Kamus Belanda-Indonesia dan Indonesia-Belanda

Featured

Para pengungjung yang budiman,

NederIndo memiliki fasilitas kamus online bahasa Belanda-Indonesia dan bahasa Indonesia-Belanda. Selain itu. Kamus NederIndo bisa diakses melalui link: klik di sini!

Selain itu, NederIndo juga telah menyediakan akses kamus bahasa Belanda-Indonesia dan bahasa Indonesia-Belanda versi mobile yang bisa diakses dengan mudah melalui gadget anda, anda bisa mengakses kamus versi mobile melalui: klik di sini!

Pada halaman utama NederIndo anda juga bisa langsung mengakses kamus dari menu turunan KLINIK BAHASA dengan judul menu KAMUS NEDERINDO.

Kami berharap NederIndo bisa memberikan manfaat untuk kelancaran aktifitas anda!

Salam,

 

Admin

– link kamus                                : http://kamus.nederindo.com

– link kamus versi mobile : http://kamus.nederindo.com/mobile

Peraturan Penggunaan NederIndo

Featured

  1. Tulisan yang terdapat dalam www.nederindo.com terdiri dari tulisan-tulisan original admin, tulisan-tulisan original para kontributor, tulisan yang merupakan hasil terjemahan, dan tulisan-tulisan dari penulis lainnya dengan menyebutkan sumber pengambilan tulisan tersebut.
  2. Mengacu kepada poin nomor satu di atas, maka segala macam bentuk pengkopian tulisan baik sebagian maupun secara utuh, publikasi tulisan baik sebagian maupun secara utuh yang diambil dari www.nederindo.com DIPERBOLEHKAN hanya dengan SATU SYARAT: pengkopi WAJIB menuliskan sumber tulisan original pada media pengkopiannya, jika media nya adalah media website dan forum online, maka pengkopi WAJIB memberikan link langsung ke www.nederindo.com dengan tetap menuliskan sumber original dari penulis yang sebenarnya!

Sistem Pendidikan di Belanda

Di Belanda ada 2 macam institusi pendidikan tinggi. Yang pertama adalah HBO atau hoger beroepsonderwijs, yang terjemahan  bebasnya dalam bahasa Indonesia “pendidikan kejuruan tinggi”, dan WO atau wetenschappelijk onderwijs yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia “pendidikan sains”.

Institusi yang berjenis HBO biasanya disebut Hogeschool (sekolah tinggi) atau kadang-kadang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi University of Applied Science. Di Indonesia HBO ini dapat disetarakan dengan politeknik, dan lulusannya diharapkan dapat langsung bekerja, tapi biasanya tidak terlalu banyak dibekali pengetahuan teoritis, lebih banyak praktis. Contoh Hogeschool ini misalnya Haagse Hogeschool di Den Haag dan INHolland yang mempunyai kampus di Amsterdam, Alkmaar, Haarlem, Den Haag, Delft, dan Rotterdam. Contoh jurusan yang ditawarkan di Hogeschool ini misalnya keperawatan, staf untuk pendidikan dan pendidikan khusus, turisme, teknik elektro, teknik informatika, marketing, manajemen, dll. Pendidikan HBO lamanya 4 tahun, dan lulusannya mendapat gelar Bachelor. Sekarang banyak juga Hogeschool yang menyediakan program master, yang lamanya 1-2 tahun setelah Bachelor.

Di lain pihak institusi berjenis WO biasanya disebut Universiteit (universitas) atau Technische Universiteit (universitas teknik). Dalam bahasa Inggris institusi seperti ini biasanya disebut University dan University of Technology. Universiteit biasanya mempunyai ruang lingkup yang luas,  dan jurusan yang ditawarkan bisa meliputi bahasa, seni, pendidikan, teknik, sains, dll. Contoh Universiteit misalnya Universiteit Leiden, Universiteit van Amsterdam, Vrije Universiteit (VU, Universitas Bebas) Amsterdam, Universiteit Utrecht, Rijksuniversiteit (universitas kerajaan) Groningen, dll. Ada juga universitas yang terspesialisasi ke arah pertanian, kehutanan, dan bioteknologi, misalnya Universiteit Wageningen.   Technische Universiteit atau sering disingkat TU biasanya hanya menawarkan jurusan-jurusan yang berbau sains dan teknik, kadang-kadang ditambah dengan desain. Hanya ada 3 buah TU di Belanda, yaitu TU Delft, TU Eindhoven, dan TU Twente. Perbedaan antara universitas biasa dan TU sekarang ini sering kali kabur, dan teman-teman lebih baik memfokuskan diri pada jurusan yang ditawarkan, ketimbang memilih jenis universitasnya. Universitas dan TU juga memberikan gelar Bachelor dan Master, tapi lama pendidikannya berbeda dengan Hogeschool. Di Universitas dan TU Bachelor bisa diraih setelah 1-2 tahun studi, dan Master 2-3 tahun setelah Bachelor (total lama studi untuk master 3-4 tahun). Tapi ini adalah teorinya, pada kenyataannya banyak mahasiswa yang molor waktu studinya. Hanya Universitas/TU yang dapat memberikan gelar doktor, yang biasanya diraih setelah melakukan riset sekitar 4 tahun setelah master.

Penyebab perbedaan lama pendidikan untuk gelar yang sama di Hogeschool dan Universiteit/TU  adalah perbedaan jenis sekolah menengah yang lulusannya dapat masuk ke institusi jenis HBO dan WO. Untuk bisa masuk ke HBO, seorang murid Belanda harus menyelesaikan 5 tahun pendidikan setelah sekolah dasar (8 tahun) di sekolah menengah berjenis HAVO (hoger algemeen voortgezet onderwijs) atau “sekolah lanjutan atas umum”, sedangkan untuk masuk WO pendidikan menengah yang harus ditempuh lamanya 6 tahun setelah sekolah dasar di sekolah menengah berjenis VWO (voorbereidend wetenschappelijk onderwijs) atau “sekolah persiapan sains”. Lulusan HAVO tidak dapat langsung melanjutkan ke WO, tapi bisa masuk dengan cara mengulang setahun di VWO, atau masuk dulu ke HBO, dan setelah setahun pindah ke WO. Sebenarnya masih ada satu lagi jenis sekolah menengah di Belanda, yaitu yang disebut VMBO (voorbereidend middelbaar beroepsonderwijs) atau “sekolah persiapan untuk pendidikan kejuruan menengah” yang ditempuh dalam waktu 4 tahun setelah sekolah dasar. Lulusan VMBO bisa langsung meneruskan ke MBO (middelbaar beroepsonderwijs) atau “sekolah kejuruan menengah” yang lamanya 4 tahun, dan setelah itu bisa langsung bekerja. Lulusan VMBO tidak bisa langsung meneruskan ke HBO, apalagi ke WO. Untuk masuk ke HBO, lulusan VMBO dapat mengulang setahun di HAVO, atau setelah lulus dari MBO dapat masuk ke HBO. Pemilihan jenis sekolah menengah yang akan diikuti, apakah VMBO, HAVO, atau VWO, secara prinsip ditentukan oleh peserta didik sendiri, tapi biasanya didasarkan pada hasil tes yang dilakukan pada akhir sekolah dasar. Sebagai catatan sekolah dasar di Belanda dimulai pada umur 4 tahun (kelas 1 dari 8). Walaupun tampaknya ada diskriminasi, lulusan VMBO, HAVO, dan VWO secara umum semuanya bisa hidup dengan layak di Belanda. Salah satu faktor penting adalah usia mulai bekerja, misalnya VMBO-MBO sekitar 19 tahun, sedangkan HAVO-HBO (bachelor) 21 tahun, dan VWO-WO (master) 22-23 tahun. Juga tiap jenis pendidikan mempunyai lingkup pekerjaan tersendiri, yang tidak bisa dimasuki oleh lulusan pendidikan lain. Misalnya untuk menjadi tukang instalasi listrik di rumah, perusahaan tidak boleh menerima lulusan universitas. Untuk lulusan sekolah menengah di Indonesia, biasanya bisa langsung masuk ke HBO atau WO.

Sistem Pendidikan Tinggi di Belanda

Ada dua tipe pendidikan tinggi di Belanda: universiteit dan hogeschool. Universiteit (WO) memfokuskan pendidikan dalam teori dan riset, sedangkan hogeschool (HBO) berfokus kepada praktikal, mempersiapkan pelajar siap untuk terjun ke dunia kerja.

Universiteit dan hogeschool menyediakan program bachelor dan master. Hingga saat ini, program doktoral hanya dapat diikuti di universiteit.

schema-onderwijs

schema-onderwijs

Gelar /diploma

Di universiteit, program reguler berlangsung selama lima tahun, apabila lulus, kita berhak atas title Doktorandus (Drs) ataupun Ingeneur (Ir). Titel ini setingkat dengan program master di Indonesia. Dengan sistem yang baru, gelar tradisional Belanda tetap ada, tetapi ada tambahan gelar bachelor of science atau master of science.

Di hogeschool, program reguler berlangsung selama empat tahun dan apabila lulus, kita mendapat gelar bachelor of applied science, bachelor of applied arts, master of applied science, atau master of applied arts.

Sumber:

– http://educatie-en-school.infonu.nl/diversen/35968-nederlands-schoolsysteem.html

– http://eduinfo4u.wordpress.com

Sejarah Belanda Selayang Pandang

Belanda yang kita kenal saat ini sebagian besar merupakan hasil karya manusia. Proses “penciptaan” negara Belanda dilakukan melalui:

–      pembangunan bendungan air

–      pengeringan lahan

–      pembangunan tanggul-tanggul.

Kata-kata kunci dalam sejarah modern negara Belanda: “penyesuaian diri dengan air dan perjuangan melawan banjir”

Kawasan yang sekarang disebut Belanda adalah delta sungai di benua Eropa. Posisi geografi tersebut menentukan sejarah Belanda selama berabad-abad. Pada periode 4500 SM, masyarakat agraris mulai berkembang di sini.

Pada masa awal era Kristen, daerah Belanda menjadi salah satu wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Pada abad-abad berikutnya, daerah yang sekarang kita kenal sebagai negara Belanda menjadi bagian dari kekaisaran lain yang lebih besar. Pada 1590 bentuk geografis Belanda yang ada sekarang mulai terpetakan. Namun, wilayah perbatasan berubah-ubah secara dramatis.

Kehidupan beragama:

Kehidupan beragama dan konsep ketuhanan dalam sejarah negara Belanda tidak banyak diketahui. Berkat Tacitus (salah satunya), diperoleh informasi tentang bentuk-bentuk Tuhan yang disembah pada saat itu:

± 600-700 M: Masyarakat di negara-negara dataran rendah mulai memeluk agama Kristen. Pada masa itu, rumah-rumah ibadah pusat-pusat kebudayaan.

Abad ke-16 dan ke-17: perang membela doktrin kebenaran.  Pada masa ini, Kristen masih menjadi bagian penting dalam budaya Belanda.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Perbatasan Romawi; Willibrord; Desiderius Erasmus; Beeldenstorm;  Statenbijbel

Bahasa Belanda:

Bahasa tulis tertua tercatat tercatat sejak tahun 1100 dan ditulis oleh seorang pendeta Flandria. Tulisan dalam “bahasa ibu” baru dikenal pada Abad ke-16. Pada masa ini, kemahiran dan penggunaan bahasa merupakan simbol penting dalam justifikasi status sosial dalam kehidupan bermasyarakat:

Latin: kaum terpelajar

Prancis: kaum elit

Setiap daerah memiliki punya dialek sendiri.  Belanda punya sejarah kesusastraan yang panjang dalam bahasanya sendiri, dan batas-batas bahasa tidak sejajar dengan batas-batas politis.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Hebban olla vogala; Statenbijbel; Max Havelaar; Annie M.G. Schmidt

Negara urban dan jalur perdagangan di mulut sungai Rhine, Schelde dan Maas

± 1100: urbanisasi mulai terjadi di Belanda dan pusat-pusat perdagangan tumbuh

Pusat kegiatan: di selatan (Flandria dan Brabant) -à sekitar tahun 1500 bagian utara (propinsi Holland) menjadi pusat perdagangan yang kuat.

