Gunungpadang, Situs Megalitik Terbesar Asia Tenggara
Di puncak bukit yang merupakan konstruksi rakasasa bebatuan purba itu, purnama bulat meratu. Langit cerah, bulan yang telanjang tepat berada di atas kepala. Konon, posisi bulan manakala purnama itulah yang menjadi alasan penamaan situs Gunungpadang ini. Padang dalam bahasa setempat berarti terang. Di puncak situs raksasa yang menyerupai bukit tersebut, cahaya purnama memang jatuh dengan bebas tanpa terhalang.
Situs Gunungpadang berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Kampung Panggulan, Desa Karya Mukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat atau sekitar 50 kilometer sebelah barat daya ibu kota kabupaten Cianjur. Dengan luas lebih dari tiga hektar dan berada pada ketinggian 885 meter di atas permukaan laut, Gunungpadang merupakan situs megalitik berbentuk punden berundak yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Struktur bangunan utamanya terdiri atas lima teras atau tingkatan yang konstruksinya didominasi oleh batuan andesit dan batuan basalt berwarna gelap.
Sebelumnya, saya sudah dua kali mendatangi tempat yang menarik perhatian banyak peneliti arkeologi, sejarah, dan budaya ini. Pertama kali di tahun 2007, kemudian sekali lagi pada tahun 2009. Karena itu, perjalanan saya kali ini nyaris tidak menemui hambatan yang berarti. Ketika masih berada di Jakarta, saya sudah menghubungi seorang rekan yang berada di Cianjur dan memintanya untuk menemani saya ke Gunungpadang.
Sabtu sore, tanggal 14 Mei 2011, saya menuju terminal Kampung Rambutan di Jakarta. Dari sana, saya menumpang bis ekonomi menuju Cianjur yang berangkat hampir setiap jam. Perjalanan menuju Cianjur sebagian besar saya habiskan dengan tidur, sengaja menyempatkan diri untuk beristirahat karena saya akan sangat membutuhkan banyak tenaga sesampainya di tujuan. Perjalanan tersebut menghabiskan waktu nyaris enam jam karena bis yang saya tumpangi melewati jalur Puncak, Bogor, yang setiap akhir pekan selalu macet dipenuhi mobil-mobil yang sebagian besar berasal dari Jakarta. Sampai di Cianjur hari sudah gelap dan saya segera menemui rekan saya di rumahnya untuk menginap di sana malam itu.
Besok paginya, kami terlebih dahulu melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan untuk melanjutkan perjalanan ke Gunungpadang. Jam setengah sebelas, saya dan rekan, bersama dua orang lain yang menyertai, kami berangkat ke Gunungpadang dari Cianjur dengan mengendarai sepeda motor.
Perjalanan dari kota Cianjur yang tenang menuju Gunungpadang menghabiskan waktu kira-kira satu jam. Melewati jalan raya Cianjur-Sukabumi, kami berkendara beriringan. Udara yang sejuk meski matahari bersinar cukup terik membuat perjalanan terasa menyenangkan. Sampai di desa Warungkondang, kira-kira limabelas menit kemudian, kami keluar dari jalan utama dan memasuki jalanan pedesaan yang lebih sempit dan berliku. Sesekali kami melewati sungai yang mengalir di antara kebun-kebun teh, kadang lembah menukik menghijau luas di sisi jalan. Sungguh sebuah pertunjukan alam yang tidak akan bisa ditemui di hiruk-pikuk Jakarta.
Jalanan aspal berakhir setelah melewati desa Cimanggu. Berikutnya, kami berkendara melewati jalanan tanah merah yang berbelok-belok dan terus menerus menanjak, itu artinya kami sudah berada sekitar satu kilometer dari lokasi tujuan. Beberapa menit lewat tengah hari, kami sampai di lokasi situs Gunungpadang dan langsung menuju rumah Abah Dadi, petugas yang mengepalai pemeliharaan dan kebersihan lingkungan situs.
Dari cerita Abah Dadi, kami mengetahui baru ada kunjungan rombongan wakil gubernur Jawa Barat Dede Jusuf ke tempat tersebut beberapa waktu berselang. Imbas dari kunjungan tersebut, gerbang dan jalan setapak menuju situs diperbaiki, lokasi situs dibersihkan, dan Abah Dadi mendapat bonus beberapa ratus ribu rupiah untuk itu.
