanda.

Bibliografi

Anonim. 2010. De Posistie van Moslims in Nederland: Feiten en Cijfers. Utrecht: FORUM-Instituut voor Multiculturele Vraagstukken.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. 1972. Denotation and Conotation. Element of Semiology. London: Jonatahan Cape.

———————. 2006. Mitologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Geuijen, C.H.M. 1998. Werken aan Ontwikkelingsvraagstukken Multiculturalisme. Utrecht: Lema  BV.

Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. California: University of California Press.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Yogyakarta: Indonesiatera.

http://www.dakhorst.nl/dossiers/islam/gastarbeiders.htm diunduh pada tanggal 19 Desember 2012.



[1] Pada tulisan ini yang menjadi “teks” adalah Islam, bukan sekedar tanda bahasa pada tataran linguistik.

Pembagian Wilayah Negara Belgia (bagian 2)

Seperti yang terjadi pada hampir seluruh daratan Eropa, de Nederlanden[1] juga tidak luput dari kekuasan Julius Caesar. Kerajaan Romawi ini melakukan ekspansi besar-besaran ke hampir seluruh daratan Eropa untuk menularkan ide demokrasi dan sistem perpajakan dalam sistem pemerintahan. Caesar melakukan ekspansi ini dengan menggunakan pendekatan yang sangat kultural, yaitu dengan menggunakan bahasa daerah tersebut dalam melakukan aksinya. Dengan kata lain, rumpun bahasa Germania yang menjadi bahasa pada kawasan de Nederlanden tidak dijadikan hal yang harus “diseragamkan” oleh Caesar dalam melancarkan aksinya.

Metode ini ternyata sangat efektif, karena ekspansi oleh Roma tidak menjadi sangat berat karena tidak melukai perasaan pribumi dengan tidak menggunakan politik bahasa yang bersifat chauvinis, artinya bahasa kaum yang berkuasa tidak menjadi isu utama yang harus disebarkan ke daerah jajahan. Caesar justru mengeluarkan kebijakan untuk tetap menggunakan bahasa setempat untuk menyebarluaskan ide demokrasi dan perpajakan dalam pemerintahan pada 17 provinsi yang termasuk ke dalam wilayah de Nederlanden.

Pada masa 1560 – 1650, tampuk kekuasaan di wilayah Nederlanden pindah ke tangan Spanyol. Sedikit berbeda dengan misi ekspansi yang dilakukan oleh Ceasar, Spanyol melakukan ekspansi untuk menyebarkan ajaran Katolik dan hal-hal yang terkait dengan ke-Gerejaan. Berbeda dengan politik bahasa yang dilakukan oleh Caesar, Spanyol menggunakan politik bahasa yang bersifat chauvinis, artinya daerah jajahan Spanyol saat itu harus menggunakan bahasa Spanyol sebagai linguafranca. Jadi, Spanyol menyebarkan ajaran Katolik, menyeragamkan Gereja-gereja yang terdapat di 17 provinsi yang termasuk ke dalam wilayah de Nederlanden, dan juga melancarkan politik bahasa yang bersifat chauvinis.

Misi ekspansi Spanyol ke wilayah de Nederlanden yang sangat berbeda dengan misi ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Romawi tenyata menyulut rasa sakit hati yang cukup mendalam di kalangan pribumi saat itu. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena Spanyol datang dengan misi yang sangat mengintervensi akar-akar budaya masyarakat pribumi, yaitu penyeragaman kepercayaan dan bahasa.

Pada wilayah de Nederlanden bagian Utara, rasa sakit hati ini bermuara pada pemberontakan pada tahun 1568 – 1648. Pemberontakan ini terkenal dengan nama de tachtigjarige oorlog (perang delapan puluh tahun) yang diprakarsai oleh Willem van Oranje. Pemberontakan ini memberikan hasil yang sangat memuaskan bagi para pribumi, karena kekuasaan Spanyol bisa dikalahkan. Oleh karena itu, Willem van Oranje juga dipilih sebagai pemimpin dan Calvinis dipilih sebagai agama satu-satunya yang mereka imani. Willem van Oranje pada awalnya hanya menguasai wilayah Nederlanden yang berada di sebelah Utara, namun perlahan tapi pasti ia juga mulai melakukan ekspansi ke bagian Selatan, sampai pada kota Brussel dan wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan de taalgrens. Pada akhir abad ke-16, di tahun 80-an wilayah de Nederlanden terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Utara yang menganut agama Calvinis, dan bagian Selatan sampai wilayah de taalgrens yang menganut agama Katolik.

Hal yang perlu di garis bawahi dari ulasan singkat tentang sejarah Belgia yang dahulunya merupakan bagian dari de Nederlanden adalah perluasan kekuasaan Willem van Oranje ke bagian Selatan yang di dalamnya termasuk kota Brussel. Perlu dicermati, pemberontakan yang muncul pada wilayah bagian Utara dari de Nedelanden ini dipicu oleh rasa nasionalisme yang tinggi dan sangat terkait dengan hal-hal yang bersifat kebudayaan, yaitu mepertahankan bahasa dan agama. Brussel yang saat itu juga sudah menjadi ibu kota de Nederlanden akhirnya juga mulai menggunakan bahasa Germania (bahasa Belanda) dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Spanyol akhirnya menetapkan prioritasnya di Eropa Barat terkait dengan situasi pasca masa pemberontakan. Spanyol menetapkan bahwa mereka hanya akan keras terhadap urusan kepercayaan (agama). Dengan kata lain, dalam urusan bahasa Spanyol akan bersikap lebih fleksibel. Bahkan di kota Brussel – tempat bermukimnya para Gubernur dan pusat pemerintahan – Spanyol tidak lagi memaksakan bahasa dari rumpun bahasa Roman yang di dalamnya juga terdapat bahasa Prancis.

