Berkenalan dengan Uni Eropa/European Union (EU)

Sejarah Awal Terbentuknya Uni Eropa

Hubungan-hubungan masa lalu yang tercipta sebagai hasil dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui perdagangan, perluasan wilayah, dan pengakuan kedaulatan dari wilayah-wilayah di Eropa telah menimbulkan banyak kejadian penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban kehidupan manusia sampai detik ini. Salah satu kejadian penting itu adalah perang.

Kesadaran terhadap dampak negatif dari peperangan di masa lalu –puncaknya pada pasca Perang Dunia II– menyebabkan negara-negara Eropa yang termasuk ke dalam blok Eropa Barat mendirikan Council of Euopre pada tahun 1949. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama masa perang memicu negara-negara Eropa Barat untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan Eropa dari kemungkinan-kemungkinan peperangan di masa yang akan datang.

Apa yang ingin dicapai dari pembentukan komunitas Eropa yang sekarang ini dikenal dengan nama Uni Eropa ini? Pascal Fontaine[1] dalam tulisannya memaparkan beberapa tujuan dari Uni Eropa, yaitu:1. Perdamaian dan stabilitas: trauma pasca Perang Dunia II mendorong negara-negara di Eropa untuk menciptakan perdamaian dan menjaga stabilitas keamanan di kawasan Eropa. 2. Penyatuan Eropa: setelah runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989 diikuti dengan keruntuhan kekaisaran Soviet pada tahun 1991 keinginan negara-negara di Eropa untuk bersatu semakin kuat. 3. Keselamatan dan keamanan: Keamanan internal dan keamanan eksternal merupakan hal yang sangat penting. Perang melawan terorisme dan kejahatan terorganisir menuntut Uni Eropa untuk membangun suatu kerja sama yang kuat. 4. Solidaritas sosial dan ekonomi: Pasar tunggal Eropa menyediakan perusahaan dengan platform penting untuk bersaing secara efektif di pasar dunia. 5. Identitas dan keberagaman: urusan ekonomi, sosial, teknologi, dan politik di dalam Uni Eropa akan lebih mudah dijalankan dibandingkan jika setiap negara harus bertindak secara individual. Ada nilai tambah dalam bertindak bersama-sama dan berbicara dengan suara tunggal sebagai Uni Eropa. 6. Nilai-nilai (Values): Uni Eropa ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam keberadaan Uni Eropa akan berdampak positif terhadap kemanusiaan, karena kebutuhan masyarakat tidak akan dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan kekuatan pasar atau tindakan-tindakan yang sifatnya sepihak. Pada bulan Desember 2000 diproklamirkan The Charter of Fundamental Rights of the European Union di Nice, yang isinya menetapkan semua hak yang diakui oleh negara-negara anggota Uni Eropa dan warganya. Nilai-nilai ini dapat menciptakan perasaan kekerabatan antara orang Eropa. Salah satu contohnya adalah semua negara Uni Eropa telah menghapuskan hukuman mati.

Kejadian-kejadian Penting

Pada tanggal 9 Mei 1950 (Europe Day), Robert Schuman (Menlu Prancis)  mempresentasikan ide-idenya dalam misi penyelamatan Eropa sehingga terbentuk European Coal and Steel Community (ECSC). ECSC akhirnya ditandatangani pada tanggal 18 April 1951 oleh 6 negara pinoir (the Inner Six) yang juga merupakan anggota Council of Europe, yaitu: Prancis, Jerman, Belgia, Belanda, Luxemburg, dan Italia. ECSC resmi dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 1952 s/d tahun 2002.

Tujuan utama pelaksanaan ECSC adalah untuk menghapuskan berbagai macam hambatan dalam proses produksi dan perdagangan pada sektor batu bara dan besi baja[2] , serta menciptakan pasar bersama tempat produk, pekerja, dan modal dari sektor batu bara dan besi baja dari negara-negara anggota bisa bergerak dengan bebas[3].

Pada tanggal 25 Maret 1957, di dalam Traktat Roma, negara-negara yang tergabung ke dalam the Inner Six memutuskan untuk membangun European Economic Community (EEC) dan European Atomic Energy Community (EAEC), lebih dikenal dengan nama Euratom. EEC/Masyarakat Uni Eropa ini bertujuan untuk memperluas kegiatan Common Market. Tujuan dari pelaksanaan Common Market adalah untuk membebaskan secara bertahap proses pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antarnegara anggota sampai tidak ada lagi hambatan sama sekali.

Bergabungnya Inggris, Irlandia, dan Denmark (1973). Sukses besar yang diperoleh oleh EEC dan EAEC (Euratom) menggerakkan Inggris, Denmark, dan Irlandia untuk mencalonkan diri menjadi anggota.

Pembentukan Common Agriculture Policy (CAP) pada 30 Juli 1962. Kebijakan bersama di dalam bidang agrikultur ini dibuat untuk melakukan kontrol terhadap produksi pangan dengan memberikan harga yang sama kepada setiap petani di setiap negara anggota.

Traktat Maastricht (1991). Puncak dari negosisasi ini menelurkan Treaty on European Union (TEU) yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari 1992 di Maastricht. Traktat Maastricht mengubah European Community (EC) menjadi European Union (EU). Traktat ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 1993.

Traktat Maastricht mencakup, memasukkan, dan memodifikasi traktat-traktat yang sudah ada sebelumnya (ECSC, Euratom, dan EEC). Traktat-traktat terdahulu (TEC=Treaties establishing European Community) memiliki ciri integrasi dan kerjasama yang kuat di bidang ekonomi, sedangkan Traktat Maastricht (TEU) menambahkan ciri yang lain, yaitu kerjasama di bidang Kebijakan Politik Internasional dan Keamanan Bersama (CFSP=Common Foreign dan Security Policy) dan Peradilan dan Dalam Negeri (JHA=Justice and Home Affairs).

Bagian terpenting dari isi Traktat Maastricht adalah Tiga Pilar Kerjasama Uni Eropa:

  1. a.      Pilar 1: European Community (Masyarakat Eropa)
    1. Pengaturan pasar internal (termasuk persaingan dan perdagangan luar negeri).
    2. Pengaturan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan, kohesi sosial, dan pertanian.
    3. Pengaturan ekonomi dan moneter .
    4. Pengaturan imigrasi, suaka, dan visa (schengen[4]).
  2. b.      Pilar 2: Common Foreign and Security Policy (CFSP)
    1. Pengaturan tindakan bersama untuk memperkuat keamanan Uni Eropa.
    2. Menjamin perdamaian Internasional.
    3. Mendorong kerja sama internasional.
  3. c.       Pilar 3: Justice and Home Affairs (JHA)
    1. Pengaturan kejahatan lintas batas/negara.
    2. Pengaturan hukum kriminal.
    3. Pengaturan kerjasama antar Kepolisian.

