Gagasan Filosofis Jean-Paul Sartre dalam “LES MOUCHES”
1.1.1 Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Sejak kecil Sartre dibesarkan oleh ibunya dan Ia tidak pernah mengenal ayahnya sebab beliau telah meninggal pada tahun 1906 akibat demam tinggi. Sosok ayah kemudian digantikan oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Charles menjadi figur yang sangat penting dan berpengaruh bagi hidup Sartre. Melalui kakeknya, Sartre telah mengenal karya-karya sastra klasik di usia masih sangat muda bahkan sebelum memasuki usia sekolah. Antara tahun 1907 hingga 1917, Poulou (nama panggilan kecil Sartre) tinggal di rumah kakeknya dan melewati masa kanak-kanak yang membahagiakan serta tumbuh sebagai anak yang cemerlang dan percaya diri . Melalui perpustakaan pribadi keluarga Schwitzer, Sartre mengenal berbagai karya sastra terkenal lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
Namun masa kecil Sartre yang membahagiakan itu harus berakhir ketika di tahun 1917, ibunya menikah lagi dengan seorang polytechnicien. Sartre tidak pernah menyukai ayah tirinya itu. Sejak pernikahan kedua ibunya, Sartre pindah ke La Rochelle dan tinggal di kota itu selama tiga tahun. Baginya waktu tiga tahun tersebut menjadi masa-masa yang paling menyedihkan dalam hidupnya karena menganggap ayah tirinya telah mengambil perhatian ibunya yang sebelumnya hanya tertuju pada Sartre.
Pada usia 16 tahun, Sartre masuk lycée Henri IV dan kemudian bertemu dengan Paul Nizan yang bersama-sama dengannya mempersiapkan untuk masuk ke l’école Normale Supérieure. Nizan telah mengenalkan kepadanya karir kepenulisan dan menjadi sahabat karib Sartre hingga kematiannya di tahun 1940. Persahabatan yang terjalin di antara keduanya memberikan pengaruh pada perkembangan kepribadian dan pemikiran Sartre. Dalam lycée Henri IV keduanya dikenal sebagai siswa cerdas dan kritis sehingga dengan mudah lulus dari sekolah yang elit dan bergengsi itu. Kekompakan keduanya kemudian dituangkan dalam karya sastra mereka yang pertama, berupa dua petit conte yang berisi sindiran-sindiran terhadap para professeur.
Pada tahun 1924 Sartre pun melanjutkan pendidikannya di école Normale Superieur dan bertemu dengan Simone de Beauvoir. Ia pun tertarik pada aspek-aspek filsafat barat yang menyerap gagasan-gagasan Immanuel Kant dan Martin Heidegger. Sartre telah menejemahkan la Psycopathologie karya Jaspers bersama Nizan pada tahun 1927. Kemudian berkat kecerdasannya, pada tahun 1929 Sartre berhasil lulus ujian agrégation filsafat. Ujian tersebut memberikan Sartre kesempatan untuk berkarir sebagai guru filsafat di Le Havre, Lyon, dan Paris.
Sejak muda, Sartre tidak menyukai lingkungan borjuis dan segala kebiasaannya. Perasaan tidak suka itu perlahan-lahan berubah menjadi perasaan muak dan keinginan untuk memberontak. Perasaaan dan keinginannya itulah yang mendasari roman-romannya. Pada tahun 1938, saat sedang menjadi dosen muda di Lycée du Havre, Sartre menulis novel berjudul La Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karya Sartre yang terkenal. Nausée bercerita tentang seorang peneliti yang patah semangat, Roquentin, di sebuah kota yang jika diamati memiliki kemiripan dengan Le Havre. Roquentin menyadari seutuhnya akan fakta bahwa benda-benda mati serta situasi khayalan merupakan dua hal yang sangat berbeda dengan eksistensi dirinya.
Sartre juga menulis novel Le Mur. Le Mur menekankan pada aspek kesadaran di mana manusia mengenali dirinya sendiri dan absurditas dari usaha-usaha mereka untuk menghadapi diri mereka sendiri secara rasional.
Pada tahun 1929, Sartre bergabung dalam Angkatan Bersenjata Nasional Perancis sebagai seorang meteorologist. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjarakan selama 9 bulan sebagai seorang tahanan perang pada tahun 1940. Selama menjadi tahanan perang Sartre ia harus berpindah-pindah dari Padoux, kemudian ke Nancy, dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah ia sempat menulis skenario teater pertamanya Bariona, fills du tonnerre.
Sartre dibebaskan pada bulan April 1941 dengan alasan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Ia kemudian kembali mengajar di Lycée Pasteur di dekat Paris. Sebulan kemudian di kota Paris, Sartre dan teman-temannya : Simone de Beauvoir, Marleau-Ponty, Jean-Toussaint, Dominique Desanti, Jean Kanapa, dan siswa-siswi Ecole Normale, mendirikan kelompok pemberontak Socialisme et Liberte. Pada bulan Agustus 1941, Sartre mencoba meminta dukungan Andre Malraux dan Andre Gide terhadap gerakan pemberontakan yang didirikan Sartre dkk namun baik Gide maupun Malraux tidak memberikan kepastian untuk mendukung gerakan tersebut.
Sartre memimpin majalah Les Temps Modernes antara tahun 1945 dan 1955. Ia dipandang sebagai penseur engagé karena ia menerbitkan karya-karya teater yang bertemakan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Ia memanfaatkan teater untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tentang hidup yang disebut eksistensialisme. Pemikiran Sartre itu bertplak dari pendapat: L’Existence de l’homme exclut l’existence de Dieu ‘Eksistensi manusia meniadakan eksistensi Tuhan.’ Melalui karya-karyanyalah Sartre mengungkapkan bahwa hidup tidak untuk dibuktikan atau dicarikan pembenarannya, iamuncul dan tidak dapat ditolak. Untuk meberi makna hidup, manusia hanya dapat mengandalkan diri sendiri, tanggung jawab sendiri, dan dengan kebebasan dalam keterlibatannya. Ia tidak dapat meminta atau mengharapkan bantuan dari siapapun: L’homme n’est rien d’autre que ce qu’il se fait ‘Manusia tidak lain adalah apa yang dibuatnya sendiri.’
Ketika Sartre mengerjakan Critique dan sebuah biografi analisis dari Gustave Flaubert, L’Idiot de la famille yang merupakan karya terakhir selama hidupnya, kondisi fisiknya. Hal ini dikarenakan terlalu banyak bekerja dan mengkonsumsi narkoba, amfetamin untuk merampungkan karya-karyanya tersebut. Namun kedua karyanya tersebut tidak berhasil diselesaikan, Sartre pun kemudian meninggal pada 15 April 1980 karena mengidap Oedema paru-paru.
1.1.2 Karya-karya Jean-Paul Sartre
- La Trencendance de l’Égo (1936)
- L’Imagination (1936)
- Esquisse d’une théorie des émotions (1939)
- Le Mur (1939)
- La Nausée (1938)
- Les Mouches (1943)
- L’Etre en le Néant (1943)
- Huis Clos (1944)
- Chemins de la Liberté
- L’Âge de Raison
- Le Sursis
- L’Existentialisme est un humanisme (pidato) (1946)
- La Putain Respectueuse
- Réflexions sur loa question juive
- Essai sur Beaudelaire (1947)
- Les Mains sales (1948)
- La Mort dans l’âme (1949)
- Le Diable et le Bon Dieu (1951)
- Saint Genet, comédien et martyr
- Nekrassov (1955)
- Les Séquestrés d’Altona
- L’Être et le Néant: Critique de la raison dialectique (1960)
- Les Mots (1964)
- L’Idiot de la Famille (1971)
1.1.3 Jean Paul Sartre dan Pemikirannya
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
Donny Gahral Ardian di dalam bukunya yang berjudul Percik Pemikiran Kontemporer menjelaskan pemikiran Sartre terhadap masalah eksistensi yang membedakannya dengan filsuf-filsuf sebelumnya. Dijelaskan bahwa Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur). Contohnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.
Filsuf-filsuf sebelum Sartre cenderung memandang manusia seperti pisau tadi. Mereka menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Konsep pemikiran inilah yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.
- Kesadaran
Konsepsi mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.
Sartre mengemukakan adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya, maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan modus eksistensi benda-benda.
Kesadaran membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu être en soi (ada pada dirinya) dan être pour soi (ada bagi dirinya). Être en soi merupakan tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang. Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.
- Waktu
Sartre menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala kemungkinan.
- Kebebasan
“Manusia terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.