Dalam sisa-sisa masa pemerintahannya, Spanyol tetap mempertahankan penggunaan tradisi Burgondia dengan senantiasa berkomunikasi dalam bahasa Prancis dalam urusan pemerintahan, birokrasi, dan administrasi. Penggunaan bahasa Prancis dalam segala urusan formal pada masa itu bukanlah hal yang mengejutkan karena ternyata bahasa Prancis memang sudah menjadi bahasa yang digunakan sebagai bahasa formal dalam urusan resmi pada hampir sebagian besar wilayah daratan Eropa setelah masa kekuasaan Kerajaan Romawi berakhir. Budaya-budaya Burgondia, yang di dalamnya terdapat bahasa Prancis, merupakan simbol status sosial pada masa setelah kekuasaan Kerajaan Romawi, dan identitas sosial masyarakat kelas atas identik dengan kemampuannya dalam baca-tulis dalam bahasa Prancis.

Bahasa Belanda hanya mendapat tempat di bagian Utara de Nederlanden – daerah Flandria dan Brabant – pada kalangan tertentu, hal ini dapat dilihat dari terjemahan alkitab dalam bahasa Belanda yang terdapat di kawasan de Nederlanden bagian Utara. Sementara itu, kawasan de Nederlanden bagian Selatan – yang masih dikuasai oleh Spanyol – tetap menggunakan bahasa Prancis dalam level pemerintahan.

Sekolah dasar menggunakan bahasa atau dialek setempat. Namun, anak-anak yang memiliki status sosial tinggi dan memiliki orang tua yang kaya akan menjalankan pendidikan privat, dengan tambahan biaya untuk pelajaran memasak, berhitung, dan pelajaran bahasa Prancis. Dari fakta ini dapat dibuktikan bahwa memang sudah sejak masa pendudukan Spanyol bahasa Prancis merupakan bahasa kalangan atas dan siapapun yang bisa baca-tulis dalam bahasa Prancis akan dipandang mulia pada masa itu, karena terkait dengan status sosial keluarga mereka di dalam masyarakat.

Sementara itu, pendidikan lanjutan diberikan dalam bahasa Latin. Hal ini merupakan dampak lanjutan dari aliran Humanisme pada abad ke-16. Kontrareformasi[2] memberikan dampak tumbuh dan menjamurnya sekolah-sekolah Katolik untuk anak muda. Hal ini terjadi dalam rangka menjaga agar ide reformasi dan pemberontakan dari wilayah de Nederlanden bagian Utara tidak sampai menjadikan generasi muda pada wilayah de Nederlanden bagian Selatan menganut agama Calvinis. Hal yang sudah sangat jelas dari tumbuh dan menjamurnya sekolah-sekolah Katolik adalah penggunaan bahasa Latin yang semakin mendapatkan tempat dalam ranah pendidikan. Kemudian, bahasa lokal dianggap tabu oleh sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Latin.

Kekalahan Spanyol dalam pemberontakan yang terjadi di de Nederlanden bagian Utara bukan tanpa sebab, Spanyol yang dalam masa ini juga sedang berperang melawan kerajaan Prancis harus membagi kekuatan dalam setiap pertempuran yang terjadi pada masa itu.

Prancis akhirnya bisa menaklukkan kekuasaan Spanyol, dan pada tahun 1769 – 1821, dan Napoleon Bonaparte akhirnya menguasai wilayah yang dahulunya merupakan kekuasaan Spanyol. Pada masa kekuasaannya di de Nederlanden, Bonaparte mengeluarkan Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang di dalamnya menyatakan kesetaraan masyarakat di mata hukum, dan mendirikan negara modern. Negara modern ala Bonaparte ini diwujudkan dengan mengganti semua aturan perpajakan, mewajibkan registrasi kelahiran (pengeluaran akte kelahiran), registrasi perkawinan (pengeluaran akte nikah), dan registrasi kematian (pengeluaran akte kematian).

Namun kemudian, perlahan tapi pasti kekuasaan Bonaparte terasa menjadi semakin absolut. Hal ini terasa dalam hal penggunaan bahasa di Gereja-gereja dan sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Latin. Tanpa terasa Bonaparte melakukan verfransing (mewajibkan bahasa Perancis di setiap wilayah taklukannya, termasuk kawasan de Nederlanden). Namun situasi ini tidak berlangsung lama, karena kejatuhan kekuasaan Bonaparte yang ditaklukkan oleh Raja Willem I menghentikan proses verfransing ini.

Pada masa kekuasaan Willem I, semua sekolah, universitas, dan kegiatan-kegiatan pemerintahan diwajibkan menggunakan bahasa Belanda. Seperti Bonaparte yang melakukan verfransing, Willem I melakukan vernederlandsing (mewajibkan penggunaan bahasa Belanda di dalam setiap kawasan taklukkannya). Universitas-universitas, dan sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Prancis, pada masa kekuasaan Willem I berubah menjadi tempat-tempat yang diwajibkan berbahasa Beanda.

Tahun 1970 adalah momentum yang sangat bersejarah bagi negara Belgia, terutama terkait dengan pembagian wilayah negara berdasarkan diversitas bahasa yang diakui. Di tahun ini diresmikanlah garis batas bahasa (Taalgrens) yang membagi wilayah Belgia ke dalam beberapa bagian berdasarkan bahasa utama yang diakui di wilayah tersebut:

  1. Vlaanderen (Flandria): kawasan sebelah Utara Belgia dengan bahasa Belanda Flemish,
  2. Wallonië (Walonia): kawasan sebelah Selatan Belgia dengan bahasa Prancis,
  3. Oost-België (Belgia Timur): kawasan sebelah Timur Belgia dengan bahasa Jerman.

Taalgrens atau garis batas bahasa ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara. Selain membagi Belgia ke dalam 3 kawasan berdasarkan bahasa yang diakui pada masing-masing wilayah, Taalgrens juga mengatur situasi kebahasaan kota Brussel (ibu kota Belgia) menjadi kota dwibahasa. Jadi, bahasa Belanda dan bahasa Prancis adalah dua bahasa resmi yang diakui di kota Brussel.



[1] Kawasan tanah rendah yang berada di sebelah Barat benua Eropa dan terdiri dari 17 provinsi. Saat ini Kawasan tersebut dikenal dengan nama Benelux: Belgium, Netherlands, and Luxemburg. 17 provinsi tersebut adalah: Graafschap Artesië, Graafschap Vlaanderen, Kasselrijen Rijsel, Dowaai dan Orchies (kadang-kadang juga disebut Rijsels-Vlaanderen), Heerlijkheid Mechelen, Graafschap Namen, Graafschap Henegouwen, Graafschap Zeeland, Graafschap Holland, Hertogdom Brabant dan Markgraafschap Antwerpen, Hertogdom Limburg dan de Landen van Overmaas, Hertogdom Luxemburg, Heerlijkheid Friesland, Doornik dan het Doornikse, Heerlijkheid Utrecht, Heerlijkheid Overijssel, termasuk Drenthe, Lingen, Wedde dan Westwoldingerland, Heerlijkheid Groningen, Hertogdom Gelre dan Graafschap Zutphen.

[2] Bentuk perlawanan dari masyarakat bagian Selatan de Nederlanden dalam menyikapi kemenangan pemberontakan yang dilakukan oleh Willem van Oranje pada wilayah de Nederlanden bagian Utara.

Sumber utama: Raskin, Brigitte. De Taalgrens. 2012

Jejak-jejak Pengaruh Gilde di Benelux dalam Bidang Sosial Budaya pada Awal Abad 21

Gilde adalah bentuk kerja sama para tukang/pengrajin dengan jenis produk yang bersifat homogen. Gilde dikembangkan oleh kelompok pedagang di Eropa Barat yang mulai muncul di masa awal abad pertengahan. Mereka mendiami sebuah pemukiman di dekat benteng kota, namun keberadaan mereka tidak termasuk ke dalam sistem feodal yang sudah ada waktu itu di kota tempat gilde berada. Namun demikian, keberadaan gilde ini memegang peranan penting di dalam sistem feodal yang ada terkait dengan hubungan antar kelas sosial masyarakat.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota dan kehidupan sosial pada masyarakat di Eropa Barat, maka peran gilde menjadi semakin penting demi terjaganya suplai barang-barang hasil produksi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat kelas menengah atas dan pertumbuhan infra-struktur pertumbuhan kota itu sendiri. Dengan demikian gilde termasuk ke dalam salah satu bagian kelompok masyarakat yang memegang peranan kunci dalam perkembangan kota pada paruh akhir abad pertengahan.

Dalam menyikapi situasi seperti ini, maka akhirnya kota-kota di Eropa waktu itu membentuk pemerintahan kota sebagai pemegang kekuasaan politik. Hal ini nantinya membedakan antara warga sebagai bagian dari suatu kota yang dipimpin oleh pemerintahan masing-masing dengan warga yang tergabung ke dalam suatu gilde, karena gilde juga memiliki hirarki kekuasaan tersendiri. Sementara itu, gilde menguasai sektor perdagangan dan ekonomi. Jadi, relasi antara pemerintah di setiap kota dengan gilde-gilde yang ada di masing-masing kota nantinya akan menentukan progres pertumbuhan kota dan peningkatan kesejahteraan kehidupan sosial masyarakat suatu kota.

Perkembangan Gilde

Pada sekitar abad ke-12, biasanya satu gilde terdiri merupakan sebuah cabang lengkap industri, misalnya pembuatan alas kaki. Namun di akhir abad ke- 12 dan selama abad ke-13 terjadi pembagian lebih spesifik dari aktifitas produk yang dihasilkan oleh suatu gilde. Oleh karena itu, dimulai dari abad ini semakin banyak bermunculan gilde yang lebih spesifik. Misalnya gilde yang khusus mengolah kulit hewan untuk dijadikan sepatu, gilde yang khusus memproduksi sol sepatu, gilde yang khusus memproduksi tali sepatu, dan sebagainya.

Pertumbuhan gilde yang semakin spesifik jenis produksinya disebabkan karena dua hal:

  1. Pertumbuhan kota yang cepat dan pertumbuhan jumlah masyarakat kota yang ikut meningkat menyebabkan gilde dengan pola lama (gilde yang merupakan cabang lengkap industri) dirasa tidak lagi efektif dalam memenuhi kebutuhan pesanan.
  2. Di dalam gilde pola lama mulai bermunculan orang-orang yang bekerja terpisah dalam mengerjakan bagian-bagian tertentu produk yang akan. Hal ini menyebabkan keberadaan alat produksi terpisah-pisah. Maka kemudian situasi ini akan lebih efektif apabila masing-masing gilde melakukan produksi bagian-bagian tertentu dari suatu produk utuh yang dipesan, misalnya gilde yang hanya mengolah kulit untuk dijadikan sepatu, gilde yang hanya memproduksi sol sepatu, dan lain sebagainya.

Fungsi Sosial Gilde

Pertumbuhan gilde yang cukup pesat dan langsung bersentuhan dengan masyarakat kota dari semua kelas sosial menyebabkan gilde perlahan tapi pasti memiliki peranan penting di dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat di kota-kota Benelux pada waktu itu.

Gilde-gilde yang ada pada saat itu bisa menjelma menjadi jaring pengaman sosial (social security system) bagi para anggotanya, dan kadang-kadang bagi masyarakat umum.

Aksi-aksi yang dilakukan oleh gilde yang berguna bagi kehidupan sosial masyarakat di Belanda:

  1. Penyelenggaraan upacara-upacara perayaan penobatan meester (tingkat paling tinggi di dalam struktur gilde) yang baru. Kegiatan ini merupakan kegiatan internal gilde yang efeknya memberikan fungsi sosial kepada masyarakat umum, karena pada kegiatan ini gilde menyediakan makanan dan minuman gratis bagi masyarakat sekitar.
  2. Donasi uang kepada gereja yang berada di sekitar gilde.
  3. Pembayaran biaya pemakaman anggota gilde yang meinggal dan nantinya diikuti dengan pembiayaan kehidupan janda-janda dan anak-anak yatim yang ditinggalkan.