Dalam perkembangan Uni Eropa, Traktat Maastricht inilah yang menjadi dasar utama pedoman hidup negara-negara anggota Uni Eropa, karena dasar hukum dan peraturan-peraturan lainnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat terdapat di dalam 3 pilar ini.

Tahapan Integrasi Ekonomi Uni Eropa

Tidak berbeda dengan negara di belahan dunia lainnya, negara-negara di benua Eropa juga memulai kerjasama ekonomi dengan kerjasama bilateral (Preferential Trade Agreement). Selanjutnya untuk memperluas pasar, maka the Six Inner menyepakati Free Trade Area (FTA). Karena kebutuhan yang semakin besar akhirnya lahirlah Custom Union (CU). CU merupakan usaha untuk penghapusan customs duties, import quotas, dan berbagai hambatan perdagangan lainnya antar sesama negara anggota. Setelah memperoleh penghapusan customs duties, import quotas masih terdapat beberapa hambatan, di antaranya pergerakan manusia dan modal, oleh sebab itu dibuat lagi kesepakatan yang menghasilkan Common Market (CM).CM dibuat untuk membebaskan proses pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antar negara anggota (potensi pekerja) sampai tidak ada lagi hambatan sama sekali.

Keberadaan pasar bersama (CM) berjalan sangat bagus, oleh karena itu negara-negara anggota yang tergabung ke dalam pelaksanaannya merasa perlu untuk membuat pasar tunggal/Single Market (SM). Tujuan dari dibentuknya SM adalah untuk menciptakan suatu standardisasi setiap elemen ekonomi yang terlibat (modal, barang, jasa, dan manusia).

Walaupun modal, barang, jasa, dan manusia sudah bisa terhubung tanpa hambatan di dalam komunitas, tetapi masih ada sedikit kendala di dalam sistem ekonomi negara-negara anggota, yaitu perbedaan nilai mata uang. Oleh sebab itu diciptakanlah suatu rancangan moneter baru untuk negara-negara yang tergabung ke dalam komunitas berupa Monetary Union (MU). Salah satu produk dari MU adalah penyeragaman mata uang ke dalam currency Euro. Jadi bisa disimpulkan bahwa perkembangan kerjasama negara-negara anggota di bidang ekonomi telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan sangat berperan besar dalam proses terbentukan komunitas Uni Eropa.

Dinamika Prancis, Jerman, dan Inggris

Sejak awal pembentukan Komunitas Eropa, Prancis dan Jerman adalah dua negara besar yang mendominasi komunitas, hal ini sudah terlihat di tahun-tahun awal  terbentuknya EEC pada tahun 1950-an. Tidak hanya itu, dua negara tersebut terkesan berlomba-lomba menjadi “dominator” di dalam komunitas. Salah satu hasil dari “perlombaan” di antara dua negara itu adalah lahirnya mata uang tunggal Uni Eropa yang bernama Euro (€). Dua negara ini juga dikenal sebagai “traditional EU leadership couple”.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada bulan Oktober 2001(setelah peristiwa penyerangan WTC pada 11 September) Inggris semakin memperlihatkan dirinya sebagai salah satu negara besar yang juga bisa punya perananan besar di dalam Uni Eropa. Inggris, Prancis, dan Jerman mengadakan pertemuan di Downing Street pada bulan November 2001. Tonny Blair cenderung untuk bekerja sama dalam urusan keamanan dengan dua negara besar tersebut (Prancis dan Jerman). Hal ini juga jauh sebelumnya sudah terlihat dari keengganan Inggris untuk mengaplikasikan kebijakan visa schengen dan menggunakan mata uang Euro.

Menurut saya ini merupakan hal yang kurang menuntungkan untuk negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Kepentingan-kepentingan tiga negara besar ini secara implisit telah “mengkhianati” kerelaan rakyat negara-negara anggota lainnya yang telah merelakan sebagian kedaulatan negaranya untuk berpayung di bawah tatanan hukum dan peraturan Uni Eropa. Tidak menutup kemungkinan, kearoganan dan keegoisan tiga negara besar inilah yang pada waktu ke depan bisa menjadi salah satu pemicu hal-hal yang bisa memecah integrasi dan kekuatan Uni Eropa, dan ini bisa berdampak lebih luas ke dalam kegagalan Uni Eropa menjadi salah satu dominasi besar di kancah dunia secara global.

Eropanisasi dan Identitas Uni Eropa

Uni Eropa bercita-cita menjadi salah satu kekuatan besar di dunia yang dapat menahan laju dominasi Amerika dalam berbagai kancah kehidupan di dunia. Untuk mencapai tujuan itu maka Uni Eropa dituntut untuk melakukan manuver-manuver yang berdampak signifikan di kancah dunia, dengan kata lain Uni Eropa dituntut untuk melakukan eropanisasi untuk menanamkan nilai-nilai dan memasukkan ide-ide pemikiran Uni Eropa ke negara-negara dunia. Maka, Uni Eropa membutuhkan suatu Identitas Uni Eropa untuk melancarkan tujuan itu.

Apa yang menjadi identitas Uni Eropa? Identitas adalah sesuatu yang diraih dari usaha-usaha yang telah dilakukan, bukan suatu hal yang sudah ada dari zaman dahulu yang ingin digali kembali. Sejauh ini, keberhasilan Uni Eropa dalam melakukan eropanisasi ke negara-negara di dunia terdapat di dalam penegakan Hak Azasi Manusia, penegakan demokrasi, dan pelestarian lingkungan. Segala macam aturan hukum yang dirancang di dalam tubuh Uni Eropa sebagian besar mengerucut pada hal penegakan Hak Azasi Manusia dan pelestarian lingkungan, contoh: penghilangan vonis hukuman mati dalam pengadilan dan penerapan aturan tentang ambang batas produksi gas buang karbon dari maskapai penerbangan yang melintasi kawasan Uni Eropa.

“From 1 January 2005 onwards the European Union has launched the first large-scale international emissions trading program. The EU Emissions Trading Scheme (EU-ETS) inprinciple has the opportunity to advance the role of market-based policies in environmental regulation and to form the basis for future European and international climate policies.” (Böhringer, dkk.: ii)

Contoh lain untuk membuktikan pendapat ini adalah tiga syarat utama bagi negara-negara di benua Eropa yang ingin menjadi anggota Uni Eropa, yaitu: 1. Menjunjung tinggi dan menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM), 2. Menjalankan demokrasi dengan benar, dan 3. Tunduk terhadap aturan-aturan yang ada di dalam Uni Eropa.

NB: Sumber referensi tulisan ini sama dengan sumber referensi yang terdapat dalam tulisan Sejarah Terbentuknya Uni Eropa.


[1] Mantan asisten Jean Monnet dan Professor pada Institut d’Études Politiques, Paris.

[2] Batu bara dan besi baja merupakan bahan baku utama pada sektor teknologi dan industri pada saat itu, dan penciptaan mesin-mesin perang (senjata dan segala macam alat pendukung perang) merupakan salah satu kegiatan besar di dalam sektor industri negara-negara besar di Eropa saat itu.

[3] Common Market di bidang batu bara dan besi baja

[4] The Schengen Visa has made traveling between its 25 member countries (22 European Union states and 3 non-EU members) much easier and less bureaucratic. Traveling on a Schengen Visa means that the visa holder can travel to any (or all) member countries using one single visa, thus avoiding the hassle and expense of obtaining individual visas for each country. This is particularly beneficial for persons who wish to visit several European countries on the same trip. The Schengen visa is a “visitor visa”. It is issued to citizens of countries who are required to obtain a visa before entering Europe. (http://www.schengenvisa.cc/)

 

UPDATE:  There is now 26 countries in the Schengen Zone. Visit http://www.schengenvisas.org .

Konsep Intensionalitas dan 3 Bentuk Reduksi Fenomenologi Edmund Husserl

Fenomenologi Husserl erat kaitannya dengan “kesadaran’. Husserl membangun konsep pemikirannya tentang fenomenologi didasarkan atas dua asumsi, yaitu:

  1. Setiap pengalaman manusia merupakan ekspresi dari kesadaran. Kesadaran terhadap pengalaman sendiri tersebut bersifat subjektif.
  2. Setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ini artinya selalu ada subjek dan objek.

Intensionalitas dalam pemikiran fenomenologi Husserl mempunyai ide bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran terhadap sesuatu. Suatu tindakan bisa disebut intensional apabila tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas dan kesadaran penuh. Hal ini mirip dengan konsep kesadaran pada pemikiran eksistensialisme Sartre. Jadi, konsep intensionalitas dalam fenomenologi Husserl adalah keterarahan kesadaran dan juga merupakan keterarahan tindakan yang bertujuan terhadap suatu objek.

Tiga (3) bentuk reduksi dalam fenomenologi Husserl merupakan suatu metode dalam menangkap suatu pengertian sebenarnya terhadap objek.

  1. Reduksi fenomenologis: sikap menyisihkan (filterisasi) pengalaman pada pengamatan pertama. Maksudnya adalah bahwa setiap pengalaman pribadi yang bersifat inderawi dan subjektif perlu disisihkan dan disaring terlebih dahulu sehingga pengertian terhadap suatu objek tidak terdistorsi oleh prasangka, praanggapan, prateori, dan prakonsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan tradisional maupun berdasarkan keyakinan agama.
  2. Reduksi eidetis: sikap untuk menemukan eidos (esensi) yang tersembunyi. Jadi, hasil reduksi ini merupakan pemilihan hakikat yang sebenarnya, bukan sesuatu yang sifatnya asesoris dan imajinatif semata.
  3. Reduksi transendental: berbeda dengan dua jenis reduksi sebelumnya yang terkait erat antara pemahaman subjek terhadap objek, maka reduksi transendental fokus terhadap subjek itu sendiri. Jadi, reduksi transendental merupakan subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri. Subjek empiris diletakkan di dalam kurung untuk mencapai subjek yang sejati. Contoh: ketika seseorang dipukul , namun dia dengan sadar tidak membalas pukulan tersebut (bukan karena takut, terancam, atau kasihan) setelah meletakkan aku (subjek yng dipukul) di dalam tanda kurung, maka orang tersebut telah sampai pada tahap reduksi transendental. Dia berhasil menguasai dirinya dan menjadi subjek sejati seperti yang dimaksud pada penjelasan tentang reduksi transendental.

 

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.

Hegemoni, Intelektual Organis, dan Catharsis oleh Antonio Gramsci

Menurut Gramsci, hegemoni merupakan suatu upaya dominasi dengan atau tanpa kekerasan yang nantinya dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Frasa “dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar” merupakan poin utama yang harus dicapai dalam konsep hegemoni oleh Gramsci. Konsep hegemoni menurut Gramsci lebih condong ke arah budaya dan intelektualitas. Pelaksanaan hegemoni Gramsci memiliki dua tahapan: 1. Tahap dominasi, 2. Tahap pengarahan. Tahap dominasi dilakukan oleh kelompok/isntutusi/negara/kelas yang ingin memasukkan ide-/paham-nya, sedangkan tahap pengarahan merupakan pengarahan yang dilakukan oleh pihak yang telah berhasil melakukan dominasi terhadap kelas/kelompok yang terdominasi. Tahap hegemoni menurut Gramsci merupakan suatu tahap arah menuju perjuangan sampai pada kesadaran yang tidak hanya didasari oleh kebutuhan ekonomi, melainkan koheren dalam konsepsi ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Intelektual organis merupakan salah satu instrumen untuk melawan hegemoni , yaitu suatu institusi/kelompok/kelas yang langsung bersentuhan dengan kelas yang terdominasi dan bisa memberikan edukasi kesadaran terhadap apa yang sedang dialami oleh kelompok yang terdominasi untuk melawan suatu hegemoni demi tercapainya kepentingan kelompok masyarakat/kelas tersebut. Contoh kaum intelektual organis: LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), wartawan, penulis, dan cendikiawan. Dengan bidangnya masing-masing, kaum intelektual organis bisa langsung menyentuh masyarakat/kelas yang terdominasi untuk memberikan edukasi kesadaran terhadap apa yang sedang dialami oleh masyarakat/kelas yang terdominasi untuk melawan suatu hegemoni demi tercapainya kepentingan kelompok masyarakat/kelas tersebut.

Cahtarsis dalam pemikiran Gramsci merupakan suatu transformasi kesadaran yang pada awalnya didasari oleh kepentingan suatu kelompok menjadi kepentingan global (kepentingan orang banyak yang bersifat objektif). Contoh: sekelompok tukang becak yang tidak sadar dibayar sangat murah dan tetap harus memenuhi target setoran minimal yang ditetapkan oleh juragan becak diberikan edukasi oleh kaum intelektual organis (misal: LSM atau kelompok yang concern terhadap kesejahteraan hidup kelas bawah, khususnya tukang becak) untuk protes melawan kebijakan juragan becak demi meningkatnya standar kelayakan hidup mereka. Nantinya kelompok tukang becak tersebut akan melakukan hal-hal bersifat protes berdasarkan pengetahuan edukasi yang diberikan oleh kaum intelektual tersebut. Selanjutnya, sampai pada suatu saat kelompok tukang becak tersebut bergerak untuk memenuhi tuntutan mereka berdasarkan kesadaran dari mereka sendiri tentang perlunya mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, dan pada akhirnya isu berkembang tidak hanya pada suatu kelompok tukang bceak tertentu, tetapi berlaku untuk kepentingan seluruh kelompok tukang becak yang ada, dan mungkin juga bisa berkembang pada level kelompok kelas bawah pada umumnya (kepentinga orang banyak/global), maka transformasi inilah yang disebut sebagai catharsis dalam hegemoni Gramsci.

