Tubuh Perempuan dan Ketidaksetaraan Gender Menurut Simone de Beauvoir
Ketika seseorang mempertanyakan definisi perempuan barangkali umumnya kita akan mengartikannya sebagai makhluk betina, memiliki indung telur, mampu melahirkan, dan merupakan pendamping laki-laki. Tanpa disadari definisi yang diajukan untuk menggambarkan perempuan tidak pernah mengacu pada diri perempuan sendiri melainkan selalu bertolak pada hubungannya dengan laki-laki. Selama ini, perempuan bukanlah makhluk otonom, bahkan untuk mendefinisikan dirinya sendiri saja harus dilihat dari sudut pandang laki-laki. Hanya ada satu diri yang mutlak diterima dan yang keberadaannya absolut yaitu laki-laki sementara perempuan menjadi “yang lain” yang merupakan subordinat dari laki-laki. Beauvoir kemudian menyebutnya sebagai Le deuxieme sexe.
Di dalam karyanya yang berjudul Le deuxime sexe, Beauvoir mengutarakan pandangannya mengenai tubuh perempuan. Hal ini penting karena segala bentuk ketidakadilan gender berawal dari persepsi masyarakat tentang tubuh perempuan. Menurut situasi konkretnya, tubuh perempuan berbeda dengan tubuh laki-laki. Perbedaan paling jelas diperlihatkan melalui perbedaan organ seks mereka. Perempuan memiliki rahim dan selaput dara, sedangkan laki-laki memiliki phallus dan sperma. Perbedaan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa situasi konkret kebertubuhan laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini penting karena secara biologis, sperma dan sel telur adalah dua aspek yang dibutuhkan spesies manusia untuk menciptakan generasi baru dan menjaga kelangsungan eksistensinya. Hanya saja yang menjadi masalah, perempuan selalu dianggap sebagai simbol proses regenerasi seperti melahirkan, merawat serta membesarkan anak. Padahal secara biologis, laki-laki pun mengambil peran dalam proses tersebut.
Selain ditentukan oleh seksualitasnya, pada dasarnya manusia dengan kesadarannya juga menyadari bahwa dirinya tidak hanya ditentukan oleh seksualitasnya. Dengan kata lain, laki-laki tidak bisa diidentikkan dengan phallus dan perempuan dengan rahim. Kenyataannya dalam budaya patriarki, laki-laki memang bukan phallus namun perempuan adalah rahim. Laki-laki dalam budaya patriarki adalah individu yang netral yang mewakili manusia secara umum. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata “homme” yang bermakna laki-laki dan manusia.
Beauvoir juga mengutip pernyataan beberapa filsuf yang berbicara mengenai perempuan. Sebagai contoh ia mengutip pernyataan St.Thomas bahwa perempuan adalah “manusia/laki-laki yang tidak sempurna”. Demikian juga dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa kita harus menganggap kodrat perempuan sebagai kodrat yang secara alami memang sudah cacat. Maka eksistensi perempuan kemudian dimaknai berdasarkan fungsi biologisnya yaitu sebagai penerima benih laki-laki sejauh rahimnya masih berfungsi.
Dalam budaya patriarki, inferioritas perempuan dipertahankan melalui penciptaan mitos-mitos. Misalnya mitos kesucian/kemuliaan perempuan. Sebagai istri, perempuan harus perawan. Keperawanan dianggap sebagai tolak ukur moralitas perempuan. Perempuan yang tidak perawan sebelum menikah dianggap hina, tercela, berdosa, dan memalukan keluarga. Sementara laki-laki tidak harus menjaga keperjakaannya, bahkan semakin banyak pengalaman laki-laki dalam aktivitas seksualnya, maka ia semakin dianggap hebat.
Ketika telah menikah, perempuan harus memiliki anak yang keluar dari rahimnya sendiri. Perempuan yang tidak memiliki anak dianggap sebagai perempuan yang tidak sempurna atau cacat. Peran ibu juga menunjukkan tempat perempuan di dalam tatanan masyarakat, yaitu di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan membesarkan anak, tidak terlibat dalam masalah di luar rumah, seperti masalah sosial, budaya, ataupun politik. Pembagian kerja dilakukan bukan karena alasan efektivitas dan efisiensi demi tercapainya tujuan bersama laki-laki dan perempuan, melainkan karena perempuan dianggap tidak mampu, bodoh, dan tidak cakap untuk memikirkan hal lain di luar pekerjaan rumah tangga.
Perempuan dalam budaya patriarki terkondisikan sedemikian rupa sebagai makhluk lemah dan tidak bisa melihat tempatnya di dunia tanpa kehadiran laki-laki, penolongnya, yang dinyatakan dalam budaya patriarki sebagai sosok kuat dan perkasa. Perempuan tidak memaknai tubuhnya sendiri melainkan kekuasaan lain di luar dirinyalah (laki-laki)yang memberi makna pada tubuhnya.
Beauvoir mengemukakan harapannya akan suatu relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam Le deuxieme sexe. Ia menyatakan bahwa meskipun manusia dibedakan berdasarkan fungsi biologisnya, kelebihan dan kekhasan manusia justru terletak pada kemampuannya untuk hidup tidak berdasarkan dorongan biologis atau insting semata. Manusia seharusnya memandang manusia lain sebagai individu bebas yang berhak mewujudkan eksistensinya terlepas dari perbedaan fungsi biologisnya.
Menyadari bahwa laki-laki dan perempuan adalah subjek yang berbeda, persahabatan adalah bentuk hubungan yang dapat menjembatani dua subjek yang berbeda tersebut. Hubungan persahabatan memungkinkan keduanya dapat saling mengerti, saling memberi dan menerima, dan terbuka satu sama lain sehingga ada hubungan yang timbal balik tidak seperti dalam hubungan patriarkis yang hanya mengenal relasi satu arah.
Sumber :
Lie, Shirley. 2005. Pembebasan Tubuh Perempuan, Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Watkins, Susan Alice, Marisa Rueda, dan Marta Rodriguez. 2007. Feminisme untuk Pemula-Susan Alice Watkins, Marisa Rueda, dan Marta Rodriguez. Yogyakarta : Resist Book.
Ditulis oleh: Fitri Ratna Irmalasari