Sementara itu, keuntungan-keuntungan khusus yang didapatkan sebagai anggota gilde adalah sebagai berikut:

  1. Pendidikan gratis untuk para putra meester yang mulai menurun kemampuan ekonominya.
  2. Jaminan kesehatan untuk anggota gilde yang sakit atau mengalami kecelakaan dalam pelaksanaan tugasnya.
  3. Apabila ada anggota yang kehilangan kekuatan ekonominya secara mendadak, misalnya setelah dirampok, maka gilde memberikan modal kepada orang itu untuk kembali membangun usahanya.
  4. Apabila ada orang asing yang menolak membayar sesuai dengan harga yang telah disepakati, maka gilde akan menagih utang orang tersebut kepada pemuka masyarakat kota tempat orang itu berasal.

Gilde-gilde yang ada pada masa ini memiliki pengaruh yang besar di dalam sistem pemerintahan kota-kota di Benelux. Sementara para anggota pemerintahan sibuk dengan usaha pertumbuhan kota melalui ekonomi dan perdagangan, maka gilde-gilde yang ada semakin memiliki kuasa untuk “mengatur” pola perkembangan yang ada di dalam pertumbuhan kota dan masyarakat pada waktu itu. Atas dasar inilah, maka banyak masyarakat Benelux pada waktu itu berlomba-lomba untuk masuk ke sekolah-sekolah[1] yang didirikan oleh gilde. Maka dari itu, sekolah-sekolah ini nantinya akan menjadi cikal bakal kemunculan sekolah-sekolah kejuruan yang ada di Benelux sebelum kemunculan universtias-universitas.

Jejak-jejak Pengaruh Gilde di Benelux pada Abad 21

I.                   Sistem Pendidikan di Belanda

Gambar 1

Nederlands_Onderwijs-schema
sumber: http://beroepskeuzeonline.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=59

Keterangan:

1. Warna ungu                            : pendidikan dasar

2. Warna hijau muda               : pendidikan lanjutan pertama

3. Warna biru muda                : pendidikan lanjutan atas

4. Warna kuning                       : pendidikan bidang keterampilan/kejuruan  lanjutan atas

5. Warna merah                        : pendidikan tinggi/universitas

Dari gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa Negara Belanda memiliki sistem pendidikan yang sangat tertata. Setelah lulus dari pendidikan dasar para siswa sudah bisa memilih kompetensi apa yang nantinya ingin diraih setelah lulus sekolah, dan hal ini sangat menentukan apakah siswa akan melanjutkan pendidikannya ke universitas atau ke sekolah tinggi kejuruan.

Menurut saya, sistem pendidikan di bidang keterampilan/kejuruan merupakan warisan dari sistem sekolah-sekolah yang didirikan oleh gilde di abad pertengahan. Jadi, generasi muda di Belanda tidak semuanya memiliki orientasi untuk melanjutkan pendidikan ke universitas, tetapi dari tingkat lanjutan pertama para siswa sudah diberikan kebebasan untuk memilih bidang mana nantinya yang ingin dikuasai apabila yang bersangkutan berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat yang paling tinggi. Dengan demikian, masyarakat Belanda memiliki fungsi yang jelas di dalam masyarakat dan di dalam dunia kerja ketika mereka telah menyelesaikan pendidikannya.

Maka dari itu, bukan hal yang aneh apabila di Belanda kita menemukan tukang cukur yang memiliki sertifikat kelulusan pendidikan sebagai tukang cukur dan piñata rambut, pedagang roti yang memiliki sertifikat kelulusan pendidikan tata boga dengan spesialisasi roti, makelar yang memiliki brevet dan sertifikat ahli di bidang makelar, tukang kebun yang memiliki sertifikat di bidang pengelolaan kebun, pengusaha restoran yang memiliki sertifikat keahlian dalam pengelolaan restoran, dan profesi lainnya.

II.                Sistem Perbankan di Benelux

Pertumbuhan dan perkembangan gilde di Benelux memberikan dampak yang cukup besar secara langsung terhadap perkembangan ekonomi pada saat itu. Hal ini menjadi alasan utam munculnya institusi ekonomi dan keuangan yang saat ini kita kenal dengan nama “bank”. Kegiatan transaksi yang tidak lagi menggunakan sistem barter, tetapi sudah mengenal sistem alat tukar (uang) memaksa kemunculan bank di Benelux.

Kegiatan transaksi tidak hanya di dalam kota, namun transaksi juga terjadi antar kota dan antar pulau. Seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa gilde-gilde yang ada dan semakin banyak jumlahnya mulai spesifik mengelola/memproduksi bagian-bagian tertentu dari suatu produk. Hal ini menyebabkan interaksi antar kota dan antar pulau semakin sering dalam upaya penyelesaian produksi suatu barang.

Kegiatan transaksi dalam jumlah besar dan dengan jumlah uang yang cukup banyak sangat rentan dengan perampokan yang biasanya terjadi di luar benteng (di luar kota, dalam perjalanan menuju kota atau pulau berikutnya untuk kepentingan transaksi). Maka dari itu, pada Abad ke-13 berdirilah sebuah bank di kota Gent (Belgia), London, Paris, dan Florence.

III.              Sistem Jaminan Sosial

Fungsi sosial gilde yang telah saya jelaskan pada halaman dua menjadi tiang berdirinya sistem jaminan sosial masyarakat di Benelux. Sistem asuransi warga negara di Belanda, Belgia, dan Luxemburg merupakan perkembangan dari fungsi sosial gilde di abad pertengahan.