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.

Konsep “fusion of horizons” dalam Hermeneutika Hans-Georg Gadamer

Hermeneutika Gadamer merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Hal ini erat kaitannya dengan fusi cakrawala (fusion of horizons), yaitu peleburan cakrawala pembaca (vorhabe, vorsicht, dan vorgiff) dengan cakrawala penulis melalui teks yang telah ditulisnya untuk memaknai esensi yang terkandung di dalam suatu teks. Dengan demikian, pemakanaan suatu teks tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh esensi suatu teks yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap pembaca dengan cakrawala si penulis teks tersebut melalui teks yang ditulisnya. Di samping itu, cakrawala pembaca terhadap teks itu sendiri juga dileburkan pada tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah teks ditulis, oleh siapa sebuah teks ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat teks itu ditulis juga menjadi bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini untuk mendapatkan esensi dari sebuah teks. Jadi, suatu teks dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang dilakukan oleh pembaca teks tersebut.

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.

Konsep “la mauvaise foi” dalam Eksistensialisme Jean Paul Sartre

La mauvaise foi dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai bad faith, artinya: manusia bertanggungjawab atas segala keputusan dan tindakan yang telah diambil secara sadar. Manusia tidak boleh mengeluh dan menyesali apapun akibat dari tindakan dan keputusan yang telah diambil, bahkan mengeluh juga suatu bentuk melepaskan diri dari “tanggung jawab” tersebut. Jika dikaitkan dengan konsep Sartre mengenai kebebasan, maka la mauvaise foi menjadi sangat dilematis dan menjadi alasan munculnya “kecemasan”, karena menurut Sartre manusia memiliki kebebasan, bebas untuk memilih langkah dan pilihan apapun dalam menjalani kehidupan untuk menjadi “ada” (être pour soi) asalkan bertanggung jawab terhadap apapun yang telah dipilih. Karena kebebasan ini lah manusia rentan terhadap La mauvaise foi dalam pencapaian eksistensi menurut Sartre, dan nati erat kaitannya dengan munculnya kecemasan. Dalam pencapaian eksistensi menurut Sartre “kecemasan” akan muncul karena manusia memiliki kebebasan untuk menentukan dan memilih jalan hidup masing-masing, tetapi harus bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dipilih, bahkan untuk mengeluh, menyesali, dan mencari pihak yang dapat disalahkan terhadap efek negatif dari apa yang telah dengan sadar dipilih oleh manusia akan menjauhkan manusia dari pencapaian eksistensinya menurut Sartre.

Eksistensialisme Sartre meniadakan Tuhan, Tuhan ada,tapi hanya berperan sebagai pencipta manusia, setelah itu Tuhan tidak ikut campur dalam urusan duniawi karena manusia memiliki “kebebasan”.

Jadi menurut pemikiran eksistensialisme Sartre: manusia terlahir (être en soi: mengada) atas kehendak Tuhan, kemudian memiliki kebebasan untuk menjalani hidup dengan menaklukan “kecemasan”nya dan bertanggung jawab atas segala pilihan yang telah diambil dalam menjalani kehidupannya. Dengan demikian, maka barulah manusia memperoleh eksistensi menjadi ada (être pour soi). Begitulah konsep eksistensialisme menurut Sartre.

NB: Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Eropa pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan pada tanggal 1 April 2012 kepada dosen terkait. Dosen: Suma Riella Muridan, M.Hum.

Sejarah Terbentuknya Uni Eropa

I. Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwa negara-negara Barat (Regional Eropa) merupakan wilayah-wilayah tempat munculnya peradaban manusia yang cukup maju. Mulai dari pesisir pantai sampai dengan wilayah daratan Eropa tidak luput dari keterlibatannya dalam perkembangan peradaban kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang.

Hubungan-hubungan masa lalu yang tercipta sebagai hasil dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui perdagangan, perluasan wilayah, dan pengakuan kedaulatan dari wilayah-wilayah sekitar telah menimbulkan banyak kejadian penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban kehidupan manusia sampai detik ini.

Salah satu kejadian penting itu adalah perang. Perang besar yang terjadi di muka bumi ini di saat peradaban kehidupan manusia sudah bisa dibilang maju dan modern telah melibatkan beberapa negara di benua Eropa. Ada beberapa negara yang mencoba untuk menguasai regional Eropa dan ada beberapa negara Eropa yang menjalin koalisi perang dengan negara-negara dari benua lain untuk kepentingan dan keperluan masing-masing.

Kesadaran terhadap dampak negatif dari peperangan di masa lalu –puncaknya pada pasca Perang Dunia II– menyebabkan negara-negara Eropa yang termasuk ke dalam blok Eropa Barat mendirikan Council of Europe  pada tahun 1949. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama masa perang memicu negara-negara Eropa Barat untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan Eropa dari kemungkinan-kemungkinan peperangan di masa yang akan datang.

Dalam perkembangan Uni Eropa, negara-negara pionir –yang juga dikenal dengan sebutan The Inner Six– sering melakukan pertemuan-pertemuan dan menghasilkan banyak traktat-traktat yang menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baru. Perjalanan terbentuknya Uni Eropa dari masa awal mengalami perkembangan yang cukup bagus dan signifikan. Hal yang paling mencolok adalah semakin banyaknya negara-negara Eropa yang bergabung dengan The Inner Six sehingga terbentuklah persatuan yang saat ini dikenal dengan sebutan European Union. Saat ini tercatat ada 27 negara anggota UE dengan 23 bahasa resmi.

II. Permasalahan

Di dalam buku European Union Politics (Cini, 2003) pembahasan tentang sejarah awal terbentuknya Uni Eropa dimulai dan dititikberatkan dari terbentuknya European Community (EC), lalu apa yang menyebabkan begitu pentingnya keberadaan EC dalam terwujudnya suatu komunitas regional besar yang saat ini dikenal dengan nama European Union (EU)? Issue lain yang juga akan dicoba dijawab pada makalah ini adalah tujuan utama pembentukan EU dan apakah tujuan tersebut tercapai mengingat bahwa pembentukan EU diawali dengan pembentukan EC?