Selepas waktu zuhur, kami berempat bersama Abah Dadi mulai menapaki anak-anak tangga panjang mendaki yang merupakan bagian paling luar dari bangunan situs Gunungpadang. Tangga tersebut tingginya lebih dari tiga puluh meter dengan kemiringan sekitar empat puluh derajat. Saya nyaris merasa pendakian itu tanpa akhir sebelum akhirnya kami sampai di sebuah gerbang batu menuju sebuah area terbuka yang merupakan pelataran atau teras pertama yang merupakan bagian dari lima teras Gunungpadang. Teras ini terdiri dari petak-petak susunan batu-batuan yang membentuk persegi panjang. Kalau membalikkan badan dan memandang dari balik gerbang, maka akan terlihat puncak Gunung Gede yang agung tersaput gumpalan-gumpalan awan di kejauhan karena Gunungpadang tepat menghadap ke arah Gunung Gede.
Setelah melihat-lihat sekeliling di teras pertama, kami menaiki teras kedua, mendaki tangga yang terdiri dari batu-batu basalt dan andesit yang berkelok merambati dinding dari susunan batuan yang sama. Di tepi teras kedua ini kami berencana mendirikan tenda untuk menginap malam itu. Setelah membongkar peralatan dan tenda, kami membuka bekal dan makan siang di tengah-tengah lingkungan yang membawa suasana misterius dari ribuan tahun yang lalu.
Situs Gunungpadang pertama kali termaktub dalam Laporan Dinas Kepurbakalaan Pemerintah Belanda Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD) pada tahun 1914. NJ Krom, seorang sejarawn Belanda juga pernah menulis tentang tempat ini di tahun 1949. Bertahun-tahun kemudian, berdasarkan laporan tiga orang penduduk setempat yaitu Bapak Endi, Bapak Soma, dan Bapak Abidin, di tahun 1979, barulah dimulai kajian terhadap situs berharga ini oleh Pusat Arkeologi Nasional. Meskipun sampai saat ini kajian-kajian tersebut tidak dilanjutkan dengan melakukan rehabilitasi dan renovasi yang dibutuhkan untuk membangun ulang struktur situs Gunungpadang seperti bentuknya di masa lalu.
Padahal, situs yang diperkirakan dibangun pada masa Neolitik sekitar 2000 tahun sebelum Masehi ini merupakan sebuah penanda sejarah kepurbakalaan yang penting untuk menyibak misteri peradaban purba yang pernah ada di Nusantara. Situs ini kemungkinan digunakan oleh masyarakat yang hidup di masa ribuan tahun yang lampau sebagai tempat pemujaan. Bahkan, menurut penelitian Rolan Mauludy Dahlan dan Hokky Situngkir dari Departemen Sosiologi Komputasional Bandung Fe Institut, kemungkinan di Gunungpadang terdapat jejak salah satu peradaban musik tertua di bumi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya sekelompok susunan batu-batuan andesit berbentuk persegi panjang yang ketika diketuk mengeluarkan bunyi bernada layaknya gamelan. Hal ini masih membutuhkan kajian lanjutan untuk mendapatkan hasil yang lebih jelas.
Ketika menapaki bagian tertinggi dari bangunan purbakala ini, perasaan agung yang misterius tidak dapat tidak melingkupi diri saya. Rasa takjub yang bercampur dengan kekaguman pada arsitektur yang pada masanya pastilah merupakan bangunan yang sangat megah. Entah bagaimana caranya mereka memotong, membentuk, dan mengangkat ribuan potong batu-batuan yang beratnya berton-ton itu di masa lalu untuk kemudian menyatukannya menjadi sebuah bangunan yang sangat besar menyerupai sebuah bukit.
Secara otomatis benak saya membandingkan bangunan agung ini dengan bangunan-bangunan megalitik lain di dunia seperti Stonehenge di Inggris, The Giant Causeway di Irlandia, atau menara-menara batu Devil’s Tower di Ohio, Amerika Serikat. Apakah situs-situs purba ini adalah semata karya tangan-tangan alam ataukah memang manusia pada masa itu telah mampu menemukan cara untuk melakukan sebuah pekerjaan besar yang menjadi penanda zaman pada masanya?
Pertanyaan itu tertiup angin semilir yang berhembus menuju lembah hijau di bawah sana. Kerisik daun-daun seolah mantra-mantra pemujaan purba yang tidak pernah hilang meski digerus geligi waktu yang tidak berbelas kasih. Di sebelah barat, matahari perlahan-lahan merendahkan diri, melukis semburat jingga kemerahan yang luar biasa indah di langit. Gunungpadang pelan-pelan semakin gelap, sementara di atas sana, bulan telah berdandan dan bersiap memamerkan kecantikan purnamanya yang agung bulat sempurna.
Ditulis oleh: Gema Mawardi