Tidak hanya warga negara yang mendapatkan jaminan sosial, tetapi setiap warga asing yang ingin masuk ke negara di Benelux harus memenuhi banyak persyaratan dan salah satu persyaratan itu adalah memiliki asuransi jiwa dan kesehatan. Hal ini jelas merupakan pengaruh yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat di manapun di dunia, karena kesehatan adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya.

Jaminan kesejahteraan hidup warga negara di Benelux yang terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan pendidikan yang layak, jaminan kecelakaan kerja, tunjangan untuk pengangguran, tunjangan untuk warga miskin yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya, dan tunjangan hari tua (pension) yang ada pada saat ini merupakan bentuk penyempurnaan dari fungsi sosial gilde yang telah saya jelaskan pada halaman dua makalah ini.

IV.              Bangunan dan Seni Arsitektur

Banyak kota-kota di Eropa yang memiliki banyak bangunan-bangunan bersejarah memiliki seni arsitektur dengan nilai estetika yang sangat tinggi. Keberadaan bangunan-bangunan ini tidak lepas dari keberadaan gilde di masa lalu karena gilde tidak hanya melakukan aktifitas memproduksi suatu barang, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, gilde-gilde pada abad pertengahan juga berkembang pada sektor jasa, misalnya: ahli bangunan, tukang batu, tukang kayu (untuk dekorasi bangunan dan jendela), tukang kaca, dan sebagainya. Perkembangan keahlian gilde seperti ini sangat memegang peranan yang penting di dalam keberadaan bangunan-bangunan dan seni arsitektur yang melekat pada bangunan-bangunan tersebut yang berdiri megah pada saat ini di kota-kota di Benelux.

Bangunan-bangunan ini merupakan peninggalan budaya yang sangat penting karena berkaitan dengan sejarah dan identitas masyarakat suatu kota di Benelux, dan di benua Eropa pada umumnya.

Kesimpulan

Gilde yang mulai tumbuh di Benelux pada awal abad pertengahan dan semakin berkembang pada abad-abad berikutnya merupakan salah satu aspek terpenting dalam eksistensi dan identitas sosial dan budaya kota-kota dan masyarakat di Benelux.

Begitu banyak pengaruh jejak-jejak keberadaan gilde di Benelux yang memiliki nilai manfaat tinggi pada masa sekarang ini (abad ke-21). Keberadaan dan sistem sekolah yang ada di Belanda, Bank pertama yang ada di Gent, sistem jaminan sosial masyarakat, dan seni arsitektur bangunan di Benelux yang masih berdiri megah sampai saat ini merupakan beberapa warisan dari keberadaan gilde yang muncul di awal abad pertengahan di Benelux.

Melebihi dari apa yang telah saya sampaikan pada paragraf di atas, sejarah keberadaan gilde itu sendiri merupakan aspek budaya yang sangat penting bagi Eropa Barat, khususnya Benelux. Keberadaan gilde tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan budaya negara dan masyarakat Benelux, karena pertumbuhan kota yang diikuti dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan sistem sosial yang berlaku di dalam kota tersebut merupakan produk dari interaksi gilde yang mendiami suatu kota pada abad pertengahan.

Bibliografi

B. Tierney, S. Painter, (1983). Western Europe in the Middle Ages. New York: —

R. van Uyten, (1982). Stadsgeschiedenis in het Noorden en Zuiden. Haarlem: —

http://beroepskeuzeonline.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=59, diunduh pada tanggal 26 Oktober 2012, pukul 23.44 WIB.

http://kunst-en-kultuur.infonu.nl/geschiedenis/9099-de-gilde-een-vereniging-van-ambacht-en-werklieden.html, diunduh pada tanggal 27 oktober 2012, pukul 08.39 WIB.



[1] Demi menjaga kualitas barang hasil produksi, maka gilde mendirikan sekolah-sekolah untuk pendidikan bagi anggota baru yang nantinya akan mendapat pengakuan dari gilde untuk menguasai satu bidang usaha produksi produk tertentu atau kemahiran tertentu.

Latar Belakang Munculnya Islamophobia di Kalangan Masyarakat Eropa

Islamophobia adalah ketakutan terhadap segala sesuatu tentang Islam. Islamophobia saat ini sangat “mewabah” di negara-negara Barat (Amerika dan Eropa). Pada kesempatan ini fokus akan dikerucutkan pada Islamophobia di Eropa. Pasca Perang Dunia II yang telah meluluh lantakkan sebagian besar negara-negara di Eropa memaksa bangsa-bangsa di Eropa “mengimpor” para pekerja dari luar untuk membangun kembali negara mereka yang telah hancur setelah Perang Dunia II. Sebagian besar negara-negara di Eropa (khususnya negara Eropa Barat) “mengimpor” para pekerja dari negara-negara yang mayoritas penduduk dan budayanya berdasarkan ajaran Islam, seperti: Aljazair, Marokko, India, dan Turki. Para pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan banyak di antara mereka yang berkeluarga dan berketurunan di negara-negara Eropa dan beragama Islam. Keberadaan para pekerja asing ini yang akhirnya berkeluarga dan mempunyai keturunan di Eropa lama-kelamaan mengalami beberapa kendala terkait dengan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat asli di negara Eropa tempat mereka bekerja. Sebagian besar pekerja asing beserta keluarga dirasa kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat mereka bekerja (mereka hidup berkelompok di wilayah-wilayah tertentu yang di lingkungan itu hanya orang-orang dari asal negara yang sama yang bermukim). Tidak sedikit di antara mereka (antar pekerja pendatang yang berbeda asal negaranya) juga berselisih dalam kehidupan bermasyarakat di negara tempat mereka bekerja, hal ini tidak jarang menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan. Kejadian-kejadian seperti ini memupuk stigma negatif terhadap Islam yang lambat laun berkembang menjadi ketakutan terhadap Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Islamophobia.