III. Latar Belakang Masalah

Relasi antara dibentuknya European Community (EC) dengan tujuan dibentuknya European Union (EU) menjadi sangat penting untuk dicermati, karena mustahil sesuatu yang besar diciptakan tanpa tujuan tertentu yang sangat besar pula. Di sinilah nantinya akan terlihat titik temu alasan utama pentingnya keberadaan EC sebagai titik tolak dasar pembentukan komunitas besar yang saat ini kita kenal dengan nama European Union.

IV. ISI

A.  Apa itu European Community (EC)?

European Community (EC) merupakan institusi internasional negara-negara Eropa yang terdiri dari European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic Community (EEC), dan European Atomic Energy Community (EAEC/Euratom). Negara-negara pionir yang tergabung ke dalam komunitas ini dikenal dengan sebutan The Inner Six (Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Luxemburg, dan Italia).

Tujuan utama dibentuknya Masyarakat Eropa (EC) adalah terciptanya pasar bebas. Ketentuan-ketentuan khusus yang mengaturnya adalah Pasal 3 (a) yang melarang adanya cukai; Pasal 3 (b) mengatur Community’s common commercial policy seperti dalam bidang pertanian, perikanan dan transportasi; pasal 3 (g) secara khusus mewajibkan Community memasyarakatkan bahwa ‘persaingan dijamin dalam internal market tidak terganggu, dan Pasal 3 (h) mengatur tentang perkiraan tingkat kebutuhan hukum dalam pasar bebas.

ECSC adalah komunitas negara-negara The Inner Six yang bertujuan menghapus berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan pasar bersama tempat produk, pekerja, dan modal dari sektor batubara dan baja dari negara-negara anggota bisa bergerak dengan bebas. Pada tanggal 9 Mei 1950 (Europe Day), Robert Schuman (Menlu Prancis)  mempresentasikan ide-idenya dalam misi penyelamatan Eropa sehingga terbentuk European Coal and Steel Community (ECSC). ECSC akhirnya ditandatangani pada Traktat Paris (18 April 1951) oleh 6 negara pinoir yang juga merupakan anggota Council of Europe. ECSC resmi dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 1952 s/d tahun 2002. Dalam pelaksanaannya ECSC terbukti ampuh menjaga “keharmonisan” Eropa selama hampir setengah abad.

Traktat Roma (25 Maret 1957) menghasilkan Euratom dan European Economic Community (EEC). Tujuan dari pembentukan EEC adalah terciptanya Pencapaian Custom Unions, yang merupakan usaha untuk penghapusan customs duties, import quotas, dan berbagai hambatan perdagangan lainnya antar sesama negara anggota. Di sisi lain diberlakukan Common Customs Tarrif (CCT) negara ketiga (negara-negara non-anggota).

Dalam pasar bebas semua sumber ekonomi harus bergerak secara bebas, tidak ada hambatan oleh batasan negara. Oleh karena itu Traktat Roma menetapkan empat kebebasan (four freedoms) yang mengikat yaitu kebebasan perpindahan barang, kebebasan berpindah tempat kerja, kebebasan memilih tempat tinggal dan lalu lintas jasa yang bebas, lalu lintas modal yang bebas[1].

Pasar bebas mempunyai kebijakan yang komersial umum, relasi komersial dengan negara-negara ketiga dan kebijakan persaingan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur pasar bebas yang mempunyai peranan sangat penting bagi Masyarakat Eropa adalah Hukum Persaingan Usaha[2].

Namun demikian, saat ini pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antarnegara anggota masih belum sepenuhnya bebas, artinya pelaksanaan tujuan dari pembentukan EEC masih dalam proses penyempurnaan.

Terkait dengan kebijakan pasar bebas yang diwujudkan dalam EEC, maka tujuan dibentuknya EAEC/Euratom juga terkait dengan pergerakan bebas sumber produksi, distribusi, dan riset yang diperlukan untuk pengembangan sumber energi yang berbasis kepada penguunaan nuklir antar sesama negara anggota. EEC dan EAEC (Euratom) resmi diberlakukan pada tahun 1958.

ESCS, EEC dan Euratom resmi disatukan (merger) menjadi European Community (EC) atau Masyarakat Eropa pada bulan Juli 1967. Kerjasama ekonomi yang disepakati pada EEC segera diterapkan, sehingga pada tahun 1968 semua tarif yang ada antar negara-negara anggota dihilangkan sepenuhnya.

Setelah ketiga organisasi itu disatukan ke dalam EC tidak terlihat adanya progress yang cukup besar, sampai pada saat Georges Pompidou menggantikan posisi De Gaulle sebagai Presiden Perancis. Georges Pompidou melakukan tindakan-tindakan yang lebih terbuka untuk memicu perkembangan EC. Atas saran Pompidou, sebuah pertemuan digelar di Den Haag, Belanda pada tahun 1969. Dalam pertemuan ini dicapai beberapa poin penting, seperti pembentukan sistem financial untuk EC yang didasarkan pada kontribusi tiap negara anggota, pembentukan kebijakan luar negeri, dan negosiasi dengan Inggris, Denmark, Irlandia dan Norwegia untuk bisa bergabung dengan EC.

Sukses besar EC berlanjut sampai pada terbentuknya komunitas regional yang saat ini dikenal dengan nama European Union. Dalam perkembangannya banyak terjadi pertemuan-pertemuan lainnya yang menghasilkan banyak kebijakan-kebijakan baru dan jumlah keanggotaan yang semakin besar jumlahnya.

B. Tujuan Utama Pembentukan Uni Eropa

Pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh The Inner Six menelurkan kebijakan-kebijakan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan dan pengembangan sektor produksi dan distribusi antar sesama negara anggota. Dimulai dari kerja sama antar sesama negara-negara anggota di dalam kerangka pengolahan, sumber perolehan bahan baku produksi, dan distribusi batu bara dan besi baja (ECSC), sampai dengan terbentuknya suatu komunitas yang lebih luas yang disebut European Community (EC) yang merupakan gabungan antara ECSC, EEC, dan Euratom.

Jika diperhatikan dengan sangat teliti, maka terlihat jelas bahwa cikal bakal pondasi utama pembentukan European Union adalah komunitas-komunitas yang mengutamakan urusan-urusan ekonomi. Mulai dari pengaturan perolehan sumber bahan baku produksi, sampai dengan pengaturan di bidang distribusi hasil produksi antar sesama negara-negara anggota, semuanya tercermin di dalam merger ECSC, EEC, dan Euratom menjadi satu komunitas yang disebut Masyarakat Eropa/European Community (EC).

Dalam pelaksanaannya, keberadaan EC mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini menyebabkan munculnya minat dari negara-negara lain di luar negara-negara anggota untuk bergabung dengan komunitas ini. Kesuksesan inilah yang mendorong Inggris, Denmark, Irlandia dan Norwegia untuk mengajukan diri bergabung dengan EC.

Pengajuan diri Inggris untuk menjadi bagian dari EC tidak berjalan mulus. Kejadian-kejadian di masa lalu membuat De Gaulle (Presiden Perancis) tidak meloloskan niat Inggris untuk bergabung dengan EC. Seiring berjalannya waktu, penggantian tampuk kepemimpinan di Perancis akhirnya memberikan angin segar kepada Inggris untuk meloloskan niatnya bergabung dengan EC. Georges Pompidou, di masa kepemimpinan dialah Inggris beserta tiga negara lainnya resmi bergabung dengan EC.

Fakta penolakan De Gaulle terhadap keinginan Inggris untuk bergabung dengan EC yang didasari oleh kejadian-kejadian di masa lalu menimbulkan retorika apakah keberadaan ECSC, EEC, dan Euratom yang akhirnya terintegrasi ke dalam European Community murni berdasarkan kepentingan dan tujuan bersama dalam bidang ekonomi saja? Metamorfosa EC menjadi European Union (EU) terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang, dan di dalamnya terdapat banyak perkembangan kebijakan-kebijakan baru melalui pertemuan-pertemuan antar negara anggota yang jumlahnya senantiasa bertambah.

Penolakan De Gaulle terhadap keinginan Inggris untuk bergabung dengan EC bukan satu-satunya hal yang menimbulkan retorika keberadaan EU – yang diawali oleh EC – didasari atas kepentingan dan tujuan ekonomi saja. Kenyataan lainnya yang cukup mencolok adalah adanya beberapa negara anggota yang menolak menggunakan mata uang Euro dan menolak untuk termasuk ke dalam kebijakan Schengen[3].

 V. Kesimpulan

Di bagian pendahuluan makalah ini telah dijelaskan sedikit tentang sejarah awal terbentuknya EU, yaitu berdasarkan trauma pasca perang antar negara-negara di kawasan Eropa yang puncaknya sangat dirasakan pada pasca Perang Dunia II. Keruntuhan perekonomian negara-negara Eropa pasca Perang Dunia II memang menjadi alasan utama untuk membangun kerja sama antar negara-negara di kawasan Eropa sehingga perekonomian bisa kembali normal.

Namun demikian, mustahil perekonomian akan kembali stabil dan berjalan dengan normal jika penyebab utama malapetaka (perang) tidak diantisipasi. Berbicara soal perang erat kaitannya dengan banyak kepentingan, dan apabila kita membahas tentang kepentingan, maka akan sangat erat kaitannya dengan politik. Jadi tujuan utama pendirian EC yang perlahan tapi pasti bermetamorfosa menjadi apa yang sekarang dikenal dengan nama European Union adalah kepentingan untuk membangun kembali perekonomian negara-negara anggota EC pasca Perang Dunia II dan sekaligus sebagai salah satu upaya untuk meredam rivalitas antar negara-negara di kawasan Eropa sehingga bisa dicegah terjadinya perang yang berdampak sangat buruk terhadap kehidupan, terutama di dalam bidang perekonomian, karena perang menguras banyak biaya dan menghancurkan sumber-sumber produksi basis-basis perekonomian negara-negara yang terkena imbas perang.

Fakta bahwa negara-negara anggota UE saat ini merupakan bagian dari negara-negara maju seantero dunia menunjukkan bahwa apa yang dicita-citakan sejak awal tentang misi “penyelamatan” Eropa cukup berhasil. Namun demikian, latar belakang historis hubungan antar negara-negara besar di benua Eropa juga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan Uni Eropa sejak awal pembentukannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan pada setiap pertemuan yang diadakan juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi dari beberapa negara besar.

Misi utama penyelamatan Eropa melalui sektor kerjasama di bidang ekonomi menuai sukses besar dalam perjalanannya sampai saat ini. Dimulai dari pembentukan ECSC (Traktat Paris, 18 April 1951), dan kemudian diikuti oleh traktat Roma pada tanggal 25 Maret 1957 yang menghasilkan keputusan pembentukan EEC dan Euratom yang kemudian diintegrasikan dengan ECSC dalam suatu wadah yang disebut European Community (EC) adalah cikal bakal kesuksekan negara-negara anggota dalam pencapaian misi “penyelamatan” Eropa.

Seiring perkembangannya, kerjasama-kerjasama di bidang ekonomi juga mendorong lahirnya kerjasama-kerjasama lain yang merupakan usaha pemenuhan kepentingan politik negara-negara anggota (terutama kepentingan politik negara-negara besar seperti Perancis, Jerman, dan Inggirs).

Jadi, secara garis besar bisa ditarik dua tujuan utama pembentukan Uni Eropa, yaitu:

  1. Terjalinnya kerjasama antar negara anggota di bidang ekonomi yang fokus terhadap keleluasaan gerak sumber produksi, manusia (sumber tenaga kerja), hasil produksi, dan jasa tanpa tarif atau minimal dengan kesegaraman tarif yang rendah.
  2. Terjalinnya kerjasama antar negara anggota di bidang politik sehingga dapat mengurangi dampak negatif rivalitas antar negara-negara besar di Eropa yang telah ada sejak dahulu kala sehingga bisa menghindari terjadinya perang kembali di Eropa, serta menjadi salah satu kekuatan di dunia dalam regulasi internasional.

Dari kesimpulan ini dapat dilihat alasan pentingnya keberadan EC dalam sejarah terbentuknya Uni Eropa. Dengan demikian terjawab pula pertanyaan ketiga dari makalah ini, yaitu pembentukan Uni Eropa yang diawali dengan pembentukan EC (kerjasama dalam bidang ekonomi) telah mencapai tujuan utamanya, yaitu kerjasama dalam bidang ekonomi, dan berkembang ke dalam kerjasama politik yang dapat “mengontrol” rivalitas antar negara-negara besar di Eropa sehingga perang bisa dihindari, serta perlahan tapi pasti menjadi salah satu bagian utama dalam percaturan politik dunia internasional.

Daftar Pustaka

Andi Fahmi Lubis, dkk. (2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Jakarta: GTZ

Cini, Michele. (2003). European Union Politics. New York: Oxford University

Craig, P., & de Burca, G. (2003). EU Law, Text, Cases and Material . New York: Oxford University Press.

Foster, Nigel. (2010). EU Law Directions, 2nd ed. New York: Oxford University Press.

Korah, V. (2000). An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice . Portland Oregon: Oxford.

http://www.schengenvisa.cc/



[1] Valentine Korah, An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice, 7th ed. (Portland, Oregon: Oxford, 2000)

[2] Paul Craig and Grainne de Burca, EU Law, Text, Cases and Material, 3rd ed. (New York: Oxford University

Press, 2003) p.936.