Kebebasan itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan tanggung jawab.
1.2 Selayang Pandang Mengenai ‘Les Mouches’
Les Mouches merupakan karya drama Sartre yang ditulis pada tahun 1943 dan diadaptasi dari cerita mitologi Yunani.
Dilatarbelakangi oleh Agamemnon, Raja dari Argos yang terletak di timur laut dari Péloponoèse yang memiliki seorang istri bernama Clytemnestra dan tiga orang anak yaitu Oreste, Electre dan Ephygénie (telah meninggal), yang sedang mengarungi laut untuk menaklukan Troie. Kemudian angin pun tiba-tiba berhembus dengan kencang dan ahli nujum kerajaan mengatakan bahwa hal itu merupakan kutukan dari para dewa akibat Agamemnon telah membunuh seekor kijang betina. Agamemnon, raja yang haus akan kekuasaan rela untuk mengorbankan anaknya, Ephygénie agar perjalanannya menuju Troie berjalan mulus kembali. Clytemnestra sangat terpukul dan sedih mendengar kabar tersebut dan ia pun menjadi sangat membenci suaminya. Selama Agamemnon berada di Troie, Clytemnestra jatuh cinta kepada Aegistheus yang nantinya akan membunuh Agamemnon sekembalinya dari Troie. Pada nantinya Orestelah yang akan membalaskan dendam ayahnya dengan membunuh ibunya Clytemnestra dan kekasih ibunya Aegistheus.
1.2.1 Tokoh-tokoh dalam ‘Les Mouches’
- Jupiter
- Oreste
- Aegistheus/ Egisthe
- Le Pedagogue
- Electre
- Clytemnestre
- Les Erinyes: les mouches
1.2.2 Sinopsis ‘Les Mouches’
Babak I
Oreste, seorang pengembara, datang ke kota bersama guru pribadinya (la pedagogue) setelah melakukan perjalanan sebagai usaha untuk menemukan jati dirinya. Oreste digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tampak dewasa meskipun wajahnya masih seperti anak kecil, polos, dan seolah-olah belum tahu akan tanggung jawabnya. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Philébus ketika memasuki kota dengan tujuan menyembunyikan idenditas dirinya. Jupiter juga melakukan hal yang sama yaitu menyamar sebagai orang lain untuk mengikuti petualangan Oreste.
Di kota, Oreste dan gurunya menghadiri acara peringatan kematian Agamemnon (ayah Oreste) lima belas tahun yang lalu. Tidak seorang pun yang berbicara dan menyapa Oreste serta guru pribadinya, orang-orang dalam peringatan tersebut benar-benar tidak mengenali Oreste. Oreste lalu bertemu dengan kakak perempuannya yang bernama Electre yang sepeninggal ayahnya tumbuh menjadi gadis yang penuh kebencian terhadap ibu dan Aegistheus, ayah tirinya sekaligus pembunuh ayah kandungnya.
Babak II
Oreste memutuskan datang ke upacara kematian ayahnya dan menunjukkan kemarahannya pada Aegistheus. Dalam rangkaian peringatan kematian Agamemnon, terdapat satu hari di mana para pasukan kerajaan diizinkan keluar untuk mengelilingi kota dan menyiksa orang-orang yang dianggap bersalah. Penduduk kota tidak dapat melarikan diri dan hanya mampu pasrah.
Electre hadir paling telat dalam upacara dansa. Ia datang dengan gaun berwarna putih sebagai simbol masa muda dan tidak berdosa. Ia berdansa dan bersorak-sorak serta mengolok-olok orang yang datang berkabung sebagai simbol kebebasannya. Penduduk kota mulai percaya dan berpikir tentang kebebasan sampai Jupiter melarang mereka melakukannya. Jupiter juga mengahalangi niat Oreste bertarung dengan raja Aegistheus saat itu.
Oreste dan Electre kemudian sepakat untuk menyusun rencana pembunuhan terhadap raja dan ibu mereka sendiri. Mengetahu niat tersebut, Jupiter mendatangi Aegistheus dan membocorkan rencana pembunuhan yang telah disusun oleh dua bersaudara Oreste dan Electre. Jupiter pun meminta Aegistheus untuk segera mengambil tindakan.