Islamophobia diperkuat dengan kejadian-kejadian teror yang menyita perhatian dunia yang sebagian besar ditengarai dilakukan oleh-oleh kelompok Islam radikal dari negara-negara yang memiki basis penganut Islam cukup besar di dunia, Misal: tragedi WTC di Amerika, Bom bunuh diri di Inggris, Bom Bunuh diri di Spanyol, Pembunuhan terhadap sutradara Theo Van Gogh di Belanda oleh seorang Muslim, Pembunuhan Politikus Belanda, Pim Fortuyn oleh seorang Belanda keturunan Marokko, dsb.

Bentuk-bentuk Islamophobia yang terjadi di Eropa akhir-akhir ini sebagai berikut:

  1. Pelarangan pemakaian burka (cadar penutup muka) bagi Muslimah di Prancis
  2. Diskriminasi terhadap pelaksaan ibadah umat Muslim (termasuk pendirian tempat ibadah umat Muslim, dsb.)
  3. Pemeriksaan extra ketat di setiap imigrasi transportasi darat, laut, dan udara terhadap mereka yang beragama Islam atau mereka yang berasal dari negara yang mayoritas penduduknya Muslim.

Model Historiografi Lama dan Kritiknya

Penulisan sejarah sejak zaman Herodotus (490 S.M. – 430 S.M.) dan Thucydides (456 S.M. – 404 S.M.) bersifat naratif yang hanya menerangkan tentang kronologis terjadinya suatu peristiwa. Beberapa gaya penulisan pada zaman itu: kronik biara, memori politik, risalah kuno, dan sebagainya. Penulisan sejarah seperti ini kurang mendapat tempat di dalam ranah ilmiah karena data yang digunakan untuk penulisan kurang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu penulisan sejarah pada masa ini pada masa selanjutnya hanya dianggap sebagai cerita mitos dan laporan kejadian saja.

Pada masa dua pertiga bagian pertama abad ke-19 penulisan sejarah mulai memasuki bentuk modern. Tokoh sejarah yang menjadi pionir pada masa ini adalah Leopold von Ranke. Ranke mulai mencoba “mengilmiahkan” penulisan sejarah dengan bertitik tolak dari perolehan data yang sangat mengutamakan penggunaan data arsip konvensional. Model penulisan sejarah seperti inilah yang disebut dengan model penulisan sejarah methodique. Penulisan sejarah dengan model penulisan methodique hanya fokus kepada kejadian politik (perang) dan orang-orang terkenal dan bersifat kronologgis yang mengakibatkan sejarah sosial, ekonomi, dan budaya (sejarah non-politik) seperti tidak mendapat tempat/tersisih dari  disiplin ilmiah baru dan perlahan-lahan mulai tersingkirkan. Aliran methodique mengatakan bahwa sejarah hanya menyangkut orang ternama dan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi karena perbuatan mereka.

Pada tahun 1900-an penulisan sejarah politik dan orang-orang terkenal model methodique ini mulai menuai kritik yang tajam dari para penggiat sejarah dan diusulkan untuk mengganti model penulisan sejarah model methodique ini. Pengikut Durkheim, seorang ekonom yang bernama François Simiand mengkritik aliran methodique ini dengan menyatakan bahwa ada tiga “berhala” di dalam suku sejarawan yang harus ditumbangkan. Tiga “berhala” yang dimaksud oleh Simiand adalah: 1. Berhala politik (sejarah yang hanya berkecimpung di dalam ranah politik, termasuk perang), 2. Berhala individu (sejarah yang hanya berkecimpung membahas orang-orang terkenal pada masanya), 3. Berhala kronologis (kebiasaan melibatkan diri dalam kajian asal-usul).

Pada masa ini juga (tahun 1900-an) sifat sejarah menjadi subjek yang sangat sering diperdebatkan. Kritik dari Ernest Lavisse[1] mengatakan bahwa tidaklah tepat bila berpikiran tentang sejarawan profesional yang mapan dari suatu peridode yang terfokus dengan naratif peristiwa politik.

Ciri khas dari sejarawan abad ke-20 adalah orientasi mereka kepada ilmu sosial lain dalam melakukan pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap sejarah dengan tidak mengabaikan batasan-batasan dari pendekatan tersebut. Hal ini merupakan hantaman keras terhadap sejarawan dengan model penulisan methodique yang hanya berkecimpung di dalam sejarah politik kronologis dan orang-orang terkenal di dalamnya.

Di Prancis, aliran yang mengkritik aliran methodique dan cukup mendapat tempat adalah aliran Les Annales[2]. Aliran Les Annales menggunakan metodologi struktural dalam dasar setiap penelitiannya, dan menurut aliran Les Annales sejarah tidak hanya menyoroti tokoh-tokoh ternama, tetapi juga mencakup seluruh lapisan masyarakat yang tergabung ke dalam struktur tertentu.  Aliran Les Annales terdiri atas tiga kelompok, yaitu:

  1. Mereka yang benar-benar menjalankan prinsip Les Annales. Tokohnya: Lucien Febvre, March Bloch, Fernand Braudel, Georges Duby, Jacques Legoff, dan Emmanuel Le Roy Ladourie.
  2. Mereka yang berada di pinggiran dan tetap setia pada analisis sejarah menggunakan pendekatan Mrxis, khususnya dalam bidang ekonomi. Tokohnya: Ernest Labrousse, Pierre Villar, Maurice Agulhon, dan Michel Vovelle.
  3. Mereka yang bergabung sebentar dengan aliran Les Annales, dan kemudian bergeser dari aliran ini karena tidak setuju dengan perkembangan Les Annales berikutnya. Tokohnya: Ronald Mousnier dan Michel Foucault. Kelompok ini dijuluki kelompok semi Annales.

Menurut Lucien Febvre, seorang sejarawan bisa menjadi ahli Geografi, Hakim, Sosiologi, dan seorang sejarawan bisa menjadi ahli Psikologi, karena seorang sejarawan mampu menguraikan hal secara rinci dan mendalaminya secara sempit namun tajam.