[3] The Schengen Visa has made traveling between its 25 member countries (22 European Union states and 3 non-EU members) much easier and less bureaucratic. Traveling on a Schengen Visa means that the visa holder can travel to any (or all) member countries using one single visa, thus avoiding the hassle and expense of obtaining individual visas for each country. This is particularly beneficial for persons who wish to visit several European countries on the same trip. The Schengen visa is a “visitor visa”. It is issued to citizens of countries who are required to obtain a visa before entering Europe. (http://www.schengenvisa.cc/)

Lembaga-lembaga di Tubuh Uni Eropa

Keberadaaan Institusi-institusi di dalam Uni Eropa diatur dalam pasal 13 Traktat EU (sebelumnya berada di dalam pasal 7 EC). Di dalam pasal 13 disebutkan bahwa institusi-institusi Uni Eropa terdiri dari: the European Parliament, the European Council, the Council (of Ministers), the Comission, the Court of Justice, the European Central Bank, dan the Court of Auditors[1].

Dalam pelaksanaan prosedur legislatif Uni Eropa terdapat tiga institusi yang mempunyai peran sangat besar, yaitu: the Comission, the Council of Ministers, dan the European Parliament. The Comission memenuhi fungsi sebagai executive administration Uni Eropa dan memiliki hak untuk mengajukan draft perundang-undangan. The Comission memiliki limited powers of decision untuk menetapkan perundang-undangan di bawah wewenang yang diberikan oleh the Council of Ministers. The Comission juga disebut sebagai “the guardian or watchdog of the Community”, karena the Comission juga bertugas untuk memonitor pelaksanaan perundang-undangan yang telah ada dan bisa melaporkan negara anggota (Pasal 258 TFEU), institusi yang lain (Pasal 263 TFEU), dan perorangan apabila terindikasi tidak menaati perundang-undangan yang telah ada. Selanjutnya, the Comission juga bertanggung jawab dalam representasi external dan negosiasi international agreements (Pasal 207 dan 218 TFEU). Oleh sebab itu the Comission juga dianggap sebagai institusi di dalam Uni Eropa yang paling federal.

The Council of Ministers diketuai oleh seorang Presidensi dari setiap negara anggota yang berganti-ganti setiap enam bulan sekali[2] dan anggotanya terdiri dari perwakilan menteri-menteri dari setiap negara anggota tergantung pada subjek yang sedang didiskusikan. The Council of Ministers memiliki prosedur voting di dalam prosedur-prosedur legislatif, dan yang paling penting adalah fakta bahwa the Council of Ministers memiliki general law-making powers. Setelah banyak perubahan, terutama setelah Traktat Lisbon the Council of Ministers tetap menjadi organ legislatif yang utama di dalam Uni Eropa. Tugas-tugas dan fungsi-fungsinya tertuang di dalam Pasal 16 TEU dan Pasal 237-243 TFEU. Di dalam Pasal 16(1) TEU dijelaskan bahwa the Council memiliki persyaratan umum untuk mengemban tugas policy-making and coordinating functions bersama-sama dengan the European Parliament. Dalam Traktat Lisbon juga dijelaskan bahwa the Council mempunyai hak dalam memberikan keputusan terhadap pelaksanaan sebagian besar prosedur legislatif. The Council bersama-sama dengan the European Parliament bertanggung jawab terhadap pelaksanaan budget tahunan.

Setara dengan the Council of Ministers, the Parliament adalah cabang legislatif dari institusi yang ada di dalam Uni Eropa. Yang membedakannya dengan the Councils adalah bahwa the Parliament tidak memiliki general law-making powers, tetapi the Parliament bisa melakukan amandemen dan memveto macam-macam kebijakan. The Parliament juga diberikan hak untuk melakukan kontrol terhadap anggaran Uni Eropa (Budgetary powers)[3]. Anggota the Parliament dipilih secara langsung oleh warga negara Uni Eropa setiap lima tahun berdasarkan perwakilan proporsional suara yang dikumpulkan oleh masing-masing partai politik.

Dari uraian singkat di atas didapatkan fakta bahwa secara hierarki the Council of Ministers dan the Parliament menempati posisi sejajar. The Comission mengajukan draft perundang-undangan, yang nantinya akan dibahas oleh the Council of Ministers dan the Parliament. The Council of Ministers akan “mengetuk palu” apa perundang-undangan itu telah disepakati secara bersama. Namun the Parliament bisa memveto kebijakan tersebut. Dalam pelaksanaannya, the Comission melakukan pengawasan dan apabila terjadi penyelewengan dalam penerapan undang-undang yang telah ada, maka the Comission bisa melaporkan negara, institusi, dan perorangan ke , the Court of Justice.

Namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka institusi yang paling “berkuasa” sebenarnya adalah the Council of Ministers, karena institusi ini memiliki general law-making powers. Namun, dalam pelaksanaannya nanti akan diawasi bersama-sama oleh the Parliament dan the Comission. The Parliament  bisa melakukan amandemen terhadap undang-undang yang telah disahkan, dan the Comission bisa melaporkan pihak-pihak yang melanggar ke the Court of Justice.

Nigel Foster dalam bukunya mengatakan “the institutional framework of the EU, like the EU itself is not a static entity but a changing one” (Foster: EU Law Directions, 67). Hal ini disebabkan karena setiap isu yang muncul akan dibicarakan di dalam institusi, apabila terjadi benturan atau jalan buntu dalam pembahasannya, maka nantinya akan ada lagi Traktat-traktat baru yang mengatur tentang perubahan, penambahan, atau mungkin pengurangan di dalam setiap tugas dan fungsi dari masing-masing institusi, tidak menutup kemungkinan perubahan, penambahan, atau mungkin pengurangan juga diberikan terhadap institusi itu sendiri.

Institusi yang bisa dianggap sebagai motor utama dari integrasi dalam EU adalah the Comission. Fungsi dan tugas the Comission yang bisa mengajukan draft perundang-undangan, mempunyai kekuatan untuk melaporkan pihak-pihak yang “melenceng” ke the Court of Justice, tanggung jawab dalam representasi external dan negosiasi international agreements menjadikannya sebuah institusi tempat menampung semua aspirasi dari setiap negara anggota dan institusi lainnya. Dari sisi ini bisa dilihat peran the Comission dalam proses integrasi baik dalam hubungan antar institusi, maupun hubungan antar negara anggota di dalam Uni Eropa.

Keberadaan institusi-institusi di dalam tubuh Uni Eropa yang merupakan payung dari 27 negara anggota memerlukan satu atau mungkin beberapa faktor yang mendorong dan mengharuskan terjalinnya kerja sama yang baik antar institusi dan antar setiap negara anggota. Namun demikian, muncul pertanyaan apakah relasi antar institusi-institusi di dalam tubuh Uni Eropa terjalin berdasarkan kerja sama atau berdasarkan konflik?