Sejak sekitar tahun 1600, propinsi Holland dan Zeeland menjadi pusat perdagangan yang penting di Eropa à era modern meneruskan fungsi ini.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Liga Hanseatik; Lingkaran Kanal; Pelabuhan Rotterdam

Republik Tujuh Serikat Belanda : dibentuk melalui pemberontakan

Penduduk di kota-kota kecil mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan kaum bangsawan. Pertanda adanya perseteruan kepentingan itu sudah ada sejak awal. Pada akhir Abad Pertengahan, para penguasa Burgundi mencoba memerintah negara-negara di bawah laut di bawah satu administrasi, tetapi kebijakan ini ditentang oleh penduduk maupun kaum bangsawan. Pada Abad ke-16, perlawanan ini bercampur aduk dengan seruan Reformasi. Perang pun pecahlah dan kaum bangsawan menjadi “gueux’ (pengemis). William van Oranje tampil menjadi pemimpin kaum Pemberontak dan karenanya dikenal sebagai “Bapak Bangsa”. Struktur politik yang unik dan dikenal sebagai “Republik” berkembang setelah kematiannya yang tragis tahun 1584. Ciri khas dari Republik adalah  kekuasaan administratif para pemimpin daerah; otoritas pusat yang lemah dan toleransi beragama.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Floris V; Charles V; Beeldenstorm; Willem Oranje; Republik; Hugo Grotius; Spinoza; Lingkaran Kanal

Masa Keemasan

Republik Tujuh Serikat Belanda à superpower (ekonomis,politis dan budaya) di Eropa Abad ke-17. Kaum imigran (Yahudi, Flemings, Huguenots) berperan penting mewujudkan Masa Keemasan tersebut.

Kebudayaan: lukisan Abad ke-17 sangat mengagumkan. Perkapalan, pasar bahan baku, pengelolaan lahan,industri sangat maju.

Secara politis: Republik merupakan bentuk pemerintahan yang unik di benua yang dikuasai oleh monarki.

Tahun 1672 merupakan tahun yang penuh bencana, pertanda meredupnya Masa Keemasan. Setelah itu, Republik tidak menonjol lagi di panggung Eropa. Secara ekonomi dan budaya, Republik juga tidak berperan penting lagi sejak akhir Abad ke-17.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Hugo Grotius; Rembrandt; Michiel de Ruyter; Atlas Major Blaeu; Christiaan Huygens; Spinoza; Villa-villa Mewah

Kewirausahaan dan Kekuasaan Kolonial

Kapal-kapal Belanda mulai berlayar sejak ± tahun 1600. Pada saat itu, Eropa merupakan pusat perdagangan dunia. Kegiatan perdagangan juga dilakukan di Asia, Afrika dan Amerika à  Daerah-daerah koloni tumbuh di Asia dan Amerika.

Abad ke-19, sentralisasi pemerintahan Belanda di daerah koloni telah mengakibatkan perang yang panjang (termasuk peperangan di Indonesia, Suriname, dan Antilian), dan sampai saat ini, Belanda masih menjalin hubungan yang erat dengan Indonesia, Suriname dan Antilian.

Telusuri lebih lanjut mengenai: VOC; Atlas Major Blaeu; Perbudakan; Max Havelaar; Indonesia; Suriname dan Antilian; Keberagaman di Belanda

Negara-bangsa, monarki konstitusional

Paruh kedua Abad 18: pengaruh aliran Pencerahan:

  • tumbuh kebutuhan untuk menambah dan menyebarkan ilmu pengetahuan.
  • gagasan baru tentang penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat banyak didiskusikan.
  • gerakan Patriot yang mencoba membatasi kekuasaan Stadholders (para gubernur)
  • kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk berpendapat (pada awalnya menemukan jalan buntu).

Bangsa Belanda pada era modern dibentuk antara 1795 dan 1848, dan fondasinya telah dibangun pada periode Prancis (1795-1813). Setelah kekalahan Napoleon: Willem I, putra dari Stadholder (gubernur) terakhir menjadi raja dari serikat kerajaan. “Restorasi” Belanda ini tidak berlangsung lama karena Brussels bergabung dengan kaum pemberontak pada tahun 1830.

Pada tahun 1848, fondasi bagi terbentuknya sebuah monarki konstitusional (sebagaimana Belanda saat ini) dikukuhkan dengan dirancangnya Konstitusi oleh Thorbecke. Kerajaan ini kemudian menjadi kekuasaan kecil yang teguh pada sikap netralnya.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Villa-villa mewah; Eise Eisinga; Patriot; Napoleon Bonaparte; Raja William I; Konstitusi

Bangkitnya Masyarakat Modern

Sejak ± tahun 1870: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag dan Utrecht tumbuh menjadi perkotaan. Industrialisasi di kawasan itu terjadi relatif terlambat, padahal pembangunan jalur kereta api sudah dimulai tidak lama sebelumnya. Pembangunan rel kereta api memberikan keuntungan bagi mobilitas warga, salah satu contohnya adalah jarak menjadi semakin kecil: integrasi Belanda dimulai.

Pemerataan (diatur oleh undang-undang) à semakin kuat.

Orang-orang “biasa”: – menuntut diperhitungkan oleh masyarakat dan politik.

– hak pilih pada pria (1917) dan wanita (1919).

 

Para seniman “modern”: – tidak lagi sebagai penopang tradisi artistik yang mapan

– memberikan kesempatan untuk menjadi artistik yg inovator.

Dalam kesusastraan:  tercermin dalam “Gerakan Delapan Puluh”

Dalam seni lukis: aliran Impresionis dan Pasca-Impresionis

Dalam seni terapan: gerakan Art Nouveau dan Modernisme.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Jalur kereta api pertama; Perlawanan terhadap tenaga kerja anak-anak; Vincent van Gogh; Aletta Jacobs; Perang Dunia Pertama; De Stijl

Belanda pada Perang Dunia (PD)

Belanda mencoba menghindari keterlibatan dalam konflik-konflik besar di Eropa. Sikap netral ini berhasil pada PDI, tetapi setelah PDI Belanda ditarik masuk dalam krisis global sehingga mau tidak mau Belanda ikut terseret dalam kolonisasi Nazi Jerman.

Periode paling buruk pada saat pendudukan Jerman adalah pemboman Rotterdam, deportasi dan pembunuhan kaum Yahudi serta kelaparan pada musim dingin.

Di Asia, perang dimulai tahun 1942, tetapi setelah kemerdekaan tahun 1945 sebuah perang baru berkobar dan tidak berakhir hingga tahun 1949. Perang Dunia Kedua dirujuk sebagai “masa lalu yang menolak menjadi sejarah”.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Perang Dunia Pertama; De Stijl; Tahun-tahun Krisis; Perang Dunia Kedua; Anne Frank; Indonesia

Negara Kesejahteraan, demokratisasi dan sekularisasi

Rekonstruksi dimulai segera setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Setelah tahun-tahun yang penuh kerja keras dan kemiskinan berlalu, pada tahun 1950-an merupakan periode saat terjadinya perubahan besar dalam gaya hidup masyarakat Belanda. Negara kesejahteraan dan masyarakat yang makmur melahirkan peningkatan standar kehidupan secara drastis. Selain itu, orang-orang memutuskan hubungan mereka dengan gereja, kelompok sosial politik dan keluarga. Perubahan ini ditandai dengan hubungan yang tidak begitu hirarkis lagi antara orangtua dan anak, perubahan peran pria dan wanita dan semakin terbukanya pandangan tentang seksualitas. Dalam kaitannya dengan politik, hal ini sangat erat berhubungan dengan gerakan yang kuat menuju demokratisasi : otoritas kelompok elit yang mapan mulai dipermasalahkan.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Willem Drees; Banjir Besar; Televisi; Pelabuhan Rotterdam; Annie M.G. Schmidt; Sumber gas alam

Diversifikasi Belanda

Setelah Perang Dunia Kedua, Belanda terlibat dalam perang kolonial melawan gerakan kemerdekaan Indonesia. Selama dan setelah perang itu, banyak orang Belanda, Indo-Eropa dan Maluku pindah ke Belanda.

Gelombang imigran lainnya menyusul : pada tahun 1960-an, para pekerja dari negara-negara Mediterania tiba, pada saat dekolonisasi Suriname (1975) orang-orang juga datang dari bekas negara jajahan tersebut dan kemudian dari Belanda-Antilian, disusul  dari berbagai negara lainnya. Masyarakat Belanda berubah dengan meningkatnya imigrasi. Tak terelakkan lagi muncullah ketegangan antara penduduk yang sudah mapan dan penduduk yang baru.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Indonesia; Suriname dan Antilian; Keberagaman di Belanda

Belanda di Eropa

Setelah Perang Dunia Kedua diikuti oleh Perang Dingin, Belanda menjadi semacam penengah dalam kerjasama Atlantik dan Eropa. Begitu Perang Dingin berakhir, kerjasama Eropa dengan cepat berkembang. Pada tahap ini, Belanda juga aktif dalam berbagai misi perdamaian PBB.

Telusuri lebih lanjut mengenai: Srebrenica; Eropa

Sumber: beragam baik online maupun offline

Mengapa Perempuan Tergila-gila Berbelanja?

Oleh: Michel Weerden, Groesbeek

Penjelasan yang sangat menarik dari fakta ini berkaitan erat dengan fungsi perempuan dan laki-laki dalam sistem sosial masyarakat dalam sejarah evolusi manusia dari masa lalu, yaitu: laki-laki berburu, dan perempuan mengumpulkan.

Laki-laki berburu hewan-hewan mangsa untuk dijadikan santapan keluarga atau bentuk komunitas lainnya. Setelah para lelaki selesai berburu, mereka akan merasa sangat puas atas penaklukan terhadap hewan mangsa mereka. Sementara itu, perempuan adalah kaum yang gemar mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian di dalam hutan.

“Kebiasaan” masa lalu tersebut menjelma pada masa sekarang dengan “mengumpulkan” barang-barang yang memiliki “penawaran menarik” atau diberi label “diskon”/”korting”. Pusat-pusat perbelanjaan dan toko-toko memahami betul aspek kebiasaan ini, sehingga menjadi “fasilitator” utama bagi kaumperempuan dalam kehidupan masa kini.

Dalam kehidupan masa kini, secara tradisional kaum laki-laki mencari uang dan kaum perempuan dapat menggunakan uang hasil “buruan” tersebut untuk “mengumpulkan” benda-benda yang dianggap berguna atau memiliki nilai-nilai berharga.

Toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan melakukan berbagai cara untuk memfasilitasi “kebiasaan” perempuan ini, dan perempuan juga dengan senang hati dan penuh semangat secara aktif mengambil perang dalam “permainan” ini. Oleh karena itu, pada masa kini berbelanja menjadi sebuah aktifitas yang sangat menarik buat kaum perempuan dan lebih dari itu, berbelanja bisa menjadi pelipur lara bagi perempuan dalam menghadapi beberapa kegalauan dalam hidup.

Sumber: Quest, edisi Desember 2013

Mengapa Menarik Nafas yang Dalam (Deep Inhale) Melegakan?

