Das Eigentum von Volker Braun (1990)

Das Eigentum yang ditulis pada tahun 1990 ini sangat erat kaitannya dengan reunifikasi Jerman, atau boleh dikatakan memang ditulis oleh Volker Braun sebagai bentuk kritik pada masa itu terhadap pemerintah DDR, BRD, maupun masyarakat Jerman Barat itu sendiri. Mengapa saya katakan demikian? Dalam majalah der Spiegel[1], 31.03.2000, dikatakan bahwa karya-karya Braun pada masa pemerintahan DDR berisi tentang keluhan-keluhan masyarakat terhadap pemerintahan DDR, namun tanpa meragukan dasar ideologi sosialis mereka. Braun sendiri memang besar di Jerman Timur, dan oleh karena itu ideologi sosialis adalah “makanan sehari-hari” yang ia dapatkan dari mulai sekolah, di tempat kerja, dan selama ia hidup dalam pemerintahan DDR itu. Atas dasar ini, yang Braun kritik dari pemerintahan DDR adalah bukan kekuatan perlawanannya terhadap paham demokrasi dan kebebasan di Barat, melainkan ketidakberhasilannya dalam melaksanakan dan mempertahankan nilai yang dijunjung tinggi, yakni persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakatnya[2].

Baris pertama mengisahkan tentang perpindahan mein Land ke negeri Barat yang dapat kita lihat sebagai simbol reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Namun, ada hal mencolok dan menarik dalam kalimat ini, yaitu bahwa reunifikasi yang terjadi nampak tidak seperti dua negara yang bersatu atau melebur menjadi satu, melainkan lebih terlihat bahwa Jerman Timur “harus menyesuaikan dirinya” dengan Jerman Barat. [“Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen”][3]. Hal ini kemudian dikuatkan lagi oleh baris kedua yang bahkan terlihat lebih kuat dan ditekankan karena seluruh kata-katanya ditulis dengan huruf kapital. [“KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN”][4]. Hal ini terdengar sangat ironi dan tentunya bertentangan dengan apa yang telah ditulis oleh Georg Büchner lebih dulu dalam Hessischer Landbote. Namun Braun ingin menggambarkan bagaimana pemerintah dan masyarakat Jerman Barat pada masa itu melihat dan memperlakukan masyarakat Jerman Timur. Jerman Barat merupakan masyarakat yang secara sosial dan budaya didominasi oleh kelas menengah, sementara Jerman Timur merupakan masyarakat yang telah dibentuk menjadi kaum proletar (verproletarisierte Gesellschaft)[5]. Oleh karena itu, dapat kita lihat bagaimana dua kelompok masyarakat yang sangat berbeda dan telah terpisah selama 45 tahun tiba-tiba dipersatukan. Hal ini ditinjau lebih lanjut oleh baris keempat [“Es wirft sich weg und seine magre Zierde”][6]. Es yang melambangkan mein Land dikisahkan telah membuang dirinya dan perhiasan-perhiasan sederhananya. Sebuah contoh dapat kita ambil untuk melambangkan “perhiasan sederhana” yang dimiliki oleh Jerman Timur, yakni trabant. Jika kita sandingkan trabant dengan mobil-mobil mewah yang dihasilkan Jerman Barat, tentunya ia nampak terlampau sederhana. Hal ini kembali mendukung baris kedua tadi, yaitu bahwa masyarakat Jerman Timur (den Hütten) terlihat menjadi bahan olok-olokan pihak yang lebih berkuasa (den Palästen atau Jerman Barat).

Pada baris kelima dikisahkan bagaimana musim dingin diikuti oleh musim panas yang penuh hasrat. Hal ini sangat cocok dengan keadaan masyarakat Jerman Timur yang hasratnya telah dibekukan selama masa pemerintahan DDR dengan terbatasnya barang konsumsi dan penerapan hidup sederhana. Mereka kemudian bisa memuaskan hasratnya lagi ketika telah bersatu dengan Jerman Barat, di mana tersedia semua jenis pemuas hasrat itu.