Menurut saya kedua faktor tersebut mempunyai peran yang besar dalam proses integrasi di dalam tubuh Uni Eropa, terutama dalam hubungan antar institusi-institusinya. Atas dasar konflik, setiap institusi dituntut untuk memiliki hubungan yang “harmonis” dengan institusi-institusi lain yang berada di dalam Uni Eropa, karena konflik-konflik yang ada merupakan motivasi utama bagi Uni Eropa untuk menjalin hubungan yang “harmonis” sehingga tujuan utama yang berupa pencapaian perdamaian di Eropa dapat terwujud.

Jadi, dari konflik yang ada Uni Eropa melalui institusi-institusinya tertantang untuk menjalin kerja sama yang lebih “harmonis” sehingga tujuan-tujuan utama dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud. Maka keberadaan konflik sejalan dengan tuntutan kerja sama yang baik supaya apa yang menjadi cita-cita dasar dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud.

Jika dilihat dari sejarah awal pembentukan Uni Eropa, maka musuh utama Uni Eropa adalah perang dan kemelaratan ekonomi yang merupakan salah satu dampak dari peperangan, dan perang hanya akan terjadi jika ada konflik antar lebih dari satu pihak yang berkepentingan. Maka, bisa disimpulkan keberadaan konflik baik antar negara anggota maupun antar institusi di dalam tubuh Uni Eropa merupakan motivasi utama dari pencapaian kerja sama yang baik sehingga tujuan utama dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud.

Daftar Pustaka

Cini, Michele. (2003). European Union Politics. New York: Oxford University

Foster, Nigel. (2010). EU Law Directions, 2nd ed. New York: Oxford University Press.

Pinder, John & Usherwood, Simon. (2007). The European Union A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.



[1] Nigel Foster, EU Law Directions, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 2010) p. 41

[2] Terdapat dalam Pasal 16(9) TEU dan 236 TFEU

[3] Terdapat dalam Pasal 314 TFEU

 

Tulisan ini merupakan tugas pada Mata Kuliah Uni Eropa Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan ke dosen terkait pada tanggal 17 Maret 2012. Dosen: Made Nadera, M.Si.

Ulasan Singkat tentang Kama Sutra

kama_sutra_cover

Kamasutra dianggap sebagai buku ajar tentang cinta dan sex yang paling penting di India. Buku ini disusun oleh Vatsyayana* kira-kira pada abad ke-II Masehi. Buku ini disusun sedemikian rupa untuk tujuan didaktis tentang hal-hal dalam ranah erotik.

Buku ini bisa disebut sebagai buku yang menyajikan pengantar untuk pasangan yang baru saja menikah dalam pencapaian kenikmatan dalam percintaan mereka. Kamasutra mengajarkan pria cara untuk melayani, memuaskan, dan memenangi cinta dari wanita yang ia nikahi.

Kamasutra terdiri dari 36 bab di dalam 7 bagian:

    1. Pengantar (5 bab) – tentang cinta dalam garis besar, tempat cinta di dalam kehidupan, dan pengantar tentang jenis-jenis wanita.
    2. Tentang penyatuan seksual (10 bab) – pembahasan mendalam tentang bermacam-macam teknik dalam bercinta, dari pemanasan yang berupa ciuman sampai dengan pencapaian orgasme, serta posisi-posisi bercinta dengan pasangan dan posisi Trio dalam bercinta.
    3. Tentang bagaimana cara mendapatkan seorang wanita (5 bab) – pacaran dan pernikahan.
    4. Tentang pasangan suami-istri (2 bab) – bagaimana mereka bersikap.
    5. Tentang istri orang lain (6 bab) – tentang godaan.
    6. Tentang courtisanes (6 bab).
    7. Tentang cara membuat diri kita menarik bagi orang lain (2 bab).

 

*V?tsy?yana adalah seorang filsuf Hindu di dalam tradisi Vedic yang dipercaya hidup di masa Kekaisaran Gupta (abad ke-4 s/d ke-6 Masehi) di India.

Sumber: Wikipedia berbahasa Belanda

Asal-muasal Istilah “posisi Missionaris” dalam Bercinta

posisi Missionaris dalam bercinta

Anda jangan terlalu terburu-buru memaknai “posisi Missionaris” dalam bercinta dengan asumsi bahwa posisi inilah yang selalu dilakukan oleh para Missionaris ketika mereka bercinta.

Istilah “Missionaris” dalam salah satu model posisi dalam bercinta berasal dari masa kolonial yang di masa itu cukup banyak usaha dilakukan untuk menyebarkan ajaran agama Kristen, terutama ke wilayah di Benua Afrika. Di sana, para Missionaris berusaha keras untuk menyelamatkan para “kulit hitam yang malang” dari ganjaran api neraka. Para Missionaris tersebut sibuk mengurusi segala macam aspek dalam kehidupan para “kulit hitam yang malang”, dan urusan sex termasuk di dalamnya.

Saat itu para Missionaris sangat terkejut dan berkata “Oh, mereka (para pribumi) melakukan sex dengan posisi menyerupai anjing yang sedang bercinta!”. Menurut para Missionaris tersebut, hal itu perlu dikoreksi, karena aktifitas bercinta dengan pasangan hanya dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh Yang Maha Kuasa, yaitu dengan posisi wajah saling berhadapan dan si pria berada di bagian atas.

Begitulah asal muasal istilah “posisi Missionaris” dalam bercinta yang sedikit banyak memberikan kesan yang kurang baik tentang Missionaris.

Sumber:

Majalah Quest, ditulis oleh: Angela V., Diemen

Kamus Belanda-Indonesia dan Indonesia-Belanda

Featured

Para pengungjung yang budiman,

NederIndo memiliki fasilitas kamus online bahasa Belanda-Indonesia dan bahasa Indonesia-Belanda. Selain itu. Kamus NederIndo bisa diakses melalui link: klik di sini!

Selain itu, NederIndo juga telah menyediakan akses kamus bahasa Belanda-Indonesia dan bahasa Indonesia-Belanda versi mobile yang bisa diakses dengan mudah melalui gadget anda, anda bisa mengakses kamus versi mobile melalui: klik di sini!

Pada halaman utama NederIndo anda juga bisa langsung mengakses kamus dari menu turunan KLINIK BAHASA dengan judul menu KAMUS NEDERINDO.

Kami berharap NederIndo bisa memberikan manfaat untuk kelancaran aktifitas anda!

Salam,

 

Admin

– link kamus                                : http://kamus.nederindo.com

– link kamus versi mobile : http://kamus.nederindo.com/mobile