Ketika Oreste menyerang Aegistheus, Aegistheus menolak melawan balik serangan lawannya, maka Aegistheus akhirnya mati dan kemudian disusul oleh kematian Clytemnestra yang dibunuh seketika setelah Oreste menghabisi nyawa Aegistheus.
Babak III
Setelah melakukan pembunuhan, Oreste dan Electra melarikan diri ke kuil Apollo dengan tujuan melarikan diri dari manusia dan les mouches (yang berarti dosa yang sesungguhnya). Sementara Oreste dan Electra bersembunyi dalam kuil, para petugas pemberi hukuman telah berjaga-jaga menunggu mereka keluar dari kuil Apollo untuk kemudian menyerbu dan menyiksa keduanya.
Electre mulai merasa takut dan mencoba untuk menakut-nakuti saudara laki-lakinya. Kemudian ia pun menyatakan penyesalannya atas pembunuhan yang telah mereka lakukan dan mengakui bahwa pembunuhan itu adalah suatu kesalahan/dosa. Electre mengatakan bahwa ia sebenarnya hanya bermimpi tentang pembunuhan itu sejak 15 tahun yang lalu sebagai bentuk pelarian. Ia juga menegaskan bahwa Orestelah pembunuh sebenarnya.
Jupiter datang dan meyakinkan Oreste agar segera menebus kejahatannya, namun tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Oreste. Oreste merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa sehingga tidak ada yang perlu ditebusnya. Jupiter lalu menjanjikan tahta bagi Oreste serta akan memberikan perlindungan bagi dua bersaudara itu jika mereka bersedia bertobat. Namun Oreste menolak tawaran Jupiter yang akan memberikan tahta dan harta milik Aegistheus kepadanya.
2.1 Hubungan Les Mouches dengan Pemikiran Jean-Paul Sartre
Les Mouches merupakan gambaran dari penyesalan (le remords) yang menghantui manusia setelah ia melakukan sebuah perbuatan yang dinilai buruk berdasarkan norma moralitas yang sudah terbentuk dalam suatu masyarakat. Dalam karya Sartre ini, penduduk kota Argos adalah penduduk yang hidupnya tidak tenang akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh Aegistheus bahwa terdapat satu hari khusus dalam perayaan kematian Agamemnon yang memperbolehkan pihak kerajaan untuk menghukum siapapun di luar kalangan istana yang dianggap bersalah dan penduduk kota hanya bisa pasrah menghadapi hal tersebut.
Oreste, putra Agamemnon ingin terlepas dari ketakutan yang berasal dari luar dirinya. Perbuatan yang telah ia lakukan yaitu membunuh ibu kandungnya Clytemnestra dan Aegistheus merupakan wujud kebebasan dirinya dari les mouches (le remords). Dengan perbuatannya, Oreste ingin agar penduduk kota sadar bahwa manusia ditakdirkan bebas.
Sekalipun manusia bebas, ia tetap dituntut untuk senantiasa mempertimbangkan pilihannya. Sekali pilihan itu diaktualisasikan dalam tindakan, tidak ada lagi jalan mundur bagi manusia. Persoalannya, manusia tidak memiliki kriteria benar-salah, sehingga pilihan tindakannya selalu mengandung kemungkinan salah. Hal itu membuat manusia senantiasa cemas dan seringkali tergoda untuk menggantungkan diri pada norma kebenaran dari luar dirinya. Padahal, kesahihan norma hanya dapat diperoleh dari tindakan subjektif yang dialami. Perlu diketahui pula bahwa subjektivitas sifatnya tidak tertutup, karena tindakan individual akan melibatkan manusia secara umum.
Serba ketidakpastian itu merupakan sumber kecemasan. Hal itulah yang sering menjerumuskan diri manusia dalam suatu kemunafikan atau mauvaise foi. Penyesalan merupakan bentuk kemunafikan itu. Ungkapan “Maaf, saya tidak sadar melakukannya”, atau “ Itu bukan kesalahan saya”, merupakan ungkapan kemunafikan, karena hal itu mengandaikan adanya hakikat manusia a priori di luar diri manusia, menggantungkan kesadaran pada sesuatu yang abstrak di luar dirinya, sekaligus melemparkan tanggung jawab tindakannya dengan mengingkari dirinya.
ELECTRE: Par notre père, Oreste, je t’en conjure, ne joins pas le blasphème au crime.
Tokoh Electre merupakan gambaran dari sikap kemunafikan itu. Electre yang telah bertahun-tahun mendambakan kematian ibunya, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya telah terbunuh oleh Oreste, berkat bantuannya. Ia sangat khawatir dan kemudian takut pada dirinya sendiri. Hal itu membuatnya mulai menyalahkan diri dan akhirnya menyerah pada Jupiter untuk memohon bantuannya.Oreste juga merasakan kecemasan yang sama. Namun ia sadar akan kebebasannya dan bertekad untuk tidak pernah menyesalinya perbuatannya.
2.1.1 Ateisme dan KeTuhanan menurut Jean-Paul Sartre dalam Les Mouches
Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, Sartre mengambil posisi ateis untuk menjelaskan gagasan eksistensinya. Posisi ateistik menempatkan manusia sebagai satu-satunya penentu bagi kemanusiaan. Artinya, manusia tidak memiliki acuan bagi hakikatnya sebagai manusia, bagi Baik dan Buruk, bagi nilai-nilai moralnya. Hal ini sungguh menyulitkan, karena dengan demikian manusia tidak memiliki ‘kompas’ dan kerangka-kerangka acuan bagi tindakannya. Andaikata manusia menerima Tuhan sebagai penciptanya itu berarti ia menerima bahwa hakikat kemanusiaan berada di luar dunia, dan ia diciptakan dengan kepenuhan finalitas tertentu dan jelas. Dengan menolak Tuhan, manusia ditempatkan sebagai satu-satunya penentu bagi kehidupannya, dan sebagai satu-satunya hakim bagi tindakannya.
Pemikiran Sartre ini tercermin dalam jawaban Oreste kepada Jupiter berikut ini,
ORESTE: Qu’elle s’effrite! Que les rochers me condamnent et que les palntes se fanent sur mon passage: tout ton univers ne suffira pas à me dinner tort. Tu es le roi des Dieux, Jupiter, le roi des pierres et des étoiles, le roi des vagues de la mer. Mais tu n’es pas le roi des hommes.
Jawaban Oreste tersebut memperlihatkan bahwa ia menolak penentuan kebenaran Tuhan. Ia sendirilah yang berhak menentukan dan memberikan kriteria benar salah bagi tindakannya. Oreste tidak menunjukan sikap menolak secara sistematis kehadiran Tuhan. Namun yang penting, meskipun Tuhan itu ada, hal tersebut tidak berati apa-apa bagi manusia, karena tetap manusialah yang menentukan dirinya sendiri. Sikap Oreste memperlihatkan suatu penolakan radikal terhadap penghakiman dirinya. Dalam keberadaannya, hanya manusia yang berhak menghakimi dirinya sendiri. Dalam hal ini, keberadaan manusia mengandaikan suatu subjektivitas dan kebebasan yang inheren dengan keberadaannya dan tidak terhindarkan.
Posisi Tuhan dalam karya Les Mouches diwakilkan oleh Jupiter yang dimunculkan untuk menonjolkan pemikiran Sartre pada tokoh Oreste.
JUPITER: (…) je suis le Bien. Mais toi, tu as fait le mal, et les choses t’accusent de leurs voix pétrifiées: le Bien est partout, c’est la moelle du sureau, la fraîcheur de la source, le grain du silex, la pesanteur de la pierre; tu le retrouveras jusque dans la nature du feu et de la lumière, ton corps même te trahit, car il se conforme à mes prscriptions. Le Bien est en toi, hors de toi: (…)
Berdasarkan kutipan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa Jupiter merupakan tokoh representatif keilahian yang dimiliki Tuhan. Jupiter memiliki otoritas yang absolut terhadap seluruh makhluk ciptaannya dan norma-norma moralitas pun ditentukan olehnya. Nilai Baik tidak berasal dari diri manusia tetapi merupakan Tuhan itu sendiri. Tuhan memiliki ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal yang dianggap baik atau buruk. Contohnya ketika manusia melakukan tindakan kebajikan, ia tidak melakukan perbuatan tersebut berdasarkan kesadaran dirinya sendiri melainkan lebih kepada rasa takut terhadap hukuman dari Tuhan jika ia tidak melakukan kebajikan.