Oleh: Henny Klok

Menarik nafas yang dalam saat seseorang berada dalam kondisi tertekan, stres, dan kondisi tidak menyenangkan lainnya dapat menjadi sebuah “pelepasan” yang sangat melegakan (meski terkadang hanya untuk sesaat). Bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Para peneliti dari Katholieke Universiteit Leuven (K.U. Leuven) di kota Leuven, Belgia telah meneliti fenomena ini. Hasil dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa menarik nafas yang dalam dapat diibaratkan sebagai “tombol reset” dalam sistem pernafasan manusia. Mereka menjelaskan lebih lanjut bahwa sistem pernafasan manusia sangatlah flexibel: seberapa cepat, dalam, atau lambat seseorang bernafas sangat bergantung pada kondisi fisik dan psikis dari orang tersebut.

Mereka yang berada dalam suasana tegang, tertekan, atau stres membutuhkan oksigen yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang sedang menonton tv atau mendengarkan musik. Suasana tegang, stres, dan tertekan menjadikan sistem pernafasan seorang manusia sangat tidak stabil yang mengakibatkan sirkulasi udara di dalam tubuh orang tersebut menjadi sangat tidak merata.

Menarik nafas yang dalam dapat mengembalikan kedinamisan dari keseluruhan sistem pernafasan seorang manusia. Fakta inilah yang menyebabkan para peneliti mengibaratkan aktifitas menarik nafas yang dalam sebagai “tombol reset” dalam sistem pernafasan manusia.

Menarik nafas yang dalam dapat mengembalikan keseimbangan ritme pernafasan dan kemudian mengendorkan otot-otot yang menegang. Lebih lanjut, para peneliti tersebut menjelaskan bahwa bernafas secara biasa dalam keadaan yang cukup lama dapat menyebakan paru-paru menjadi stagnan dan apabila ini terjadi, maka sistem pernafasan menjadi sangat tidak efisien.

Jadi, menarik nafas yang dalam dapat mengembalikan kesupelan paru-paru, dan diiringi dengan jumlah oksigen yang lebih banyak dapat mengendorkan otot-otot yang tadinya menegang.  Hal ini kemudian dapat mengembalikan perasaan nyaman untuk manusia.

Sumber: Quest, edisi Desember 2013

Metodologi Penelitian Kebudayaan

Metodologi adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang mempelajari metode. Sementara itu Metode merupakan cara yang dipakai untuk mengerjakan (melakukan) riset atau penelitian tertentu. Maka dari itu, pemahaman terhadap metodologi akan mustahil apabila penguasaan terhadap metode-metode penelitian diabaikan.

Sementara itu, objek-objek yang dapat diteliti secara ilmiah dan dapat diterima pada ranah akademik adalah objek-objek yang bersifat logis, artinya hubungan sebab-akibat yang jelas merupakan hal mutlak yang harus hadir di dalam sebuah penelitian (riset ilmiah).

Tulisan ini akan mengulas tentang kebudayaan, penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan. Sebelum membahas lebih lanjut tentang penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu kebudayaan.

Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata dasar “budaya” yang sesungguhnya sangat sulit untuk didefenisikan. “Budaya adalah salah satu dari dua atau tiga kata-kata yang paling rumit di dalam bahasa Inggris….karena saat ini kebudayaan telah digunakan untuk konsep-konsep penting di dalam beberapa disiplin intelektual dan pemikiran” (Raymond William. 1976: 76-7). Hal ini telah terlihat di awal tahun 1950-an, saat itu Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952) telah mengumpulkan  banyak definisi kebudayaan baik dari sumber-sumber populer, maupun dari sumber-sumber ilmiah.

Kata budaya yang dalam bahasa Inggris disebut “culture” sering diasosiasikan dengan kata “cultivation” yang memiliki arti “budidaya”.  Asosiasi ini memperlihatkan segala tindak tanduk manusia dalam kemampuannya mengolah alam sekitar sebagai bentuk dari peningkatan kecerdasan manusia dan peningkatan skil manusia dalam “menaklukan” alam sekitarnya untuk tujuan bertahan hidup (survival). Seiring dengan berjalannya waktu, istilah budaya juga mengacu kepada peningkatan skil seseorang di dalam masyarakat secara keseluruhan, jadi tidak hanya terkait dengan hal-hal “penaklukan” alam dan lingkungan sekitarnya. Hal ini seringkali dianggap sebagai sinonim dari muatan nilai di dalam peradaban (civilization). Jadi pada periode ini istilah budaya erat kaitannya dengan peradaban, dan orang yang dianggap berbudaya adalah mereka yang dianggap telah beradab hidupnya. Contoh yang diambil oleh masyarakat Eropa pada saat itu untuk membedakan orang yang berbudaya/beradab adalah dengan membandingkan orang Eropa dengan orang Afrika yang saat itu di antara keduanya terdapat perbedaan teknologi, moral, dan sikap. Mereka berpendapat saat itu bahwa orang Eropa adalah orang yang berbudaya/beradab terkait dengan kemampuannya dalam menaklukan alam dan lingkungan sekitar (kemajuan teknologi), dan juga terkait dengan moral dan sikap dalam menjalani kehidupan di dalam masyarakat. Sedangkan pada masa Romantisisme pada saat revolusi industri, istilah budaya juga mulai dikaitkan dengan perkembangan spiritualitas seseorang dan untuk membedakan perkembangan psiritualitas tersebut dengan perkembangan infrastruktur semata di dalam masa-masa perkembangan teknologi industri. Kemudian di akhir abad ke-19 muncullah infleksi yang menekankan bahwa tradisi dan kehidupan keseharian merupakan dimensi budaya. Hal ini tercermin di dalam ide budaya rakyat (folk culture) dan budaya nasional (national culture).

Menurut Williams (1976: 80) pergantian masa sejarah kehidupan manusia direfleksikan ke dalam kegunaan-kegunaan dari istilah “budaya”:

  1. Untuk menunjukkan perkembangan intelektualitas, spiritualitas, dan estetika dari individu, kelompok, atau masyarakat.
  2. Untuk membidik cakupan intelektualitas dan aktifitas-aktifitas artistik dan produknya (filem, seni, dan teater). Kegunaan budaya di sini bersinonim dengan kata “kesenian” (the arts), untuk itu kita bisa menyebut “Kementrian Budaya”.
  3. Untuk menunjuk keseluruhan cara hidup, aktifitas, kepercayaan, dan kebiasaan individu, kelompok, dan masyarakat.

Kegunaan budaya yang pertama dan kedua adalah yang paling sering digunakan dan disintesakan di dalam ranah-ranah intelektual. Sedangkan kegunaan budaya yang ketiga diperjuangkan oleh banyak Antropolog dan menjadi pusat dari keilmuannya.

Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengidentifikasi enam pemahaman utama tentang budaya berdasarkan kegunaanya yang ketiga:

  1. Definisi deskriptif: cendrung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang membentuk kehidupan sosial dan mengklasifikasikan berbagai bidang yang membentuk budaya.
  2. Definisi sejarah: cendrung melihat budaya sebagai sebuah warisan yang diwariskan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi.
  3. Definisi normatif: membentuk dua bentuk. Bentuk pertama: menyarankan budaya sebagai aturan hidup yang membentuk pola-pola dari kebiasaan dan aksi konkrit. Bentuk kedua: menekankan peran dari nilai-nilai tanpa mengacu pada perilaku.
  4. Definisi psikologis: menekankan peran budaya sebagai alat pemecahan masalah, memungkinkan orang untuk berkomunikasi, belajar, atau untuk memenuhi kebutuhan material dan emosional.
  5. Definisi struktural: “interelasi aspek-aspek budaya yang terorganisasi” (Tylor: 61)
  6. Definisi genetik: menentukan keberadaan budaya dan kelanjutan eksistensinya. Hal ini sedikit terkait dengan biologi. Jadi, budaya merupakan kemunculan interaksi manusia sebagai produk dari transmisi intergenerasi.

Walaupun ide-ide dari Kroeber dan Kluckhohn ini sangat populer, namun pemahaman tentang budaya senantiasa bergerak secara halus di dalam bidang teori kebudayaan. Perkembangan pemahaman budaya di dalam bidang teori kebudayaan dapat dipahami sebagai berikut:

– Budaya cenderung bertentangan dengan materi, teknologi, dan sosial struktural. Walaupun secara empiris relasi antara budaya dengan materi, teknologi, dan sosial struktural itu dapat ditelusuri, namun ada baiknya untuk melihat budaya sebagai sesuatu yang lebih abstrak dari sekedar “cara hidup”.

– Budaya dilihat sebagai dunia dari ide, spiritualitas, dan non-material. Hal ini diperlukan dalam pemahaman tentang kepercayaan, nilai-nilai, simbol-simbol, tanda-tanda, dan wacana.

– Penekanan diberikan pada “otonomi budaya”. Ini membuktikan bahwa budaya tidak hanya bisa dijelaskan melalui dasar kekuatan ekonomi, distribusi kekuasaan atau kebutuhan sosial struktural belaka.

– Usaha-usaha dibuat untuk tetap menjadi nilai-nilai yang netral. Studi budaya tidak hanya terbatas pada Kesenian, tetapi juga meliputi segala aspek dan tingkatan dalam kehidupan sosial.

Tahapan Kebudayaan

Van Peursen membagi tahapan kebudayaan ke dalam tiga bagian:

  1. Tahapan mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif.
  2. Tahapan ontologis. Ontologis merujuk kepada hal yang sifatnya “being” / “asal muasal”. Jadi, tahapan ontologis di dalam kebudayaan adalah sikap manusia yang tidak didominasi sepenuhnya oleh kekuasaan mitis, tetapi dengan sadar mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dirasakan oleh panca inderanya. Ontologi mengalami perkembangan yang cukup hebat pada kebudayaan masyarakat kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
  3. Tahapan Epistem. Di dalam filsafat ilmu, epistemologi dapat didefenisikan sebagai sebuah pembahasan mengenai perolehan pengetahuan. Pembahasan tersebut meliputi: sumber, hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan, probabilitas perolehan pengetahuan oleh manusia, dan kedalaman manusia dalam menganalisis dalam memperoleh pengetahuan.

Bagian-bagian Dasar Kebudayaan

Secara mendasar, kebudayaan memiliki tiga komponen utama, yaitu:

  1. Asumsi dasar (mentalité)
  2. Nilai dan norma
  3. Tingkah laku, teks, dan artefak

Jika digambarkan, maka bagian-bagian mendasar di dalam kebudayaan akan terlihat sebagai berikut:

mentalite-kebudayaan

Penelitian Kebudayaan

Penjabaran singkat tentang komponen-komponen penting dan penjelasan tentang arti kebudayaan pada bagian-bagian sebelumnya secara eksplisit menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil riset yang bagus dan objektif dalam ranah kebudayaan diperlukan dua pendekatan, yaitu:

  1. Pendekatan intrinsik, yaitu peneliti ikut tinggal di lingkungan objek kebudayaan yang ingin diteliti dan mengikuti semua pola kehidupan di sana, sehingga secara kasat mata terlihat bahwa si peneliti adalah bagian dari kebudayaan tersebut.
  2. Pendekatan ekstrinsik, yaitu pandangan dan peniliaian peneliti dari kacamata netral. Situasi ini menempatkan peneliti berada di luar dari kebudayaan yang akan diteliti dan peneliti dituntut untuk dapat melihat dan menilai objek yang akan diteliti sebagai sesuatu yang bukan merupakan kebudayaan si peneliti itu sendiri.