Kemudian baris 8 dan 9 mengisahkan tentang harapan Ich yang belum sempat tercapai, namun telah direnggut. [“Was ich niemals besaß wird mir entrissen.” , “Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.”][7]. Hal ini dapat saya kaitkan dengan hal yang telah saya tulis pada paragraf pertama, yaitu bahwa Braun mengkritik pemerintah DDR dalam hal ketidakberhasilannya menerapkan nilai yang mereka junjung tinggi, yaitu persamaan dan persaudaraan antar seluruh pekerja dan masyarakat. Kenyataan bahwa Braun juga sebenarnya tidak meragukan paham sosialisme itu sendiri mengisyaratkan bahwa Braun tidak hendak menilai paham mana yang benar atau salah, namun yang ia harapkan adalah adanya penerapan sebuah ideologi sesuai dengan nilai-nilai yang memang dijunjung tinggi. Ketika penerapan itu tidak sesuai dengan nilai yang dipercaya oleh sebuah ideologi, maka hal itu patut disalahkan. Ini mungkin yang merupakan harapan Ich yang belum tercapai, namun telah direnggut, karena Ich tidak mungkin bisa mewujudkan harapannya itu sementara negerinya sendiri telah “runtuh”.

Kemudian baris 10 mengisyaratkan harapan masyarakat Jerman, khususnya Jerman Timur, yang dijadikan sebagai “umpan” ?dalam hal ini menurut saya oleh Amerika Serikat? dengan adanya penyatuan Jerman [“Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle”][8]. Amerika Serikat dengan ideologi Baratnya menjanjikan sebuah kebebasan dan pemerintahan yang demokratis. Di saat masyarakat Jerman Timur yang pada pemerintahan DDR dikukung dan dibatasi kebebasannya, tentunya mereka menjadi haus akan kebebasan dan ingin “lari” ke Barat. Hal ini jika dilihat dari sisi Jerman Timur merupakan sebuah harapan, sementara di sisi Jerman Barat menjadi layaknya sebuah umpan.

Baris penutup, yakni baris 11 dan 12, merupakan sindiran terhadap Jerman Barat. [“Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.” , “Wann sag ich wieder mein und meine alle.”][9]. Pada baris ke-11, Braun mengatakan bahwa sekarang kepunyaanku telah kalian genggam di cakar kalian. Kata “cakar” yang dipilih oleh Braun memiliki kekuatan makna tersendiri yang dapat diartikan dengan kekuasaan atau genggaman yang kuat dan seakan-akan “memenjarai”. Hal ini dapat dihubungkan dengan pemerintah Jerman Barat yang lebih berkuasa atas masyarakat Jerman Timur dan ingin membuat mereka menjadi “ke-barat-an”. Kemudian pada baris ke-12, Braun ingin memberikan umpan dengan mempertanyakan konsep kepemilikan itu sendiri, yaitu kapankah ia bisa mengatakan milikku dan milik kita bersama.

Berdasarkan pemaparan di atas, Braun memang berhak dan pantas mendapatkan Büchnerpreis (tahun 2000) karena selain karya-karyanya yang mengandung kritik dan cenderung berpihak ke pihak yang “dijajah” atau “menderita”, ia tetap mampu melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Selain itu, ia juga mempunyai kekuatan dalam menulis karya-karyanya, yaitu dengan menggunakan pilihan kata (diksi) yang tepat, yakni yang secara estetika puisi dapat terdengar indah (misalnya dengan penyesuaian bunyi rima), namun makna kata tersebut mampu “menusuk” atau “menampar” pembacanya.

Lampiran: Teks Das Eigentum

Da bin ich noch: mein Land geht in den Westen.

KRIEG DEN HÜTTEN FRIEDE DEN PALÄSTEN.

Ich selber habe ihm den Tritt versetzt.

Es wirft sich weg und seine magre Zierde.

Dem Winter folgt der Sommer der Begierde.

Und ich kann bleiben wo der Pfeffer wächst.

Und unverständlich wird mein ganzer Text.

Was ich niemals besaß wird mir entrissen.

Was ich nicht lebte, werd ich ewig missen.

Die Hoffnung lag im Weg wie eine Falle.

Mein Eigentum, jetzt habt ihrs auf der Kralle.

Wann sag ich wieder mein und meine alle.

In: Die Zickzackbrücke. Ein Abrißkalender, Halle 1992, S. 84.



[1] http://www.spiegel.de/kultur/literatur/0,1518,71199,00.html, diunduh tanggal 2 Juni 2011 pukul 18:35)

[3] Terjemahan: Here I am still: my land goes to the west

[4] Terjemahan: Fight against the folks (hut), free the government (palace)

[6] Terjemahan: It tosses itself and its meager adornments

[7] Terjemahan: What I never had will be wrested away from me ; What I didn’t experience, I will eternally miss

[8] Terjemahan: The hope lies on the road just like a decoy

[9] Terjemahan: My belongings, now you have them in your claw ; When will I ever say “my” and “my all” again

Ditulis oleh: Nathania Valentine

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *