Simbolisasi Negatif terhadap Islam sebagai Fenomena Perkotaan di Belanda
Dalam pemahaman Barthes, teks yang tediri dari deretan huruf-huruf dipandang sebagai bentuk. Teks diibaratkan sesiung bawang yang dapat dikupas hingga ke lapisan paling akhir. Ketika sampai pada lapisan terakhir, bawangnya sendiri sudah tidak ada. Karena memahami teks dengan analogi bawang tadi, maka teks tak memiliki kesatuan dalam pengertian esensial. Dengan menganggap teks sebagai “yang dapat berbicara sendiri”, terjadi kecenderungan untuk menghilangkan subjek (pengarang).
Istilah semiologi pertama kali dikenalkan oleh Ferdinand de Saussure . Definisi umum semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda dan penanda. Mitos termasuk dalam wilayah semiologi karena mitos merupakan tipe wicara yang membahas mengenai tanda. Ferdinand de Saussure memiliki dua istilah dalam semiologi yaitu signifiant (penanda) dan signifié (petanda/ yang ditandakan). Petanda adalah konsep sedangkan penanda adalah gambaran akustik. Hubungan antara penanda dan petanda bukanlah kesamaan melainkan bersifat ekuivalen. Bukan yang satu membawa yang lain, tetapi korelasi yang menyatukan keduanya [Hawkes 1977: 22].
Berdasarkan Semiologi yang telah dirumuskan oleh Saussure, Barthes kemudian mengembangkannya. Menurut Barthes , dalam semiologi terdapat tiga istilah: penanda, petanda, dan tanda (sign). Ketiganya memiliki implikasi fungsional yang erat dan berperan penting dalam menganalisis mitos sebagai bentuk semiologi. Mitos terbentuk berdasarkan tiga istilah itu, namun mitos adalah suatu sistem khusus yang terbangun dari serangkaian rantai semiologis yang ada sebelumnya. Mitos adalah sistem semiologis tingkat kedua. Tanda pada sistem pertama menjadi penanda pada sistem kedua. Dengan kata lain, mitos adalah penandaan tingkat kedua.
Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi [Hoed 2011 :45—49]. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi
Analisis
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, yang dikembangkan Barthes adalah konotasi dengan berdasar pada konsep de Saussure tentang signifiant-signifié. Jika menurut de Saussure, bahasa bersifat statis, misalnya ‘Islam’ memiliki makna ‘sebuah agama samawi dari Asia Barat’. Hal demikian disebut Barthes sebagai primary sign yang didapatkan melalui relasi (R) expression (signifiant/penanda) dan content (signifié/petanda). Primary sign merupakan R1 yang menghasilkan makna denotasi. Barthes memaparkan bahwa baik expression (E) maupun content (C) masih dapat dikembangkan. Jika segi E yang dikembangkan maka yang berlaku adalah hubungan sinonim atau metabahasa, misalnya mengganti kata ‘Islam’ dengan ‘Muslim’. Dalam menjelaskan teori konotasi-nya, Barthes lebih menekankan pengembangan pada segi C. Kata ‘Islam’ setelah mengalami pengembangan content dapat bermakna “orang-orang di Belanda Barat yang beragama Islam yang terdiskriminasi”, “etnis yang eklusif”, “etnis yang mengancam keamanan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar yang berlaku di Belanda”. Makna-makna tersebut disebut makna konotasi. Maka konotasi akan sangat bergantung pada bagaimana seseorang pemakai bahasa menilai suatu kata. Makna “orang-orang yang didiskriminasi” mungkin hanya berlaku di kalangan aktivis pembela hak-hak azasi manusia.
Makna konotasi dalam perkembangannya dapat berubah menjadi makna denotasi. Jika makna kata ‘Islam’ memiliki konotasi ‘orang-orang yang mulai mendominasi politik dan perekonomian di Belanda yang mulai menjadi ancaman bagi warga negara asli Belanda’ dan makna itu diyakini secara umum dan telah dianggap wajar dalam suatu masyarakat meskipun bertentangan dengan kenyataan maka makna “etnis yang mulai mendominasi politik dan perekonomian di Belanda yang mulai menjadi ancaman bagi warga negara asli Belanda” menjadi sebuah mitos. Jika mitos semakin intens dan kuat diyakini oleh suatu masyarakat tertentu, maka mitos pun dapat berubah menjadi ideologi, dan kemudian ideologi ini menjadikan Islam sebagai simbol dari suatu hal yang bersifat ancaman dan berdampak negatif bagi warga negara asli Belanda.
Dalam mitos, konstruksi penandaan pertama adalah bahasa/teks[1]/sistem denotasi sedangkan yang kedua disebut Barthes sebagai metabahasa / sistem konotasi. Bagan dan contoh lain di bawah ini dapat membantu dalam memahami semiologi Barthes.
Mitos |
Bahasa |
|
|
|
I.Bentuk (Islam sebagai simbol kehidupan multikultur di Belanda) |
II. Konsep/ Petanda”(Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda) | |||
III. Pemaknaan / Tanda “ (Islam menjadi “ancaman” bagi warga pribumi Belanda) |
Berdasarkan contoh yang telah diberikan melalui bagan di atas, dengan bentuk dan konsep, yaitu Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda, maka pemaknaannya adalah Islam merupakan ancaman bagi warga pribumi Belanda. Dengan demikian, Islam di Belanda menjadi simbol masalah di Belanda.