Dua pendekatan ini sangat dibutuhkan dalam memenuhi tahapan epistemik di dalam tahapan kebudayaan menurut Van Peursen. Tidak hanya itu, di dalam setiap metodologi – khususnya metodologi kebudayaan – harus mencapai tahapan ontologis dan epistemik.

Di dalam penelitian kebudayaan, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, di antaranya yang paling sering digunakan adalah:

1. Metode deskriptif, yaitu sebuah totalitas komprehensif kebudayaan yang digambarkan untuk mendapatkan nilai (value) dari kebudayaan yang diteliti.

2. Metode defenisi logis, terbagi ke dalam dua cara, yaitu:

  • Secara historis, yaitu metode yang menjelaskan tentang warisan untuk generasi baru dari objek kebudayaan yang akan diteliti.
  • Secara normatif, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui: 1. aturan/jalan hidup obejk budaya yang diteliti, 2. Nilai (value) yang mengacu pada nilai tertentu juga.

Jika kita sekali lagi membaca penjelasan tentang metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan, maka kedua-duanya berbicara tentang nilai (value). Ini berarti peneliti di bidang kebudayaan dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bagus di bidang hermeneutika supaya tidak terjadi salah tafsir dalam memaknai nailai-nilai yang ada di dalam sebuah kebudayaan. Hermeneutika kembali dipopulerkan pada abad ke-20 oleh seorang filsuf asal Jerman yang bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002).

Hermeneutika Gadamer merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Hal ini erat kaitannya dengan fusi cakrawala (fusion of horizons), yaitu peleburan cakrawala pembaca (vorhabe, vorsicht, dan vorgiff) dengan cakrawala penulis melalui “teks”[1] yang telah ditulisnya untuk memaknai esensi yang terkandung di dalam suatu “teks”. Dengan demikian, pemakanaan suatu “teks” tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh esensi suatu “teks” yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap pembaca dengan cakrawala si penulis “teks” tersebut melalui “teks” yang ditulisnya. Di samping itu, cakrawala pembaca terhadap “teks” itu sendiri juga dileburkan pada tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah “teks” ditulis, oleh siapa sebuah “teks” ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat “teks” itu ditulis juga menjadi bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini untuk mendapatkan esensi dari sebuah “teks”. Jadi, suatu “teks” dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang dilakukan oleh pembaca “teks” tersebut.

Di samping penguasaan hermeneutika yang bagus, seorang peneliti di bidang kebudayaan juga dituntut untuk memiliki pemahaman estetika yang bagus, hal ini disebabkan karena estetika merupakan sebuah nilai (value) yang memegang peranan cukup sentral di dalam setiap penelitian pada ranah kebudayaan. Menurut Mudji Sutrisno:

“estetika merupakan paparan yang lebih mau menekankan pengalaman si subjek mengenai yang indah tanpa mau mencermati apakah asalnya dari objek kesenian alami (natural object) atau dari karya cipta manusia (artificial object).”

Hal ini sejalan dengan bagian-bagian kebudayaan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bagian kebudayaan nomor tiga terkait dengan artefak yang merupakan karya cipta manusia.

Kesimpulan

Ranah kebudayaan tidak hanya mencakup manusia sebagai subjek yang mengobjekkan hal, dan aktifitas lainnya di dalam suatu kebudayaan. Namun demikian, manusia itu sendiri bisa mengisi posisi objek di dalam sebuah penelitian kebudayaan.

Tiga bagian dasar kebudayaan dapat dijadikan acuan untuk menentukan objek yang akan diteliti di dalam sebuah penelitian kebudayaan.

Kemudian, untuk menghindari subjektifitas peneliti di dalam meneliti kebudayaan, maka diperlukan dua pendekatan yang digunakan di dalam penelitiannya, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.

Metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan terkait dengan nilai-nilai (values) yang ada di dalam kebudayaan yang akan diteliti. Oleh karena itu, pemahaman di dalam bidang hermeneutika dan estetika juga menjadi penting bagi peneliti kebudayaan agar nantinya tidak terjadi salah tafsir di dalam melihat nilai dan memberikan penilaian terhadap sebuah kebudayaan.

Bibliografi

Berry, Peter. (2010). Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Jakarta: Jalasutra.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas

Bambu.

Smith, Philip. (2001). Seri Cultural Theory, An Introduction. U.K.: Blackwell Publishing Ltd..

Sutrisno, Mudji. (2011). Ranah-ranah Hermeneutika. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.

Sutrisno, FX. Mudji & Hardiman, F. Budi (ed.). (1992). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.



[1] Teks tidak hanya berupa tulisan, tetapi apapun yang bisa menjadi objek penafsiran.

Skenario Hubungan UE dengan Rusia dalam Aspek Pendidikan dan Kebudayaan

Rusia memiliki kebudayaan yang erat melekat pada kehidupan yang bersifat komunal dan berbasis pada nilai-nilai dan norma Kristen Orthodox. Akar kebudayaan yang seperti ini menjadi semakin kental ketika Rusia selama sekitar 75 tahun tergabung ke dalam Uni Soviet karena Soviet menerapkan politik menutup diri dari dunia luar dengan pola chauvinisme yang kental. Kondisi seperti ini menyebabkan Rusia memiliki kebudayaan yang sangat tertutup dari dunia luar dan berhasil mempertahankan “kebudayaan aslinya” tanpa benturan dari budaya-budaya asing yang berasal dari dunia luar. Namun kondisi ini mulai menuju kepada perubahan pada akhir tahun 80-an.

Keruntuhan paham komunis yang ditandai dengan pembubaran Uni Soviet pada masa kekuasaan Michael Gorbachev pada awal tahun 90-an merupakan batu loncatan pertama dan utama yang membawa Rusia menuju Rusia yang kita kenal saat ini dengan istilah the New Russia (Rusia Baru). Masa pasca keruntuhan Uni Soviet memaksa negara pewaris utama Soviet ini untuk lebih “membuka diri” kepada dunia luar demi kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Kondisi baru Rusia ini tentunya dipandang oleh beberapa negara besar dunia sebagai suatu peluang emas untuk melakukan macam-macam bentuk ekspansi dalam segala aspek kehidupan, terutama di dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang bermuara kepada potensi sebagai pasar dalam sistem market economy perekonomian dunia. Namun demikian, kondisi baru ini tidak hanya dipandang positif oleh dunia luar, tetapi Rusia juga bisa memandang dunia luar dengan persepsi yang sama seperti pandangan dunia luar terhadap Rusia Baru.

Lokasi geografis Rusia yang berbatasan langsung dengan komunitas besar dunia Uni Eropa menjadi hal yang sangat menarik dalam mengamati tarik menarik hegemoni pendidikan dan kebudayaan yang terjadi. Apakah Rusia yang akan melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa atau beberapa negara anggotanya, atau justru sebaliknya, Rusia lah yang akan terhegemoni oleh Uni Eropa atau oleh beberapa negara anggotanya? Pertanyaan ini tentu saja bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, fakta bahwa Rusia memiliki sumber energi utama yang memberikan suplai energi kepada sebagian besar negara-negara anggota Uni Eropa menambah serunya tarik menarik hegemoni ini.

Dalam usaha untuk memetakan hasil dari tarik menarik hegemoni budaya antara Rusia dan Uni Eropa ini, maka saya akan mencoba untuk memberikan beberapa skenario beserta implikasinya yang bisa digunakan oleh kedua belah pihak dalam usaha mencapai tujuan hegemoninya.

Skenario I: Program Beasiswa oleh Uni Eropa

Sebagai sebuah komunitas besar, Uni Eropa telah mulai memberikan banyak beasiswa kepada seluruh pelajar di dunia pada awal tahun 2000-an untuk mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan formal ke universitas-universitas terbaik yang terdapat pada masing-masing negara anggotanya. Kesempatan ini tentu saja merupakan peluang emas bagi mereka yang memang memiliki antusias besar dalam bidang pendidikan, terutama dengan alasan untuk memajukan bangsa, maka negara-negara di luar keanggotaan Uni Eropa tentunya berlomba-lomba untuk mengirimkan orang-orang terpelajarnya untuk dapat menimba ilmu di negara-negara anggota Uni Eropa.

Rusia yang berbatasan langsung dengan Uni Eropa tentunya juga dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk investasi jangka panjangnya dalam hal peningkatan mutu sumber daya manusia. Apabila Rusia memandang hal ini 100% merupakan peluang investasi jangka panjang di bidang sumber daya manusia tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruknya, maka alih-alih mendapatkan sumber daya manusia berkualitas dalam membangun negreinya, tetapi malah Rusia berkemungkinan besar kehilangan pemuda-pemuda terpelajarnya.

Saya berani berspekulasi seperti pada paragraf di atas karena saat ini hampir di setiap negara anggota Uni Eropa terdapat kebijakan untuk lulus ujian negara tempat calon pelajar melanjutkan studinya yang terdiri dari ujian bahasa negara setempat dan ujian tentang pengetahuan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat negara setempat. Apabila calon pelajar yang akan menerima beasiswa pendidikan tidak lulus dalam ujian tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan izin tinggal. Apabila calon pelajar penerima beasiswa tidak mendapatkan izin tinggal di negara tujuan, maka mereka tidak akan bisa melanjutkan studi ke negara tersebut, dengan kata lain, mereka gagal mendapatkan beasiswa tersebut.

Kenyataan seperti ini tentunya boomerang yang siap menghantam balik Rusia. Kaum terpelajar yang merupakan pemuda harapan bangsa pastinya dengan sukarela mati-matian mempelajari bahasa dan kebudayaan, serta kebiasaan masyarakat negara tujuan tempat mereka akan melanjutkan studi formalnya. Dengan kata lain, mereka (pelajar) dengan sadar “membuka diri” untuk sesuatu yang baru yang nantinya tanpa sadar akan mereka aplikasikan dan menjadi “pedoman dan pandangan hidup” mereka yang baru kelak ketika mereka mendapatkan beasiswa itu. Alih-alih Rusia dapat melakukan hegemoni budaya terhadap Uni Eropa, tetapi malah kaum terpelajarnya sangat berisiko dalam “tercemar” kebudayaan dan pandangan hidup Uni Eropa.

Kemungkinan ini menjadi lebih berisiko ketika kita dihadapkan pada fakta model pemerintahan Putin yang masih mewarisi pola-pola tangan besi ala Soviet. Kaum terpelajar yang lebih netral dan kritis dalam berfikir dan bertindak tentunya akan mendapatkan angin segar ketika masuk, menjalani kehidupan, dan menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa. Mimpi-mimpi utopis demokrasi Uni Eropa akan menjadi senjata utama yang nantinya bisa melunturkan sisi nasionalisme para pelajar Rusia yang mendapatkan beasiswa ke Uni Eropa.

Skenario II: Beasiswa untuk Scholar “Pilihan”

Skenario kedua ini merupakan langkah yang dapat diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi dampak negatif dari strategi Uni Eropa yang melancarkan ekspansi budaya melalui program beasiswa yang diberikannya. Risiko pelunturan rasa nasionalisme yang dapat terjadi sebagai implikasi skenario relasi kerjasama pendidikan dan kebudayaan antara Rusia dengan Uni Eropa sangat berdampak negatif bagi perkembangan Rusia Baru di masa depan. Hal ini diperburuk dengan fakta penurunan pertumbuhan populasi Rusia.

Rusia bisa mendapatkan pemutakhiran ilmu pengetahuan dalam segala bidang dengan bekerja sama dengan dunia luar, khususnya Uni Eropa yang juga memiliki kepentingan dalam pengembangan teritorial tanpa harus mempertaruhkan pemuda-pemuda harapan bangsanya. Jika Rusia memiliki kecurigaan yang sama dengan pandangan saya ini, maka tentunya Rusia akan melakukan langkah-langkah antisipasi dalam menyikapi kemungkinan tersebut. Salah satu langkah yang kira-kira akan diambil oleh Rusia dalam mengantisipasi kemungkinan buruk dari kerja sama bidang pendidikan dan kebudayaan ini adalah dengan merekrut tenaga-tenaga muda untuk menjadi “orang dalam” pada pemerintahan yang sedang berkuasa dan kemudian memfasilitasi kerja sama dengan Uni Eropa untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan formal pada negara-negara anggota Uni Eropa.

Jadi, tanpa harus memberikan kesempatan kepada setiap scholar Rusia untuk menimba ilmu di negara-negara Uni Eropa, Rusia masih akan bisa mendapatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dengan cara lain, yaitu dengan memilih orang-orang tertentu yang sudah teruji kematangan rasa nasionalismenya dan mengirimkannya ke negara-negara Uni Eropa untuk kemudian dengan penuh semangat kembali pulang ke Rusia untuk berbagi perkembangan ilmu dan pemikiran yang dapat digunakan untuk kemajuan dan perkembangan Rusia di masa depan. Sebagai tambahan, transfer ilmu dan pemikiran yang didapat dari Uni Eropa tidak begitu saja disebarkan di Rusia nantinya, tetapi pihak penguasa akan melakukan sensor terlebih dahulu dan memodifikasi setiap ilmu pengetahuan dan pemikiran yang didapat sesuai dengan kepentingan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan strategi kebudayaan Rusia nantinya.

Skenario III: Impor Guru/Dosen Tamu

Jika dua skenario pendidikan dan kebudayaan sebelumnya mengharuskan Rusia mengirimkan scholar terbaiknya ke negara-negara Uni Eropa, maka skenario ketiga ini justru merupakan sebuah kontradiksi dari dua skenario sebelumnya, yaitu dengan mendatangkan para ahli yang ahli di bidangnya ke Rusia untuk melakukan transfer ilmu dan pemikiran di Rusia.

Skenario ketiga ini adalah skenario yang paling rendah risikonya dalam hal kemungkinan pelunturan rasa nasionalisme yang membahayakan kebudayaan nasional Rusia. Saya berani berpendapat seperti ini karena pada skenario ketiga ini warga Rusia tidak perlu meninggalkan negara, tetapi justru sebaliknya, Rusia mendatangkan tenaga asing yang dirasa perlu demi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran dari Uni Eropa. Skenario ini menjadi semakin mini risiko karena dengan situasi seperti ini, pemerintah Rusia dapat secara langsung melakukan kontrol terhadap konten dan proses transfer pengetahuan dan pemikiran yang nantinya terjadi di Rusia.

Selain minim risiko, skenario ketiga ini juga bisa menjadi cara bagi Rusia untuk melakukan hegemoni budayanya terhadap Uni Eropa. Jika pemerintah Rusia dapat mengambil hati setiap guru/dosen tamu yang datang ke Rusia dengan tujuan transfer ilmu, maka dengan sendirinya mereka akan kembali ke Uni Eropa nantinya dengan bias-bias kebudayaan dan kebiasaan Rusia yang mereka dapat selama mereka bertugas di Rusia dalam misi kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Kesimpulan

Fakta bahwa Rusia menjadi pemasok energi yang cukup berpengaruh di benua Eropa menjadikannya semakin menyadari isu-isu hegemoni kebudayaan yang siap menghantam setiap sendi kehidupan di Rusia. Maka dari itu, apapun tawaran yang diberikan kepada Rusia oleh Uni Eropa tentunya akan disikapi dengan sebijak mungkin. Selanjutnya, sebagai negara yang memiliki kebudayaan cukup tua , mengakar, dan sangat berbeda dengan tetangga Uni Eropa nya menambah kadar sensitifitas isu hegemoni budaya di Rusia.

Bibliografi

Boilard, Steve D. (1998). Russia at the Twenty First Century. Orlando: Harcourt Brace & Company.

Sakwa, Richard. (2008). Russian Politics and Society 4th ed. New York: Routledge.

White, Stephen. (2011). Understanding Russian Politics. New York: Cambridge University Press.

Yale, Richmond. (2009). From Nyet to Da: Understanding the New Russia, 4th ed. London: Intercultural Press.

————. (2005). Russian Prospects – Political and Economic Scenarios. Copenhagen Institute for Future Studies.

Cinema Paradiso – Review

Cinema Paradiso adalah sebuah filem cerita yang disutradarai oleh Giuseppe Tornatore (Italia) dan diproduksi di tahun 1988. Seting tempat dan waktu dari filem ini bertempat di kota Sisilia (Italia bagian Selatan) pada masa pasca Perang Dunia ke-2. Kebanyakan shot yang diambil di dalam filem cerita ini terjadi di alun-alun kota tempat berdirinya sebuah bangunan yang diberi nama Cinema Paradiso dan difungsikan sebagai tempat menonton filem. Namun demikian, jika dicermati secara lebih spesifik maka Cinema Paradiso ini lah yang menjadi seting utama di dalam filem cerita ini, karena hampir di setiap scene dari filem ini terjadi di dalam gedung bioskop yang terletak di alun-alun kota Sisilia ini.

Filem Cinema Paradiso ini aslinya berdurasi 2 jam 40 menit, tetapi atas paksaan sang produser yang bernama Franco Cristald, maka pada pertunjukan pertamanya ke publik filem ini akhirnya berdurasi 2 jam 3 menit dan 48 detik. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa ternyata industri filem Eropa pada saat itu telah “berdamai” dengan pertimbangan-pertimbangan komersial. Film ini merupakan sebuah karya yang sangat sukses tidak hanya di masanya, tetapi sampai sekarang karena masih sering digunakan sebagai materi di dalam setiap studi tentang film. Singkat kata filem ini merupakan sebuah penanda sejarah bagi industri filem Eropa, khususnya industri filem di Italia. Pada tahun 1989 film ini memenangi “Grand Prize of the Jury” pada Festival Cannes. Di tahun yang sama filem mini juga mendapatkan penghargaan Felix Awards “Special Prize of the Jury”. Kemudian pada tahun 1990 film ini masuk nominasi Oscar “Best Foreign Language”.

Secara garis besar, filem ini berkisah tentang persahabatan antara seorang anak laki-laki bernama Salvatore yang memiliki nama kecil Toto dengan seorang laki-laki dewasa yang bernama Alfredo yang merupakan proyeksionis di bioskop Cinema Paradiso. Banyak konflik dan cerita yang dibangun melalui interaksi kedua tokoh di dalam filem ini.

Alur

Filem Cinema Paradiso bercerita dengan alur maju-mundur. Cerita diawali pada saat Salvatore telah menginjak usia paruh baya yang mendapat kabar dari teman wanitanya yang terbangun dari tidur ketika Salvatore baru pulang dan memasuki kamar tidur. Teman wanitanya itu bercerita bahwa dia sebelumnya mendapat telepon dari Ibu Salvatore yang memberikan kabar bahwa seseorang telah meninggal. Orang yang dimaksud adalah Alfredo, yaitu teman masa kecil dan masa muda Salvatore di kampong halamannya di Sisilia.

Salvatore yang sudah 30 tahun tidak pernah kembali ke Sisilia dan tidak berhubungan dengan keluarga (Ibu dan adik perempuannya) seketika terdiam mendengar kabar kematian Alfredo. Hal ini membuat teman wanitanya bertanya apakah Alfredo bagian dari keluarga dan Salvatore menjawab “tidak”. Dari sini penonton dibawa kembali ke kisah masa kecil Salvatore yang menjelaskan awal persahabatannya dengan seorang proyeksionis di bioskop Cinema Paradiso yang bernama Alfredo, sampai akhirnya ia harus berpisah dengan Alfredo dan keluarganya nanti setelah ia tumbuh dewasa dan selesai dari dinas kemiliteran dan menjadi Salvatore paruh baya yang mendapat kabar dari ibunya tentang kematian Alfredo.

Narasi dan Dimensi Sosial Budaya

Tornatore meramu penceritaan di dalam filem Cinema Paradiso dengan sungguh menarik. Banyak hal yang dan pertanyaan yang muncul di kepala para penonton yang terjelaskan secara tidak langsung dari adegan-adegan maupun seting property yang mendukung. Misalnya ketika penonton di awal cerita bertanya-tanya tentang “siapa tokoh yang bernama Alfredo ini?”, Tornatore memberikan jawaban dari pertanyaan ini dengan langsung membawa penonton mundur ke penerawangan pikiran Salvatore ke masa kecilnya dan menjelaskan secara detil proses persahabatan yang tercipta antara si Toto kecil dengan Alfredo sehingga penonton dengan utuh mendapatkan jawaban tentang tokoh Alfredo di dalam filem ini.

Contoh berikutnya adalah ketika Tornatore hendak memperlihatkan kepada penonton bagaimana kehidupan sosial masyarakat Italia, dan di Sisilia pada khususnya pada saat itu, terutama terkait dengan perkembangan industri filem di Italia. Dia dengan apik menjelaskan kepada penonton betapa ketatnya sensor yang dilakukan oleh Gereja pada saat itu sehingga semua filem yang akan diputar di Cinema Paradiso harus terlebih dahulu disensor oleh seorang Pendeta yang nantinya memberikan tanda dengan isyarat bunyi lonceng bagian yang harus dipotong supaya masyarakat tidak terpapar oleh hal-hal yang diharamkan oleh Gereja.

Masih dari bagian ini penonton juga langsung mendapatkan gambaran dan penjelasan bagaimana filem bisa sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang dan tanpa disadari menentukan masa depan seseorang. Penjelasan ini didapat dari tokoh Toto kecil yang memperlihatkan antusiasme nya terhadap filem sehingga dia melakukan segala daya upaya untuk bisa menikmati filem-filem yang masuk ke bioskop Cinema Paradiso.

Selain tentang awal persahabatan antara Toto dengan Alfredo, filem Cinema Paradiso juga memberikan informasi kepada penonton bahwa seiring dengan perkembangan industri filem, maka sedikit demi sedikit kekuasaan Gereja semakin berkurang di masyarakat Sisilia pada saat itu. Adegan ciuman dan hal-hal yang terkait dengan kekerasan dan sexualitas yang di awal cerita kita dapat mengetahui bahwa adegan-adegan itu tidak akan ditayangkan karena sensor dari gereja, pada perkembangannya mulai dapat dinikmati oleh para penonton. Selain itu, Tornatore juga dengan gamblang menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran norma di dalam masyarakat secara ekstrim. Hal ini dapat dilihat dari scene ketika di dalam bioskop Cinema Paradiso terdapat satu bilik kecil yang digunakan sebagai tempat prostitusi. Scene ini didahului oleh shot pada layar bioskop yang sedang memperlihatkan adegan-adegan yang memancing syahwat para penontonnya.

Dari filem ini penonton juga bisa mengetahui kehidupan masyarakat Italia pada saat itu pada pasca Perang Dunia ke-2. Banyak janda dan anak kecil yang terpaksa harus bekerja untuk melanjutkan hidup karena suami-suami dan bapak-bapak mereka gugur atau dinyatakan hilang oleh dinas kesatuan militernya di medan perang.

Tidak hanya tentang masyarakat Italia dan Sisilia pada khususnya, tetapi Tornatore melalui filem ini juga memperlihatkan naik turun dan perkembangan industri filem di Italia. Jadi, Tornatore dengan apik melalui sebuah filem cerita dengan tokoh dan karakternya masing-masing yang menjadi sentral di dalam cerita ini (Salvatore dan Alfredo) sekaligus dapat memberikan gambaran naik turun dan perkembangan industri filem di Italia. Dari sini juga terlihat bahwa industri filem Amerika juga telah berkembang yang terbukti dari pemutaran filem-filem Amerika di bioskop Cinema Paradiso yang diminati banyak orang ketika itu.

