Keberadaaan Institusi-institusi di dalam Uni Eropa diatur dalam pasal 13 Traktat EU (sebelumnya berada di dalam pasal 7 EC). Di dalam pasal 13 disebutkan bahwa institusi-institusi Uni Eropa terdiri dari: the European Parliament, the European Council, the Council (of Ministers), the Comission, the Court of Justice, the European Central Bank, dan the Court of Auditors[1].
Dalam pelaksanaan prosedur legislatif Uni Eropa terdapat tiga institusi yang mempunyai peran sangat besar, yaitu: the Comission, the Council of Ministers, dan the European Parliament. The Comission memenuhi fungsi sebagai executive administration Uni Eropa dan memiliki hak untuk mengajukan draft perundang-undangan. The Comission memiliki limited powers of decision untuk menetapkan perundang-undangan di bawah wewenang yang diberikan oleh the Council of Ministers. The Comission juga disebut sebagai “the guardian or watchdog of the Community”, karena the Comission juga bertugas untuk memonitor pelaksanaan perundang-undangan yang telah ada dan bisa melaporkan negara anggota (Pasal 258 TFEU), institusi yang lain (Pasal 263 TFEU), dan perorangan apabila terindikasi tidak menaati perundang-undangan yang telah ada. Selanjutnya, the Comission juga bertanggung jawab dalam representasi external dan negosiasi international agreements (Pasal 207 dan 218 TFEU). Oleh sebab itu the Comission juga dianggap sebagai institusi di dalam Uni Eropa yang paling federal.
The Council of Ministers diketuai oleh seorang Presidensi dari setiap negara anggota yang berganti-ganti setiap enam bulan sekali[2] dan anggotanya terdiri dari perwakilan menteri-menteri dari setiap negara anggota tergantung pada subjek yang sedang didiskusikan. The Council of Ministers memiliki prosedur voting di dalam prosedur-prosedur legislatif, dan yang paling penting adalah fakta bahwa the Council of Ministers memiliki general law-making powers. Setelah banyak perubahan, terutama setelah Traktat Lisbon the Council of Ministers tetap menjadi organ legislatif yang utama di dalam Uni Eropa. Tugas-tugas dan fungsi-fungsinya tertuang di dalam Pasal 16 TEU dan Pasal 237-243 TFEU. Di dalam Pasal 16(1) TEU dijelaskan bahwa the Council memiliki persyaratan umum untuk mengemban tugas policy-making and coordinating functions bersama-sama dengan the European Parliament. Dalam Traktat Lisbon juga dijelaskan bahwa the Council mempunyai hak dalam memberikan keputusan terhadap pelaksanaan sebagian besar prosedur legislatif. The Council bersama-sama dengan the European Parliament bertanggung jawab terhadap pelaksanaan budget tahunan.
Setara dengan the Council of Ministers, the Parliament adalah cabang legislatif dari institusi yang ada di dalam Uni Eropa. Yang membedakannya dengan the Councils adalah bahwa the Parliament tidak memiliki general law-making powers, tetapi the Parliament bisa melakukan amandemen dan memveto macam-macam kebijakan. The Parliament juga diberikan hak untuk melakukan kontrol terhadap anggaran Uni Eropa (Budgetary powers)[3]. Anggota the Parliament dipilih secara langsung oleh warga negara Uni Eropa setiap lima tahun berdasarkan perwakilan proporsional suara yang dikumpulkan oleh masing-masing partai politik.
Dari uraian singkat di atas didapatkan fakta bahwa secara hierarki the Council of Ministers dan the Parliament menempati posisi sejajar. The Comission mengajukan draft perundang-undangan, yang nantinya akan dibahas oleh the Council of Ministers dan the Parliament. The Council of Ministers akan “mengetuk palu” apa perundang-undangan itu telah disepakati secara bersama. Namun the Parliament bisa memveto kebijakan tersebut. Dalam pelaksanaannya, the Comission melakukan pengawasan dan apabila terjadi penyelewengan dalam penerapan undang-undang yang telah ada, maka the Comission bisa melaporkan negara, institusi, dan perorangan ke , the Court of Justice.
Namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka institusi yang paling “berkuasa” sebenarnya adalah the Council of Ministers, karena institusi ini memiliki general law-making powers. Namun, dalam pelaksanaannya nanti akan diawasi bersama-sama oleh the Parliament dan the Comission. The Parliament bisa melakukan amandemen terhadap undang-undang yang telah disahkan, dan the Comission bisa melaporkan pihak-pihak yang melanggar ke the Court of Justice.
Nigel Foster dalam bukunya mengatakan “the institutional framework of the EU, like the EU itself is not a static entity but a changing one” (Foster: EU Law Directions, 67). Hal ini disebabkan karena setiap isu yang muncul akan dibicarakan di dalam institusi, apabila terjadi benturan atau jalan buntu dalam pembahasannya, maka nantinya akan ada lagi Traktat-traktat baru yang mengatur tentang perubahan, penambahan, atau mungkin pengurangan di dalam setiap tugas dan fungsi dari masing-masing institusi, tidak menutup kemungkinan perubahan, penambahan, atau mungkin pengurangan juga diberikan terhadap institusi itu sendiri.
Institusi yang bisa dianggap sebagai motor utama dari integrasi dalam EU adalah the Comission. Fungsi dan tugas the Comission yang bisa mengajukan draft perundang-undangan, mempunyai kekuatan untuk melaporkan pihak-pihak yang “melenceng” ke the Court of Justice, tanggung jawab dalam representasi external dan negosiasi international agreements menjadikannya sebuah institusi tempat menampung semua aspirasi dari setiap negara anggota dan institusi lainnya. Dari sisi ini bisa dilihat peran the Comission dalam proses integrasi baik dalam hubungan antar institusi, maupun hubungan antar negara anggota di dalam Uni Eropa.
Keberadaan institusi-institusi di dalam tubuh Uni Eropa yang merupakan payung dari 27 negara anggota memerlukan satu atau mungkin beberapa faktor yang mendorong dan mengharuskan terjalinnya kerja sama yang baik antar institusi dan antar setiap negara anggota. Namun demikian, muncul pertanyaan apakah relasi antar institusi-institusi di dalam tubuh Uni Eropa terjalin berdasarkan kerja sama atau berdasarkan konflik?
Menurut saya kedua faktor tersebut mempunyai peran yang besar dalam proses integrasi di dalam tubuh Uni Eropa, terutama dalam hubungan antar institusi-institusinya. Atas dasar konflik, setiap institusi dituntut untuk memiliki hubungan yang “harmonis” dengan institusi-institusi lain yang berada di dalam Uni Eropa, karena konflik-konflik yang ada merupakan motivasi utama bagi Uni Eropa untuk menjalin hubungan yang “harmonis” sehingga tujuan utama yang berupa pencapaian perdamaian di Eropa dapat terwujud.
Jadi, dari konflik yang ada Uni Eropa melalui institusi-institusinya tertantang untuk menjalin kerja sama yang lebih “harmonis” sehingga tujuan-tujuan utama dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud. Maka keberadaan konflik sejalan dengan tuntutan kerja sama yang baik supaya apa yang menjadi cita-cita dasar dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud.
Jika dilihat dari sejarah awal pembentukan Uni Eropa, maka musuh utama Uni Eropa adalah perang dan kemelaratan ekonomi yang merupakan salah satu dampak dari peperangan, dan perang hanya akan terjadi jika ada konflik antar lebih dari satu pihak yang berkepentingan. Maka, bisa disimpulkan keberadaan konflik baik antar negara anggota maupun antar institusi di dalam tubuh Uni Eropa merupakan motivasi utama dari pencapaian kerja sama yang baik sehingga tujuan utama dari pembentukan Uni Eropa dapat terwujud.
Daftar Pustaka
Cini, Michele. (2003). European Union Politics. New York: Oxford University
Foster, Nigel. (2010). EU Law Directions, 2nd ed. New York: Oxford University Press.
Pinder, John & Usherwood, Simon. (2007). The European Union A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
[1] Nigel Foster, EU Law Directions, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 2010) p. 41
[2] Terdapat dalam Pasal 16(9) TEU dan 236 TFEU
[3] Terdapat dalam Pasal 314 TFEU
Tulisan ini merupakan tugas pada Mata Kuliah Uni Eropa Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan ke dosen terkait pada tanggal 17 Maret 2012. Dosen: Made Nadera, M.Si.