Perkembangan Islam dari awal dengan damai yang telah memberikan makna positif di dalam kehidupan bermasyarakat Belanda yang lambat laun berubah menjadi simbol keberagaman kehidupan bermasyarakat di sana (masyarakat multikultur di Belanda) ternyata memasuki babak baru pada saat ini. Dengan teori mitos dan mitologi Rolland Barthes, kita bisa sama-sama menelusuri proses perubahan pandangan dan pemaknaan masyarakat Belanda terhadap Islam.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, selain simbol positif yang terdapat di dalam Islam terkait dengan kehidupan masyarakat yang multikultur di Belanda, pergerakan kehidupan bermasyarakat di Belanda ternyata menimbulkan pandangan dan pemaknaan baru yang bersifat negatif mengenai Islam. Dimulai dari pertikaian internal antara masyarakat Belanda keturunan Turki dan Marokko yang cukup mengganggu ketentraman kehidupan bermasyarakat sampai pada beberapa kasus pembunuhan terhadap publik figur Belanda yang memiliki pandangan ekstrim terhadap Islam.
Keadaan seperti ini menimbulkan aksi-aksi menentang Islam di Belanda, dan kelompok ekstrim kanan yang sangat chauvinistis banyak melakukan propaganda yang bersifat diskriminatif terhadap umat Muslim di Belanda. Salah satu aksi diskriminatif yang paling terkenal adalah ditampilkannya filem pendek berjudul Fitna oleh Geert Wilders yang berisi tentang propaganda betapa Islam adalah agama dengan ideologi dan ajaran yang sangat kejam dan barbar.
Popularitas Wilders setelah kemunculan filem pendek Fitna menjadikannya publik figur baru di Belanda yang sekarang menjadi politikus yang sangat berpengaruh di Belanda. Banyak keputusan-keputusan dan kebijakan yang dicetuskan oleh Wilders bersifat diskriminatif terhadap kaum pendatang, khususnya yang berasal dari negara dengan jumlah penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam. Aksi-aksi Wilders yang diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan politik ini dengan pasti menimbulkan suatu ketakutan terhadap kaum pendatang (xenophobia) dan juga ketakutan terhadap Islam (Islamophobia).
Jika ditelaah lebih dalam, kasus-kasus pembunuhan terhadap publik figur yang berpikiran ekstrim terhadap Islam itu bisa dimaknai sebagai beberapa bentuk reaksi terhadap pergeseran pandangan dan pemahaman terhadap Islam di Belanda. Aksi propaganda dan kebijakan-kebijakan publik yang bersifat diskriminatif terhadap Islam telah menimbulkan reaksi cukup ekstrim dari mereka yang merasa terdiskriminasi.
Kesimpulan
Di Belanda telah terjadi pergeseran pandangan dan pemaknaan terhadap Islam dan penganutnya (Muslim). Dari awal masuk dan berkembangnya Islam di Belanda yang berlangsung secara damai dan Islam berhasil menjadi bagian dari masyarakat Belanda yang memberikan dampak positif terhadap Belanda terkait dengan kehidupan masyarakat yang sangat multikultur menjadi suatu agama dan kelompok manusia yang ditakuti dan tidak dikehendaki keberadaannya karena mereka perlahan tapi pasti terlabeli sebagai simbol masalah di Belanda.
Banyak faktor yang berperan dalam pergeseran pandangan dan pemaknaan masyarakat Belanda terhadap Islam. Perbedaan nilai-nilai dasar yang dianut oleh Islam dengan masyarakat Belanda, kejahatan teroris internasional yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras, posisi strategis di dalam negeri Belanda yang pelan-pelan dilakoni oleh umat Muslim di Belanda, dan propaganda negatif tentang Islam oleh kelompok-kelompok ekstrim kanan Belanda memiliki andil yang sangat besar terhadap simbolisasi Islam sebagai suatu masalah di Belanda.
Proses simbolisasi Islam menjadi simbol masalah di Belanda dapat dijelaskan dengan bagan yang telah dijelaskan pada bagian analisis: dengan bentuk dan konsep, yaitu Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda, Kelompok Islam garis keras yang melakukan kejahatan teror internasional, perbedaan nilai-nilai dasar antara Islam dengan Belanda, dan konflik internal antara umat Muslim keturunan Turki dengan umat Muslim keturunan Marokko, maka pemaknaannya adalah Islam merupakan ancaman bagi masyarakat Belanda. Dengan demikian, Islam di Belanda menjadi simbol masalah di Belanda.
Bibliografi
Anonim. 2010. De Posistie van Moslims in Nederland: Feiten en Cijfers. Utrecht: FORUM-Instituut voor Multiculturele Vraagstukken.
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barthes, Roland. 1972. Denotation and Conotation. Element of Semiology. London: Jonatahan Cape.
———————. 2006. Mitologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Geuijen, C.H.M. 1998. Werken aan Ontwikkelingsvraagstukken Multiculturalisme. Utrecht: Lema BV.
Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. California: University of California Press.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Yogyakarta: Indonesiatera.
http://www.dakhorst.nl/dossiers/islam/gastarbeiders.htm diunduh pada tanggal 19 Desember 2012.
[1] Pada tulisan ini yang menjadi “teks” adalah Islam, bukan sekedar tanda bahasa pada tataran linguistik.