Kisah tentang perkembangan industri filem di Italia ini diakhiri dengan dirubuhkannya bangunan Cinema Paradiso di saat Salvatore pulang ke kampung halamannya untuk menghadiri pemakaman Alfredo. Tradisi menonton filem ke bioskop ternyata sudah tidak lagi seperti di masa kecil Salvatore, seting waktu pada masa ini memang sesuai dengan fakta di dunia pada saat itu, yaitu kemunculan televisi dan perkembangan radio telah menjadi musuh terbesar yang mematikan bagi industri perfileman di masa itu.

Dimensi Estetik

Tornatore cukup piawai dalam memunculkan simbol-simbol yang dapat menyampaikan pesan tertentu kepada penonton tanpa mengurangi fungsi estetiknya di dalam filem Cinema Paradiso. Berikut ini saya tampilkan hanya sebagian capture scene yang menurut saya memiliki simbol dan makna yang kuat yang juga memiliki fungsi estetik di dalam filem ini.

Capture 1

capture-paradiso1

Pendeta dengan loncengnya merupakan simbol yang sangat kuat menyampaikan pesan bahwa waktu itu institusi Gereja memang memiliki kekuasaan absolut, karena Gereja juga “menyaring” hal-hal yang boleh ditonton dan yang tidak ditonton oleh umatnya. Di samping itu kilauan cahaya yang berwarna biru di tengah kegelapan ruangan Cinema Paradiso adalah cahaya yang keluar dari ruang proyektor yang sedang memutarkan filem. Dari bagian ini kita juga menangkap pesan bahwa kira-kira pada saat itu memang institusi Gereja lah yang menjadi “matahari” bagi kehidupan masyarakat di Sisilia.

Capture 2

capture-paradiso2

Tempat keluar cahaya proyektor di dalam bioskop Cinema Paradiso berbentuk kepala singa yang sedang mengaum sehingga taringnya kelihatan, mengisyaratkan kepada penonton bahwa filem pada saat itu merupakan kekuatan baru yang cukup berpengaruh di masyarakat. Hal ini juga dapat diartikan bahwa absolutisme institusi Gereja pada saat itu telah mendapat saingan kekuatan baru. Kemudian, tepat di sisi kanan kepala singa itu terdapat sebuah jendela kecil tempat proyeksionis mengontrol pancaran cahaya proyektor yang diproduksi dari balik ruangan itu, dan di jendela kecil itu terlihat bagian muka Alfredo dari bagian mata sampai kumis. Tampilan muka Alfredo yang seperti ini memberikan kesan kuat bahwa Alfredo adalah “penguasa” bayangan yang memiliki pengaruh kuat karena dialah yang mengoperasikan proyektor yang nantinya akan memancarkan cahaya melalui kepala singa sehingga penonton hanyut terpaku ke dalam filem yang sedang mereka tonton.

Capture 3

capture-paradiso3

Capture ini merupakan gambar kepala singa yang sudah jatuh ke lantai gedung bioskop Cinema Paradiso dan dibalut oleh jarring laba-laba. Hal ini menjelaskan kepada penonton bahwa kepala singa yang dulunya pernah memiliki “kekuasaan” sekarang telah lemah tak berdaya. Scene ini terdapat di menit-menit terakhir filem Cinema Paradiso yang juga mengungkap fakta bahwa industry filem di Italia, khususnya di Sisilia telah mati karena kemunculan televisi dan perkembangan radio sehingga menyebabkan orang malas beranjak dari tempat tinggalnya menuju bioskop.

Capture 4

capture-paradiso4b capture-paradiso4a capture-paradiso4c

Di samping banyaknya dimensi estetik yang terdapat dari simbol-simbol yang diberikan Tornatore di dalam filem ini, ternyata secara tidak langsung Tornatore juga memberikan fakta dan edukasi menyangkut perkembangan teknologi di dalam industri filem pada saat itu. Hal ini diketahui dari kebakaran kecil yang terjadi di rumah si Toto kecil dan kebakaran di bioskop Cinema Paradiso yang disebabkan oleh seluloid dari negatif filem yang akan diputar sampai pada shot close up yang memperlihatkan negatif filem yang tidak sensitive terhadap api.

Demikianlah beberapa capture dari filem Cinema Paradiso yang menurut saya memiliki simbol yang kuat tanpa mengurangi kepentingan estetik dalam bangun keseluruhan filem tersebut.

Dimensi Tekhnik

Di dalam filem Cinema Paradiso terdapat banyak  close up dari beberapa tokoh yang memberikan tanda bahwa tokoh tersebut sangat berperan dan menjadi sentral dalam cerita yang dibangun. Misalnya close up pendeta sebagai simbol absolutisme gereja, close up Toto yang sedang mengintip sensor filem dari balik tirai bioskop.

Kebanyakan dialog yang melibatkan Salvatore (Toto) dan Alfredo. Tokoh-tokoh lainnya yang berdialog dengan salah satu dari kedua tokoh di atas rata-rata mendapatkan shot close up. Menurut saya hal ini sengaja dilakukan oleh Tornatore untuk memberikan perbedaan karakter yang jelas sehingga penonton tanpa sadar bisa langsung mengikuti alur cerita yang sedang dibangun dari percakapan-percakapan yang terjadi. Di samping itu, menurut saya Tornatore juga ingin menyampaikan pesan bahwa walaupun Salvatore (Toto) dan Alfredo merupakan tokoh sentral dari filem cerita ini, namun keberadaan orang-orang tertentu yang mendapatkan close up juga merupakan salah satu faktor penting di dalam pembangunan karakter kedua tokoh sentral itu dan juga di dalam pembangunan cerita di dalam filem ini.

Beberapa shot dengan tekhnik pengambilan bird eye juga terdapat di dalam file mini, terutama shot-shot yang menampilkan alun-alun kota. Saya berpendapat bahwa Tornatore sengaja melakukan ini untuk memberikan kesan latar tempat yang kuat bahwa alun-alun kota menjadi seting latar tempat yang penting, karena di sanalah terdapat gedung bioskop Cinema Paradiso, yaitu sebuah tempat yang menjadi sejarah di dalam kehidupan masyarakat Sisilia pada masa itu dan telah menjadi saksi dari banyak kejadian dan perubahan-perubahan sosial, masyarakat, dan individu yang berada di sekitarnya, termasuk perubahan kota Sisilia itu sendiri.

Kesimpulan

Filem cerita Cinema Paradiso karya Giuseppe Tornatore merupakan salah satu filem cerita penting, tidak hanya bagi industri filem Italia, tetapi juga bagi perkembangan industri filem di dunia. Filem ini bisa dibilang sebagai salah satu penanda sejarah di dalam perkembangan industri filem dunia.

Filem yang berdurasi selama 2 jam 3 menit dan 48 detik ini tidak hanya memberikan kita informasi tentang satu hal, tetapi di dalamnya penonton juga dapat mendapat banyak gambaran tentang dinamika kehidupan sosial dan masyarakat yang menjadi latar tempat dan waktu di dalam filem ini. Tidak hanya tambahan pengetahuan tentang dinamika kehidupan sosial dan masyarakat yang diperoleh penonton ketika menonton filem ini, tetapi filem ini juga memberikan edukasi kepada para pecinta filem tentang sensitifitas seluloid terhadap api yang bisa menjadi malapetaka, sampai pada perkembangan teknologi di dalam industri filem di dunia yang berhasil menemukan bahan yang lebih aman terhadap api yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan negatif filem.

Jika diibaratkan sebagai sebuah lotere, maka filem ini merupakan hadiah berupa paket kombo bagi para penikmat filem dan mereka yang akan memulai studi tentang filem. Saya berpendapat demikian karena file mini dibanjiri dengan tiga dimensi yang menjadi aspek utama di dalam sebuah filem, yaitu dimensi tekhnik, dimensi estetik, dan dimensi kultural. Banyak bagian yang bisa dijadikan contoh dari masing-masing dimensi tersebut di dalam file mini.

Aspek sinematografis yang tidak kalah pentingnya di dalam sebuah filem juga diramu dengan sedemikian rupa oleh Tornatore sehingga terjadi peleburan yang halus antara aspek sinematografis dengan bangun cerita dari filem ini. Hal ini berarti kepuasan penonton, baik yang menyatakan diri hanya sebagai penikmat filem, maupun yang menyatakan diri sebagai pengamat, penggiat, dan pembelajar filem merupakan garansi yang diberikan oleh Tornatore.

Filem Cinema Paradiso juga mengandung aspek naratif yang sangat kuat. Dari scene pembuka sampai scene penutup, penonton mendapatkan banyak hal terkait sosial, budaya, dan masyarakat pada saat itu tanpa harus bersusah payah merangkai cerita antara scene yang satu dengan scene yang lainnya. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, filem Cinema Paradiso karya Tornatore ini merupakan paket kombo bagi para pecinta filem. Banyak hal didapat, seperti: kepuasan, kesenangan, edukasi, dan informasi dalam satu paket yang bernama Cinema Paradiso.

Seperti judulnya, Cinema Paradiso benar-benar memberikan paradiso kepada para penontonnya dan sekaligus meunjukkan kepada penonton betapa cinema (filem) benar-benar merupakan sebuah paradiso (surga) bagi masyarakat Sisilia yang pada saat itu masih dikuasai oleh dogma dan kuasa dari institusi Gereja yang telah menjanjikan bentuk paradiso lainnya yang bersifat imajiner kepada mereka yang taat kepada Gereja.

Bibliografi

Sumarno, Marselli, (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

http://www.netcomuk.co.uk/-media/CinePara.html , diunduh pada tanggal 23 Oktober 2012 pada pukul 23.21.

 

Simbolisasi Negatif terhadap Islam sebagai Fenomena Perkotaan di Belanda

Dalam pemahaman Barthes, teks yang tediri dari deretan huruf-huruf dipandang sebagai bentuk. Teks diibaratkan sesiung bawang yang dapat dikupas hingga ke lapisan paling akhir. Ketika sampai pada lapisan terakhir, bawangnya sendiri sudah tidak ada. Karena memahami teks dengan analogi bawang tadi, maka teks tak memiliki kesatuan dalam pengertian esensial. Dengan menganggap teks sebagai “yang dapat berbicara sendiri”, terjadi kecenderungan untuk menghilangkan subjek (pengarang).

Istilah semiologi pertama kali dikenalkan oleh Ferdinand de Saussure . Definisi umum semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda dan penanda. Mitos termasuk dalam wilayah semiologi karena mitos merupakan tipe wicara yang membahas mengenai tanda. Ferdinand de Saussure memiliki dua istilah dalam semiologi yaitu signifiant (penanda) dan signifié (petanda/ yang ditandakan). Petanda adalah konsep sedangkan penanda adalah gambaran akustik. Hubungan antara penanda dan petanda bukanlah kesamaan melainkan bersifat ekuivalen. Bukan yang satu membawa yang lain, tetapi korelasi yang menyatukan keduanya [Hawkes 1977: 22].

Berdasarkan Semiologi yang telah dirumuskan oleh Saussure, Barthes kemudian mengembangkannya. Menurut Barthes , dalam semiologi terdapat tiga istilah: penanda, petanda, dan tanda (sign). Ketiganya memiliki implikasi fungsional yang erat dan berperan penting dalam menganalisis mitos sebagai bentuk semiologi. Mitos terbentuk berdasarkan tiga istilah itu, namun mitos adalah suatu sistem khusus yang terbangun dari serangkaian rantai semiologis yang ada sebelumnya. Mitos adalah sistem semiologis tingkat kedua. Tanda pada sistem pertama menjadi penanda pada sistem kedua. Dengan kata lain, mitos adalah penandaan tingkat kedua.

Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi [Hoed 2011 :45—49]. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi

Analisis

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, yang dikembangkan Barthes adalah konotasi dengan berdasar pada konsep de Saussure tentang signifiant-signifié. Jika menurut de Saussure, bahasa bersifat statis, misalnya ‘Islam’ memiliki makna ‘sebuah agama samawi dari Asia Barat’. Hal demikian disebut Barthes sebagai primary sign yang didapatkan melalui relasi (R) expression (signifiant/penanda) dan content (signifié/petanda). Primary sign merupakan R1 yang menghasilkan makna denotasi. Barthes memaparkan bahwa baik expression (E) maupun content (C) masih dapat dikembangkan. Jika segi E yang dikembangkan maka yang berlaku adalah hubungan sinonim atau metabahasa, misalnya mengganti kata ‘Islam’ dengan ‘Muslim’. Dalam menjelaskan teori konotasi-nya, Barthes lebih menekankan pengembangan pada segi C. Kata ‘Islam’ setelah mengalami pengembangan content dapat bermakna “orang-orang di Belanda Barat yang beragama Islam yang terdiskriminasi”, “etnis yang eklusif”, “etnis yang mengancam keamanan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar yang berlaku di Belanda”. Makna-makna tersebut disebut makna konotasi. Maka konotasi akan sangat bergantung pada bagaimana seseorang pemakai bahasa menilai suatu kata. Makna “orang-orang yang didiskriminasi” mungkin hanya berlaku di kalangan aktivis pembela hak-hak azasi manusia.

Makna konotasi dalam perkembangannya dapat berubah menjadi makna denotasi. Jika makna kata ‘Islam’ memiliki konotasi ‘orang-orang yang mulai mendominasi politik dan perekonomian di Belanda yang mulai menjadi ancaman bagi warga negara asli Belanda’ dan makna itu diyakini secara umum dan telah dianggap wajar dalam suatu masyarakat meskipun bertentangan dengan kenyataan maka makna “etnis yang mulai mendominasi politik dan perekonomian di Belanda yang mulai menjadi ancaman bagi warga negara asli Belanda” menjadi sebuah mitos. Jika mitos semakin intens dan kuat diyakini oleh suatu masyarakat tertentu, maka mitos pun dapat berubah menjadi ideologi, dan kemudian ideologi ini menjadikan Islam sebagai simbol dari suatu hal yang bersifat ancaman dan berdampak negatif bagi warga negara asli Belanda.

Dalam mitos, konstruksi penandaan pertama adalah bahasa/teks[1]/sistem denotasi sedangkan yang kedua disebut Barthes sebagai metabahasa / sistem konotasi. Bagan dan contoh lain di bawah ini dapat membantu dalam memahami semiologi Barthes.

 

 

 

Mitos

Bahasa
  1. Penanda (Islam)
  2. Petanda ( Islam sebagai simbol kehidupan multikultur di Belanda)
 

 

 

 

   
  1. Tanda

I.Bentuk (Islam sebagai simbol kehidupan multikultur di Belanda)

  II. Konsep/ Petanda”(Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda)
    III. Pemaknaan / Tanda “ (Islam menjadi “ancaman” bagi warga pribumi Belanda)  

 

Berdasarkan contoh yang telah diberikan melalui bagan di atas, dengan bentuk dan konsep, yaitu Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda, maka pemaknaannya adalah Islam merupakan ancaman bagi warga pribumi Belanda. Dengan demikian, Islam di Belanda menjadi simbol masalah di Belanda.

Perkembangan Islam dari awal dengan damai yang telah memberikan makna positif di dalam kehidupan bermasyarakat Belanda yang lambat laun berubah menjadi simbol keberagaman kehidupan bermasyarakat di sana (masyarakat multikultur di Belanda) ternyata memasuki babak baru pada saat ini. Dengan teori mitos dan mitologi Rolland Barthes, kita bisa sama-sama menelusuri proses perubahan pandangan dan pemaknaan masyarakat Belanda terhadap Islam.

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, selain simbol positif yang terdapat di dalam Islam terkait dengan kehidupan masyarakat yang multikultur di Belanda, pergerakan kehidupan bermasyarakat di Belanda ternyata menimbulkan pandangan dan pemaknaan baru yang bersifat negatif mengenai Islam. Dimulai dari pertikaian internal antara masyarakat Belanda keturunan Turki dan Marokko yang cukup mengganggu ketentraman kehidupan bermasyarakat sampai pada beberapa kasus pembunuhan terhadap publik figur Belanda yang memiliki pandangan ekstrim terhadap Islam.

Keadaan seperti ini menimbulkan aksi-aksi menentang Islam di Belanda, dan kelompok ekstrim kanan yang sangat chauvinistis banyak melakukan propaganda yang bersifat diskriminatif terhadap umat Muslim di Belanda. Salah satu aksi diskriminatif yang paling terkenal adalah ditampilkannya filem pendek berjudul Fitna oleh Geert Wilders yang berisi tentang propaganda betapa Islam adalah agama dengan ideologi dan ajaran yang sangat kejam dan barbar.

Popularitas Wilders setelah kemunculan filem pendek Fitna menjadikannya publik figur baru di Belanda yang sekarang menjadi politikus yang sangat berpengaruh di Belanda. Banyak keputusan-keputusan dan kebijakan yang dicetuskan oleh Wilders bersifat diskriminatif terhadap kaum pendatang, khususnya yang berasal dari negara dengan jumlah penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam. Aksi-aksi Wilders yang diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan politik ini dengan pasti menimbulkan suatu ketakutan terhadap kaum pendatang (xenophobia) dan juga ketakutan terhadap Islam (Islamophobia).

Jika ditelaah lebih dalam, kasus-kasus pembunuhan terhadap publik figur yang berpikiran ekstrim terhadap Islam itu bisa dimaknai sebagai beberapa bentuk reaksi terhadap pergeseran pandangan dan pemahaman terhadap Islam di Belanda. Aksi propaganda dan kebijakan-kebijakan publik yang bersifat diskriminatif terhadap Islam telah menimbulkan reaksi cukup ekstrim dari mereka yang merasa terdiskriminasi.

Kesimpulan

Di Belanda telah terjadi pergeseran pandangan dan pemaknaan terhadap Islam dan penganutnya (Muslim). Dari awal masuk dan berkembangnya Islam di Belanda yang berlangsung secara damai dan Islam berhasil menjadi bagian dari masyarakat Belanda yang memberikan dampak positif terhadap Belanda terkait dengan kehidupan masyarakat yang sangat multikultur menjadi suatu agama dan kelompok manusia yang ditakuti dan tidak dikehendaki keberadaannya karena mereka perlahan tapi pasti terlabeli sebagai simbol masalah di Belanda.

Banyak faktor yang berperan dalam pergeseran pandangan dan pemaknaan masyarakat Belanda terhadap Islam. Perbedaan nilai-nilai dasar yang dianut oleh Islam dengan masyarakat Belanda, kejahatan teroris internasional yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras, posisi strategis di dalam negeri Belanda yang pelan-pelan dilakoni oleh umat Muslim di Belanda, dan propaganda negatif tentang Islam oleh kelompok-kelompok ekstrim kanan Belanda memiliki andil yang sangat besar terhadap simbolisasi Islam sebagai suatu masalah di Belanda.

Proses simbolisasi Islam menjadi simbol masalah di Belanda dapat dijelaskan dengan bagan yang telah dijelaskan pada bagian analisis: dengan bentuk dan konsep, yaitu Muslim mendapat tempat dan posisi penting di dalam kehidupan bermasyarakat di Belanda, Kelompok Islam garis keras yang melakukan kejahatan teror internasional, perbedaan nilai-nilai dasar antara Islam dengan Belanda, dan konflik internal antara umat Muslim keturunan Turki dengan umat Muslim keturunan Marokko, maka pemaknaannya adalah Islam merupakan ancaman bagi masyarakat Belanda. Dengan demikian, Islam di Belanda menjadi simbol masalah di Belanda.

Bibliografi

Anonim. 2010. De Posistie van Moslims in Nederland: Feiten en Cijfers. Utrecht: FORUM-Instituut voor Multiculturele Vraagstukken.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. 1972. Denotation and Conotation. Element of Semiology. London: Jonatahan Cape.

———————. 2006. Mitologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Geuijen, C.H.M. 1998. Werken aan Ontwikkelingsvraagstukken Multiculturalisme. Utrecht: Lema  BV.

Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. California: University of California Press.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Yogyakarta: Indonesiatera.

http://www.dakhorst.nl/dossiers/islam/gastarbeiders.htm diunduh pada tanggal 19 Desember 2012.



[1] Pada tulisan ini yang menjadi “teks” adalah Islam, bukan sekedar tanda bahasa pada tataran linguistik.

Pembagian Wilayah Negara Belgia (bagian 2)

Seperti yang terjadi pada hampir seluruh daratan Eropa, de Nederlanden[1] juga tidak luput dari kekuasan Julius Caesar. Kerajaan Romawi ini melakukan ekspansi besar-besaran ke hampir seluruh daratan Eropa untuk menularkan ide demokrasi dan sistem perpajakan dalam sistem pemerintahan. Caesar melakukan ekspansi ini dengan menggunakan pendekatan yang sangat kultural, yaitu dengan menggunakan bahasa daerah tersebut dalam melakukan aksinya. Dengan kata lain, rumpun bahasa Germania yang menjadi bahasa pada kawasan de Nederlanden tidak dijadikan hal yang harus “diseragamkan” oleh Caesar dalam melancarkan aksinya.

Metode ini ternyata sangat efektif, karena ekspansi oleh Roma tidak menjadi sangat berat karena tidak melukai perasaan pribumi dengan tidak menggunakan politik bahasa yang bersifat chauvinis, artinya bahasa kaum yang berkuasa tidak menjadi isu utama yang harus disebarkan ke daerah jajahan. Caesar justru mengeluarkan kebijakan untuk tetap menggunakan bahasa setempat untuk menyebarluaskan ide demokrasi dan perpajakan dalam pemerintahan pada 17 provinsi yang termasuk ke dalam wilayah de Nederlanden.

Pada masa 1560 – 1650, tampuk kekuasaan di wilayah Nederlanden pindah ke tangan Spanyol. Sedikit berbeda dengan misi ekspansi yang dilakukan oleh Ceasar, Spanyol melakukan ekspansi untuk menyebarkan ajaran Katolik dan hal-hal yang terkait dengan ke-Gerejaan. Berbeda dengan politik bahasa yang dilakukan oleh Caesar, Spanyol menggunakan politik bahasa yang bersifat chauvinis, artinya daerah jajahan Spanyol saat itu harus menggunakan bahasa Spanyol sebagai linguafranca. Jadi, Spanyol menyebarkan ajaran Katolik, menyeragamkan Gereja-gereja yang terdapat di 17 provinsi yang termasuk ke dalam wilayah de Nederlanden, dan juga melancarkan politik bahasa yang bersifat chauvinis.

Misi ekspansi Spanyol ke wilayah de Nederlanden yang sangat berbeda dengan misi ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Romawi tenyata menyulut rasa sakit hati yang cukup mendalam di kalangan pribumi saat itu. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena Spanyol datang dengan misi yang sangat mengintervensi akar-akar budaya masyarakat pribumi, yaitu penyeragaman kepercayaan dan bahasa.