Opini Penulis

Munculnya aliran Les Annales yang mengkritik aliran methodique membawa angin segar untuk banyak sejarawan dunia, khususnya di Prancis karena cakupan penelitian sejarah akan semakin luas bahasannya, tidak hanya berkecimpung di seputar politik, orang penting, dan cerita yang bersifat naratif kronologis.

Namun, sebenarnya dua aliran ini ada kekurangan dan kelebihannya. Kekurangan pada aliran methodique adalah mengabaikan disiplin ilmu lain di luar politik, dan hanya fokus terhadap orang-orang penting yang menyebabkan terjadinya suatu kejadian. Padahal sebenarnya suatu kejadian bisa terjadi tidak hanya disebabkan oleh perbuatan dari satu orang saja. Misalnya, reformasi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 sebenarnya tidak disebabkan hanya oleh seorang tokoh, yaitu Soeharto, tetapi banyak hal lain yang menyebabkan terjadinya reformasi di Indonesia pada tahun 1998, di antaranya: krisis ekonomi, kesejahteraan rakyat Indonesia yang merosot akibat dari krisis ekonomi, rasa muak masyarakat dengan gaya diktator pemerintahan Orde Baru, dan banyak faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang berperan sangat besar dalam terjadinya reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Dengan pemikiran ala aliran methodique, maka kejadian reformasi 1998 hanya akan menceritakan kronologis cerita dengan tokoh utama Soeharto, dan ini akan mengabaikan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang sebenarnya berperan cukup besar dalam terjadinya reformasi 1998.

Kelebihan aliran methodique: membongkar peran aktor-aktor penting suatu kejadian dan menceritakannya secara runut (kronologis).

Kekurangan pada aliran Les Annales adalah berkurangnya peran aktor dalam suatu kejadian, karena aliran ini lebih fokus terhadap hal-hal sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang berperan terhadap terjadinya suatu kejadian. Misalnya, kejadian kudeta oleh PKI pada tahun 1965 yang berujung pada pindahnya tampuk kepemimpinan Republik Indonesia ke tangan Soeharto. Dengan kerangka berfikir aliran Les Annales, maka ambisi pribadi Soeharto sebagai salah satu aktor dalam kejadian ini tidak akan komprehensif terekspos, karena aliran Les Annales lebih fokus terhadap faktor-faktor sosial lain yang berpotensi menyebabkan terjadinya kejadian ini, walaupun sebenarnya di balik faktor-faktor sosial yang menyebabkan terjadinya kudeta 1965 juga terdapat ambisi tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai tujuan tertentu dan melakukan hal-hal tertentu yang juga punya peranan besar dalam terjadinya kudeta 1965.

Kelebihan aliran Les Annales: mampu mengungkap faktor-faktor lain (khususnya di bidang sosial) yang berperan besar dalam terjadinya suatu kejadian.

Maka menurut saya, aliran methodique dan aliran Les Annales punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang sebenarnya jika kerangka berfikir dari dua aliran ini dikolaborasikan maka akan menghasilkan penulisan sejarah yang cukup komprehensif, karena kolaborasi antara dua aliran ini akan memperhitungkan aktor-aktor penting di dalam suatu kejadian, tanpa melupakan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya yang juga berperan terhadap terjadinya suatu kejadian, dan kronologis suatu peristiwa tetap terjaga.

Bibliografi

Burke, Peter. (2009). Seri Kajian Sejarah Dunia Revolusi Sejarah Prancis Mahzab Les Annales 1929 – 1989. Bogor: Akademia.

Lubis, Nina H. (2003). Historiografi Barat. Bandung: CV. Satya Historika.



[1] Salah satu sejarawan penting pada masa ini, ia juga merupakan editor umum sejarah Prancis yang terbist dalam sepuluh volume antara tahun 1900 dan 1912.

[2] Les Annales adalah sebuah jurnal yang peneliti-penelitinya mengintegrasikan sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

Kesan Ciri Aliran Ekspresionisme di dalam Novel The Methamorphosis Karya: Franz Kafka

Secara umum, ekspresionisme dapat dikenal sebagai suatu aliran di dalam bidang seni yang mengumbar emosi yang mendalam. Hal ini bisa bermakna bahwa setiap karya dalam aliran ekspresionisme merupakan wujud pemberontakan yang bergejolak di dalam bathin si seniman yang dalam kehidupan nyata dia tidak bisa melakukannya. Jadi, satu-satu nya cara dan media yang bisa menjadi wadah penyalur keinginan yang terpendam dan hampir tidak bisa terwujud itu adalah di dalam karya yang diciptakan oleh seniman itu.

Franz Kafka, seorang penulis ekspresionis Jerman, dalam karyanya yang berjudul The Metamorphosis menunjukkan dengan jelas bagaimana karya tulis (dalam hal ini berupa novel) di dalam aliran ekspresionisme.

Dalam novel The Metamorphosis terdapat empat tokoh utama: 1. Gregor Samsa, seorang pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga yang secara misterius berubah menjadi kecoa pada suatu hari, 2. Grete Samsa, adik perempuan Gregor Samsa yang merawat dan memberi makan Gregor Samsa ketika dia sudah berubah menjadi kecoa, 3. Herr Samsa, Ayah Gregor Samsa yang kembali bekerja ketika Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa, 4. Frau Samsa, Ibu Gregor Samsa yang juga kembali bekerja ketika Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa.

Tokoh Gregor Samsa di dalam novel ini memberikan kesan kepada saya bahwa dia adalah orang yang sangat banyak terbebani. Dia adalah orang yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga walaupun tidak sepenuhnya dia menginginkan pekerjaan yang banyak menyita waktunya ini. Namun demikian, dia tidak bisa lari dari kenyataan untuk tidak bekerja karena tanggung jawab kesejahteraan keluarganya bergantung di pundaknya seorang. Sampai pada suatu hari dia mengalami dirinya berubah menjadi seekor kecoa saat dia terbangun dari tidur dan mimpi buruknya, tetapi pemikiran, perasaan, dan jiwanya tetap seperti manusia. Dia tetap terganggu dengan pikiran kewajiban kerja, kemungkinan atasan akan memarahinya jika dia terlambat bekerja, kemungkinan dia akan menjadi sangat salah jika dia tidak serius di dalam bekerja sehingga tidak menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga, dan sebagainya.