Hubungan antara Jupiter dan Aegistheus merupakan representasi Tuhan dan agama. Aegistheus mencerminkan agama yang merupakan alat Tuhan di dunia untuk menciptakan sistem tata nilai baik dan buruk bagi manusia. Dalam karya Les Mouches, Aegistheus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membuat para penduduk kota tunduk kepada perintahnya. Sama halnya dengan agama, Aegistheus mengeluarkan tata nilai mengenai baik dan buruk
2.1.2 Pemikiran Jean-Paul Sartre mengenai Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam Les Mouches
Konsep kebebasan dan tanggung jawab menurut Sartre terdapat pada ucapan Oreste berikut ini,
ORESTE: Je ne suis ni le maître ni l’esclave, Jupiter. Je suis ma liberté! A peine m’as-tu as créé que j’ai cessé de t’appartenir.
Jawaban Oreste di atas memberikan kita gambaran mengenai kesadaran Oreste terhadap konsekwensi yang harus diterima olehnya atas apa yang telah ia perbuat. Manusia ditakdirkan untuk bebas. Namun kebebasan itu menjadi problematik, karena manusia harus memilih dan pilihannya itu selalu berarti keterlibatan terhadap manusia. Kebebasan tidak bermakna tanpa keterlibatan, dan keterlibatan itu ditentukan oleh pilihan-pilihan untuk bertindak karena manusia tidak lain dari tindakannya.
Perkataan Oreste di atas pun menyanggah pernyataan Jupiter sebelumnya bahwa dia lah yang memberi kebebasan kepada manusia untuk melayaninya (Je t’ai donné ta liberté pour me servir). Sedangkan menurut Oreste, kebebasan itu bukan sebuah pemberian, bukan pula sesuatu yang berusaha dicapai, tetapi kebebasan adalah manusia.
Pada dialog yang lain Oreste menunjukkan kesadaran akan kebebasan yang merupakan dirinya
ORESTE: Hier, j’etais près d’Electre; toute ta nature se pressait autour de moi; elle chantait ton Bien, la sirène, et me prodiguait les conseils. (…) Mais tout à coup la liberté a fondu sur moi et m’a transi, la nature a sauté en arrière, et je n’ai plus eu d’âge, et je me suis senti tout seul, au milieu de ton petit monde bénin, comme quelqu’un qui a perdu son ombre; et il n’ya plus rien eu au ciel, ni Bien ni Mal, ni personne pour me dinner des ordres.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Oreste sadar akan konsepsi kebebasan yang kemudian mengantarkannya kepada kebebasan itu sendiri. Kata ‘hier’ menunjukkan bahwa dulu Oreste membutuhkan Tuhan, tetapi kemudian ia sadar bahwa untuk mencapai kebebasan ia harus menghapus keberadaan Tuhan dari hidupnya. Pilihannya untuk menghapus keberadaan Tuhan membawa kebebasannya menemukan makna riil, karena dengan keputusan itu ia seta merta memutuskan ikatan dengan segala kepastian hipotetis, hakikat manusia, dan hakikat kebenaran hipotetis di luar dirinya.
3. Penutup
Jean-Paul Sartre merupakan salah satu filsuf Perancis abad ke-20 yang produktif. Les Mouches merupakan salah satu dari karya-karya besarnya yang mencerminkan pemikirannya. Karya tersebut menonjolkan pemikiran Sartre yaitu eksistensialisme yang meliputi kebebasan, subjektifitas, dan ateisme. Menurut Sartre eksistensi mendahului esensi, maksudnya adalah manusia ‘ada’ lalu menemukan hakikatnya. Hakikat itu tidak mendahului keberadaan manusia dan Sartre menolak segala pemikiran tentang konsep normatif yang menjadi acuan bagi manusia mendahului keberadaannya. Eksistensialisme menyinggung subjektifitas, oleh karena itu eksistensi seseorang akan selalu bersinggungan eksistensi orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ahdian, Donny Gahral. 2000. Percik Pemikiran Kontemporer. Jogjakarta
Husen, Ida Sundari. 2001. Mengenal Pengarang-Pengarang Prancis dari Abad ke Abad. Grasindo: Jakarta.
Pasuhuk, Tonny. 2000. Gagasan Filosofis dalam Drama Telaah Bandingan Dua Lakon Electre Karya Jean Giraudoux dan Les Mouches Karya Jean-Paul Sartre. Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
http://mael.monnier.free.fr/bac_francais/mythe/6.htm
Ditulis oleh: Fitri Ratna Irmalasari