Pada wilayah de Nederlanden bagian Utara, rasa sakit hati ini bermuara pada pemberontakan pada tahun 1568 – 1648. Pemberontakan ini terkenal dengan nama de tachtigjarige oorlog (perang delapan puluh tahun) yang diprakarsai oleh Willem van Oranje. Pemberontakan ini memberikan hasil yang sangat memuaskan bagi para pribumi, karena kekuasaan Spanyol bisa dikalahkan. Oleh karena itu, Willem van Oranje juga dipilih sebagai pemimpin dan Calvinis dipilih sebagai agama satu-satunya yang mereka imani. Willem van Oranje pada awalnya hanya menguasai wilayah Nederlanden yang berada di sebelah Utara, namun perlahan tapi pasti ia juga mulai melakukan ekspansi ke bagian Selatan, sampai pada kota Brussel dan wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan de taalgrens. Pada akhir abad ke-16, di tahun 80-an wilayah de Nederlanden terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Utara yang menganut agama Calvinis, dan bagian Selatan sampai wilayah de taalgrens yang menganut agama Katolik.

Hal yang perlu di garis bawahi dari ulasan singkat tentang sejarah Belgia yang dahulunya merupakan bagian dari de Nederlanden adalah perluasan kekuasaan Willem van Oranje ke bagian Selatan yang di dalamnya termasuk kota Brussel. Perlu dicermati, pemberontakan yang muncul pada wilayah bagian Utara dari de Nedelanden ini dipicu oleh rasa nasionalisme yang tinggi dan sangat terkait dengan hal-hal yang bersifat kebudayaan, yaitu mepertahankan bahasa dan agama. Brussel yang saat itu juga sudah menjadi ibu kota de Nederlanden akhirnya juga mulai menggunakan bahasa Germania (bahasa Belanda) dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Spanyol akhirnya menetapkan prioritasnya di Eropa Barat terkait dengan situasi pasca masa pemberontakan. Spanyol menetapkan bahwa mereka hanya akan keras terhadap urusan kepercayaan (agama). Dengan kata lain, dalam urusan bahasa Spanyol akan bersikap lebih fleksibel. Bahkan di kota Brussel – tempat bermukimnya para Gubernur dan pusat pemerintahan – Spanyol tidak lagi memaksakan bahasa dari rumpun bahasa Roman yang di dalamnya juga terdapat bahasa Prancis.

Dalam sisa-sisa masa pemerintahannya, Spanyol tetap mempertahankan penggunaan tradisi Burgondia dengan senantiasa berkomunikasi dalam bahasa Prancis dalam urusan pemerintahan, birokrasi, dan administrasi. Penggunaan bahasa Prancis dalam segala urusan formal pada masa itu bukanlah hal yang mengejutkan karena ternyata bahasa Prancis memang sudah menjadi bahasa yang digunakan sebagai bahasa formal dalam urusan resmi pada hampir sebagian besar wilayah daratan Eropa setelah masa kekuasaan Kerajaan Romawi berakhir. Budaya-budaya Burgondia, yang di dalamnya terdapat bahasa Prancis, merupakan simbol status sosial pada masa setelah kekuasaan Kerajaan Romawi, dan identitas sosial masyarakat kelas atas identik dengan kemampuannya dalam baca-tulis dalam bahasa Prancis.

Bahasa Belanda hanya mendapat tempat di bagian Utara de Nederlanden – daerah Flandria dan Brabant – pada kalangan tertentu, hal ini dapat dilihat dari terjemahan alkitab dalam bahasa Belanda yang terdapat di kawasan de Nederlanden bagian Utara. Sementara itu, kawasan de Nederlanden bagian Selatan – yang masih dikuasai oleh Spanyol – tetap menggunakan bahasa Prancis dalam level pemerintahan.

Sekolah dasar menggunakan bahasa atau dialek setempat. Namun, anak-anak yang memiliki status sosial tinggi dan memiliki orang tua yang kaya akan menjalankan pendidikan privat, dengan tambahan biaya untuk pelajaran memasak, berhitung, dan pelajaran bahasa Prancis. Dari fakta ini dapat dibuktikan bahwa memang sudah sejak masa pendudukan Spanyol bahasa Prancis merupakan bahasa kalangan atas dan siapapun yang bisa baca-tulis dalam bahasa Prancis akan dipandang mulia pada masa itu, karena terkait dengan status sosial keluarga mereka di dalam masyarakat.

Sementara itu, pendidikan lanjutan diberikan dalam bahasa Latin. Hal ini merupakan dampak lanjutan dari aliran Humanisme pada abad ke-16. Kontrareformasi[2] memberikan dampak tumbuh dan menjamurnya sekolah-sekolah Katolik untuk anak muda. Hal ini terjadi dalam rangka menjaga agar ide reformasi dan pemberontakan dari wilayah de Nederlanden bagian Utara tidak sampai menjadikan generasi muda pada wilayah de Nederlanden bagian Selatan menganut agama Calvinis. Hal yang sudah sangat jelas dari tumbuh dan menjamurnya sekolah-sekolah Katolik adalah penggunaan bahasa Latin yang semakin mendapatkan tempat dalam ranah pendidikan. Kemudian, bahasa lokal dianggap tabu oleh sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Latin.

Kekalahan Spanyol dalam pemberontakan yang terjadi di de Nederlanden bagian Utara bukan tanpa sebab, Spanyol yang dalam masa ini juga sedang berperang melawan kerajaan Prancis harus membagi kekuatan dalam setiap pertempuran yang terjadi pada masa itu.

Prancis akhirnya bisa menaklukkan kekuasaan Spanyol, dan pada tahun 1769 – 1821, dan Napoleon Bonaparte akhirnya menguasai wilayah yang dahulunya merupakan kekuasaan Spanyol. Pada masa kekuasaannya di de Nederlanden, Bonaparte mengeluarkan Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang di dalamnya menyatakan kesetaraan masyarakat di mata hukum, dan mendirikan negara modern. Negara modern ala Bonaparte ini diwujudkan dengan mengganti semua aturan perpajakan, mewajibkan registrasi kelahiran (pengeluaran akte kelahiran), registrasi perkawinan (pengeluaran akte nikah), dan registrasi kematian (pengeluaran akte kematian).

Namun kemudian, perlahan tapi pasti kekuasaan Bonaparte terasa menjadi semakin absolut. Hal ini terasa dalam hal penggunaan bahasa di Gereja-gereja dan sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Latin. Tanpa terasa Bonaparte melakukan verfransing (mewajibkan bahasa Perancis di setiap wilayah taklukannya, termasuk kawasan de Nederlanden). Namun situasi ini tidak berlangsung lama, karena kejatuhan kekuasaan Bonaparte yang ditaklukkan oleh Raja Willem I menghentikan proses verfransing ini.

Pada masa kekuasaan Willem I, semua sekolah, universitas, dan kegiatan-kegiatan pemerintahan diwajibkan menggunakan bahasa Belanda. Seperti Bonaparte yang melakukan verfransing, Willem I melakukan vernederlandsing (mewajibkan penggunaan bahasa Belanda di dalam setiap kawasan taklukkannya). Universitas-universitas, dan sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan bahasa Prancis, pada masa kekuasaan Willem I berubah menjadi tempat-tempat yang diwajibkan berbahasa Beanda.

Tahun 1970 adalah momentum yang sangat bersejarah bagi negara Belgia, terutama terkait dengan pembagian wilayah negara berdasarkan diversitas bahasa yang diakui. Di tahun ini diresmikanlah garis batas bahasa (Taalgrens) yang membagi wilayah Belgia ke dalam beberapa bagian berdasarkan bahasa utama yang diakui di wilayah tersebut:

  1. Vlaanderen (Flandria): kawasan sebelah Utara Belgia dengan bahasa Belanda Flemish,
  2. Wallonië (Walonia): kawasan sebelah Selatan Belgia dengan bahasa Prancis,
  3. Oost-België (Belgia Timur): kawasan sebelah Timur Belgia dengan bahasa Jerman.

Taalgrens atau garis batas bahasa ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara. Selain membagi Belgia ke dalam 3 kawasan berdasarkan bahasa yang diakui pada masing-masing wilayah, Taalgrens juga mengatur situasi kebahasaan kota Brussel (ibu kota Belgia) menjadi kota dwibahasa. Jadi, bahasa Belanda dan bahasa Prancis adalah dua bahasa resmi yang diakui di kota Brussel.



[1] Kawasan tanah rendah yang berada di sebelah Barat benua Eropa dan terdiri dari 17 provinsi. Saat ini Kawasan tersebut dikenal dengan nama Benelux: Belgium, Netherlands, and Luxemburg. 17 provinsi tersebut adalah: Graafschap Artesië, Graafschap Vlaanderen, Kasselrijen Rijsel, Dowaai dan Orchies (kadang-kadang juga disebut Rijsels-Vlaanderen), Heerlijkheid Mechelen, Graafschap Namen, Graafschap Henegouwen, Graafschap Zeeland, Graafschap Holland, Hertogdom Brabant dan Markgraafschap Antwerpen, Hertogdom Limburg dan de Landen van Overmaas, Hertogdom Luxemburg, Heerlijkheid Friesland, Doornik dan het Doornikse, Heerlijkheid Utrecht, Heerlijkheid Overijssel, termasuk Drenthe, Lingen, Wedde dan Westwoldingerland, Heerlijkheid Groningen, Hertogdom Gelre dan Graafschap Zutphen.

[2] Bentuk perlawanan dari masyarakat bagian Selatan de Nederlanden dalam menyikapi kemenangan pemberontakan yang dilakukan oleh Willem van Oranje pada wilayah de Nederlanden bagian Utara.

Sumber utama: Raskin, Brigitte. De Taalgrens. 2012

Pembagian Wilayah Negara Belgia (bagian 1)

Belgia adalah sebuah negara federal di bagian Barat daratan Eropa yang memiliki keunikan tersendiri dari perspektif situasi kebahasaannya. Pembagian wilayah politik (dalam konteks federalisme bisa disebut sebagai “negara bagian”) di Belgia sangat terkait dengan akar budaya dan bahasa yang digunakan sebagai bahasa utama dan menjadi bahasa resmi pada kawasan tersebut.

Pembagian wilayah dalam negara Belgia dibagi menjadi:

1. Gewest (wilayah ekonomi),

2. Gemeenschap (masyarakat kebudayaan),

3. Pemerintah Federal.

Gewest dan Gemeenschap dapat dibagi lagi menjadi:

1. Gewest:

Vlaams Gewest (wilayah ekonomi Flandria),

– Waals Gewest (wilayah ekonomi Walonia),

–  Brussels Hoofdstedelijk Gewest (wilayah ekonomi kawasan ibu kota Brussel).

 2. Gemeenschap:

Vlaamse Gemeenschap (masyarakat kebudayaan Flandria),

Waalse Gemeenschap (masyarakat kebudayaan Walonia),

Duitstalige Gemeenschap (masyarakat kebudayaan berbahasa jerman).

Masing-masing pembagian wilayah memiliki wewenang tertentu dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah Federal bertanggung jawab terhadap urusan pertahanan dan keamanan nasional, pertahanan dan keamanan internasional (kesatuan Uni Eropa), serta politik luar negeri dan diplomasi. Sementara itu, urusan perekonomian, kesejahteraan, dan peluang kerja merupakan wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh Gewest. Untuk hal-hal yang terkait dengan kebudayaan dan pendidikan – yang di dalamnya termasuk bahasa – merupakan wewenang dan tanggung jawab dari Gemeenschap. Vlaamse Gemeenschap berbahasa Belanda, Waalse Gemeenschap berbahasa Prancis, dan Duitstalige Gemeenschap berbahasa Jerman.