Kejadian dari dia terbangun tidurnya dan mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa dengan segala macam perasaan dan pikiran-pikiran manusia diceritakan oleh Kafka di dalam novel ini lebih dari delapan halaman. Cerita-cerita pada halaman pertama ini dipenuhi dengan detil kegelisahan Gregor Samsa yang mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa, dan gelisah karena khawatir tidak bisa melakukan pekerjaannya sebagai seorang travelling salesman. Di samping itu, dia juga gelisah seandainya hari di saat dia bangun dan telah berubah menjadi kecoa itu dia terlambat sampai di tempat kerja, karena hal ini bisa meninggalkan preseden buruk di mata atasannya.

Kenyataan bahwa Gregor Samsa telah berubah menjadi kecoa menjadikan banyak perubahan di dalam kehidupan keluarga Samsa. Sebelum tubuh Gregor Samsa berubah menjadi seekor kecoa, dia adalah satu-satunya orang di dalam keluarga Samsa yang bekerja dan menghidupi keluarga Samsa. Namun setelah kematiannya karena telah dianggap oleh keluarga dan orang-orang sebagai makhluk jahat yang telah membunuh Gregor Samsa keadaan menjadi berubah “membaik” di dalam keluarga Samsa. Hal ini disebabkan karena Ayah dan Ibu Gregor Samsa kembali bekerja dan menghasilkan uang.

Dari sedikit ringkasan yang sangat singkat dari cerita dalam novel ini sangat jelas terlihat ciri aliran ekspresionisme di dalamnya. Ungkapan emosi mendalam dari Gregor Samsa sebagai tokoh utama di dalam novel ini sangat terlihat.

  1. Gregor Samsa berubah menjadi serangga buruk, menjijikkan, menakutkan, dan tidak diinginkan kehadirannya di rumah keluarga Samsa, padahal sebelumnya dia adalah orang yang memegang peranan sangat penting di dalam keluarga karena dia adalah tulang punggung keluarga. Hal ini saya dapat pahami sebagai pemberontakan dari diri tokoh Gregor Samsa terhadap kemuakannya terhadap rutinitas bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi banyak orang dan terpaksa mengabaikan perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan pribadinya sebagai seorang manusia.
  2. Pemilihan sosok binatang serangga pada metamorfosis tokoh Gregor Samsa adalah suatu simbol kerinduan terhadap kebebasan yang mutlak dan terbebas dari segala macam keharusan di dalam kehidupan sosial. Binatang adalah makhluk bebas yang hanya berjuang mencari makan dan kesenangan untuk dirinya sendiri ketika binatang tersebut telah mencapai usia dewasa, sedangkan Gregor Samsa adalah seorang lelaki dewasa yang direnggut kebebasannya karena tanggung jawab terhadap keluarga yang mengharuskannya bekerja keras, mengabaikan segala keinginan dan kesenangan pribadinya.
  3. Pemilihan profesi tokoh Gregor Samsa sebagai seorang travelling salesman yang mengharuskannya setiap saat bepergian dan bertemu dengan banyak orang dengan tetap memberikan ekspresi muka yang ceria dan ramah juga merupakan simbol yang diberikan oleh Kafka dalam novel ini untuk menunjukkan bagian emosi dan keinginan dari tokoh Gregor Samsa yang terpendam di dalam novel ini.
  4. Terdapat kontradiksi antara perubahan bentuk tubuh dengan emosi dan pikiran-pikiran pada tokoh Gregor Samsa. Walaupun tubuhnya telah berubah menjadi tubuh seekor serangga, namun emosi dan pikiran-pikirannya tetap merupakan emosi dan pikiran-pikiran seorang manusia. Dia tetap memikirkan pekerjaannya, tetap memiliki keengganan jika ayahnya harus menegurnya karena ayahnya telah merasa terintimidasi oleh atasannya karena dia terlambat atau mungkin tidak bisa laig bekerja.
  5. Tidak terasa kesa melankolis pada tokoh Gregor Samsa saat mengetahui bahwa tubuhnya telah berubah menjadi tubuh seekor serangga. Hal ini sangat menunjukkan bahwa sebenarnya bisa saja fakta bahwa perubahan tubuh Gregor Samsa menjadi tubuh seekor kecoa merupakan keinginan terdalam dari dirinya untuk mendapatkan kebebasan mutlak di dalam hidupnya sebagai seorang lelaki dewasa, dan dengan demikian dia terbebas dari keharusan untuk bekerja keras setiap hari dan mengabaikan segala keinginan dan kesenangan pribadinya. Hahhh

Dari lima poin di atas saya mendapatkan kesan bahwa novel The Metamorphosis karya Franz Kafka ini adalah sebuah karya tulis yang mengusung aliran ekspresionisme. Terdapat kontradiktif di dalam semua poin yang saya jadikan sebagai kesan ekspresionis di dalam novel ini, dan menurut saya hal-hal yang kontradiktif itu merupakan cara Kafka untuk menunjukkan perbedaan antara hal-hal yang terpaksa dilakukan oleh Gregor Samsa di dalam kehidupan nyata dengan hal-hal yang sangat diinginkan Gregor Samsa jauh di dalam lubuk hatinya.

Novel ini dengan detil menggambarkan setiap pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan terdalam dari tokoh Gregor Samsa, dan dengan detil juga memberikan kontradiksi antara hal-hal yang diinginkan dengan hal-hal yang terpaksa dilakukan dengan mengorbankan kebutuhan dan keinginan pribadi dari tokoh Gregor Samsa. Maka dari itu, semua penjelasan yang telah saya uraikan di atas merupakan kesan ciri ekspresionis di dalam karya tulis yang ditulis oleh Ranz Kafka.